Tanggal 24 Desember 2014 adalah seingat kami pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Balongsari. Sebuah tempat bernama Art Café sebagai arena Sinau Bareng yang dipandu oleh Mas Agus Wibowo. Lokasi ini merupakan kafetaria yang menyajikan makanan secara prasmanan sekaligus tempat tinggal keluarga Mas Agus bersama orang tua beliau. Kami berlima (saya, Cak Jufri, Cak Khoirul, Cak Taufiq dan anaknya, Wafir) disambut dengan sumringah oleh Mas Agus yang tampak dari raut wajahnya selalu tersenyum. Wajah Mas Agus yang selalu sumeh, membuat saya merasa nyaman apalagi beliau menyambut kami berlima dengan antusias. Tidak ada rasa capek yang terpancar, semua tamu dilayani dengan sepenuh hati. Tiga kali kami berkunjung dengan nuansa yang sama. Dan yang terakhir bahkan diajak Maiyahan ke Boja sebelum merapat dini hari menuju kediaman baru Mas Agus di Bodean.
Saya sendiri berjumpa fisik beliau pertama kali di Majelis Mocopat Syafa’at tahun 2012, diawali dari komunikasi via Blackberry. Saya dan teman-teman berjalan kaki dari Malioboro menuju Kasihan-Tamantirto dengan diiringi hujan lebat selepas melewati Jalan Bugisan. Kami akhirnya beristirahat dulu sekaligus numpang berteduh di miniatur Masjid Raya Baiturahman Aceh dekat Perempatan Madukismo. Mas Agus di Mocopat Syafaat menyambut kami dengan penuh ceria tanpa ada rasa lelah sama sekali. Pertemuan awal yang begitu mempesona.
Dan orang yang berjasa merekatkan kami dengan Mas Agus adalah Mas Yudi Rohmad yang terkenal dengan karya monumentalnya: Qur’anic Explorer. Seorang pegiat Maiyah dari Bojonegoro yang tinggal di Rembang namun kemudian menetap di Malang menemani pegiat Maiyah Relegi dan sekarang juga sebagai Pegiat di Rumah Maiyah Al-Manhal Malang.
Kembali ke Mas Agus. Satu hal yang menjadi ciri khas beliau adalah tutur katanya yang mendalam, padat, dan penuh dengan renungan. Sebelas dua belas dengan Mas Yudi Rohmad, dua orang yang menjadi guru saya meski jarang berjumpa fisik. Ketika kami berangkat sebenarnya kebingungan mau bawa oleh-oleh apa, akhirnya kami bawakan buah-buahan. Hal itu sempat menjadi bahasan bahwa oleh-oleh itu tidak harus berbentuk buah tangan yang mudah lenyap, namun boleh juga buah pikiran yang bisa awet dan langgeng. Di sini kami seperti merasa kena upper cut dan langsung KO, hehehe… Bahasan sederhana ini terngiang sampai hari ini. Memang benar, bahwa buah pikiran akan lebih menghunjam dan mengabadi karena bisa kita wariskan kepada orang-orang di sekitar kita.
Teringat waktu itu ada Mas Dhani Muhammad, Mas Bayu Jogja, Mas Nug (Penyair Gambang Syafaat), Mas Padmo dan kakaknya, Mas Ary serta beberapa nama lain yang juga ikut melingkar. Terkadang serius mendengar bahasan Mas Dhani tentang dunia arsitektur yang hitungan-hitungannya penuh dengan makna, dan sesekali tersenyum lebar mendengar celotehan Mas Nug dan Mas Ary. Saya sendiri berpikir keras, kira-kira buah pikiran apa yang harus saya tuangkan kepada teman-teman yang jauh lebih senior dan berpengalaman di hadapan saya ini. Pikiran saya ruwet dan semrawut bercampur minder karena di hadapan orang-orang yang telah matang jiwa dan ilmunya. Saya lebih senang mendengarkan petuah-petuah mereka untuk sangu hidup saya dan teman-teman di sekitar saya.
