‘Hasta Janma’ – lanjutan tulisan sebelumnya.

mandala-03

JANMA MITRA :

Adalah manusia yang memiliki kegembiraan dalam hal mengumpulkan dan menggandengkan satu dengan yang lain. Janma Mitra ini seolah-olah menugaskan dirinya untuk senantiasa membangun dan membuat metode meminimalisir dan mengangantisipasi potensi konflik, membangun harmonisasi, membuat kegiatan seni pertunjukan, merintis kebudayaan-kebudayaan yang konstruktif dan tepat sasaran. Janma Mitra lebih lintas batas, ia bisa hadir dimanapun tidak terbatas pada Padusunan atau Kalurahan tertentu. Ia termasuk jenis manusia yang menganggap desanya adalah seluas muka bumi. Oleh sebab itu selalu ada kerinduan dalam dirinya untuk mengenal, mengetahui, dan belajar hal-hal baru dan menakjubkan dari segala ruang-ruang. Meski demikian, seorang janma mitra tidak akan tiba-tiba mutlak sebagai pengelana yang melanglang buana. Yang seperti ini justru sering ditempuh oleh para janma Kawi/Pandhita.

Janma Mitra banyak lahir bentuk-bentuk menarik dan indah untuk menginspirasi masyarakat untuk saling terjalin. Ia mirip arsitek sosial budaya. Kreatifitasnya tinggi namun susah dipegang karena memiliki jiwa merdeka. Ia tidak mudah berpihak kepada manusia yang personal, namun sangat berpihak kepada kemanusiaan yang universal. Banyak dari Janma Mitra ini yang kemudian ditunjuk masyarakat padusunan untuk menjadi Dhukun / Dhukuh / Dhusun. Padanya masyarakat berharap akan ditata dan diatur dengan cara yang asyik dan menggairahkan melalui cetusan seni dan kebudayaan yang diripta (dibuat, digubah, dicipta) oleh Dhusun mereka.

JAMA BARUNA :

Baruna adalah laut, Janma ini memang memiliki spesifikasi kelautan namun tidak hanya itu. Kaitan dengan Baruna adalah angkasa. Janma Baruna selain mengakarabi laut juga memahami peta angkasa, perbintangan. Ia menjadi pihak yang merasa bisa berkontribusi kepada sosialnya dengan cara menjelalah laut dan memperdalam pengetahuan navigasi. Kemampuan yang dimiliki dan dikembangkan oleh janma baruna antaranya : Pengetahuan tentang perkapalan, Pengetahuan Navigasi, Perbintangan, Pengetahuan tentang seluk beluk/ anatomi laut, arah angin dan pengendaliannya, hingga pemetaan dan pengenalan nusa dan dwipa seberang dengan ciri dan perikehidupannya. Maka, jika ada pelaut pertama di muka bumi sangat dimungkinkan mereka berasal dari Bangsa kita. Mereka adalah leluhur kita yang melakukan pelayaran bukan untuk tujuan penaklukan dan menyerap kekayaan materi daerah yang ia kunjungi, namun untuk penjelajahan pengetahuan dan menyerap kekayaan ilmu yang mereka jumpai.

Dalam hal-hal tertentu, Janma Baruna ditugaskan oleh Keratuan untuk membawa serta warga janma yang lain untuk menyemarakkan nusa-nusa yang kosong ataupun untuk memberi warna bagi dwipa-dwipa yang dihuni oleh sosial masyarakat yang masih polos. Ini tugas yang tidak ringan, jika Anda ingin mengetahui salah satu hasil spreading _dengan data ini anda boleh tidak percaya, bahkan sangat boleh menolaknya_ rombongan ini untuk wilayah Timur lihatlah: warga Kepulauan di Samudra Pasifik (Polynesia ; Hawaii, Tahiti, Rorotongga, Wanuatu, dlsb), Bontok, Mogmog, Jepun Ainu, dan masih banyak lagi. Untuk wilayah Barat ; India (Jambudwipa), Iona(Yunani), Hawana, Kaba, Yatsattra (Yatsrib -> Madinah), Kenya, Mesir (Mizradesa), Maladewa, Madhaga Sekar /Magadha Sekar (Madagaskar), Ambarupa(Eropa) dan masih banyak lagi. Untuk wilayah Utara Ada Siberia, Eskimo, Alaska, Asia Tengah, dan ada beberapa lagi [perlu kajian khusus]. Untuk wilayah Selatan, sebuah pemukiman yang masih belum terkonfirmasi keberadaannya secara modern, namun disinyalir ada sebuah kawasan yang eksis yang luas, lengkap dengan sosial masyarakatnya yang maju dan tersembunyi, wallahu a’lam.

Catatan :

Bangsa Kawi membangun konsentrasi tetular untuk membangun kesejahteraan bersama dengan beberapa model disesuaikan kondisi topografi, kapasitas masyarakatnya, kecenderungan dan sudut pandang masing-masing.

Di wilayah ke Timur, konsentrasi diletakkan pada harmonisasi kepada alam. Cara berburu yang bermartabat, menjaga keseimbangan jagat, kerukunan hidup kepada segala elemen dan entitas, sistem kemasyarakatan ruhani. Ke wilayah Timur, dikonsentrasikan ke wilayah teknis pragmatis, seperti bercocok-tanam, arsitektural, hingga ke literasi sebagai sarana memperkaya kebutuhan aset kemanusiaannya.

Maka di bilahan Barat cenderung dibangun sistem masyarakat jasadi. Oleh sebab itu kemudian berkembang menjadi masyarakat yang mengembangkan diri sebagai sebuah kerajaan dengan mengurusi secara struktural ketahanan pangan, pendidikan, arsitektural, hingga seni dan budaya.

Antara masyarakat ruhani dan masyarakat jasadi kurun waktu mengalami perkembangannya sendiri-sendiri. Yang nampak secara lahir pencapaian dan perkembangannya adalah masyarakat jasadi yang di wilayah Barat. Sedangkan perkembangan masyarakat ruhani, secara lahir nampak tak mengalami dinamika, statis dan bahkan dianggap di kemudian hari sebagai masyarakat primitif atau terbelakang. Kelak ini harus bertemu, dan menemukan keseimbangan peradaban wajah dan aurat peradaban, antara tampak dan tersembunyi, antara yang bisa dikuakkan dan yang perlu dijaga. Antara Pikiran dan hati. Antara lahir dan bathin.

JANMA UNDHAGI :

Janma ini adalah orang yang merasa bisa total berkontribusi dalam hal teknologi. Baik teknologi sederhana berupa kerajinan dan alat-alat rumah tangga yang sederhana hingga kepada teknologi yang mutakhir dan rumit. Janma Undhagi yang berperan dalam hal peralatan, kerajinan, kriya, permekanikan. Untuk mengukur salah satu legenda teknologi bangsa kawi yang didukung oleh Janma Undhagi ialah Wimana yang kini sering disebut sebagai piring terbang yang misterius. Maka janma Undhagi berisi manusia dengan karakter reseracher, observer, tekhnokrasi, mekanikal, hingga pengeksplorasi sebanyak-banyak unsur materi.

