Mukadimah Majlis Gugur Gunung
Edisi 24 September 2016
Dimana Langit dipijak, Disitu Bumi Dijunjung
Sebuah kata mutiara yang dibalik. Dengankondisi model dancarahidup yang sudahbanyakterbalik, tampak kata-kata mutiara akan menjadi kehilangan makna kecuali jika dibalik. Masyarakat kita sebelumnya sangat menjunjung tata karma, dan menghormati kebudayaan oranglain dimana ia bertempat. Masyarakat kita telah mampu mengalahkan atau menggerus atau menggugurkan identitas pribadinya untuk bisa menyatu dengan lingkungan baru yang ia tinggali.
Namun sekarang, fenomenanya justru tidak seperti itu. Ada keinginan yang begitu kuat untuk tampil, tampak di permukaan, kondang dengan cara apapun. Baik dengan prestasi maupun dengan minus prestasi. Bagaimana caranya dimanapun berada untuk menampilkan diri. Semakin controversial semakin baik karena imbasnya sama, terkenal atau menjadi viral. Banyak istilah untuk menjembatani sikap individualistic sepertiitu, seperti : jadilah dirisendiri/be yourself, narsis, selfie, sosialita … Beberapa bagian idiom mengandung anjuran yang positif namun yang pasti, baik itu anjuran positif maupun negative akan memiliki dampak distorsi.
“Menjadidirisendiri” misalnya, di Maiyah sering kita mendapat anjuran untuk menemukan kedaulatan dan otentisitas diri. Slogan “menjadi diri sendiri” ini tanpa melengkapi unsur yang mempertimbangkan kebutuhan orang lain hanya akan menjadi egois, cuek, dan tidak peduli atas sudut pandang orang lain. Sedangkan “menemukan kedaulatan dan otentisitas diri”, jika tidak berhati-hati akan pula menuju fenomena output yang sama. Oleh sebab itu kelengkapan unsure sangat perlu kita gali dan temukan.
Kedaulatan itu memerlukan unsur yang tidak tunggal, harus jamak namun terkoordinasi dalam sebuah sistem yang tunggal. Dan sistem Tunggal yang dijunjung harus system hokum Gusti Pangeran, Allah SWT. Sedangkan “menjadi diri sendiri” atau “jadilah diri sendiri” pilihan kata yang dipakai mengandung unsur agitasi dan dorongan untuk bersikap berani berbeda dengan segala cara bahkan berani memegang teguh kedirian demi mengibarkan identitas diri. Maka anjuran seperti ini membuka peluang distorsi lebih besar sebab tidak setiap orang memiliki waktu mengakomodir dan mengkomposisi unsur-unsur yang ia temukan.
Kedaulatan tidak sama dengan benteng pertahanan dan otentisitas diri tidak sama dengan harus berbeda. Kedaulatan tidak mungkin bisa dibangun dengan satu unsur yang berdaulat namun melibatkan banyak unsur yang berdaulat. Unsur-unsur harus otentik untuk menghasilkan kedaulatan yang baik dan bermartabat. Unsur asin harus asin dan unsur manis harus pahit tidak perlu moderat soal otentisitas rasa bawaan. Dengan demikian, tidak akan seseorang merendahkan oranglain. Tidak mentang dan sewenang-wenang. Tidak menganggap dirinya sebagai elit social dan menganggap yang tidak termasuk dalam kelompoknya sebagai social biasa yang tidak elit. Menemukan kedaulatan diri justru harus punya batasan dan totokromo. Jangan Bumi dilangitkan untuk kau letakkan sebagai junjungan dan jangan langit kaurendahkan sehingga malah kau jadikan pijakan untuk menjunjung Bumi.
Tape &Inspirasilangit
Sesungguhnya manusia sangat cinta dan terinspirasi dengan teramat sangat dengan segala apa yang diciptakan oleh Gusti Allah. Tape disinyalir merupakan bentuk ja’l dari kecintaan dan terinspirasi dari buah-buahan enak dan manis namun dating secara musiman. Maka diupayakan mereplika konsep pembentukan buah itu dengan menggunakan bahan yang lebih tersedia di segala musim. Bahan yang dipilih adalah singkong. Dengan berhasilnya replica fermentasi buah jadilah makanan yang begitu mirip rasa buah yakni tape. Kemudian bagaimana awal mula manusia menemukan ragi sebagai bahan penting pembuatan fermentasi ini? Pasti tidak ada yang tau persis jawabannya. Namun yang pasti ada sebuah metode yang dianjurkan langit kemudian ditangkap bumi untuk diaplikasikan dalam penghayuan kehidupan. Lantas, apakah tetesan, kucuran, siraman, hingga guyuran ajaran yang diturunkan dari langit itu telah berhenti karena diambil alih oleh metode-metode ja’l bikinan manusia?
Pun, jika istilah “Dimana langit dipijak, disitu bumi dijunjung” akan tetap dipakai. Maka, kata ‘pijak’ tidak untuk konotasi ‘injak’ namun kepada makna ‘pijakan’, ‘pedoman’, ‘pancatan’, ‘acuan’, rujukan, ‘uger-uger’. Dan kata ‘junjung’ bukan dalam konotasi mementingkan, memprioritaskan, tetapi ‘membaguskan’, ‘mengindahkan’, ‘menghayukan’. Dimana Langit dijadikan acuan, disitu bumi diindahkan. MemayuHayuningBawana.
Ungaran, 15 September 2016
Redaksi Majlis Gugur Gunung