Membaca Kemesraan, Kemesraan Membaca

Majlis maiyah gugurgunung Ungaran mengadakan rutinitas maiyahan pada Sabtu malam pada Minggu terakhir setiap bulannya. Pada bulan Agustus ini jatuh pada tanggal 26 Agustus 2017, bertempat di Art Cafe, Pringapus, Ungaran Kabupaten Semarang. Spesial pada malam hari ini ialah kedatangan sedulur-sedulur dari Jepara, Tuban dan Pak Budi Maryono seorang penulis tersohor yang berdomisili di Semarang. Sekitar pukul 21.00 WIB kegiatan dimulai dengan dibuka oleh Mas Dian  sebagai moderator, dilanjutkan dengan doa wasilah dan munajat maiyah oleh Mas Tyo.

Kemudian pembacaan mukadimmah dilakukan oleh tim redaksi. Dimana tema ini bertujuan agar kita yang hadir untuk melingkar disini dapat saling berbagi kisah, cerita atau pengalaman untuk dapat dibaca dengan mesra sehingga teruntai menjadi sebuah lelaku yang lebih aji serta meningkatkan rasa cinta kita terhadap sesama, terhadap junjungan kita Rasullulah Salallahu ’alaihi Wassalam terlebih kepada sang maha cinta yakni Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Mas Dian menambah prolog dengan cerita tentang kasih sayang serta cinta Allah kepada kita harus kita syukuri. Misalkan ketika kita melihat pengemis dijalan, sebenarnya tidak perlu kita merasa kasihan. Jangankan kepada kita yang manusia, kepada cacing didalam tanah maupun hewan-hewan kecil dan dianggap remeh pun dijamin kehidupannya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Mas Agus juga memberikan beberapa kalimat preambule untuk memberikan umpan kepada jamaah yang hadir agar diskusi malam ini berjalan lebih mesra. Tema membaca kemesraan ditambah dengan kemesraan membaca. Apa saja yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah bacaan. Salah satunya kejadian yang menerpa sedulur-sedulur Jepara di karangrandu dimana disana terjadi pencemaran sungai di desanya yang dicurigai berasal dari limbah salah satu pabrik disana. Setiap perkembangan yang terjadi di Karangrandu, dimana setiap warga masyarakat disana sangat menghormati dan menjaga sungai yang telah tercederai oleh kepentingan-kepentingan kapital. Meskipun soal pencemaran ini terus bergulir dengan versi laboratorium dari hasil limbah di pabrik disebut tidak menyalahi aturan dan justru dikatakan pencemaran ini berasal dari industri tahu dan tempe serta pertanian yang menggunakan pestisida.

Setiap usaha yang dilakukan dapat dikatakan sebagai sebuah perjuangan. Bentuk perjuangan lainnya yang dapat disarankan oleh Mas Agus ialah dengan menyusun sebuah grafik yang berisikan peng-andai-an. Misalkan, andaikata air-air sumur di Karangrandu menjadi tercemar maka …, juga andaikata pencemaran terus berlanjut apakah persatuan warga masyarakat semakin menguat ataukah tidak dst. Setiap hal peng-andai-an tersebut diamati dan dibuat daftar untuk menjadi bahan perimbangan dan langkah antisipasi ke depannya. Jangan sampai masyarakat disana terombang-ambing oleh kebijakan-kebijakan. Bahkan juga mesti dipersiapkan upaya-upaya untuk menjawab persoalan peng-andaian tersebut yang telah disusun.

Peristiwa tersebut menjadi salah satu bacaan yang telah dihamparkan sebagai bekal untuk kita melangkah ke depan. Apalagi ini merupakan bulan Dzulhijah yang merupakan bulan terakhir dalam setiap tahun untuk memasuki pergantian tahun atau pada bulan muharram. Pada bulan Dzulhijah atau sering disebut bulan haji ini baiklah kita untuk mengamati setiap langkah dengan sebaik-baiknya layaknya orang yang sedang bertawaf. Dimana setiap langkah orang yang sedang ber-tawwaf adalah langkah-langkah yang diperjalankan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sehingga bukan menjadi langkah-langkah selera kita sendiri saja.