Dalam tataran Kadusunan Janma Undhagi mengkreatifi kebutuhan sehari-hari dengan alat-alat yang mempermudah, seperti gerabah, anyaman bambu, penerangan, juga peralatan dengan pengetahuan metalurgi seperti pisau, cangkul, sabit, mata luku. Kebutuhan sandang seperti tenun, pengolahan kulit binatang yang disamak, kulit atau serat pepohonan yang dijadikan bahan sandang.

Dalam tataran Kalurahan, menambah kreatifitasnya pada teknologi penyimpanan bahan pangan, teknologi pengairan.

Dalam tataran Kademangan, menambah dengan teknologi transportasi, perhiasan sebagai sesandhingan ritual peribadatan, kepeng (mata uang sebagai peranti peribadatan), pengolahan logam untuk kebutuhan pemerintahan maupun masyarakat umum, seperti bokor, tempayan, wajan wajan, yang pada tingkat padusunan dan kalurahan lebih senang menggunakan tanah.

Dalam tataran Kadipaten dan Keratuan, teknologi lebih dikonsentrasikan pada hal-hal yang lebih rumit, penggabungan pengetahuan fisik maupun metafisik yang diejawantahkan dalam teknologi materi. [Ulasan ini panjang dan lebar].

Janma Undhagi membuat pembagian tugas kreatifitas ini dalam 4 kategori :

Undhagi Bumi, Undhagi Kuwaya, Undhagi Agni, Undhagi Barata. Ini adalah pembidangan yang terkait dengan konsentrasi bahan baku.

JANMA KAWI/ PANDHITA :

Terakhir adalah Janwa Kawi atau Janma Pandhita, ini adalah jenis manusia yang memiliki cakrawala ruhani yang tajam dan bening. Janma Kawi memiliki visi masa depan dan masa lalu. Bisa berkomunikasi lintas dimensi antar makhluk di wilayah pertala. Juga dianggap bisa berkomunikasi kepada langit sebagai jalur petuah untuk diimplementasi di Bumi. Kelak cara ini banyak peniru dan tidak bisa dibedakan mana yang asli dan mana yang pura-pura.

Janma Kawi memiliki keistimewaan dalam keruhanian. Ia yang kemudian menjadi Beghawan, Resi, dan banyak sebutan lain yang intinya meletakkan Janma Kawi sebagai seseorang yang terbukti handal dalam hal penempaan hati dan kecenderungan hidupnya yang lebih senang menekuni laku keprihatinan. Pandhita berasal dari istilah Pandhe dan Hito, ‘Pandhe’ artinya = Tukang menempa, dan ‘Hito’ artinya Hati, jadi Janma Kawi juga disebut sebagai Janma Pandhito karena kekuatan bathinnya yang sanggup menempa hati agar tetap bersih dan berkesesuaian dengan kehendak Tuhan. Laku prihatin adalah menyedikitkan kehendak diri agar dikucuri ilham pemikiran, kata-kata, perilaku, dan perjalanan jiwa raga pada sebuah kehendak Agung yakni kehendak Tuhan sendiri.

-o0o-

Demikian setoran hari ini melanjutkan uraian tentang Hasta Janma. Untuk terminologi ‘Jajah Desa Melangkori’ mudah-mudahan bisa tersaji pada seri tulisan berikutnya.

TIM GUGURGUNUNG

07 JULI 2017

HASTA JANMA / 8 JENIS MANUSIA & JAJAH DESO MILANG KORI

aborigeny-indonezii-8-18

Untuk membangun ketahanan sosio kultural pada semua lapisan desa baik yang luas maupun yang tidak. Masyarakat menggunakan “OS” : hasta janma, yakni “Operating System” yang berisi 8 pilar ketahanan sosial budaya masyarakat. Tidak setiap padusunan ada 8 jenis manusia ini maka perlu interaksi antar dusun untuk bisa menemukan 8 pilar ini pada tingkat Kalurahan. 8 pilar ini juga penjaga martabat kemanusian dan martabat kehidupan. Dengan manusia bermartabat maka akan tergelar kehidupan yang bermartabat dan dengan manusia yang tidak bermartabat maka kehidupan pun tidak memiliki martabat yang baik.

Hasta janma juga bisa disebut sebagai : 8 jenis manusia penjaga martabat kehidupan. Ketika hajat kehidupan manusia masih dibangun dengan kesadaran martabat, 8 jenis manusia ini akan selalu dicari untuk menjadi pilar-pilar pertahanan nilai masyarakat. Delapan pilar tersebut adalah :

JANMA TANI :

Seseorang yang menugasi dirinya untuk berkontribusi di wilayah pertanian, bercocok tanam, peternakan, perikanan, pengelolaan air dan tanah. Janma tani akan memiliki ketajaman dalam hal ilmu titen berkaitan dengan musim yang baik dan yang kurang baik pada jenis tanduran. Dia akan menjadi bahan rujukan dalam hal-hal berkaitan dengan pertanian, perikanan, peternakan, dan kaitannya.

Hal-hal yang dikonsultasikan adalah seputar pranata mangsa (tatanan musim), dalam urusan Tani antaranya : kapan mulai tanam, benih apa yang baik untuk ditanam, penanggulangan penyakit tanaman, ikan-ikan dan binatang ternak. Hingga masa panen. Semuanya dengan adab dan perhitungan yang tidak dalam skala orientasi sempit keuntungan materi namun dalam skala orientasi laba kemanusiaan. Yakni memenuhi sisi yang utuh, laba secara materi tidak kehilangan laba kemanusiaan. Panen secara materi juga sekaligus panen kasih sayang, panen rasa syukur, panen kegembiraan lahir dan bathin.

JANMA UJAM DHUDUKAN :

Seseorang yang menugasi dirinya untuk berkontribusi di wilayah kesehatan dan pengobatan. Ia merasa mendapatkan karunia ilmu dari tuhan dalam bidang tersebut dan ingin dipergunakan kepada seluas-luas makhluk Tuhan pada batas yang bisa ia jangkau. Seorang Janma Ujam Dudukan akan memiliki kepiawaian dalam meracik tanaman, dedaunan, akar-akaran yang bisa berguna untuk menjaga agar tubuh bisa bekerja secara optimal. Upaya menyembuhkan untuk tubuh yang sedang ditimpa sakit. Dan mempertahankan agar metabolisme dan sistem kerja tubuh tetap baik dan berusia panjang. Janma Dudukan pada intinya membantu memerbaiki kondisi manusia yang sakit untuk bisa kembali sehat. Ada 3 jenis sakit yang sering menimpa manusia, 2 diantaranya bisa diupayakan penyembuhannya dan 1 yang tidak bisa. Yang pertama sakit yang bersifat medis, jenis ini bisa diupayakan penyembuhannya. Yang kedua : Sakit yang bersifat non-medis, seperti teluh, tenun, santet, dlsb. Inipun masih bisa diupayakan penyembuhannya. Yang ketiga sakit akibat karma : yang ketiga ini harus dijalani oleh yang bersangkutan karena sakitnya itu berfungsi membersihkan dirinya dari resiko penyakit hati yang merusak bukan hanya jiwa, raga namun juga ruhaninya.

