Mendirikan Hidup Sejati

Majlis gugur gunung memiliki rutinitas Maiyahan setiap malam Minggu pada Minggu terakhir setiap bulannya. Pada bulan ini pada tanggal 29 April 2017. Pertemuan kali ini seakan memendam rasa rindu usai dua bulan sebelumnya tidak diadakan pertemuan meskipun masih tetap ada kegiatan bersafari. Sedikit me-review pada bulan Februari lalu Majlis gugurgunung melebur menjadi satu dengan maiyah Gambang Syafaat, Semarang, yang juga dihadiri oleh bapak maiyah Muhammad ‘Ainun Nadjib. Sedangkan pada bulan Maret, Majlis Gugurgunung bersafari ke maiyah Sendhon Waton, Rembang yang baru pertama kali mengadakan Maiyahan dimana Mas Agus Wibowo diundang untuk menjadi pembicara disana.

Pembacaan doa dan Wasilah Oleh Mas Amri untuk mengawali Majlis Gugurgunung malam ini

Pembacaan doa dan Wasilah Oleh Mas Amri untuk mengawali Majlis Gugurgunung malam ini

Seperti biasa bertempat di taman bermain Qomaru Fuadi, Balongsari, Ungaran, Kab. Semarang. Acara dimulai pada pukul 20.30 WIB dengan dibuka terlebih dahulu oleh Mas Norman dilanjutkan dengan doa wasilah dari Mas Amri dan disambung Munajat Maiyah dari Mas Jion. Usai munajat, lampu dimatikan dan Mas Jion membaca geguritan yang berjudul “kahanan” karya Mas Agus Wibowo. Malam ini ada penampilan spesial juga dari Ki Wangker Bayu, yang menjadi salah satu sub kegiatan di Majlis gugurgunung. Dengan membawakan lakon “Dewa Ruci”, tiga dalang ini yakni Dian, Chafid dan Dhika menyajikan penampilan semaksimal mungkin dengan persiapan yang cukup maksimal pula. Pagelaran berjalan lancar dan disaksikan dengan penuh apresiasi oleh keluarga gugurgunung.

Pagelaran Wayang Ki Wangker Bayu dengan lakon "Dewa Ruci"

Pagelaran Wayang Ki Wangker Bayu dengan lakon “Dewa Ruci”

Sajian pagelaran wayang ini juga memiliki dukungan yang besar dari sedulur-sedulur yang lainnya dengan aneka bantuan yang bisa dikontribusikan. Ada yang membantu transportasi, ada yang mengatur lampu dan audio, hingga ‘petugas’ khusus yang membidangi efek-efek pada Kelir agar menambah visual menjadi makin tampak dramatis. Pukul 22.30 WIB usailah penampilan pagelaran wayang padhatan dari Ki Wangker Bayu, ditutup dengan tepuk-tangan serta apresiasi positif dari sedulur-sedulur yang hadir menyaksikan.

 

 

 

Orientasi hidup dan manfaat

Kemudian acara dilanjutkan oleh prolog yang diungkapkan oleh Mas Norman, yang sedikit bercerita tentang pengalamannya belum berhasil menanam cabe/Lombok hingga dua kali karena mengejar hasilnya / buah tanpa menikmati prosesnya hingga akhirnya berhasil pada percobaan ketiga kalinya dengan menanamnya mulai dari biji. Yang disambungkan dengan 3 hal yang tercantum pada mukadimmah yakni kesadaran tentang asal kita, siapa diri kita serta tujuan kita. dimana kita baiknya mengerti tentang positioning serta proses yang kita jalani.