Pada pukul setengah 11 malam, sedulur-sedulur terbangan Al-Fatimiah dari Karangrandu Jepara menepati janjinya pada bulan lalu untuk bershodaqoh di majlisan ini. Sebuah lagu yang diusung oleh sedulur-sedulur Al-Fatimiah ini mengalirkan semangat baru untuk berdiskusi. Gemericik air dari sungai di sekitar pun turut membantu menyegarkan suasana malam yang bersuhu dingin namun terasa hangat oleh jalinan persaudaraan yang kuat.

Selepas itu dihiasi pula indahnya malam ini dengan pembacaan cerpen dari Om Budi Maryono. Cerpen yang berjudul “Lambang” dengan menggunakan tokoh-tokoh hewan di dalamnya yakni tikus-tikus. Cerita yang sederhana namun sarat akan makna. Intonasi, artikulasi , sastra serta penjiwaan yang kuat semakin menjaga mata dan telinga jamaah untuk tidak melepaskan perhatian dari sosok sang penulis novel “Bapak Nakal” tersebut.

Usai pembacaaan cerpen dari Om Budi Maryono, langsung direspon oleh beberapa jamaah yang tertarik dengan sosok tikus yang sedang berdiskusi karena ingin protes tentang penggunaan lambang tikus sebagai lambang koruptor. Dalam pada itu tikus-tikus merasa barang yang dirusak atau makanan yang diambil sebagai karunia dari tuhan sehingga bukan milik individu manusia. Sedangkan koruptor mengambil sesuatu yang memang itu adalah milik orang lain. Sehingga tikus-tikus memutuskan untuk menteror para koruptor agar jera. Dirusakkanlah barang-barang para koruptor yang didapatkan dari hasil korupsi.

Respon pertama muncul dari Mas Haris dari Tuban yang merasa tikus-tikus tersebut lebih manusiawi dibandingkan segelintir orang yang melakukan korupsi. Respon kedua dari Mas Agus ialah, apabila kita berbicara tentang segala hal yang diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Kisah tersebut dapat dijadikan bacaan, dimana tikus dibaca sebagai fenomena koruptor. Para tikus dianggap mencuri karena mengambil sesuatu yang kita merasa memilikinya. Tuduhan manusia tetap tertuju kepada tikus-tikus. Namun jika tidak salah dari apa yang pernah dibaca oleh Mas Agus, pada jaman Nabi Nuh Alaihissalam belum ada yang namanya tikus. Dari sekian binatang yang berlindung didalam bahtera Nuh tidak ada yang namanya tikus. Konon, jaman tersebut merupakan jaman yang luar biasa futuristik termasuk dalam bidang teknologi salah satunya adalah ilmu pengetahuan genetika. Misalkan sapi dan kambing yang tidak pernah disembelih namun disuntikkan suatu obat untuk mengembangkan masa otot hingga di waktu tertentu masa otot itu terus berkembang dan mendesak jantung, hewan bergelimpangan dengan sendirinya. Para hewan telah diatur hidupnya dengan mengelola masa otot yang akan berkembang berapa periode, hingga akhirnya mati tanpa harus bersusah payah menyembelihnya. Akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Nabi Nuh AS karena beliau sudah paham bahwa itu bukanlah teknik yang benar. Menyembelih tetap metode yang digunaakan Nabi Nuh AS. Bahkan dijaman tersebut masih berlaku penggabungan manusia dan hewan hanya untuk alat pemuas seksualitas saja. Setenggah manusia setengah kuda, digunakan hanya untuk pemuas nafsu. Ini sudah merupakan tanda-tanda zaman yang uzur, sebab tidak ada kesadaran untuk regenerasi yang ada hanya kesadaran untuk eksploitasi.