JANMA PRAJURIT :

Adalah seseorang yang memiliki karakter WIRARASA yang dominan, pada karakter tersebut ia ingin mengkontribusikan kepada masyarakat. Wirarasa adalah rasa keperwiraan, ketangguhan, keperkasaan, kepiawaian dalam olah kanuragan dan pertandingan mengadu kekuatan di medan laga. Seorang janma prajurit seakan-akan menjadi pihak yang paling siap memasuki ‘Jurit’ (peperangan) karena kesiapan dan kapabilitasnya dalam hal tersebut. Di tengah masyarakat, sebab dahulu pada tingkat petani saja memiliki wirarasa, maka untuk janma prajurit keunggulannya adalah kemampuan keperwiraannya yang di atas rata-rata. Ia bisa menjangkau pengetahuan kesaktian, pandai mengatur strategi dan siasat, bisa mengayomi dan  sehingga layak ditunjuk sebagai pihak yang bukan hanya mahir dalam dunia keparajuritan namun memiliki sikap pamomongan yan lembah manah andhap asor.

JANMA PANYARIK :

Janma ini adalah janma yang kuat dalam hal literasi, kepustakaan. Panyarik atau pangniarik ini kemudian tersisa sebagai istilah ‘carik’ pada jaman sekarang. Setiap desa memiliki Janma panyarik yang diambil dari seseorang diantara padusunan dalam kawasannya. Bersambung…

Masih ada 5 Janma yang lain yang belum diurai dalam tulisan ini. Sebagai cicilan hari ini, 3 janma dahulu. Besok disambung tentang Janma Panyarik dan ke 4 Janma yang lain dan kaitannya dengan Jajah Deso Milang kori.

TIM GUGURGUNUNG

06 JULI 2017

CATURANGGA

Catur

Di sini akan membahas permainan yang sudah sangat terkenal di dunia. Di Indonesia disebut “Catur”, ada juga yang menyebutnya “Sekak” . Dalam bahasa Inggris dinamai “Chess”.

Catur diciptakan pada era kawi yang sudah sangat lama menjadi permainan dan metode menebarkan nilai. Catur lengkapnya bernama ‘Caturangga’ artinya badan empat atau 4 badan. Penamaan itu punya dasar nilai filsafat yang sangat indah. Caturangga lantas dibawa ke Jambudwipa sebagai negara bagian Kawi dan misspell menjadi ‘Caturanj’ kemudian menyebar ke Persia menjadi ‘Satranj’ berlanjut penyebarannya ke Arab yang lebih terkesan pada kekhasan istilah SAKA MATI, yang di Persia berubah menjadi SHAH MAT, di Arab menjadi ‘Shah’. Penyebaran terus ke paradaban Andalusia dan menebar ke Eropa menjadi ‘Chess’. Setelah itu bisa dilihat perkembangan berikutnya.

THE CHESS PIECES ARE THE BLOCK ALPHABET WHICH SHAPES THOUGHTS; AND THESE THOUGHTS, ALTHOUGH MAKING A VISUAL DESIGN ON THE CHESSBOARD, EXPRESS THEIR BEAUTY ABSTRACTLY, LIKE A POEM. [MARCEL DUCHAMP, ADDRESS TO NEW YORK STATE CHESS ASSOCIATION, AUG. 30, 1952]

CHESS : 13c., from O.Fr. esches “chessmen,” plural of eschec “game of chess, chessboard; checkmate” from the key move of the game. Modern French still distinguishes échec “check, blow, rebuff, defeat,” from pl. échecs “chess.” The original word for “chess” is Skt. chaturanga “four members of an army” — elephants, horses, chariots, foot soldiers. This is preserved in Sp. ajedrez, from Arabic (al) shat-ranj, from Pers. chatrang, from the Skt. word.

CHECK : early 14c., “A call in chess noting one’s move has placed his opponent’s king in immediate peril,” from O.Fr. eschequier “a check at chess” (also “chess board, chess set”), from eschec, from V.L. *scaccus, from Arabic shah, from Pers. shah “king,” the principal piece in a chess game When the king is in check a player’s choices are limited. Meaning widened from chess to general sense of “adverse event” (c.1300), “sudden stoppage” (early 14c.), and by c.1700 to “a token used to check against loss or theft” (surviving in hat check) and “a check against forgery or alteration,” which gave the modern financial use of “bank check, money draft” (first recorded 1798 and often spelled cheque), probably influenced by exchequeur. Meaning “pattern of squares” (c.1400) is short for checker. Checking account is attested from 1923, Amer.Eng.

Peradaban Kawi Jawa menciptakan permainan ini sebenarnya adalah upaya pengajaran filsafat yang tidak hanya termodulasi dalam kurikulum tertulis namun pada alat peraga yang mutakhir. Para Resi dan Pujangga Jawa ingin menitipkan konsep sedulur papat kalimo pancer dalam permainan catur.

BARISAN CATUR

Barisan Catur

Catur terdiri dari 2 sap barisan, barisan awal adalah Pawana[1] atau pion sedangkan pada barisan belakang adalah buah-buah Catur yang memiliki spesialisasi kekuatan masing-masing. Pion sejak semula sudah berada di barisan kedua dari kotak terdekat dengan pemain, maka dia hanya akan menginjak 6 kotak lagi untuk berada pada tujuan akhir dari perjalanan Bidak. Bisa dikatakan tokoh utama dalam permainan Catur adalah budak yang didukung dengan kekuatan komponen yang saling bersinergi di belakangnya. Budak ini bukan bawahan yang dipahami secara normatif sekarang. Budak adalah perilaku bertanggung jawab, bekerja keras, rela berkorban, berani melangkah ke arah lebih baik, dan luhur budi pekerti. Sikap Budak yang rela berada di depan sebagai pagar betis sekaligus pasukan inti adalah sikap suci dan yang mensucikan.

BUAH CATUR

PION

PAWANA / Pujada / Bidak / Prajurit / Pawn / Pion.