Mas Agus juga memberikan prolog tentang tema malam ini

Mas Agus juga memberikan prolog tentang tema malam ini

Kemudian Mas Agus juga memberikan prolog tentang tema malam ini, dimana perlu digaris bawahi dimana dalam majlis ini kita semua sama-sama ingin mencari tahu tentang bagaimana kehidupan sejati, dengan demikian sehingga, bahwa tidak ada satupun yang hadir disini mengetahui betul tentang kehidupan sejati tersebut. Oleh sebab itu pijakan yang kita pakai adalah dengan mencoba menggapai dan meruntut apa yang menjadi satu kehendak antara kita sebagai makhluk dan Allah SWT sebagai Sang Khalik. Hingga kita mengetahui apakah kita sedang menegakkan akhlak yang dikehendaki dan sesuai dengan konsep dari khaliq atau kita sedang menjalankan akhlak yang berkesesuaian dengan selera makhluk. Oleh karena itu diharapkan antara satu dengan yang lain diharapkan saling memberi kontribusi agar masing-masing dari diri kita selesai dari perkumpulan ini mendapatkan sangu / berkat pengetahuan dan pemahaman yang bisa membuat pandangan dan cara hidup kita didalam melangkah serta memproyeksi asal dan tujuan kita menjadi lebih terarah dan terukur.

Satu pendapat yang diberikan Mas Agus tentang hidup yang sejati. Dimana terdapat dua kutub yakni kutub hidup dan kutub mati, dimana kebanyakan orang lebih membahagiai hidup daripada mati. Lebih senang mendapatkan kehidupan daripada kematian. Karena hidup lebih memberikan nuansa serta pengalaman sedangkan kematian seakan-akan memberikan nuansa bahwa kita tidak bisa melakukan apapun lagi. Rekomendasi yang bisa kita coba gapai ialah dengan mencoba menyeimbangkan kadar antara hidup dan mati tersebut. Apabila kita berbahagia terhadap karunia kehidupan, apakah kita juga memiliki kebahagiaan serupa tentang kematian. Jika demikian, maka kita haruslah menganalisis apa saja yang harus kita “mati”kan di dalam hidup dan apa yang harus kita “hidup”kan di dalam hidup itu sendiri. Karena arti dari mati sendiri pun tidak harus selalu dikaitkan dengan dicabutnya nyawa oleh malaikat Izrail, tetapi bisa jadi berupa “mati”nya kebiasaan merugikan diri yang berimbas kepada oranglain akibat dari kehendak serta selera pribadi yang senantiasa hidup membumbung.

Tandur, Jati, Wijaya

Di dalam tema terdapat beberapa matriks yakni Tandur, Kusuma, Jati dan Wijaya. Paparan tentang tandur sering diajarkan didalam Maiyah, dan tandur di dalam pertanian hanyalah salah satu simbol tentang tandur. Karena tandur itu memiliki prinsip bahwa dari benih, tumbuh mencari cahaya hingga berbuah dan memberikan manfaat bagi kehidupan. Kemudian Jati, atau sejati, atau sayekti berarti sungguh-sungguh atau istiqomah dan memiliki ketetapan hati. Sehingga jati ini konfirmasinya bukanlah kepada sebanyak apa yang bisa diberikan dalam hidup, tetapi bagaimana kualitas yang kita persembahkan meskipun harus ditempuh dalam waktu yang panjang. Karena jika dibandingkan antara pohon jati dengan sayur sawi atau bayam pasti akan memberikan kontribusi yang berbeda. Jati memerlukan puluhan tahun sedangkan waktu tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan sekian banyak sawi, bayam dll. Tetapi mereka bekerja didalam wilayah yang berbeda, sayur digunakan untuk mensupport secara cepat dan singkat, tidak demikian pada kayu jati. Namun dari pohon jati bukanlah kayunya saja yang dapat kita konsumsi, tapi ialah pengalaman tentang kayu jati yang memproses hidupnya. Jika terlalu banyak ilusi tentang anggapan bahwa disekitar kita menuntut untuk kita harus segera memberikan kontribusi terhadap kehidupan maka dapat membuat kita menjadi berbelok hingga beranggapan lebih baik menjadi bayam, sawi yang lebih cepat dilihat, dirasakan dan menyaksikan banyaknya orang yang berterima kasih pada diri.

Namun ‘mengkonsumsi’ kayu jati mengkonsumsi bukan dengan memakan kayunya namun pada cara hidupnya, wataknya, hal tersebut maka manusia tidak akan menjumpai hal yang lebih baku atau langgeng. Yakni kekuatan, kesabaran, keuletan, keteguhan hati serta cara menegakkan hidup. Bukan maksud meremehkan sayur-mayur, tapi sebaiknya tidak memusatkan makna konsumsi didalam hidup harus fenomena kuliner, seputaran mulut, dan citarasa lidah. Karena dari perilaku jati, kita mendapat hidangan berupa ilmu. Pun demikian dengan mata, telinga, kulit, hidung dll juga ikut mengkonsumsi.