Selain kisah tersebut juga ada kisah dimana tikus belum ada di jaman Nabi Nuh AS. Suatu ketika di atas kapal, terjadi penumpukan kotoran yang diproduksi oleh hewan-hewan yang dibawa oleh Nabi Nuh AS. Kemutakhiran ilmu pengetahuan dan teknologi pada jaman itu secara tidak langsung membuat Nabi Nuh AS untuk membuat suatu hewan yang mengambil DNA dari Gajah dan hewan lain untuk diciptakan sebuah hewan baru yakni Celeng. Celeng tersebut langsung memakan semua kotoran di dalam kapal. Namun Iblis mengetahui hal tersebut bahwasanya Nabi berbuat sesuatu tanpa adanya perintah dari Allah SWT meskipun hal tersebut bermanfaat. Hingga Iblis akhirnya membuat hewan baru lagi yang diambil dari kromosom Celeng dan terciptalah Tikus. Selang berapa waktu usai tikus terbentuk, terjadi kejadian pengrusakan barang-barang di dalam kapal. Kemudian Nabi Nuh AS menduga bahwa ada Iblis yang juga menaiki kapal. Pada suatu waktu terjadilah pertemuan antara Nabi Nuh AS dengan iblis. Nabi Nuh AS menanyakan apakah benar Iblislah yang melakukan kerusakan-kerusakan dalam kapal. Dijawab tidak oleh Iblis, dan dijelaskan pula tikus yang dibuatnya dari kromosom DNA Celeng yang telah diciptakan oleh Nabi Nuh AS, hewan yang diciptakan walaupun bermanfaat namun tanpa perintah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Juga dengan adanya kejadian banjir bandang ini menjadikan pengikut Iblis menjadi semakin banyak. Akhirnya Nabi Nuh AS sedih, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan air agar surut, hingga Nabi Nuh AS diperintahkan untuk membuat baitullah pertama kali dengan puing-puing dari kapalnya tersebut.

Berbicara tentang tikus, dalam khasanah Jawa disebutkan bahwa tikus memiliki pamomong yang bernama Dadung Awuk. Dimana setiap orang biasa menemuinya jika terjadi pageblug /bencana besar yang disebabkan oleh tikus. Konon cara yang digunakan ialah berlari mengitari sawah sambil tanpa pakaian. Selain itu fenomena tikus ini dapat dijadikan bahan instrospeksi. Apakah ada kebijakan-kebijakan yang melampaui batas. Hal ini bisa menjadi trigger bahwa tikus hadis sebagai alat refleksi dan introspeksi. Jika tidak dilakukan maka tikus akan semakin kuat hingga kita perlu “melepas semua pakaian kita” atau “menelanjangi diri” untuk dilakukan perbaikan.

Om Budi Maryono selaku pembaca dan pembaca cerpen tentang tikus tersebut jiga memberikan tanggapan. Di depan dikatakan tikus merupakan lambang koruptor, tikus merupakan hewan introspektif. Tikus dibantai secara terus menerus namun tak kunjung hilang. KPK berkali-kali melakukkan tangkap tangan. Namun kenapa yang lain masih tetap melakukan korupsi, bukannya menjadi jera. Mungkinkah korupsi sudah menjadi tugas atau hobi? Atau mungkinkah akan terus terjadi sepanjang bangsa ini tidak mau introspeksi?

Ratusan miliar di dapat dari menipu puluhan ribu orang, dengan sisa hanya sekitar satu juta. Sebagai pengarang cerpen, Om Budi sudah biasa menulis kisah-kisah fiktif. Namun melihat beberapa kejadian-kejadian korupsi yang telah terjadi ialah fakta itu justru lebih “fiktif” daripada cerita fiksi. Misalkan Om Budi mendapat cerita fakta pembunuhan seseorang, maka dibuat fiktifnya ialah seseorang yang membunuh sepuluh atau seratus orang. Namun fakta yang terjadi sekarang ini sungguh diluar kisah fiktif bahwa segelintir orang melakukan penipuan terhadap puluhan ribu orang. Dalam fiksi pun hal tersebut tidak bisa terjadi.

