Senin, 03 Juli 2017 naskah teater yang akan dibawakan di Fuadussab’ah berjudul “Percakapan Jabang Bayi kepada Diri” sudah jadi. Di malam itu juga terjadi rembug terkait teater di rumah Dian yang kemudian berniat untuk berlatih ke Ndalem Kasepuhan di Pringapus. Tetapi karena masih ada tamu dari luar kota yang singgah dirumah Dian, akhirnya latian tetap berlangsung dengan bertempat dirumah Dian. Hingga hari kamis malam Dua dulur Gugurgunung tersebut akhirnya diperjalankan untuk berlatih di Art café Pringapus, Ungaran.
Kamis, 06 Juli 2017 malam seperti biasanya jalanan kota Semarang nampak padat dan ramai para pengguna jalan. Di jalan raya Solo-Semarang yang tepatnya di daerah Banyumanik tampak 2 pemuda yang sedang sibuk mengamati dan mencari apa yang terjadi dengan motor yang dikendarai mereka hingga tiba-tiba mogok. Ya, mereka adalah Dian dan Chafid yang berniat ke Art Café di Pringapus, Ungaran untuk menemui mas Agus Wibowo guna berlatih teater singkat/monolog yang berjudul “Percakapan Jabang Bayi kepada Diri”. Naskah teater ini tidak mengisahkan tentang Pakde Fuad, namun lebih kepada perjalanan seorang manusia. Naskah yang hadir berisi pembahasan tentang warna & cahaya yang pernah beberapa kali di bahas ketika melingkar, dengan polesan mas Agus, voílā, jadilah naskah ” Percakapan Jabang Bayi kepada Diri “. Naskah teater ini akan dipersembahkan di rutinan Padhang Mbulan yang bertema Fuaddusab’ah (Hati yang Tujuh). Acara ini merupakan momen untuk mensyukuri tanggal kelahiran Pakde Fuad Efendy (Cak Fuad). Beliau yang lahir 70 tahun yang lalu, tepat tanggal 7 bulan 7 pada tahun 1947, yang mana beliau memiliki keidentikan dengan angka tujuh (7) termasuk nomor rumahnya yakni 77.
Setelah cukup bergelut dengan usahanya, kedua dulur Gugurgunung ini mendapat jawaban dengan datangnya salah satu dulur Gugurgunung yakni Majid yang membawa motor yang sehat guna ditukar dengan motor yang dikendarai Dian dan Chafid agar dikendarai ke Pringapus untuk tetap berlatih teater.
Sungguh ini bagi kami keluarga Gugurgunung merupakan adegan gelaran kesanggupan yang diperjalankan Gusti Allah yang begitu indah dan menggugah gelora di dada. Dan perjalanan berlanjut, Dian dan Chafid melanjutkan perjalanan ke Pringapus dan berlatih teater, begitu pula Majid kembali ke Bangetayu dengan kendaraan yang tadinya mogok dapat hidup dan aman hingga sampai tujuan.
Jumat 07 Juli 2017 malam perencanaan teknis menghadiri Fuadussab’ah di jombang telah mencapai mufakat pukul 21:00 wib dengan mengirim 8 delegasi Majlis Gugurgunung untuk berangkat ke Padhang Mbulan. Diantaranya 5 orang dari Semarang (mas Padmo, mas Kasno, mas Didit, Chafid, Dian), 1 orang dari Ponorogo (Arif), 1 orang dari Malang (Andhika), dan 1 orang dari Tuban (mas Yoyok).
Malam belum terlalu larut, datanglah mas Koko yang merupakan salah satu dulur Gugurgunung ke rumah Dian dengan membawa kaos Majlis Gugurgunung untuk dipakai Chafid saat berangkat ke Jombang sekaligus mewakili dirinya melalui kaos yang dipinjamkannya.
Malam bergulir dan di ufuk timur sudah mengintip secercah sinar di hari ini Sabtu, 8 Juli 2017, tanda awal kehidupan kembali dimulai. Segera bersiap dan bergegas menuju tempat yang telah menjadi krenteg bersama kami Majlis Gugurgunung. Yakni, menghadiri Fuaddusab’ah (Hati yang Tujuh) yang menjadi tema Padhang Mbulan malam ini di Menturo, Jombang.