Perjalanan setapak demi setapak yang harus sering berhadapan dengan banyak macam rintangan. Ini adalah representasi perjalanan suci manusia dalam menapaki pada demi pada. Pada adalah adalah langkah, atau tingkat. Tingkat spiritual ini mencapai puncaknya pada pada ke tujuh.

Pujada atau Pawana adalah buah Catur yang jumlahnya paling Banyak yakni delapan buah. Delapan Putih dan Delapan Hitam. Jumlah keseluruhan Pawana berarti enambelas. Jumlah 16 merupakan kelipatan 4. Bilangan empat menjadi penting di sini sebab ini permainan Catur (empat) atau Caturangga (Empat Badan). Namun kita tahan dulu sementara tentang bilangan empat ini. Sebelumnya ada baiknya untuk mengetahui nama asal buah Catur yang satu ini. Di Persia buah Catur yang ini dinamai Pujada, yang berarti orang-orang yang mengkhidmati langkah. Kemungkinan Pujada berasal dari kata Puja-da : Puja, adalah bentuk penghormatan dan “da” adalah gelar untuk pelaku hidup tertentu, misal; Dapunta : Da-pu-nta adalah orang yang berprofesi di dapur atau Mpu. Di tradisi Jawa kawi buah Catur ini dinamai Pawana. Pawana berarti Angin, atau dalam makna lain ialah ; yang mensucikan/ suci/ keramat/ kekudusan/ kekuatan membersihkan. Julukan ini terasa begitu berlebihan jika mengingat bahwa Pawana dalam kenyataannya hanyalah Budak-budak kecil dan tak berarti.

Namun adakah “tokoh” lain dalam permainan Catur yang mampu berfungsi seperti Pawana? Yakni bukan hanya budak atau prajurit yang diletakkan pada barisan depan, bukan hanya setiap langkahnya bisa dijegal siapapun, bukan cuma siap berkorban, bukan sekedar siap dikorbankan, namun juga dari buah Catur inilah satu-satunya yang mampu mereproduksi pasukan jika telah mencapai langkah puncak. Ketika seorang pemain Catur masih memiliki formasi yang lengkap maka Pawana hanya sebagai pemain figuran yang tidak dihitung, dianggap tidak penting dan bahkan tidak ada. Namun setelah satu demi satu anggota pasukan andalan dapat ditumbangkan oleh lawan, maka Pawana menjadi terasa sangat besar fungsi dan keberadaannya. Inilah mengapa Pawana disebut demikian, dia hanya sekedar angin yang ketika berada di sekeliling orang tak menghiraukan, tidak menghitung dan melihatnya. Namun ketika berbuahnya bunga karenanya, namun ketika tersejukkan hawa panas oleh semilirnya, semua orang bahagia. Inilah sifat dasar Pawana, senantiasa memberikan pelayanan tanpa pamrih dan rela tidak mendapat tempat terhormat di mata kasat. Demikian juga seorang Pawana yang mensucikan, suci, keramat, telah hilang “saka”-“saka” di dalam dirinya. Tidak ada yang berdiri di dalamnya melainkan hanya yang Maha Esa, Maha Tegak, Maha Tunggal.

BETENGPala / Dwarapala / Benteng / Rook/

Pala adalah penjaga, dua penjaga sering disebut Dwarapala. Pala tidak sekedar berfungsi sebagai pertahanan serangan, dia bukan sekedar bangunan yang diciptakan untuk mendapatkan gempuran demi gempuran tanpa mampu melakukan gerakan balasan. Keras dalam karakter Pala adalah keteguhannya memegang prinsip. dia sendiri memiliki kemampuan untuk menyingkirkan ancaman.

Dalam permainan Catur, penjaga ini kemudian juga disebut sebagai Benteng atau Rook. Hampir sama fungsinya bahwa benteng pada dasarnya bersifat melindungi dan pertahanan diri. Perbedaanya terletak pada karakter statis dan dinamisnya. Berbicara Pala seakan memberikan nuansa kemakhlukan sehingga terasa lebih dinamis, sedangkan Benteng bernuansa kebendaan yang bersifat diam atau statis.

Terlepas dari dua paham tersebut, paling tidak langkah Pala tidak mendapatkan modifikasi. Langkahnya lurus ke depan, ke belakang, dan tidak bisa berjalan diagonal. Kotak hitam dan putih bisa diterabas sekaligus. Sebagai penjaga memang harus berpendirian tegas tidak berkompromi secara kebudayaan, hanya berkompromi kepada tanggung-jawab terhadap ancaman yang mengganggu kenyamanan wilayahnya. Nama Rook sendiri kemungkinan berasal dari Bahasa Hindi “ रुख “ (rukh) yang artinya pendirian.

KUDAKhroda / Koda / Kuda / Khursa / Horse / Knight

Kuda adalah lambang beringas, kemarahan, kelincahan, dan bersifat mendobrak. Demikian juga yang terjadi pada langkah kuda dia melangkah empat kotak dan tidak lurus. Langkahnya mendobrak dan tentunya dobrakan dibutuhkan keberanian, kelincahan, bahkan keberingasan. Pilihan untuk mengawali sebuah dobrakan memang bermacam jenisnya. Ada yang bertumpu pada hawa nafsu yang sekedar ingin merusak tatanan atau bertumpu pada kesadaran bahwa jika tidak berani membuat dobrakan maka langkahnya menjadi normative dan tidak ada kreatifitas.

APILApil / Gajah / Bishop / Uskup / Pi l/ Elephant / Peluncur

Dalam menemukan kebenaran sejati, manusia bisa menempuhnya dengan jalan diagonal putih namun juga sekaligus jalan diagonal hitam. Ini memasuki wilayah hakekat yang tidak sederhana. Bahwa memilih jalan putih pasti kesepakatannya adalah pre konsepsi dan parameter kebudayaan. Misal Agamawan yang dalam struktur social masyarakat berjalan pada garis yang putih, dalam sudut lain ada seorang pemabuk yang dianggap berada pada jalur hitam. Namun Hitam dan Putih pada wilayah kebaikan dan kesabaran merupakan hal utuh yang tidak bisa ditawar dan dikaburkan hanya dengan warna.

Berjalan pada hal yang putih bisa menjadi jalan hitam baginya karena mampu memproduksi sikap lupa diri, bangga hati, dan cenderung merasa lebih bermanfaat bagi orang lain. Sedangkan yang melalui jalan hitam bisa justru menemukan cahaya karena bergelut dengan cacian, hinaan, dan sikap perendahan lainnya. Jika segala hinaan dan cacian itu dilebur dalam kesabarannya maka sangat mungkin cahaya kebaikan terletak pada dirinya daripada agamawan.  Jadi hitam dan putih adalah lambang kepribadian kita yang terkadang sangat suci dan terkadang sangat durhaka. Namun begitu juga ketika menghadapi sebuah persoalan di kancah pergaula kemanusiaan, wilayah putih adalah wilayah yang diletakkan sangat rahasia di dalam diri kita, sedangkan untuk manusia pakaian hitam maupun putih bisa menodai wilayah rahasia itu jika tidak ingat tugas utama yakni menjaga Saka dan memperjalankan pengabdian.