Om Budi merasa tauhid yang  dilakukannya masih belum lurus benar. Terkadang berkelok-kelok kesana kemari. Sebab jika lurus maka fungsi sebagai hamba ialah melayani. Melayani bisa secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal ialah ibadah, secara horizontal ialah saling membantu. Sedikit pengalaman tentang hutang oleh Om Budi, dimana beliau dikunjungi oleh penagih hutang. Om Budi tetap bertanggung jawab menemuinya. Namun segera disuruhnya pulang dan memberinya waktu, sebab Om Budi ingin “minta kepada bosnya” maksudnya ialah berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab hanya satu “bosnya”. Segera Om Budi berdoa kepada Allah Subhannahu wa ta’ala, dengan dalih yakni Om Budi merasa kasihan terhadap penagihnya yang bolak balik terus menerus, lanjut Om Budi dengan senyumnya yang khas dibarengi tawa hangat dari sedulur-sedulur yang menyimak cerita beliau. Apabila besok terkabul maka aku akan bersyukur, jika besok tidak terkabul maka aku lebih bersyukur. Sebab Tuhanku Maha Keren karena tidak mau diatur-atur oleh hambanya. Pembelajaran-pembelajaran didapatkannya setelah itu, sebab Tuhan tidak memberikan pengajaran di dalam kelas layaknya sekolah, pada kejadian dalam setiap kehidupan itulah pembelajarannya. Nabi Muhammmad Salallahu alaihi wassalam pun berkata, siapa saja yang bangun pagi dalam posisi aman, maka dirinya sudah seperti menggenggam dunia. Jadi tidak bisa bayar hutang kenapa harus bingung apalagi gelisah. Om budi hanya menyadari tugas secara horizontal adalah melayani dengan sepenuh hati tanpa adanya transaksional, jadi tidak perlu berharap apapun setelah kita melayani orang lain. Melakukan hal tersebut memang berat setengah mati, namun ketika kita memegang teguh Sami’na wa atho’na maka jika kita diperintah untuk menulis ya menulis saja tidak perlu menghitung-hitung keuntungan penjualan dll.

Meskipun banyak yang mengatakan godaan Iblis sangat halus, namun godaan Sang Pencipta jauh lebih halus. Misalkan, kita dianjurkan bershodaqoh, Nabi mengajarkan agar shodaqoh dengan ikhlas, namun Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjanjikan sepuluh kali lipat. Hal tersebut akan mampu menggoda niat ikhlas kita. Selain itu juga waktu sholat. Bahwa dianjurkan solat tepat waktu. Namun diberi pula rentang waktu untuk tidak tepat waktu. Meskipun hal ini dalam fiqih bukan masalah namun hal tersebut sangat halus garis pembedanya.

Respon berikutnya dari Mas Jion yang juga pernah mengalami musibah tikus dirumahnya pada waktu yang lalu. Dicoba sekian cara tetap tidak berhasil. Hingga pada akhirnya mendapat  sebuah cara yakni justru memberi makanan sisa diluar rumah tepatnya dibawah pohon pepaya, sambil berdoa agar didengar komunikasinya dengan tikus. Atas izin Allah tikus-tikus tersebut pun tidak lagi merangsek ke dalam rumah lagi.

Ada lagi kisah yang sangat menarik dari Pak Hasan yang kebetulan juga bisa hadis malam itu. Ia bercerita tentang pengalamannya mencari kediaman kakeknya sebagai bagian dari pengalaman atas sebuah bacaan nan mesra dalam hidup. Bahwa sejak kecil ia belum pernah bertemu kakeknya, nampaknya ini disengaja oleh Bapaknya yang ingin memberikan pengalaman berharga kepada anaknya. Benarlah, pak Hasan kecil di kemudian hari diajak oleh sang bapak untuk menemui kakeknya. Namun, pada paruh jalan sang bapak mengatakan kepada Hasan kecil :

“Nak, kamu sekarang melanjutkan sendiri perjalanannya, ini sudah dekat dan bapak akan menunggu kisahmu”

Tentu saja Hasan kecil merasa gusar sebab belum pernah bertemu apalagi ke rumah kakeknya. Namun sang Bapak berhasil meyakinkannya. Maka dengan penuh tekad hasan kecil menyusur jalan dan menanyakan alamat kakeknya. Untung tak dapat diraih, selama perjalanan tak ada satupun yang mengenal nama Kakeknya tersebut. Hingga harapan baru muncul ketika hari telah menjelang petang. Ada seseorang yang menanyakan :

“Apa kegemaran Kakekmu, mungkin aku bisa mengenalnya”

“Kegemaran kakek saya adalah senang nembang di depan rumah dan menghabiskan malam dengan tidur di depan rumah” jawab Hasan yang sempat teringat pada kisah bapaknya tentang sang Kakek. Benarlah, ciri tersebut langsung menuntun ingatan si penanya pada seseorang.