Diawali dengan berkumpulnya rombongan dari Semarang yang terdiri dari 3 orang (mas Kasno, Chafid, dan Dian) dari Bangetayu dan 1 orang (mas Didit) dari Bulu, yakni di Sekolah Alam Arridho Tembalang, Semarang. Pertemuan disepakati jam 6, yang kemudian langsung menuju Kasepuhan (kediaman mas Agus Wibowo) di dusun Bodean, Pringapus Ungaran untuk meminta Do’a restu atas keberangkatan para delegasi ke Jombang sekaligus menjemput 1 dulur (mas Padmo) yang tinggal di Bodean.
Sampai di Kasepuhan, rombongan langsung dipersilahkan untuk duduk dan menikmati suguhan sarapan ruhani dan jasadi yang sudah disajikan oleh tuan rumah. Ruhani yang dimana mas Agus medhar tentang Duha (didudohake hawa) fenomena dichargernya Mahkluk hidup, maka dari itu banyak burung yang mengoceh bernyanyi riang menyambutnya. Bukan hanya bururng, bahkan semua makhluk menyambut Duha dengan sesuatu yang terpuji dan pasti jelas teruji. Sarapan Jasmani yakni Nasi Jagung dan teh hangat yang mengingatkan kearifan dan kebijaksanaan leluhur dalam memuliakan tamu dan memuliakan semesta termasuk pengolahan makanan. Di tengah-tengah kemesraan itu mas Agus memberi beberapa pesan untuk “bekal” keberangkatan para delegasi ke jombang. Diantaranya menunjuk mas Kasno untuk membacakan priambul teater yang berjudul “Percakapan Jabang Bayi kepada Diri” yang sudah disiapkan sedulur Majlis Gugurgunung sebagai persembahan di Fuaddusab’ah. Juga menjelaskan bahwa ketidak ikut sertakan dulur-dulur secara jasad, termasuk mas Agus, Justru melatih dulur-dulur yang hadir untuk latihan “ngawak”, menghadirkan beliau-beliau yang tidak sempat hadir tetap turut hadir bersama kita. Kami diingatkan pula untuk menikmati perjalanan yang dimana adalah satu bagian yang tidak boleh di lupakan, karena kita boleh berlogika ataupun menjangka jarak tempuh, tetapi kita juga perlu mengingat bahwa Gusti Allah lah yang memperjalankannya.
Setelah dirasa cukup, Para delegasi memulai perjalanan (08.45 wib). Rombongan bertolak menuju ke Jombang dengan rute via Solo – Wonogiri – Slogoimo – Ponorogo guna menghampiri salah satu dulur Gugurgunung (Arif) yang untuk sementara waktu tinggal disana.
Sekitar pukul 15.05 wib rombongan dari Semarang sudah sampai di Ponorogo dan langsung melanjutkan perjalanan dengan bertambah 1 orang (Arif) yang naik dari Ponorogo. Perjalanan berlanjut dengan menempuh jalur selatan Trenggalek – Tulungagung – Kediri – Kertosono – Jombang.
Pukul 15.30 rombongan berhenti sejenak di kota Trenggalek untuk istirahat sejenak dan menyantap masakan khas kota Trenggalek yakni, Nasi Lodho. 16.00 wib perjalanan dilanjutkan menyusuri jalanan berliku perbukitan di Kota Trenggalek dan berlanjut sampai di Kota Kediri sekitar pukul 18.00 wib dan disambut kemacetan yang cukup luayan hingga masuk Kota Jombang dan waktu menunjukkan pukul 20.00 wib.
Mas Yudis salah satu crew dari Kiai Kanjeng terus memantau perjalanan kami dari Kediri hingga sampai Menturo Jombang guna memastikan keadaan kami di perjalanan dan mengatur jadwal Teater Gugurgunung akan tampil jam berapa.
08.20 wib sudah sampai di depan pasar Peterongan Jombang dan berhenti sejenak guna menghampiri salah satu dulur Gugurgunung yakni Andhika yang berangkat dari Kota Malang dan memang sudah sejak pukul 18.30 wib sudah menunggu kedatangan kami. 7 perwakilan dari Gugurgunung menuju lokasi Padhang Mbulan malam ini di Menturo Sumobito, Jombang .