Dalam Kitab Ramayana ada satu menyebut demikian “milu māti kěděkan apil” artinya iku mati tertindih Gajah. Apil dalam bahasa Jawa Kawi adalah Gajah selain juga Hasti, Liman, dll. Apil kemudian digunakan oleh Bangsa Persia menjadi “Pil” dan Bangsa Arab “Fiil”.

STERSter / Perdana Menteri

Ratu bertugas memindai gerakan musuh, dia bergerak sangat fleksibel. Di antara buah Catur lain, Ratu-lah yang paling leluasa dalam langkah-langkahnya. Namun yang harus diingat dari Ratu ialah bahwa sepadan dengan kekuatannya maka sebesar itu juga kelemahannya. Jika Ratu salah bergerak dan terlalu lupa diri dalam melanglah tanpa mempertimbangkan posisi dan strategi seluruh pasukannya maka kejadian fatal akan dituai. Dengan hilangnya kekuatan Ratu maka sama dengan lemahnya pertahanan dan daya serang seluruh pasukan.

Dalam diri manusia,Ratu adalah kehendak yang jika tidak berhati-hati menggunakannya akan menjadi petaka bagi dirinya dan seluruh pasukannya. Maka kehendak harus memiliki satu hal yang hrus dijaga, yakni memastikan perjalanan penghambaan mencapai pada yang tertinggi, juga senantiasa menjaga keamanan Saka yang menjadi simbol tersambungnya Kebeningan dan Kekeruhan. Kekeruhan adalah dunia dan kebeningan adalah tempat asal sebelum dunia dan sesudah dunia. Jika tanpa kekeruhan maka Pujada atau para pejalan kaki tak teruji mampu menapaki setahap demi setahap tingkat pensucian dirinya.

SAKA / CAGAK / SEKAK

SAKASaka / Syekh / Shah / Raja / King / Malik?

Saka artinya tiang, seperti dalam buah Catur. Dalam rumah tradisional Jawa Saka adalah bangunan utama yang berfungsi sebagai penahan atap, bagian ini merupakan bagian terpenting maka disebut Saka Guru[2].

Raja atau King dalam permainan Catur dulunya disebut Saka karena dialah penyangga bangunan dan indikasi kekuatan dalam barisan, jika Saka salah menenmpatkan posisinya maka seluruh pasukan dan barisan pertahanannya dinyatakan runtuh. Saka atau Tiang berbentuk lurus tegak seperti huruf Alif dalam Hijaiyah. Fungsi Saka adalah mencitrakan dirinya dengan Sifat Tauhid Allah. Saka daam permainan Catur hamper tidak memiliki peran tapi sekaligus posisinya paling menentukan, kekuatan Saka justru karena dia sangat tidak berkekuatan bahkan oleh kekuatan Pion. Dalam perkembangan selanjutnya Saka diartikan menjadi Raja karena dia dianggap sebagai buah Catur yang paling berkuasa. Namun bisa ditilik kembali bahwa kapasitas Saka yang hanya berjalan selangkah-selangkah lebih banyak membahayakan bukan hanya untuk dirinya sendiri namun otomatis bagi seluruh jajaran pasukannya.

Dalam ungkapan masyarakat Jawa dikenal istilah Saka Guru, artinya Tiang yang paling inti yang bukan sekedar menjadi ornament dalam bangunan namun juga penyangga utama atap sebuah bangunan. Di sini ditemukan korelasi dengan “Memayu Hayuning Bawana”. Tugas Saka bukan sekedar menunjukkan kekuatan dan kegagahannya dengan berdiri tegak di tengah bangunan. Namun justru kepada sejauh mana kekuatan dan kegagahannya ditimpai sejumlah tata rangkai atap sebuah bangunan.

Ibarat Saka adalah Kepala atau pimpinan sebuah Bangsa, maka kegagahannya bukan pada menterengnya dia dengan berbagai macam citra tapi bagaimana mampu memayungu segala struktur dan elemen masyarakatnya sehingga tetap eyup dan edhum (teduh dan ternaungi). Sebab Saka yang tidak merasa bertanggung-jawab terhadap beban atapnya maka dia hanya sebagai tiang yang hanya sekedar ingin mendirikan “alif” untuk dirinya sendiri. Dengan demikian maka dia adalah Saka yang Mati. Kembali ke permainan Catur, ketika Saka sudah tidak berdaya maka sebutan untuknya adalah “Saka Mati”. Penyebutan ini makin lama makin berubah seiring dengan perkembangan permainan Catur di berbagai Bangsa. Di Arab menjadi “Shah Mat” dan di Eropa menjadi “Checkmate”.

Namun di dalam permainan Catur simbolisasi itu tidak dalam rangka tatanan dalam sistem kebudayaan manusia seperti Kerajaan ataupun Negara. Simbolisasi dalam Catur adalah visualisasi citra dalam diri sendiri dan dialektikanya dalam jagad gedhe. Meskipun nantinya bisa disambungkan dengan sangat masuk akal dalam sistem kemanusiaan di dunia.

Jika diteliti lebih mendalam maka konsep “empat”  yang diisyaratkan dalam Catur itu akan mempertemukan kedalaman hati orang Jawa dan uniknya gaung bersambut dengan kejernihan dalam Islam. Kemudian apakah Saka di dalam diri kita? Apa itu pion? Kuda? Ratu? Gajah? Dimanakah letak mereka dalam diri kita? Mungkinkan berbagai karakter-karakter itu berada langsung dan bersamaan dalam diri manusia? Nanti dalam bab khusus akan kita urai bersama.

HITAM PUTIH

HITAM PUTIH

Seperti halnya konsep dasar Blangkon. Hitam dan Putih atau gelap terang  dalam papan Catur dibuat berjumlah sama antara hitam dan putihnya, maksudnya adalah keseimbangan. Tidak hanya tentang keseimbangan, jumlah delapan kali delapan merupakan enampuluh empat. Matriksnya adalah angak 6 dan 4. Dalam Bahasa Jawa Kawi 6 adalah Yam, sedangkan 4 adalah Catur. Tidak sampai di situ karena inilah sebenarnya esensi dari Catur. Dalam ajaran leluhur yang kini telah berada pada alam pitara, Yam disimbolkan dengan bentuk lingkaran berwarna putih. Dalam tingkatan Cakra[3]maka enam adalah bentuk mata ke-tiga yang berada di antara dua alis agak ke atas.