Sejak mentari belum terbit, kami mengobrol, berdiskusi, bertanya sekaligus menjawab pertanyaan tanpa henti sampai menjelang Ashar. Tiba-tiba saya punya buah pikiran yang harus saya tuangkan, yaitu soal lima potensi manusia. Saya mengawali dengan analogi mainan layang-layang yang mempunyai lima titik yaitu bagian atas, bawah, kanan, kiri, dan titik persimpangan di tengah. Di mana lima potensi itu adalah ruh, rasa, akal, hati, nafsu. Pergerakannya seperti layang-layang, jika ada ketidakseimbangan, jalannya akan sempoyongan. Mas Nug yang tadinya senang guyon, menanggapi dengan serius. Pertemuan awal itu sangat bermakna bagi kami. Mendapat ilmu baru dari teman-teman yang hadir serta paparan Mas Agus yang penuh arti yang tidak serta merta hanya bisa didengarkan saja, melainkan harus dipahami betul dengan merenung apa sebenarnya yang dimaksud dari kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Mas Agus.
Ada persamaan antara Majlis Gugur Gunung (MGG) dan Maiyah Sulthon Penanggungan (SP). Pertama, acara rutin maiyahan, sama-sama dilakukan di hari Sabtu pekan terakhir di setiap bulan. Kita tahu bahwa hari Sabtu adalah hari yang dinanti oleh siapapun saja untuk berakhir pekan, menikmati weekend bersama keluarga atau bermain bersama-temannya setelah sibuk sepekan bekerja atau bersekolah. Namun kami di sini baik MGG maupun SP menawarkan menu malam minggu yang lain, sinau bareng, ngudo roso, saling bercengkerama serta berdiskusi atas tema yang telah disepakati dalam acara maiyahan.
Kedua, yang hadir di maiyahan baik di MGG maupun SP sama-sama tidak banyak, namun saya melihat sangat intens dan serius. Istiqomah menjadi kunci utama gelaran maiyah dari kedua simpul ini. Berapapun yang hadir, maiyahan tetap disajikan. Teringat ulama Ibnu Malik, yang harus menawar-nawarkan kepada orang yang lewat untuk diajar oleh beliau karena ketika menunggu orang untuk belajar tak kunjung ada yang datang. Namun sekali punya murid, sangat berkualitas, sebutlah misalnya Imam Syafi’i yang juga kelak sebagai imam madzab sebagaimana beliau.
Bulan Desember 2022 ini adalah sewindu usia Gugur Gunung. Ibarat bocah delapan tahun sudah bisa berlari gesit. Capaian-capaian terutama di bidang pertanian telah menjadi karya nyata. Selanjutnya buah pikiran Mas Agus selama proses pelaksanaan kegiatan MGG sejak awal menjelma menjadi beberapa buku telah hadir di hadapan kita. Dan yang terbaru dan tertebal yang pernah saya lihat dari karya Mas Agus adalah Buku “Pasinaon Sadulit Satatal Serat Laku Gugur Gunung.
Mas Agus ini ibarat pusaka dalam MGG, sebagaimana Simbah yang menjadi pusaka di Maiyah. Beruntunglah teman-teman yang sering berjumpa fisik dengan beliau karena bisa menimba ilmu secara langsung. Dan kami yang berdomisili di Pasuruan, meskipun jauh secara fisik namun terasa dekat di hati. Jarak ratusan kilometer antara Pasuruan ke Ungaran tak menghalangi kedekatan kami. Bahkan Mas Agus bersama teman-teman MGG seperti Mas Kasno, Pak Zamroni, dll juga pernah ke tempat kami satu mobil sebelum malam harinya menuju Padhang mBulan. Mungkin inilah yang disebut saudara tak mesti sedarah. Tak ada hubungan biologis namun kedekatannya sangat intim.
Semoga MGG selalu istiqomah menyajikan maiyahan dengan tema-tema yang selalu menggelitik untuk direnungkan. Tema yang selalu membuat puyeng pembacanya, hehehe… namun ketika dibedah dan diurai mengandung mutiara ilmu yang begitu berharga. Dan semoga MGG diberi keberkahan atas jerih payahnya selama ini menemani siapa saja untuk saling berbagi dan mengisi dalam setiap acara maiyahan.
Pasuruan, 15 Desember 2022
Masyhudi Luthfi_Penggiat Sulthon Penanggungan Pasuruan