Kesetiaan Terhadap Nilai

kesetiaan terhadap nilai

kesetiaan terhadap nilai

majlisgugurgunung:: Di sebuah negeri, ketika semua rakyatnya sejahtera, apa yang diimpikan?  Mengembalikan pertikaian atau membagi kepada lebih luas segmen dalam hal kesejahteraan. Masyarakat Kawi memilih yang kedua, yakni memperluas segmen di muka bumi untuk menikmati kesejahteraan, dengan konsekuensi terbelit atau terjebak pada lipatan-lipatan kedunguan dan hipokrisi.

Menahapi langkah memperluas curahan kesejahteraan sama halnya membumikan diri. Bangsa Kawi tengah melepas sandhangan mitologi dan legenda keberadaannya. Dari yang dianggap sebagai bangsa para dewa menjadi bangsa manusia biasa. Dari yang tadinya diletakkan sebagai sakti mandraguna menjadi jelata yang mempersembahkan bakti kehidupannya dengan kesantunan. Dengan ini, sedikit demi sedikit nuansa ketakutan berubah menjadi ketakdziman dari masyarakat belahan bumi lain kepada bangsa Kawi. Namun berikutnya, nuansa ketakdziman itu berubah menjadi pemanfaatan, lantas meningkat menjadi penyepelean, dan berikutnya mengambil alih jantung kekuasaan menjadi kepemilikan. Hal ini berlangsung bertahap dan bermillenium.

Bagsa Kawi sendiri, dengan jangka waktu yang begitu panjang terlampaukan oleh masa antara keberadaannya dengan asal usulnya. Sebagian besar terdistorsi karena adanya penyesuaian kapasitas. Sebagian lain terdistorsi karena adanya keterputusan jalur induk yang semula bisa terjalin secara berkala meskipun jarak lahiriahnya berjauhan.

Bangsa Kawi membangun konsentrasi tetular untuk membangun kesejahteraan bersama dengan beberapa model disesuaikan kondisi topografi, kapasitas masyarakatnya, kecenderungan dan sudut pandang masing-masing. Di wilayah ke Timur, konsentrasi diletakkan pada harmonisasi kepada alam. Cara berburu yang bermartabat, menjaga keseimbangan jagat, kerukunan hidup kepada segala elemen dan entitas, sistem kemasyarakatan ruhani.

Ke wilayah Barat, dikonsentrasikan ke wilayah teknis pragmatis, seperti bercocok-tanam, arsitektural, hingga ke literasi sebagai sarana memperkaya kebutuhan aset kemanusiaannya. Maka di bilahan Barat cenderung dibangun sistem masyarakat jasadi. Oleh sebab itu kemudian berkembang menjadi masyarakat yang mengembangkan diri sebagai sebuah kerajaan dengan mengurusi secara struktural ketahanan pangan, pendidikan, arsitektural, hingga seni dan budaya.

Antara masyarakat ruhani dan masyarakat jasadi mengalami perkembangannya sendiri-sendiri. Yang nampak secara lahir pencapaian dan perkembangannya adalah masyarakat jasadi. Sedangkan perkembangan masyarakat ruhani, secara lahir nampak tak mengalami dinamika, statis dan bahkan dianggap di kemudian hari sebagai masyarakat terbelakang.

Cerita terus berlanjut hingga kemudian masing-masing pihak mulai mengenal dan menyelami kedalaman masing-masing. Perjalanan panjang dan berbiaya sangat besar. Karena ada fenomena asumtif raja dan jelata, penguasa dan budak, tinggi rendah derajat, kuat dan lemah, pandai dan terbekakang. Maka terjadilah pemindasan, invasi, perbudakan, perampasan aset, pemaksaan sudut pandang, dlsb.

Demikian simplifikasi gambaran keadaan purwa. Telah terjadi perubahan, pertumbuhan, perombakan, pergeseran, dan tetap pula ada yang bertahan dengan hinggap ke berbagai kemasan-kemasan jaman.

Dalam dunia purwa hingga dunia purna, apa yang berubah dan apa yang tidak berubah? kenapa berubah dan kenapa tidak berubah? kenapa yang berubah tidak selalu bisa dianggap tidak setia dan yang tidak pula yang berubah pasti sedang setia? apakah dunia itu berisi kesetiaan? atau berisi ketidaksetiaan? Sepertinya kita perlu belajar kepada sejarah Purwa, Nabi kesetiaan; Nabi Satya, Nabi Setha, Nabi Seth, Nabi SiS as.

Lantas apa yang dimaksud dengan nilai itu sendiri? Bagaimana keadaanya? Berbentuk atau tidak? Jika berbentuk seperti apa bentuknya? Jika tidak, kenapa tidak? Dan apakah kesetiaan itu sendiri juga termasuk nilai? Atau laku?”.

Facebooktwittertumblr
Posted in Mukadimah.