Majlisgugurgunung:: Malam Minggu terakhir di bulan ini tanggal 24 september 2016 merupakan malam rutin untuk Majlis maiyah gugurgunung Ungaran berkumpul dalam acara Cangkruk Budidoyo. Bertempat di Taman Bermain Qomaru Fuady, Balongsari, Ungaran.
Tepat pukul 21.00 WIB Mas Dian sebagai moderator membacakan susunan acara. Dimulai dengan menyanyikan tembang Gugurgunung bersama seluruh jama’ah, lalu pembacaan al Fatihah dan wasilah untuk kanjeng Nabi Muhammad SAW, sahabat, aulia, leluhur, Bapak maiyah Muhammad Ainun Nadjib, serta untuk seluruh jama’ah yang dipimpin oleh Mas Tyo, dan dilanjutkan dengan pembacaan munajat maiyah yang dipimpin oleh Mas Jion. Lalu karena ada beberapa jama’ah yang baru pertama kali hadir maka dilakukan perkenalan terlebih dahulu untuk lebih meningkatkan kemesraan paseduluran.
Usai jama’ah membaca buletin bulanan yang telah dibagikan, dimana berisikan reportase bulan lalu dan mukadimmah edisi bulan ini kemudian ditambahkan sedikit oleh Mas Mufid dari maiyah Bahurekso Kendal; “Dari tema yang akan dibahas malam ini, bahwa jangan membolak-balikkan sesuatu yang benar, namun apakah tema ini seakan-akan ngece orang-orang yang telah melampaui batas. Dimana masyarakat kita sekarang ini lebih sering menjunjung Bumi/keduniawian”. Dari Mas Agus memiliki dua sudut pandang tentang tema ini yakni; “pertama, sekarang ini yang umum terjadi di masyarakat telah terbolak-balik. Yang rendah ditinggikan, yang tinggi direndahkan, yang buruk dikatakan baik dan sebaliknya dll. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan budaya kita orang Jawa, dimana budaya Jawa bahwa selalu menjunjung tinggi adat yang berlaku dimanapun tempatnya, entah di Kalimantan, Papua dll. Namun fenomenanya sekarang semangat ikut menjunjung kebudayaan dimana ia bertempat tinggal sudah makin tidak diminati sebagai sebuah pilihan yang bijak. Diri sendiri jauh lebih menarik untuk ditampilkan, meskipun untuk menampilkan citra diri itu sangat paham memerlukan bentuk sosial sebagai penontonnya baik maya maupun tidak maya. Dapat dibuat pertanyaan menjadi : diri seperti apa yang kita sajikan dalam menjalani kehidupan ini?”, Lalu sudut pandang kedua; “terdapat diksi dari kalimat tema tersebut. Dimana ‘pijak’ disini tidak disama-dengankan dengan ‘injak’ namun sebagai pijakan, atau posisi pedoman/titik tolak. Ketika pijakan kita ialah Langit akan mampu meninggikan Bumi, hal ini berkaitan erat dengan akhlak yang berkaitan dengan jiwa manusia yang berlomba-lomba dalam kebaikan. Dimana perlombaan disini tidak ada pihak yang dikalahkan. Karena lawan bukanlah musuh, kata lawan berasal dari kelawan (dengan) yang kemudian diringkas menjadi lan (dan). Bahkan di dalam Jawa sendiri terdapat istilah menang tanpo ngasorake. Karena sadar bahwa menang dan kalah hanyalah ilusi, karena hakikatnya hanya Allah yang menang.
Di mata dunia atau sudut pandang horisontal , mungkin kita bisa dikatakan sebagai pihak yang telah kalah, namun apakah demikian pula jika digunakan sudut pandang vertikal. Di dunia ini terdapat rule of the game, ketika mengetahui bahwa dunia ini hanyalah senda gurau kita seharusnya sadar senda gurau seperti apa yang tengah terjadi di dunia ini. Apakah sendau gurau ketika melihat pertumpahan darah? Apakah sendau gurau ketika melihat bertebarannya fitnah? Apakah senda gurau ketika melihat perusakan dan eksploitasi?
Andaikan terdapat positif dan negatif yang berlaku untuk mengabdi kepada Allah. Fitrohnya yang dilakukan ialah secara positif, tapi bisa pula negatif ketika kita memilih untuk menghentikan kepercayaan pada keimanan. Negatif biasanya menjunjung tinggi dunia yang diyakini. Masyarakat Islam saat ini sudah terlalu lama tertidur bahkan mungkin lebih dari seribu tahun lamanya. Bumi dan Langit ini banyak diarsiteki oleh negatif, sehingga kita menjadi lupa asal-usul dan menjadi susah untuk sesrawungan. Sedikit flashback pada jaman Nabi Ismail as yang kita diberi pilihan untuk menjadi kambing atau orang yang menggembala kambing. Kejadian Nabi Ismail merupakan contoh ujian yang sangat keras namun harus dihadapi dengan ketangguhan Iman hingga pada lapisan paling halus.