Sesampai di lokasi kami langsung disambut dengan hangat oleh dulur-dulur Maiyah yang sudah hadir disana. Dan di depan masjid di pelataran tempat Padhang Mbulan berlangsung tampak salah satu dulur yang juga perwakilan Gugurgunung (mas Yoyok) dan salah satu crew dari Kiai Kanjeng (mas Yudis) yang menunggu kedatangan kami. Lengkap sudah 8 orang perwakilan dari Majlis Gugurgunung berkumpul di satu titik ordinat. Yakni, di Majlis Ilmu Padhang Mbulan yang mengangkat tema Fuaddusab’ah (Hati yang Tujuh). Kami langsung dipersilahkan untuk istirahat dan menikmati hidangan yang sudah disiapkan. tampak mangkok-mangkok nasi soto berjajar rapi yang memang telah disiapkan untuk Jama’ah yang hadir. Usai menyantap hidangan, kami menuju kembali ke Masjid untuk bersih-bersih dan sholat.
Setelah dirasa cukup, kami dipersilahkan memasuki ruang backstage (belakang panggung) untuk mempersiapkan diri. Pukul 22.00 wib, persembahan dari simpul dimulai dengan Maneges Qudroh yang membawakan teater puisi dengan diiringi musik juga pemain pantomim. Semakin meriah acara malam hari ini usai mendengar puisi yang kritis namun dikemas manis.
Usai Maneges Qudroh, langsung Majlis Gugurgunung menaiki panggung. Empat orang yang sedari tadi terus mengelap keringat sebesar biji jagung ini akhirnya harus pula menampilkan performa sebaik dan sejujur mungkin diatas panggung. Diawali dengan kalimat priambul dari mas Kasno, dengan rambut gondrong dan sarung hitamnya yang khas sebagai penampilannya, mampu menyita perhatian Jama’ah dengan kalimat serasi nan harmonis yang dirangkai selama perjalanan dengan didiskusikan bersama mas Agus dan mas Yudi Rohmad melalui Whatsapp. Setelah dipersilahkan oleh mas Kasno, dimulailah teater singkat dari 3 orang ini yakni Chafid, Dian dan Andhika. Mas Chafid sebagai Jabang Bayi, sebagai diri yang senantiasa mengingatkan tentang pengabdian dalam kehidupan. Mas Dian sebagai Jabang Warna, dan Andhika sebagai narator yang menceritakan jalannya cerita kepada penonton.
Penampilan teater Gugurgunung mendapatkan sorakan dari penonton dengan acting para pemainnya yang pas dan totalitas. Persiapan yang sebenarnya cukup singkat ini namun tetap mendapatkan apresiasi yang cukup istimewa dari Jama’ah yang hadir, terasa terbayarkan antara rasa nervous sebelum menaiki panggung dengan tepuk tangan dari Jama’ah. Tentu peran serta dari dulur-dulur Gugurgunung sangat memberi kami dorongan semangat hingga selesai dibawakannya teater ini.
Setelah turun dari panggung, kami kembali melingkar di backstage (belakang panggung). dan tak lama kami dipanggil kembali ke tas panggung untuk menerima hadiah dari Pakde Fuad kepada Majlis Gugurgunung yang kali diberikan kepada mas Kasno untuk mewakili kami ke atas panggung dan menerima hadiah tersebut. hadiah tersebut adalah 3 buku tulisan Pakde Fuad. diantaranya; 77 pertanyaan seputar bahasa Arab, 77 pertanyaan tentang Al Qur’an, dan 77 hadis tentang akhlak. sungguh tak terbendung kebahagiaan kami Majlis Gugurgunung menerima pemberian dari Pakde Fuad tersebut.
Ada kebahagiaan tersendiri di backstage (belakang panggung). Karena di ruangan ini terdapat toilet, dan ruangan ini sangat dekat dari panggung, kami dapat “panen salim” kepada bapak-bapak Kiai kanjeng (Pakdhe Joko Kamto, Mas Islamiyanto, dll), mas Sabrang, Kyai Muzammil, dll. Ada pula yang “panen rapal wirid” dari Kyai Muzammil. Yakni, Andhika. Dimana secara tiba-tiba Kyai Muzammil duduk di sebelahnya dan dengan sedikit obrolan ringan Andhika memberanikan diri meminta “rapal” untuk wiridan. Gayung bersambut, Andhika diberi rapal dengan lembut dibisikkan kepadanya oleh Kyai Muzammil.