Para Cendekia jaman dahulu memainkan Catur di keramaian lalu-lalang manusia. Sang Cendekia ini kemudian menawarkan diri kepada orang-orang yang lewat untuk bisa mengalahkannya, sementara dia siap melawan hanya dengan beberapa langkah, dan ketika sang cendekia ini melakukan langkah yang melebihi dari kesepakatan yang dijanjikan maka penantangnya dinyatakan menang. Bagi yang menang Sang Cendekia akan memberikan hadiah berupa sekapur sirih sebagai tanda penghormatan. Jika Sang Cendekia yang menang pada permainan ke sekian dia menutup untuk membuka lagi permainan esok hari sambil mengatakan :

“kini papan catur telah ditutup, permainan baru saja selesai, hitam dan putih sudah tidak ada, mereka sudah melebur menyatu dalam satu kotak, permainan sesungguhnya baru dibuka, dan silahkan kisanak semua memainkan langkah-langkah yang baik dan menjaga agar Saka tidak mati serta menyelesaikan pawanan pada langkah terakhir jika mampu, jikapun tidak mampu gerak menuju ke sana sudah merupakan tanda bahwa kisanak sangat bersungguh-sungguh menjalani laku”.

Dalam pengembangan lain, Yam adalah penyingkatan dari kata Yama. Yama adalah Dewa yang mengetuai para pitara, pitara adalah bahasa untuk menyebut kehidupan alam Ruh. YYama juga berarti pengekangan diri atau pengendalian diri, perpanjangannya adalah Yamabrata. Maka di dalam jumlah yang 64 itu diinformasikan tentang satu entitas yang “bekerja” di dalam wilayah Ruh, para Yama ini berjumlah empat. Siapakah mereka? Dan apa tugas-tugasnya? Sebelum ke sana ada satu lagi hal perlu diketahui bahwa ketika Yam dan Catur dijumlahkan maka hasilnya adalah 10 atau Dasa, Dasa juga memiliki makna budak, hamba, atau abdi. Sehingga jika hendak diterjemahkan bebas angka sepuluh adalah penggambaran sederhana tentang Ada dan ketiadaan.

Penggambaran sederhana berupa kotak-kotak berwarna hitam dan putih dalam permukaan papan Catur juga memaparkan perjalanan 7 tingkat, nantinya ini akan berkait juga dengan konsep Islam yang juga memiliki perhatian khusus dengan angka 7. Mengapa jumlah tingkat hanya 7 sementara dalam papan Catur ada delapan baris? Sesungguhnya permainan Catur adalah permainan perjalanan jiwa manusia yang terepresentasikan dalam buah bidak Catur, jumlah mereka delapan di barisan warna Putih dan delapan buah di barisan warna hitam.

Ketika Papan Catur ditangkupkan maka akan bertemu masing-masing warna hitam putih berpasangan. Seperti mengisyaratkan bahwa ini hanya permainan, tidak ada kemenangan hitam ataupun kemenangan Putih, semuanya kosong, nisbi, dan yang ada hanya Yang Maha Ada. Permaian sebenarnya baru saja dimulai dengan melihat sejauh mana strategi segala kekuatan menghantarkan Pawana kepada tingkat tertinggi. Sudah seberapa bereskah pilah-pilah fungsi dalam diri, apakah sudah didominasi Pawana/Pujada yang mengkhidmati langkah demi langkah guna menuju kesucian? Ataukah justru lebih banyak Ratu di dalam diri kita? Bahkan atu justru lebih banyak Saka kita tegakkan tanpa sengaja sehingga berkali-kali harus kena “Skakmat” atau Saka mati.

SAKA MATI

SHEIK :

“head of an Arab family,” also “head of a Muslim religious order,” 1570s, from Arabic shaykh “chief,” lit. “old man,” from base of SHAKHA “to grow old.” Popularized by “The Sheik,” novel in Arabian setting by E.M. Hull (1919), and movie version “The Sheikh,” 1921, starring Rudolph Valentino, which gave it a 1920s sense of “strong, romantic lover.”

CHECKMATE :

mid-14c., from O.Fr. eschec mat, from Arabic shah mat “the king died” which according to Barnhart is a misinterpretation of Persian mat “be astonished” as mata “to die,” mat “he is dead.” Hence Persian shah mat, the ultimate source of the word, would be literally “the king is left helpless, the king is stumped.” As a verb, from late 14c. Related: Checkmated.

CHECK :

late 14c., in chess; All the other senses seem to have developed from this one: “To arrest, stop,” late 14c.; “to hold in restraint” (1620s); “to hold up or control” (an assertion, a person, etc.) by comparison with some authority or record, 1690s (as a player in chess limits his opponent’s ability to move when he places his opponent’s king in check). Hence, to check off (1839); to check up (1889); to check in or out (in a hotel, of a library book, etc.).

Saka berbentuk tegak, ini semacam wewaler bahwa karena posisi Saka yang tegak maka posisinya menjadi sangat riskan, dia bisa menjadi cerminan dari Yang Maha Tegak, ataupun bisa menjadi “pembanding” dari Yang Maha Tegak. Jika menjadi pembanding sesungguhnya Saka tidak akan pernah kuat menyangga dan pasti akan tumbang. Saka akan menjadi Saka Guru jika dia berformasi empat secara proporsional dan sebanding.

 

[1] Pawana berarti Angin, atau dalam makna lain ialah ; yang mensucikan/ suci/ keramat/ kekudusan/ kekuatan membersihkan.

[2] Saka guru, merupakan struktur utama pada bangunan rumah adat Jawa yang lebih dikenal dengan Rumah Joglo. Saka guru adalah sebutan untuk tiang atau pilar yang berjumlah 4 buah. Tiang ini terbuat dari jenis kayu dengan besaran yang berbeda-beda menurut pada beban yang menumpang di atasnya. Saka guru berfungsi menahan beban di atasnya yaitu balok tumpang sari dan brunjung, molo, usuk, reng, dan genteng. Saka guru berfungsi sebagai konstruksi pusat dari bangunan Joglo karena letaknya di tengah bangunan tersebut

[3] Chakra Six: Light, Archetypal identity, oriented to self-reflection. This chakra is known as the brow chakra or third eye center. It is related to the act of seeing, both physically and intuitively. As such it opens our psychic faculties and our understanding of archetypal levels. When healthy it allows us to see clearly, in effect, letting us "see the big picture."

  Meaning: Austerity.   Location: Between Eyebrows.   Beyond Element: Beyond.   Attributes: Transcending Senses, Experiencing God-In-Self or Atman.   Desire: Becoming Non-Acquisitive, a neutral observer.   Activity: Mercy, Honesty and Forgiveness.   Symbol: White Circle, 2 Luminous Petals in which all the Elements are combined.   Mantra: Repetition of the powerful Bijan Mantra-Om. Elevates the speaker form everyday reality, through concentration, to the meditative state. Each Petal has a Sanskrit letter (Ham and Ksham).   Deities: Each Chakra has a Manifestation of the Shiva and Shakti Deities. Ardhanarlshvara - Half-Male, Half-Female, Shiva-Shakti, No longer Separate. Hakini Shakti - Imparts Awareness of Non-Duality.