Akhirnya diberikannya petunjuk kepada Hasan kecil alamat tinggal seseorang yang kemungkinan adalah kakeknya itu. Hasan kecil masih agak ragu namun tetap mengikuti arahan sang bapak-bapak tersebut.

Pada sebuah rumah dengan pagar bambu, Hasan kecil membuka pintu. Suaranya yang berderit membuat seorang kakek yang tengah berada di depan rumah langsung berujar

“Nah, ini, ini cucuku, benar-benar cucuku, bisa menemukanku padahal belum pernah kesini”

Hasan kecil belum sempat menyampaikan salam dan menanyakan kebenaran alamat yang hendak ia tuju, sang kakek telah menyongsong dan merangkulnya dengan penuh haru. Kisah masih berlanjut dengan penuh hikmah. Seperti kebiasaan sang kakek membawa beras atau jagung ketika berangkat ke Langgar ketika Shubuh. Mengaji beberapa ayat pendek di kandang sapinya, hingga ‘rajah’ lafadz Allah sebagai pagar sawahnya agar tidak dibinasakan hama baik burung, wereng, maupun tikus. Untaian kisah ini memberikan banyak kesan dan hikmah yang masih diingat Pak Hasan hingga umurnya yang sekarang.

Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Nasi, lauk pauk, sayur mayur dan kerupuk sudah menunggu untuk dinikmati. Usai dipersilahkan oleh Mas Agus maka semuanya bersama-sama menikmati suguhan yang tersedia. Sambil berbincang santai, menghisap kretek dan menyruput kopi hitam larut dalam hangatnya paseduluran berlandaskan cinta sesama, kanjeng nabi dan sang pencipta. Ditambah lagi dengan lantunan lingsir wengi dari Mas Chafid menggiring acara pada penutupan.

Sebuah kalimat penutup dari Mas Agus, bahwa kita disini ialah pihak yang membawa diri berangkat dari rumah untuk berproses menjadi lahiran baru, berproses menjadi kilatan baru yang semoga bermanfaat bagi langkah-langkah ke depan. Sebelum penciptaan manusia, sudah terdapat empat unsur yakni air, api , tanah dan angin. Semua berfungsi untuk melayani. Ada yang bisa diukur seperti air dan tanah, ada pula yang tidak seperti angin dan api. Pada diri manusia, empat hal tersebut bergabung dan mengabdikan diri untuk menjalankan fungsi titah kemanusiaan. Akan tetapi setelah kita merasa menjadi raja, maka kita menuntut mereka. Namun kita sedikit enggan untuk melakukan hal yang sama. Jika kita tidak melayani, maka hal tersebut melanggar fitroh, sehingga akan ada selip/ganjalan yang peredarannya tidak lancar. Hal ini dapat kita baca sebagai sebuah fenomena untuk lebih menposisikan diri sebagai hamba Allah Subhanahu wa ta’ala. Bersabar dengan bercermin kepada tanah. Tidak perlu tampak dan diakui seperti angin. Bisa juga kita menjadi mbulat-mbulat dan nggegirisi seperti api, meskipun api tersebut juga bisa memberikan manfaat. Mudah-mudahan setiap apa yang kita lakukan untuk mendekat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Semoga setiap kekurangan akan ditambah, setiap kesalahan akan dibenarkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Usai kalimat penutup Mas Agus meminta Mas Kafi untuk memberikan doa penutup. Kegiatan rutinitas majlis maiyah gugur gunung berakhir sekitar pukul 2 pagi. Beberapa jamaah berpamitan pulang sementara beberapa yang lain masih tinggal untuk lanjut berbincang. Sekian reportase kali ini semoga dapat bermanfaat.

Facebooktwittertumblr
Posted in reportase.