Dari kisah Nabi Ismail memiliki tiga proyeksi, pertama ialah ketika dilihat dari masa lalu bahwa ayahnya bukan sekedar bapaknya namun juga merupakan seorang nabi dan rasul yang ia bersyahadat pula kepadanya (proyeksi ke silam). Kedua, ia sedang diuji untuk kelayakan bapaknya sebagai seorang nabi dan rasul (proyeksi pada sekarang). Lalu yang ketiga, ialah tentang kredibilitas seorang rasul untuk masa berikutnya (proyeksi masa depan). Untuk melihat gambaran diri tentang kita, dapat dilihat ketika sedang “berjalan”. Apakah diri kita ini menjadi manusia hanya memang karena kita manusia atau suatu makhluk yang bertubuh manusia namun sedang memposisikan diri menjadi seekor kambing yang digembalakan dan tak memiliki kemampuan menghimpun pilihan merdeka.
Dari tema ini dapat kita gali lebih mendalam tentang ; Langit seperti apakah yang akan kita pijak, dan ; Bumi seperti apakah yang akan kita junjung”.
Berikutnya muncul respon dari Pak Arifin; “bahwa tema ini sepertinya sedikit tidak wajar, namun tergantung dari kacamata pandang kita masing-masing. Langit dan Bumi merupakan sarana untuk kita tafakur, bahwa Langit dan Bumi merupakan pasangan, namun tidak pernah bertemu namun saling melengkapi. Langit boleh diartikan sebagai keluhuran dan Bumi sebagai “kerendahan” dan hal ini saling melengkapi. Dari kisah nabi Ismail as, Malaikat dibikin tercengang oleh keluhuran seorang khalifatullah”.
Kemudian Mas Nug merespon; “bahwa menurutnya tema ini berkaitan erat dengan kekhalifahan, lalu iman dan ilmu”. Lanjut Mas Nug; “bahwa menurutnya sekuat apapun iman tanpa ilmu plonga-plongo, sebaliknya sekuat apapun ilmu tanpa iman muspro atau mungkin lumpuh meskipun tampak gagah”. Bumi ini akan semakin rusak ketika dijadikan pijakan, karena tidak digunakan sebagaimana mestinya”.
Aqidah dan Akhlak
Mas Ari juga merespon tentang tema; “bahwa menurutnya Langit yang dijadikan pijakan ialah akidah, dan Bumi yang dijunjung ialah akhlak yang berhubungan dengan kebijakan dalam berhubungan dengan manusia di sekitar”. Disambung dengan Pak Arifin; “bahwa akidah merupakan keyakinan. Tak lepas juga dari aqoid 50 yang disana membicarakan tentang sifat-sifat Allah dan Rasul dan bisa dipegang untuk menegakkan keimanan. Sangat tidak pantas bagi kita untuk meng”aku”i segala sesuatu, karena harus kita tafakuri apapun bentuk keimanan merupakan dari Allah dan menuju ke Allah. Dari kalimat tahlil dapat dimaknai bahwa segala sesuatu tidak ada, yang ada hanyalah Allah. Diri kita pun menjadi berwujud karena Allah. Oleh karena itu sering kita mengucap lillahi ta’ala karena hal ini mencegah pengakuan untuk diri kita atau mencegah “penuhanan” diri sendiri. Sedangkan akhlak itu melekat pada diri manusia, dan hal ini suatu hal yang sempurna karena fitrohnya baik. Namun hal ini perlu diasah terus untuk lebih menyempurnakan”. Sedikit tambahan taddabur dari Mas Mufid; “bahwa akhlak melekat pada makhluk, sedangkan kholik melekat pada Allah”. Mas Wahid juga merespon; “bahwa ketika kita mampu untuk memijak Langit maka urusan Bumi akan ringan hingga mampu kita genggam, namun yang menjadi masalah ialah pijakan Langit seperti apa yang mampu untuk dijadikan sebagai pijakan”. Statement ini direspon oleh sebuah jawaban dari Pak Arifin: “bahwa ciri pijakan langit adalah mendahulukan keluhuran dan mengutamakan kebaikan. Keluhuran tidak dalam bentuk posisi namun kepada sifat dan kerja, dengan demikian keluhuran sangat sering justru terletak pada fenomena-fenomena yang oleh mata dilihat sebagai kerendahan”.
Berikutnya muncul pertanyaan dari Pak Zam, yang memiliki pemikiran; “bahwa sedari kita bayi ada semacam doktrin yang berdampak untuk membentuk diri kita saat ini, serta akhlak yang terkontaminasi keseharian, lalu jika ingin mengubah, sekiranya manakah yang lebih baik antara mengubah orang atau mengubah sistem?”. Dan direspon oleh Mas Mufid; “bahwa lebih baik mengubah orangnya, karena dari orang baik pasti akan muncul sistem yang baik”.
