Majlis Gugurgunung mengadakan rutinitas maiyahan pada hari Sabtu, 27 Mei 2017. Tempat yang dahulu di taman bermain Qomaru Fuadi, sekarang berpindah di Art Cafe yang masih berada dalam satu wilayah. Berhiaskan backdrop baru yang bertuliskan Gugurgunung dengan gambar bulan Purnama yang terang bersinar di bagian atasnya. Ditambah juga tikar yang digunakan adalah Tikar Pandan yang disesuaikan dengan tema kali ini.
Kegiatan dimulai pada pukul 20.40 WIB yang dibuka oleh Mas Norman selaku moderator pada malam hari ini. Dilanjutkan dengan do’a wasilah oleh Mas Ari berikut Munajat Maiyah yang dipimpin oleh Mas Jion.
Dilanjutkan dengan prolog oleh Mas Norman yang menganggap Tikar Pandan yang digelar ini merupakan salah satu bentuk sinergi dengan alam. Sedangkan gelaran kesanggupan dapat dikembalikan pada diri kita masing-masing dan semakin mendekatkan pada pola-pola tersebut dengan mentadabburinya.w
Mas Agus melanjutkan bahwa setiap tema yang coba kita urai bukan hanya menjadi pembahasan saja akan tetapi kita menilik setiap peristiwa apa yang ingin kita bahas. Hal ini sering terjadi pada setiap kegiatan diskusi di majlis gugurgunung ini. Mas Agus juga sedikit bercerita tentang pengalamannya mempersiapkan tempat baru untuk berkumpul malam ini. Pada saat menggergaji besi, jarinya terkena potongan besi yang mencuat hingga kulitnya sedikit terkelupas. Dimaknai Mas Agus sebagai pengingat bahwa Mas Agus merasa dirinya yang kurang berperan dalam hal membantu persiapan kegiatan kali ini. Hingga disimpulkan oleh Mas Agus bahwa dirinya masih memiliki berhala kesombongan terhadap jari telunjuk dan akhirnya berusaha pada hari persiapan kegiatan malam ini untuk tidak boleh menunjuk-nunjuk siapapun. Dan dianggap luka di jari ini ‘tebusan’ untuk mengejar ketinggalan terhadap sedulur-sedulur yang lain.
Untuk pembahasan malam ini kita berusaha agar sanggup untuk mengurai segala hal, baik internal maupun eksternal. Segala situasi dapat diibaratkan anyaman pandan yang tidak tersebar, saling terjalin, rumaket antara satu dan yang lain, atau saling ngloso. Dimana dari tarekat kloso ini, kita sebagai hamba hanya bisa untuk lilo dan berharap mendapatkan predikat ikhlas.
Pada malam rutinitas songolasan yang lalu sudah terdapat beberapa poin yakni sistem sosial, imamah dan kerinduan kembali pada induk. Pada usia-usia seperti kita saat ini belum bisa dikatakan sebagai usia tua dan merupakan usia yang produktif. Namun jangan disangka bahwa kita akan terus memerankan usia produktif ini, dimana kemudian hari akan menjadi usang. Yang mana pada mekanisme dunia usang akan menjadi tidak produktif. Namun pada mekanisme sebagai hamba, usang ini masih bisa untuk produktif.
Anggaplah kita yang sedang berkumpul disini merupakan kumpulan kakek-kakek dan nenek-nenek yang akan dikenang oleh anak turun kita nanti. Itupun jika ada peninggalan dari kita untuk dikenang oleh anak turun. Peninggalan yang dimaksud disini adalah sebuah gelaran. Jika dibandingkan hasrat, selera, maka di aku ingin menyaksikan dunia dengan menjadi sistem official langit dan bumi. Yakni sistem peradaban yang berjalan dengan apa yang Allah sejak semula rekomendasikan sebagai sistem baku. Dimana sistem itu tengah menunggu peradaban manusia merasa bisa untuk membuat sistem. Sistem buatan manusia ini berguna juga dan minimal kita tahu bahwa sistem tersebut tidak akan pernah sempurna. Baik itu demokrasi, komunis, liberal dll tidak akan mampu menjawab fitrah kita. Jika hal ini dituntut hadir pada usia kita saat ini maka bisa menjadi suatu kemustahilan.