 

Tatanan Desa Turun Temurun II

Masih melanjutkan pijakan dalam mendampingi pertumbuhan di tingkat keluarga dan antar keluarga. Bab yang kemarin sudah dibahas tentang pendampingan kepada anak usia tunggal, Konsep Tunggal. Kini berlanjut ke Konsep Kawelasan.

Konsep KAWELASAN

Yakni untuk fase usia 11 – 19 tahun. Di usia ini anak sudah menemukan keluarga yang lebih besar. Yakni pertemuannya dengan kombinasi keluarga lain dalam tingkat Dusun (atau Dukuh atau Dukun). Semua keluarga yang ada pada Dusun itu akan membantu anak tumbuh dengan memberikan paugeran dan melatih anak untuk mengerti tentang belas kasih. Anak tidak lagi terus menyangka bahwa ia adalah pusat semesta, ia adalah bagian dari yang lain yang orang lain juga punya keinginan yang sama dalam hal mendapatkan sesuatu yang terindah dan terbaik. Di sini anak-anak biasanya dilatih tepo sariro dan kepeduliannya dengan diberikan kambing, kerbau, atau sapi untuk digembalakan. Agar anak menemukan ilmu Angon langsung dengan pengalaman dan tanggung-jawabnya secara akurat dan empiris.

Konsep KUR-KURAN (pengukuran)

Yakni fase pertumbuhan manusia di usia 21 – 29 tahun. Pada usia ini seseorang telah beranjak makin dewasa, ia harus mendapati pengalaman dalam hal mawas diri, memetakan posisi, mengukur situasi dan pilihan sikap. Di usia ini keluarga yang ia temui bisa lebih luas lagi, sebab ia mulai diijinkan menjelajah pengalaman dengan melakukan perjalanan ke kawasan lain. Ia perlu pandai membawa diri, menjaga sikap secara terukur. Pada usia ini ada fase yang disebut fase ‘kemlawe’ yang berarti tandang, tandhing (mengerjakan, menghadapi). Usia kemlawe terletak di usia Selawe atau 25 tahun. Masyarakat memahami bahwa usia kur-kuran adalah usia seseorang merasa hebat, merasa pandai, paling ahli, brangasan, merasa tak tertandingi. Ada yang merasa hebat dalam hal fisik, ada pula yang merasa hebat dalam hal pemikiran, dan ada pula yang merasa hebat dalam hal peribadatan. Di usia 25 tahun ini, seseorang akan mengalami fase keterbalikan dari rumus ukuran yang sempat ia anggap benar. Ia akan disadarkan bahwa ukuran-ukuran dan persepsinya dalam melihat hidup harus melibatkan Tuhan sebagai perancang utama kehidupan langit dan bumi dan segala semesta alam.

Usia 21 – 24 
Belajar mengukur, analisis, observasi, inspeksi, optimisme, search, research, masa depan, masa lalu, menakar kemampuan, memandang dinamika keadaan, menelisik tujuan.
Ekses minus :  over kalkulatif, percaya ukurannya sebagai standar kebenaran, ambisius, menabrak norma / ukuran umum / paugeran.

Usia 25 (SELAWE)
Sinau kemlawe, tandang, menep
Ekses minus : leyeh-leyeh, lenggang (tinggal glanggang colong playu). Acuh tak acuh, cuek, tak bertanggung jawab.

Usia 26 – 29 
Mengukur dengan lebih cermat ; Mengalikan/memberkalikan kesungguhan. Membagi skala prioritas/ menata. Menambahkan kesadaran/introspeksi. Mengurangi ambisi-ambisi melampaui batas.
Ekses minus : pesimistis, paranoid, over dramatic calculative, takut kepada hitungan sendiri

Konsep LUH-LUHAN (Luluh, Peluruhan)

Yakni fase manusia pada rentang usia 31 – 39 tahun. Pada usia ini seseorang sudah dianggap bagian inti yang produktif bagi pertahanan hidup sebuah Kawasan. Ia bisa menyumbangkan tenaga, pemikiran, dan harta, atau salah satu dari ketiganya untuk melebur menjadi bagian dari hajat bersama dalam sosial kawasan. Di usia ini banyak yang sudah melanjutkan menjadi Bopo atau Biyung, menjadi Yayah atau Wibi. Pelajarannya adalah meluruhkan keinginan dan kepemilikan pribadi untuk pihak lain dengan segenap kasih sayang. Pada fase ini maka, mereka sudah memiliki kulowargo atau keluarga sendiri. Bagi keluarga yang lebih sepuh akan memberikan banyak support kepada pasangan keluarga muda yang masih belum banyak pengalaman dalam menghadapi & menyelesaikan beberapa persolaan. Demikian maka fase ini akan kembali kepada fase tentang Keluarga di awal. Keluarga sebagai turunan Dusun, Dusun sebagai turunan Luhurah.

Wilayah Kelurahan

Wilayah ini adalah kawasan yang tergabung dari beberapa Padusunan. Sebuah Kelurahan dipimpin oleh seorang Luhurah yang bertugas merentangkan dan menjulurkan kehidupan, meluhurkan kehidupan. Luhurah adalah sosok yang dianggap pantas memimpin di atas para Dhusun karena kehandalan, kelebihannya dan kematangannya dalam memimpin. Luhur = Tinggi, Mulia. Rah = Rah : Hidup/ Kehidupan/ Putaran kehidupan/ Darah. Luhur Rah = Kehidupan yang mulia / kehidupan yang luhur.

Luhurah kini disingkat menjadi Lurah. Inilah kondisi struktur sosial yang representatif dengan kondisi Paradesa. Maka kawasan di bawah kepemimpinan Lurah ini lebih ditengarai sebagai Desa. Dinamikanya lebih kompleks, namun bisa membina hubungan saling memudahkan dan meringankan satu dengan yang lain. Disini pula lahir tradisi kebersamaan Gotong Royok-Boyong (Gotong Royong) atau Gugur gunung sebagai kegiatan kebersamaan masyarakat yang hidup bareng dalam keluarga besar yang menjunjung keluhuran di wilayah Kelurahan.