Sedikit kisah tentang babi. Untuk apa babi diciptakan? jika haram dimakan, sehingga mulut dan perut tidak bisa mengkonsumsi. Hidung, mata, telinga pun juga sulit mengkonsumsi babi. Baunya nggak sedap, bentuknya kurang estetis, suaranya parau. Namun ada hal yang bisa kita konsumsi dari babi dalam ranah akal dan pemikiran. Kita akan mendapat pengetahuan betapa perilaku babi itu sangat jorok dan cenderung menjijikkan, dimana dia memiliki tingkat kerakusan yang sangat luar biasa. Dari cerita beberapa pemburu, bahwa jika babi lapar dan tidak ada makanan, maka dia akan memuntahkan isi perutnya untuk dimakan lagi, dan jika menemukan makanan maka akan dikencingi dulu baru kemudian dimakan hingga benar-benar jorok dan rakus. Dimana babi hanya memikirkan makanan, perut dan kenyang saja. Jika demikian bagaimana jika ketika ada manusia yang sudah mengetahui diciptakannya ayam, sapi kambing dll namun masih ingin memakan babi, apakah tidak berbeda dengan babi? Kita dilarang untuk memakan agar supaya kita tidak memiliki perilaku seperti babi. Haram, dari kata haruma atau cegah. Dimana haramnya babi maka kita dicegah supaya tidak mereplikasi dan menduplikasi sifat-sifat dari babi.

Allah sendiri pun telah mengatakan bahwa apa-apa yang baik dan benar adalah dari Allah dan yang salah adalah dari manusia. Oleh karena itu jika nantinya kita menjadi lebih baik dan lebih benar serta lebih indah. Insya Allah kita sudah menyerap kadar Tuhan dalam diri kita dengan presentase yang lebih baik daripada kadar kemanusiaan kita. Wijaya berarti kemenangan, dimana dalam lakon Dewa Ruci, Brotoseno merasakan icip-icip tentang kemenangan hati (qolbu). Qolbu merupakan singgasana Allah. Jika kita memenangkan hati, maka bukan diri kita yang kita menangkan, namun adalah pertemuan antara akhlak (makhluk) dengan Khaliq, Allah yang Wijaya yang memiliki Kemenangan. Dengan demikian maka kita akan merepetisi ingatan kita, bahwa kita saat ini, serta asal-usul dan tujuan kita tidak bergeser, kita tetap berada dalam wilayah yang sejati dengan menetapkan hati bahwa kita harus senantiasa menggugurkan diri. Yang bukan memiliki arti kalah tapi adalah ngalah (ngAllah). Menggugurkan diri dalam rangka menuju kedewasaan, matang, teguh, tegen. Karena yang memiliki kesejatian untuk hidup adalah Allah sendiri.

Bebungah Wijaya Kusuma – Memelihara Ketakutan dan harapan

Berikutnya Mas Kasno mengungkapkan bahwa tentang tema malam ini teringat akan sebuah tulisan dari kaos yang pernah dipakainya. Sebuah tulisan dari Bapak Maiyah, yakni “jangan menunggu tua untuk mengerti kesejatian, dan jangan menunggu hancur untuk mengerti yang mana asli dan yang murni”. Dari pijakan ini tersambung dengan kisah sedulur-sedulur gugurgunung yang akhir-akhir ini sedang bebarengan menanam kembang Wijaya Kusuma pemberian Mas Yudi Rohmad. Berbagai jenis bunga Wijaya Kusuma yang dikirim oleh Mas Yud maupun diambil langsung di kediaman Mas Yud, dibahagiai oleh sedulur-sedulur gugurgunung dengan menanamnya di rumah masing-masing. Dalam pada itu, terdapat banyak fenomena, salah satunya yang dialami sendiri oleh Mas Kasno ialah belum lama ditanam sudah mengeluarkan kuncup bunga. Namun seiring waktu, ternyata bunganya rontok hingga Mas Kasno pun mencurigai lingkungannya yang menjadi penyebab. Entah itu ayam, kucing maupun anak-anak di sekitar yang sedang bermain. Seketika Mas Kasno bercerita dengan Mas Yud, hingga mendapat jawaban yang cukup memberi pelajaran bagi sedulur-sedulur yang lain juga. Yakni, jangan berharap bunga ketika kamu belum tahu dibawah tanaman itu sudah berakar atau belum, akar(oyot/ayat)nya dulu diperhatikan.