Kita disini terbatas oleh durasi, jadi jika kita menanam pohon jati maka tidak bisa berharap untuk memanen. Misalpun bisa kita diberi durasi yang panjang anggaplah hingga tiga ratus tahun, agar menikmati panennya, bisa jadi di usia itu kita sudah tidak lagi punya hasrat menebang dan memanen kayu jati ratusan tahun itu. Apalagi jika serentang durasi itu kita juga menyaksikan sahabat, handai taulan, bahkan anak dan cucu telah lebih dulu meninggal. Agaknya sangat sia-sia usia 300 tahun itu jika hanya untuk mendapati pengalaman memanen sendiri kayu jati yang kita tanam. Menanam atau tandur untuk anak turun, maka tidak perlu berangan-angan untuk panen. Karena jika kita menuruti selera kita sendiri, hal tersebut merupakan sebuah kekeliruan. Wajar jika hanya penasaran akan hasilnya. Seperti sebuah teknologi permainan digital dimana kita wajar untuk mengenali, namun tidak perlu terhanyut menjadi bagian dari game itu hingga kita lupa peran sesungguhnya hidup di dunia.
Bayukustik, panggilan sementara untuk sebuah band akustik dari Bangetayu menampilkan performnya pada malam hari ini. Jam menunjukkan pukul 21.40 WIB. Iringan dua buah gitar dari Mas Arif dan Mas Koko serta cajon yang ditabuh oleh Mas Majid mengharmonisasi dengan sebuah lagu berjudul Tikar Pandan Kehidupan karya Mas Arif. Lagu ini menurut Mas Arif memiliki makna dimana kesanggupan adalah sanggup ketika kita mampu sadar dalam diri bahwa kita tidak memiliki kesanggupan.
Usai perform akustik, dilanjutkan dengan Mas Norman yang bercerita tentang petani kol yang harganya sempat mencapai dua ratus rupiah per kilogram namun masih tetap sanggup beristiqomah untuk lanjut menanam kol yang juga dikombinasikan dengan tanaman tumpangsari. Dan direspon oleh Mas Agus bahwa petani tersebut tidak memiliki kemerdekaan. Dimanna seharusnya petani tersebutlah yang berhak untuk menentukan harga. Sehingga disini dibutuhkan revolusi berpikir. Juga didukung dengan ketidaktersediaannya sebuah asosiasi yang integrated untuk bidang tersebut. Petani tersebut dalam forum ini dianggap sebagai sebuah perjuangan yang tidak gampang serta sangat mulia. Namun gelaran kesanggupan yang akan dibahas pada malam hari ini akan lebih luas dari ini. Namun ada sebuah pengalaman dari Mas Agus yang pernah bertemu seseorang. Dimana orang tersebut menemukan sebuah teknik pertanian yang menjadi sangat bermanfaat di wilayahnya. Dan ketika ditanya tentang siapa yang mengajarkannya, dijawab oleh orang tersebut Mbah Mada (Gajah Mada). Yang selanjutnya diberi penjelasan oleh Mas Agus bahwa Gajah Mada bukan hanya sekedar patih yang ahli tata negara, birokrasi serta peperangan saja. Namun Gajah Mada juga merupakan seorang yang sangat ahli dalam bidang pertanian. Hal-hal seperti ini akan sulit diterima oleh masyarakat luas bahkan dianggap aneh, klenik dll, karena sebuah ketidakmungkinan untuk mendapatkan penjelasan dari sosok yang dianggap telah tiada. Dalam ilmu pada tingkat akademik dianggap sesuatu yang tidak jelas sumbernya. Padahal filsafat dari Plato, Aristoteles, dll itu dianggap sebagai sesuatu yang ada atau rupa karena ada wujud yang tertulis dari pemikirannya. Dan hal-hal yang dianggap sebagai sebuah ke-arupa-an dan tidak tertulis atau tidak terakurasi secara jasad akan tidak dipercaya sebagai sebuah sumber ilmu.