Acara Fuadussab’ah malam ini cukup spesial karena dihadiri oleh orang-orang besar yang dapat kita jadikan sebagai guru dan tauladan kehidupan. Seperti bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib, Pakde Fuad, Syekh Nursammad Kamba melalui tulisannya, Pak Edot, dll. Dihadiri pula Kyai Muzzammil sebagai MC pada malam hari ini yang kerap mempergunakan bahasa Arab untuk membawakan acara malam hari ini.
Ada beberapa poin yang tercatat di diskusi malam ini. Diantaranya, “cantik itu tidak terlihat, yang terlihat adalah wajah yang disemayani kecantikan”. “cahaya itu tidak terlihat, yang terlihat adalah molekul atau benda yang disemayami cahaya”. “Seluruh surat dalam Al Qur’an tibake ono winihe (mbah Nun)”. Yang ternyata Sefrekwensi dengan mas Yudi Rohmad ا ل ن و ي adalah huruf yang selalu ada di di seluruh surat di dalam Al Qur’an النوي yang berarti winih (biji). “Ulama ialah, orang yang menghayati alam semesta dan menemukan kekaguman kepada Allah SWT (Mbah Nun)”. “Nasab sangat penting untuk memahami di mana dan bagaimana mustinya kita, melakukan pelacakan data kembali tentang lelaku para pendahulu kita, meskipun tidak harus terakurasi 100%, dan Tirakat akan membantu mempermudah/memperingan beban generasi selanjutnya. Apabila ini adalah lelaku dari generasi ke generasi maka jangkauan anak cucu kita akan lebih meluas (gus Sabrang)”. “7 golongan orang Fillah yakni Pemimpin yang adil, Orang yg hatinya senantiasa terpaut dengan Masjid, dst (Pakde Fuad )”.
Tepat pukul 03.00 Padhang Mbulan edisi Juli 2017 ditutup dengan do’a dan berjabat tangan hingga waktu menunjukkan pukul 03.40. kami berpamitan dan langsung melanjutkan perjalanan kembali ke semarang dengan hati yang bahagia luar biasa.
Pukul 06.00 rombongan sudah sampai di terminal Madiun. Rombongan turun dan bersama-sama sarapan pagi tiu. Tampak wajah-wajah yang masih penuh energy dan tak terlihat raut wajah kantuk dan lelah walaupun tidur hanya beberapa jam saja dari tanggal 7 malam, bahkan ada yang tidak tidur sama sekali. Energi ini tak lain adalah energi dari dulur-dulur yang hadir dengan cara tidak hadir yang diperjalankan Allah mentrasfer energinya kepada dulur-dulur yang berangkat ke jombang hingga sesegar ini.
Pukul 08.30 setelah sarapan, bersih-bersih, dan berbincang-bincang di bawah rindangnya pohon kresen. Arif berpamitan untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Ponorogo, begitu juga 6 dulur lainnya berpamitan untuk kembali ke Semarang.
Pukul 11.30 rombongan sudah sampai di Kota Solo. Andhika yang memang sedang ada keperluan lagi di Solo mohon pamit kepada dulur-dulur yang lain untuk melanjutkan perjalanan di Solo. Kemudian rombongan yang terdiri dari 5 orang kembali melanjutkan perjalanan menuju Semarang.
14.00 rombongan sudah tiba kembali di Ndalem Kasepuhan di Bodean Pringapus, Ungaran. Tampak mas Agus memang sudah sedari tadi menanti kedatangan dulur-dulur dari Jombang. Di kasepuhan lingkaran kehangatan kembali terjalin hingga adzan Maghrib berkumandang dan dibarengi digulungnya tikar di Ndalem Kasepuhan.
Tim 8 Gugurgunung (Kasno, Padmo, Didhit, Arif, Yoyok, Andhika, Dian, dan Chafid)