Lanjut Mas Kasno, ada asal dan tujuan, jika menyadari kedua hal tersebut maka setiap lelaku kita adalah sesuatu yang diperjalankan. Pernah Mas Kasno bertanya tentang tauhid kepada seseorang, dan dijawab tauhid adalah yang diamnya murni dan geraknya murni. Dan jika dikaitkan dengan pagelaran wayang Dewa Ruci tadi, bahwa sang Bima itu nampak kasar, dan tampak tidak memiliki tutur kata yang baik bahkan kepada gurunya (Resi Durna) yang mana sebagian dari kita tentu tidak berani melakukannya. Namun, prilaku Bima disini merupakan sebuah kemurnian. Bahkan ketika diberi titah oleh sang guru memasuki hutan yang berbahaya serta memasuki samudera pun, Bima tetap yakin dan berani, namun keberanian disini juga memiliki arti bahwa Bima tidak berani menolak perintah sang guru. Disini ditangkap oleh Mas Kasno bahwa Bima sedang menjalankan konsep keseimbangan hidup, bahwa Bima memelihara rasa takut kepada apa yang dia yakini dan memelihara harapan mendapatkan ridho pada apa yang dia yakini tersebut. Demikian Mas Kasno mengurai bacaannya.

Secara menggembirakan, bahwa bunga Wijaya Kusuma yang hanya mekar dalam semalam ikut hadir dan menjadikan majlis gugurgunung malam ini terasa indah

Secara menggembirakan, bahwa bunga Wijaya Kusuma yang hanya mekar dalam semalam ikut hadir dan menjadikan majlis gugurgunung malam ini terasa indah

Secara menggembirakan, bahwa bunga Wijaya Kusuma yang hanya mekar dalam semalam ikut hadir dan menjadikan majlis gugurgunung malam ini terasa indah. Yakni bunga Wijaya Kusuma yang ditanam Mas Agus hadiah dari Mas Yudi Rohmad yang malam itu mekar 3 kuntum turut bermajlis di gugurgunung.

***

Berikutnya beberapa sedulur yang baru pertama kali merapat diminta melakukan perkenalan untuk lebih mempererat tali paseduluran. Ada beberapa yang berasal dari Untag (Teater Pitoelas) Semarang yang datang karena ingin melihat pementasan wayang dari Ki Wangker Bayu (Mas Chafid merupakan alumni Universitas Tujuh Belas Agustus dan senior Teater Pitoelas), ada pula beberapa yang datang dari wadyo-bolo Bangetayu dlsb. Selain perkenalan, juga diperkenankan untuk menanggapi tema diskusi maupun menanggapi pagelaran wayang padhatan Ki Wangker Bayu. Ada dari Mas Juni yang memikirkan tentang seperti apa kesejatian hidup itu. Sedangkan keseharian itu hanya melakukan tugas-tugas yang sudah biasa dikerjakan setiap harinya, hingga menganggap kesejatian itu hanyalah di angan saja. Namun dengan beberapa pernyataan Mas Agus tadi, dianggap bahwa dapat mengerti kesejatian hidup dengan mengenali diri sendiri. Batasan untuk mengerti tentang kesejatian pun seperti sebuah proses. Dengan proses maka dengan sendirinya tujuan itu akan hilang/tidak ada. Sebisa mungkin hingga tua nanti pun kita tidak bisa menggapai tujuan agar proses ini tetap berjalan. Dan ditanggapi oleh Mas Agus jika tidak ada tujuan/akan hilang maka baiknya kita menetapkan tujuan yang pasti dan tidak sementara. Berarti dari sebuah sudut pandang, maka ketidak adanya tujuan tadi diletakkan pada dunia.