Sebuah pertanyaan berikutnya dari Mas Norman ialah, pada mukadimah tercantum development berbasis fitratullah. Sementara fitrah seseorang pasti akan berbeda antara satu dengan lainnya. Namun bagaimana membuatnya menjadi lebih generalisasi. Juga ditambah dengan sebuah pertanyaan dari Mas Jion yang merasa sejak tema gelaran kesanggupan ini digagas, menjadi koreksi diri yang cukup berat. Menggabungkan antara satu kesanggupan dengan kesanggupan yang lain. Seperti pada saat Mas Jion terdiam menatap tanaman Wijaya Kusuma pemberian Mas Yud. Juga memiliki sebuah kesanggupan untuk merawatnya, hingga suatu saat akan menemukan kerelaan untuk sanggup dan pasti akan memetik sebuah kebahagiaan nantinya (berbunga).
Respon pertanyaan di atas sebagai berikut : Sebuah pengembangan itu akan terjadi ketika sudah tumbuh. Untuk tumbuh maka harus menemukan akar yang kuat terlebih dahulu. Fitrah yang baku dari Allah disini adalah sebagai benihnya yang ditanam. Alat yang digunakan untuk memahaminya adalah kita harus tahu diri kita sendiri untuk mengenal Allah. Hingga kita mengetahui apakah diri kita termasuk typikal yang baik atau buruk. Andaikan fitrah kita dikaruniakan sebagai teh, baiknya dijalani sebagai teh. Meskipun yang sedang laris di pasaran adalah semangka. Tidak perlu menjadi teh rasa semangka. Menganyam kesanggupan akan hal tertentu akan menghilangkan kesanggupan yang lain. Seperti pada malam hari ini dimana banyak sedulur yang ingin sanggup untuk hadir lebih awal namun terbentur dengan adanya agenda untuk berbuka puasa dengan keluarga karena ini merupakan hari pertama berpuasa (1 ramadhan). Dan hal ini merupakan hal yang sangat lumrah. Yang juga masih termasuk dalam memenuhi sebuah kesanggupan sebagai bagian dari membangun keindahan keluarga.
Belajar dengan tikar pandan ini salah satunya dengan melihat pola jalinan yang sangat baik antara satu dengan yang lainnya. Ketika memiliki sebuah kesadaran jalinan maka jika ada sebagian kecil yang rusak, misalkan basah terkena air maka tikar pandan tersebut tetap bisa dipakai dan masih bermanfaat. Bagian jalinan yang tidak rusak tadi juga harus menghitung agar tetap adil ketika hanya sebagian kecil saja yang rusak namun jika sudah menjadi sebuah jalinan maka akan tetap menjadi tikar pandan yang bermanfaat.
Mas Wawan juga turut menyumbang pertanyaan tentang maksud dari nggege mangsa pada mukadimah. Nggege mangsa merupakan singkatan dari nggage-nggage mangsa. Dicontohkan jika menanak nasi umumnya satu jam. Namun karena ingin hasilnya lebih cepat maka api nya dibesarkan. Kira-kira hasilnya mateng semua atau malah masih semua, bisa jadi malah banyak nasi yang bahkan belum matang sudah keburu hangus atau gosong. Karena disini sedang diajarkan untuk bersabar dan menikmati rasa lapar yang juga beras tersebut meembutuhkan sekian rentang waktu untuk menjadi nasi yang matang. Umumnya diketahui bahwa lambat itu adalah hal yang buruk sedangkan cepat dianggap sebagai sebuah hal yang baik. Namun kita juga harus mengetahui medan. Tidak bisa kita siram air pada rumah yang kebakaran dengan santai dan pelan-pelan, karena pada posisi tersebut dibutuhkan kecepatan berrtindak.
