RAGA – JIWA – SUKMA DALAM DIRI MANUSIA

RAGA – JIWA – SUKMA DALAM DIRI MANUSIA - 02 Juni 2017

RAGA – JIWA – SUKMA DALAM DIRI MANUSIA

3 unsur itu tergabung dalam diri manusia. Masing-masing memerankan karakter paling dominan dari pengaruh salah satu dari ketiga unsur di atas. Jika pengaruh utama ia bangun berdasar dominasi kesadaran jasadiah maka outputnya pun memandang segala hal dalam koridor jasadiah. Jika yang paling dominan adalah Jiwa, maka ia akan akan bersikap dan memandang dengan pertimbangan jiwa. Jika yang paling dominan adalah sukma, maka akan memandang dan menyikapi hidup dalam konsentrasi ruh kesemestaan.

Masing-masing jenis ini akan saling berbeda cara pandang dan jarak pandangnya. Meski sesungguhnya punya satu titik pandang yang sama namun argumen, penyampaian, logika berfikir, dan analisanya berbeda-beda. Yang jasadi mengedepankan bukti-bukti jasadiah yang tampak mata. Sedangkan yang ruhani akan menyampaikan sesuatu dengan mengedepankan logika uluhiah yakni serba mungkin dan berlapis-lapis. Kata-kata dan argumentasinya penuh kembang dan bersayap. Susah dimengerti dan cenderung dituduh sebagai filsuf, sufi, sastrawan, pujangga, dlsb.

Maka yang paling memungkinkan menjadi gandengan (bridging) keduanya adalah jiwa. Jiwa ini telah belajar banyak dari Sukma tentang antipolaritas dan memahami banyak hal pandangan Jasad tentang polaritas-polaritas. Jiwa menjadi perantara yang ideal untuk mempertemukan antara lahir dan bathin. Manusia yang memiliki jiwa akan lebih memungkinkan bersambung dengan lintas bangsa dan bahasa karena jiwa memilih tinggal dalam kesamaan cara pandang atau perspekstif dalam melihat kehidupan. Pada dasarnya apa yang menjadi perspektifnya adalah hasil penterjemahannya dari pandangan-pandangan sukma. Penterjemahan ini disesuaikan dengan bahan-bahan jasadiahnya. Ia tetap menggunakan bahasa, gestur, idiom, konsentrasi utama, kecenderungan yang lokal, namun membawa pemahaman yang universal. Sukma memang memiliki kesatuan yang lebih luas, ia ada di seluruh manusia. Sukma membawa anjuran, nasehat, fatwa yang Tunggal. Ketika jiwa mampu mendengarkan fatwanya ia akan menjadi lebih bijak mengemban amanah jiwanya dan akan lebih bajik dalam memperjalankan jasadnya (kaki, tangan, dan panca inderanya).

Manusia yang berjiwa, akan lebih siap menjadi bagian dari masyarakat universal. Meskipun pada dasarnya semua manusia pasti memiliki Jiwa dan Sukma namun Jiwa dan Sukma sering tertimbun dan tidak populer dalam policy hidupnya sendiri. Ia yang memilih menimbun jiwa kemanusiaan telah lebih membimbing hidup dan cara pandangnya dalam kehidupan dengan pertimbangan ego, atau diri, atau jasadiah. Jika kita mengamati kecenderungan sosial sekarang, inilah yang terjadi. Seseorang menjadi kaku dan tidak tampak sebagai manusia yang luwes dan memiliki kecemerlangan. Sering ia timbun jiwa kemanusiaannya sendiri demi urusan urusan duniawi. Orang lebih senang menonton penderitaan oranglain daripada menolongnya merupakan salah satu indikator jiwa kemanusiaan seseorang rela digadaikan untuk ditukar ‘like’, dan impian menjadi viral di sosmed.

Agus Wibowo

Facebooktwittertumblr
Posted in Kembang Gunung.