Berikutnya ada Mas Ari dari pekalongan, yang bisa ditangkap dari tema ini. Layaknya pepohonan, manusia, hewan yang dapat saling belajar satu sama lain dimana masing-masing saling berproses. Hingga muncul pertanyaan, sebenarnya apakah jati diri itu?

Kemudian ada Mas Herjuno, mempertanyakan tentang kesejatian pasti ada pedomannya. Di dalam Islam ada pedoman yakni Al-qur’an. Namun ketika kita tidak memahami bahasa Arab dengan baik, tidak memahami maknanya, apakah akan mengurangi esensi dari pedoman tersebut.

Berikutnya juga ada Mas Saefudin Ahmad, yang mengapresiasi pementasan wayang padhatan Ki Wangker Bayu, dengan tim yang kompak dan peralatan seadanya namun menampilkan pementasan yang cukup menghibur. Serta Mas Tegar, yang mempertanyakan tentang  apakah tujuan itu titik akhir atau awal. Lalu jika diimplementasi pada kehidupan, yang hidup lalu mati, lalu surga dan neraka. Namun apakah itu merupakan tujuan akhirnya? Pertanyaan ini kemudian direspon satu persatu.

Jati diri

Merespon pertanyaan dari Mas Ari tentang Jati Diri. Tentang Apakah kesejatian itu? Mas Agus menyampaikan pendapatnya bahwa kategori ada 3 jati diri yang dimiliki manusia, yang pertama adalah jati diri jasad atau wadag yang umurnya singkat. Jasad ini mempermudah penegasan keberadaan diri kita secara jasad. Jatidiri berikutnya adalah jatidiri jiwa, dimana tubuhnya bukan dalam bentuk jasad namun dalam bentuk pemikiran dan mental. Jatidiri yang memberikan usia lebih panjang meskipun daripada wadag meski jasad sudah tiada. Jiwa ini tidak dalam ranah individu tapi dalam kelompok atau beberapa individu. Misalkan Wangker Bayu, yang terjadi bukan penyatuan raga tapi penyatuan jiwa. Raga tetap terpisah tapi jiwanya sudah menjadi satu. Karakter jiwa dapat menggandeng ranah yang lebih jauh. Misalkan ada orang yang sangat Soekarno padahal belum pernah bertemu langsung, atau orang sangat Mahatma Gandhi padahal belum pernah bertemu langsung dll. Oleh karena itu jika kita berhenti pada parameter jasad itu hanya sementara namun dalam jiwa maka akan lebih jauh jangkauannya. Umur jati diri Jiwa ini lebih panjang dan tidak terkurung ruangan maupun masa. Jiwa ini mempermudah posisi prilaku dan jenis pengabdian yang bisa kita langsungkan dalam kehidupan. Kita yang sejiwa terus akan mempersambungkan diri sebagai seakan-akan satu tubuh dalam hal pengabdian dan kekhalifahan. Jati diri berikutnya adalah Jati diri yang lebih langgeng, ialah jatidiri Ruh atau Suksma. Pada penyatuah Ruh maka dua hal jatidiri yang lain itu luruh. Tidak ada hidup sejati, baik jiwa maupun jasad/wadag. Tidak ada mati sejati kecuali dimatikan dan dihidupkan oleh Yang Maha Memiliki Kehidupan Sejati. Baiknya ketika kita mengenali letak dimana jati diri kita. Jika masih dalam jasad maka baiknya kita mempelajari untuk meng-upgrade menjadi jati diri jiwa. Hingga akhirnya menjadi jatidiri ruh untuk bermakmum bersama dalam irama kerja semesta raya yang telah menghamba kepadaNya dengan lebih baik, bermakmum ini sebagai kata lain dari kemanunggalan.

Bahasa Qur’an

Merespon pertanyaan Mas Herjuno yang menanyakan bahwa untuk memperoleh kesejatian pasti ada pedomannya dan pedoman ummat Islam adalah Al Qur’an, sedangkan tidak semua memiliki kemampuan bahasa Arab.