Biji dan Cahaya
Mas Agus memberikan ilustrasi tentang biji; “Dimana biji itu merupakan simbol cahaya yang untuk tumbuh ia perlu diletakkan pada kedalaman bukan sekedar kerendahan (diblesekno). Biji merupakan hal yang tidak perlu dijunjung untuk mampu tumbuh, dia hanya berposisi sebagaimana dia diciptakan. Ketika datang sapaan atau hudan dari langit maka biji berkesempatan berkecambah dan tumbuh. Dimana ketika tumbuh nalurinya sebagai cahaya akan menuntut pertemuan kepada cahaya. Dimana fenomena yang terjadi pada hujan merupakan siklus yang berkesinambungan saling menganyam antara peran langit dan bumi. Kesinambungan ini harus tetap terjaga supaya melahirkan tumbuhan yang nantinya mencari cahaya lalu mampu berbunga, berbuah dan menghasilkan biji kembali untuk melahirkan tumbuhan baru. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang dianggap sederhana namun dapat kita jadikan sebagai bacaan yang luar biasa”. Dengan demikian, apakah sistem atau manusianya yang perlu dirubah? Kita dalam hal ini tidak dapat merubah apapun tanpa pijakan langit. Sebab yang memiliki kapasitas merubah adalah diri orang tersebut dan Allah yang memberikan petunjuk. Peran kita lebih berusaha mem-wasiati pada wilayah kebaikan dan kesabaran.
Tepat pukul 00.00 WIB, Mas Jion menyanyikan dua tembang yang berjudul “Lingsir wengi” dan “Ojo turu sore kaki”. Kemudian diberikan sedikit wedaran oleh Mas Agus tentang tembang lingsir wengi ini. “Bahwa segala macam kegelapan menyergap kita, hingga diri kita tidak tahu hingga sepekat apa. Namun sadarlah bahwa sepekat apapun kegelapan pasti akan muncul harapan untuk meninggikan cahaya berikutnya. Seperti halnya malam, yang akan berganti oleh pagi”.
Usai ngidung Mas Jion memberikan respon; “bahwa kita belum menjunjung tinggi adat kebudayaan yang ada padahal diri kita ini sudah dikenalkan dengan yang namanya tata krama”.
Mas Agus menambahkan; “bahwa terjadi beberapa penyimpangan pada masyarakat saat ini, karena Bumi dijunjung tapi juga dipijak karena disangka itu adalah Langit juga. Kita ini sesungguhnya merupakan keluarga Langit, karena kita ini bukanlah makhluk sekedar jasad. Kita merupakan makhluk rohani yang tengah diperjalankan untuk memerankan diri sebagai makhluk jasad. Sehingga semua memakai aturan Langit. Dari yang berawal gelap, lalu mencari hingga mendapat cahaya dan sampai pada suatu keindahan. Kembali pada terdapatnya 3 fitnah dunia yang dapat terjadi. Pertama ialah kepandaian atau ilmu yang disangka didapat dari sekolah, kampus, dll. Padahal tidak lepas juga dari peran departemen malaikat Jibril didalamnya dan pasti berasal dari Allah. Kedua, ialah kemudahan, rejeki, kesehatan, dll yang menyangka kita peroleh dari rumah sakit, dokter, kantor padahal tidak terlepas dari departemen Malaikat Mikail yang juga pastinya dari Allah. Ketiga, ialah tentang gairah, semangat, dll disangka didapat dari iming-iming kenaikan gaji, hadiah misalkan, padahal tak terlepas peran serta Malaikat Isrofil dan tentu berasal dari Allah. Ketiga fitnah dunia ini sering kita sangka diperoleh dari dunia, padahal tak terlepas dari peran “Langit” didalamnya. Fitnah ini membuat kita terbelok, karena bisikan tentang godaan fitnah ini sangat halus hingga akhirnya muncul. Dan kita dapat membuat parameter-parameter dari Aqoid 50 itu tadi. Bahwa kita harus mampu untuk mengakomodir diri, mana urusan Bumi yang harus kita khalifahi, lalu mana urusan Langit yang bisa kita jadikan acuan. Ibarat seorang petani, maka kemungkinan ilmunya tentang mencangkul tidak berguna di Langit namun ilmu sebagai abdi yang ia pelajari dari perannya di dunia sebagai petani akan tetap berlaku.
Mencuplik dari ucapan Mbah Nun, bahwa jika kita diibaratkan sedang berenang di lautan najis, maka tidak harus bagi kita untuk berenang terus mencari air bersih, karena itu mustahil. Cukup menepi saja dan Allah yang akan memberikan karunia kebeningan”.
Cangkrukan ini diakhiri dengan doa penutup oleh Pak Arifin tepat pukul 02.00 WIB. Namun lingkaran-lingkaran diskusi kecil masih tinggal di tempat untuk menjalin paseduluran yang lebih erat. Hingga benar-benar pungkas pada saat langit mulai menampilkan cahaya.
Redaksi Majlis Gugurgunung
Dhika Hendryawan