Lurah akan saling bersambung dan berjalinan dengan Kelurahan yang lain untuk membangun kawasan terintegrasi secara lebih luas. Kawasan berikutnya ialah Kademangan yang dipimpin oleh seorang Demang. Kademangan akan saling bertaut dan bergabung dengan Kademangan lain dengan kawasan yang disebut sebagai Kadipaten dengan pemimpin yang ditunjuk dengan sebutan Adipati. Kadipaten terintegrasi dengan Kadipaten yang lain dalam kawasan yang disebut sebagai Keratuan dengan pemimpin yang disebut sebagai Ratu atau Sang Noto atau Prabu. Keratuan sering disingkat menjadi Kraton. Maka untuk mendapati kawasan Keratuan yang sayuk rukun, toto titi tentrem kerto raharjo bermula dari kondisi paling mendasar sebagai komponen termungilnya yakni Keluarga yang dipimpin dengan baik untuk mengawal generasi seiring umur dengan pendidikan yang baik. Kemudian masing-masing keluarga diatur di bawah kepemimpinan Dusun yang baik, dan seterusnya. Maka pembinaan pada level keluarga inilah yang sangat fundamental mempengaruhi pengukuhan kedaulatan sebuah kawasan yang berbudi-pekerti luhur.

TIM GUGURGUNUNG

05 JULI 2017.

Tatanan Desa Turun Temurun

keluarga

Pada pembahasan sebelumnya kita bahas tentang Desa yang beratutan dengan Paradise dan Firdaus. Kini kita mulai untuk memahami kondisi Desa yang sejak awal jaman dibangun hingga untuk diterapkan pada akhir jaman. Perubahan Desa secara fisik pasti terjadi, namun konsep utama desa atau kawasan sebisa mungkin tetap dipertahankan sebagai bagian dari memperjuangkan Sunatullah. Kenapa demikian? Sebab kawasan yang dihuni oleh manusia seyogyanya tidak terlepas apalagi melepaskan diri dari urusan langit.

Sejak mula, desa dibangun dengan konsep pertautan antara langit dan bumi. Sebab konsep kehakikian penciptaan dengan unsur Sukma, Jiwa, dan Jasad telah secara baik dipahami oleh leluhur kita yang memiliki pengetahuan bulat tentang sebuah kediaman atau kawasan yang sempurna bernama Surga. Kembali saya ingatkan untuk jangan terjebak menganggap bahwa kehidupan awal manusia itu primitif, dungu, kagetan, gumunan dan tak tahu apapun kecuali memenuhi urusan perut. Itu salah parah karena sama saja menuduh Nabi Adam AS sebagai yang pertama adalah sosok yang demikian. Justru dari sekian rentang peradaban, jika ada yang paling dungu, kagetan, gumunan, adalah peradaban kita saat ini.

Pengetahuan leluhur yang adiluhung memberangkatkan peradaban dengan keindahan, kebaikan, kebenaran, sebagai konsep dasar ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan segala hal pasti dengan unsur itu ; Baik, Benar, Indah. Unsur ini adalah unsur spiritual. Tidak membosankan dan senantiasa menebar menyalurkan inspirasi. Oleh sebab itu Sandang dirancang dengan konsep spiritual. Papan dibangun dengan konsep spiritual. Pangan dikembangkan dengan mengacu pada tatanan dan paugeran spiritual. Sehingga para leluhur kita seakan tidak mau menyia-nyiakan sejengkal tanahpun tanpa ada Tuhan padanya. Tak ingin mengabaikan peristiwa apapun tanpa ada andil Tuhan di dalamnya. Tak ingin membuang hal sepele apapun tanpa meminta ijin dan mempertimbangkan jauh ke depan sebagai tanggung-jawab perilakunya kepada Tuhan. Leluhur kita disebut luhur bukan karena sudah menjadi ruh-ruh gentayangan. Disebut luhur karena telah meruhani menjadi satu dengan spirit keluhuran akibat dari perilakunya di dunia yang senantiasa menjaga keluhuran.

Konsep Keluhuran inilah yang hendak terus diwariskan kepada anak turun hingga pada jaman kita saat ini. Ada istilah “Wong kang ngalah luhur wekasane” / Orang yang mengalah akan membekaskan keluhuran, “Budi luhur lembah manah andhap asor” / Budi yang luhur, dan rendah hati, “Wong luhur iku awit premono ing Kang Moho Luhur” / Orang luhur itu akibat dari ketelitiannya pada Yang Maha Luhur. Untuk menyusun skema keluhuran ini, dibuatlah beberapa lapis kepemimpinan untuk kemudian saling berpilin berjalinan pada kelompok sosial lebih besar.

Keluarga (Kulowargo)

Inilah pola paling fundamental yang akan memberangkatkan warganya melakukan perjalanan menemukan keluarga-keluarga berikutnya dalam ikatan dan pengalaman lebih luas dan terintegrasi. Oleh sebab itu, sejak bermula dari sini peraturan utama yang ditanamkan adalah kejujuran sebagai representasi sikap luhur. Setelah kejujuran, setiap keluarga akan menanamkan kegembiraan saling berbagi sebagai bekal kehidupannya yang kelak makin harus mengerti bahwa untuk dimengerti dan diperhartikan oleh Tuhan, maka harus mengerti dan memberi perhatian kepada makhluk ciptaanNya.

Konsep Tunggal, adalah pendampingan keluarga kepada anak usia dengan nomina angka Tunggal 1 – 9 tahun. Konsep yang diberikan adalah memahami anak bahwa karena usianya tunggal maka anak perlu diakomodir semestanya yang merasa menjadi ‘pusat semesta’, menjadi pihak yang harus mendapat predikat terbaik, memperoleh hadiah dan pujian terbaik, mendapat perhatian utama, dan mendapat pengakuan dari lingkungannya. Inilah yang perlu dipahami orangtua kepada anaknya pada fase usia tunggal. Selain itu, orangtua perlu membuat pagar-pagar (paugeran) agar dengan karakternya yang seperti itu, anak tetap bisa belajar tentang berbagi. Konsep ini akan terus berangkat ke fase usia berikutnya, yakni usia las-lasan usia belas kasih (kawelasan). Pada ‘pemerintahan’ keluarga. Bapak, atau BOPO, adalah sebagai ‘kepala negaranya’. Disebut Bopo karena Ubo lan Upo, Ubo itu ubet, obah, bergerak untuk memenuhi fasilitas keluarga. Upo adalah adalah Nasi, simbol pangan, Upo juga merupakan Upoyo, dimana Nasi yang didapatkan harus dengan usaha dan upaya yang baik, benar, serta indah, agar menjadi hidangan yang memberikan vibrasi dan kadar cahaya berkah yang besar bagi keluarganya.

Konsep Kawelasan, yakni untuk fase usia 11 – 19 tahun. Di usian ini anak sudah menemukan keluarga yang lebih besar. Demikan dahulu, ke depan kita lanjutkan pembahasan tentang Konsep Kawelasan dan ke atasnya.

TIM GUGURGUNUNG

04 Juli 2017