Al Qur’ran yang disampaikan dengan bahasa Arab adalah bacaan yang bentuknya qauliyah. Qauliyah merupakan yang ditulis atau yang disampaikan melalui tulisan. Ada bacaan yang lain yakni qauniyah. Qauniyah misalkan seperti batu tidak punya mulut untuk berbicara. Namun bahasa yang dibawa oleh batu adalah keras, sehingga kita tahu ketika dibenturkan ke kepala kita maka akan sakit. Begitu juga dengan air, api dll yang memiliki bahasanya masing-masing. Bahasa dan tulisan dapat membantu kita menterjemahkan sesuatu, namun kita jangan lupa bahwa suara dan bahasa yang muncul juga dapat memberikan pemahaman yang lain. Hal ini dimiliki oleh Al Qur’ran. Al Qur’ran memiliki unsur yang ketika diperdengarkan maka dapat berpengaruh. Dalam suatu sosial eksperimental pernah diperdengarkan audio Al Qur’ran di lingkungan mayoritas nonmuslim berarti ada dua kemungkinan yakni disitu tidak paham bahasanya apalgi artinya dan kedua tidak tahu kalau itu Al Qur’ran. Namun hasilnya hampir seluruhnya takjub ketika diperdengarkan audio Al Qur’ran tersebut. Bahkan pernah ada cerita tentang seorang gelandangan yang diperdengarkan surat Yaasiin langsung menangis. Dia menganggap itu adalah suara terbaik yang pernah didengarnya selama ini. Ini merupakan sebuah eksperimen yang dibuat namun tidak dibuat-buat. Tidak boleh ketika kita linier berpikir bahwa ketika kita tidak paham kata-katanya sama dengan kita tidak paham maknanya. Jika ada pemahaman makna, itupun kita tidak dituntut untuk menyampaikan apa maknanya. Seperti halnya rasa asin yang kita cecap, tidak akan bisa kita mendeskripsikannya kepada orang lain. Bahkan Allah sendiri pernah mengatakan bahwa siapa saja yang memusuhi malaikat Jibril maka dia adalah musuhKu. Karena Jibril sudah menanam Al Kitab (Al Qur’ran) dalam dada manusia. Sejak manusia diutus oleh Allah maka di dalam dadanya telah terinstall Al Qur’ran. Yang berarti kita sudah punya file Al Qur’ran dalam diri kita. Ibarat software, file itu yang perlu diekstrak dengan menggunakan syahadat. Lalu perjuangan untuk menemukan kesaksian-kesaksian dan terus menerus. Oleh karena itu Islam sesungguhnya adalah kata kerja bukan kata benda. Kita dituntut untuk berlomba dalam kebaikan. Fastabiqul khoirot. Apakah ada orang yang memunculkan kasih sayang, tentu tidak tapi dia memancarkan kasih sayangnya Gusti Allah. Bebas kita membaca batu, air atau angin asalkan hal tersebut mampu membuat kita menjadi lebih mengerti tentang kesejatian hidup atau lebih mengenali diri sendiri.

Tentang memahami Al-Qur’an akibat dari keterbatasan memahami arti kata di dalamnya, Mas Agus menyarankan agar kita lebih mengakomodir reaksi dari keseluruhan alat penerima / receiver dalam diri dalam menangkap sebuah informasi. Memahami Al-Qur’an dari sisi bahasa berarti pemahaman dalam ruang linguistik, bagaimana dengan ruang lain? Padahal kita bisa tergerak pada sebuah tindakan konstruktif tidak harus terlebih dahulu memahami kata perintahnya melainkan fenomenanya. Contohnya : ketika ada seseorang terjatuh maka kita tak perlu menunggu dia bilang minta tolong, melainkan peristiwanya itu sendiri telah mengatakan kepada diri kita untuk berbuat sesuatu, peristiwa itu memerlukan uluran tangan.