Penjelasan gambar.
Yang mana kita berawal dari sebuah kesadaran untuk ada. Namun disini kita masih abstrak tidak berbentuk namun memiliki takaran nilai. Lalu diberi anugrah tangan untuk dapat menggenggam dalam rangka pengabdian. Dalam pada itu juga diberi jarinya, ruas jari, tulang, sendi dll semua dalam rangka pengabdian. Selain itu masih ada pula kaki, kepala dll. Namun ketika akan dilahirkan semua tujuan dalam rangka pengabdian tadi dibuat lupa atau terhijab. Dilanjutkan dengan pemberian anugrah hati, akal dan pikiran yang dapat digunakan sebagai sebuah alat untuk mengakurasi kesaksian. Asalkan dalam pencarian ini tegen atau tenanan. Usai dilahirkan, sebelum mencapai puputan ini masih mengingatnya. Hingga dalam perjalanan hidup rambut menjadi putih. Yang mana asal terdahulu juga berwarna putih namun ketika dipendarkan akan menjadi berbagai macam warna. Juga tentang kesehatan dalam menjalani hidup. Sehat ini akan tetap terjadi ketika kita mampu mengelola tubuh seperti maksud dari diciptakannya tubuh oleh Allah. Dan ketika sakit yang terjadi ialah tubuh sedang protes atau komplain karena digunakan sesuai dengan kemauan kita bukan kemauan Allah. Hal ini harus terus kita kelola agar supaya tetap sesuai dengan frame dari Allah. Dimana ini dapat menjadi pintu untuk menemukan fitrah ialah dengan bersyukur.
Korelasi kerinduan kembali kepada induk
Jika kita melihat orang-orang yang sedang merantau. Pasti dalam bawah sadarnya menginginkan untuk pulang dan juga sebenarnya bukanlah harta benda yang dicari. Karena tujuannya hanyalah andum bebungah atau membagikan kabar kebahagiaan untuk keluarga dirumah. Hanya sekedar menjawab sesuatu yang kemudian dia berperan untuk melaksanakan tugas. Bahwa kepergiannya di tanah perantauan hanya mencari sesuatu yang belum ada dirumah atau hanya untuk melengkapinya. Walaupun terkadang ingin rasanya untuk pulang, namun belum bisa pulang karena belum mampu untuk membawakan kabar gembira. Alasan mengapa bukan harta benda yang dicari ialah bahwa asah, asih dan asuh dari Orang Tua tidak akan terganti oleh apapun. Sehingga kembali kepada induk disini dimaknai sebagai sebuah kerinduan untuk kembali pada mekanisem asah, asih dan asuh. Dan yang terjadi pada fenomena peradaban sekarang ialah kehilangan asah, asih dan asuh. Semakin ini tidak hadir sehingga semakin sangat ingin untuk dicari untuk kembali. Kemana peradaban ingin kembali? siapakah kemudian ternyata induk peradaban? Banyak bangsa yang sudah mengetahui ini namun belum berani untuk menyatakan sebagai pernyataan resmi sebab bangsa yang disinyalir sebagai bangsa induk ini agaknya masih menyangka dan meletakknadirinya jauh di bawah keseharusannya.
Diskusi malam ini ditutup oleh Mas Norman selaku moderator pada pukul 01.00 WIB. Namun tetap dilanjutkan berdiskusi ringan, ngopi serta bermain musik. Hingga beberapa sedulur ada yang berpamitan pulang untuk sahur dengan keluarga di rumah meskipun ada beberapa yang tinggal untuk sahur bersama dengan keluarga Gugurgunung.
Andhika Hendriyawan