Ada pula Jalur getaran, dengan ini bahkan kita bisa menikmati dan ikut terpengaruh secara psikis oleh lantunan lagu-lagu yang asing bahasanya kita tak paham artinya satu kata-pun. Betapa banyak kita jumpai seseorang melelehkan airmata saat mendengar Sholawat atau lantunan ayat suci Al-Qur’an yang baru pertama ia dengarkan misalnya, ini tidak harus dipersyarati dengan pemahaman arti kata di dalamnya terlebih dahulu. Ini tentang nurani dan reaksi kimiawi dalam tubuh dalam menangkap sebuah getaran. Telinga kita mungkin tidak berkemampuan menterjemahkan namun getaran itu mampu diterjemahkan dengan baik diterjemahkan dan dimengerti oleh sel-sel dan neuron-neuron dalam tubuh manusia. Oleh sebab itu, bacalah apa yang bisa kamu baca, pelajari apa saja yang bisa kamu pelajari, aplikasikan apa yang kamu baca dan kamu pelajari itu karena apapun yang kamu baca dengan atas nama Tuhan yang Menciptakan segala sesuatu, merupakan wujud lain dari membaca Al-Qu’an.

Surga dan Neraka

Berikutnya respon atas pertanyaan Mas Tegar, yang mempertanyakan tentang  apakah tujuan itu titik akhir atau awal. Lalu jika diimplementasi pada kehidupan, yang hidup lalu mati, lalu surga dan neraka. Namun apakah itu merupakan tujuan akhirnya? Apakah surga dan neraka adalah puncak atau mulai lagi dari nol. Jawaban yang diberikan Mas Agus bisa jadi sedikit “ngarang”. Karena untuk mengerti surga dan neraka secara empiris harus melalui proses yang empiris. Walaupun ngarang tapi semoga dituntun agar menjadi lebih presisi. Tujuan puncak adalah Allah karena surga dan neraka masih dalam ranah perjalanan. Hidup di dunia terasa lama padahal dunia itu hanya sekejapan mata. Berarti kehidupan berikutnya jauh lebih panjang dibanding di dunia. Ketika belum sampai pada tujuan, anggaplah bahwa kita belum memenuhi syarat, misalkan kita di neraka. Jangan disangka Allah itu kejam terhadap kita tapi justru karena Allah itu sayang kepada kita. Begitupun juga di surga, itu bukanlah tujuan utama. Seringkali saat kita berbuat baik, menyangka bahwa kita lah yang berbuat baik. Padahal kita tidak bisa menciptakan kebaikan. Semua yang kita lakukan adalah sesuai dengan ridho Allah. Tentu bisa kita mengatakan jantung, syaraf dll adalah sedang bekerja. Sama halnya dengan tanah, langit, bintang dll juga bekerja. Lalu siapa yang mempekerjakan mereka serta kepada siapakah mereka bekerja kalau bukan kepada Allah. Bahwa setiap pekerjaan kita membutuhkan daya dan upaya. La haula wala quwwata illa billahil aliyyiladzim. Maka, sedangkan Allah saja Maha Bekerja kok hambaNya justru bersantai menikmati kesenangan nafsi tanpa unsur pengabdian. Pertanyakan lagi tentang mengabdi, kita yang hamba tentunya berkewajiban menggabungkan pada hajat kerja Tuhan yang Maha mengkreasi segala hal.

Pembacaan sholawat Tarhim oleh Mas Tyo

Pembacaan sholawat Tarhim oleh Mas Tyo

Tidak terasa waktu menunjukkan kisaran jam 12 malam. Sama seperti tradisi yang sudah berjalan di majlis Gugurgunung. Salah seorang sedulur menembangkan “lingsir wengi”. Sebagai pertanda pergantian waktu di malam hari, serta mengharapkan cahaya semburat matahari / bangbang wetan sebagai penerang hari esok.

Waktu terus berjalan hingga pukul 01.30 WIB pagi. Akhirnya acara pada malam hari ini ditutup dengan pembacaan sholawat Tarhim oleh Mas Tyo dan dilanjut berdiri bersama untuk melantunkan tembang mantra Shohibul Baiti bersama-sama. Begitu khidmat serta kekhusyukan sangat terasa pada malam hari ini. Rasa senang dan rindu bercampur menjadi satu karena pada pertemuan berikutnya majlisan akan berpindah dari Gedung Taman Bermain Qomaru Fuadi dan menuju ke tempat yang baru nanti. Hingga pada akhirnya beberapa berpamitan pulang dan beberapa ada yang singgah dahulu di kediaman Mas Agus.

Andhika Hendryawan

Facebooktwittertumblr
Posted in reportase.