majlisgugurgunung:: Bertempat Perum Korpri di kelurahan Tugurejo Semarang, Masyarakat Maiyah gugur gunung diberjalankan untuk ikut bermesraan di majlis Istighotsah Tugurejo Semarang dalam rangka bermunajat dan bermesraan dalam tali silaturahmi dengan tujuan agar lebih membangun cinta kepada Allah dan Rasulullah.
Istighotsah dimulai dengan Basmalah dan dilanjutkan oleh Pak Wit yang memaparkan serangkaian acara yang direncanakan di majlis Istighotsah Tugurejo. Selesai memaparkan serangkian acara yang direncanakan di majlis Istighotsah, dilanjutkan menginjak di acara yang pertama yaitu bermunajat secara berjama’ah yang dipimpin oleh Pak Nidhom.
Suasana sungguh khusyuk malam itu, lantunan demi lantunan pujian dihaturkan dengan penuh cinta oleh para jama’ah yang hadir malam itu. Aliran kasih sesama yang terus menerus membumbung keatas hingga menumbuhkan suasana yang begitu menentramkan hati.
Setelah lantunan munajat selesai dibacakan oleh jama’ah, acara dilanjutkan dengan berdiskusi yang di moderati Kang Jion. Tema yang diangkat untuk diurai dan ditemukan kebermanfaatannya adalah “Audisi Pinggir Kali”.
Dari Kang Jion langsung diteruskan ke Pak Hasan untuk memaparkan mukadimah tentang tema yang diangkat; “dewasa ini sering kita saksikan entah di layar kaca atau di lapisan masyarakat manapun sedang ramai mengadakan audisi ini itu. Dimana audisi tersebut terdapat riuh ramai penonton dan ada beberapa orang yg ditunjuk sebagai juri untuk menilai mana-mana dari peserta audisi yang lebih baik dan kemudian dipilih sebagai pemenang. Sedangkan kali/sungai adalah suatu simbol yang cukup menarik dan sering digunakan baik di masyarakat Jawa bahkan di Al Qur’an pun beberapa ayat menyebut tentang sungai. Sungai bila kita lihat dari jasadnya adalah suatu jalan yang memposisikan dirinya dilewati air yang bersumber dari Gunung kemudian mengalir melalui sungai sampai tiba di Samudera. Tak sedikit pula catatan sejarah tentang sungai, Nabi Musa yang setelah lahir kemudian dihanyutkan ke sungai oleh Ibundanya, di Jawa sendiri memiliki catatan sejarah tentang Sunan Kalijaga yang diperintah Sunan Bonang untuk duduk bersila di pinggir sungai hingga bertahun-tahun lamanya. Sungai juga bisa di analogikan sebagai tempatnya kehidupan. Kemudian pinggir/tepi disini lebih diambil sebagai laku menepikan diri dalam kehidupan untuk lebih mendekat kepada Allah”.
Setelah Pak Hasan selesai membacakan mukadimah, pembahasan dilanjutkan Oleh Mas Agus; “kita hidup di dunia ini untuk menebar salam seluas mungkin, atau berlomba-lomba untuk lebih unggul dari pada makhluk yang lainnya?
Jika yang dipilih adalah pilihan yang kedua, amatlah sayang sekali karena itu secara tidak langsung sudah meleset dari Islam yang rohmatan lil ‘alamin. Bahwa manusia Islam adalah yang senantiasa menebarkan salam dimanapun berada. Salam adalah janji akan menjaga harta, martabat, dan keamanan yang diberi salam. Tapi apakah masih berlaku salam itu jika tujuannya untuk lebih unggul dari yang lainnya?
Kita sebagai manusia memanglah akan selalu beraudisi di panggung hiburan bernama dunia. Tapi disini yang menjadi juri bukanlah sesama manusia, akan tetapi jurinya adalah Allah langsung. Jika yang kita ambil sebagai juri hanya manusia, itu hanya akan melahirkan pemenang yang berjuang sekuat tenaga agar dipandang lebih baik dari pada manusia lainnya. Dengan itu dia jadi merasa berhak atas keunggulannya dan bebas untuk merendahkan yang lainnya.
Mengambil salah satu dari ilmu kebijaksanaan Jawa tentang panggung. Ada istilah kukilo, dimana kukilo ini adalah jenis burung yang manggung (Perkutut, Puter, Dara, dst). Sedangkan burung yang berkicau dinamakan Peksi.
Kukilo berasal dari kalimat aku iki lilo (aku rela). Masyarakat Jawa lebih memilih Perkutut yang berasal dari kalimat aku tutut (aku menurut, jinak) karena dianggap paling bagus manggungnya. Perkutut yang bagus adalah ketika manggungnya mampu membunyikan “Lar Keteg Gung”, apalagi jika Gungnya sampai 3 kali.
Jika coba kita urai, lar berarti : sayap, keteg adalah : sampai kepada, dan gung adalah : Yang Maha Agung. Sehingga jika disatukan akan menjadi terbang melayang menuju ke tempat yang Maha Agung. Tujuan mana lagi yang akan kita tempuh jika bukan yang Maha Agung?
Jadi aku harus rela dan mau menurut karena semua yang aku lakukan adalah langkahku untuk menuju ke tempat yang Maha Agung.
Ibarat jemari, ketika jemari tak mau bersujud membentuk posisi genggam dan lebih memilih untuk tetap menegakkan kekakuannya dalam bentuk lurus, maka sudah pasti tidak akan ada gawe.
Sadar tidak sadar, 4 jari kita ini (telunjuk, tengah, manis, kelingking) adalah berhala (keakuan) yang sering kita sembah.
Jari telunjuk, dimana itu adalah rasa berkuasa sehingga bebas menunjuk-nunjuk yang lain untuk disalahkan bahkan menurutinya. Kemudian jari tengah, adalah merasa lebih tinggi daripada yang lainnya, sehingga merasa pantas dan berhak untuk merendahkan yang lainnya. Yang ketiga adalah jari manis, dimana jari manis adalah jari yang sering disematkan cincin untuk memperindah. Jari manis ini sering merasa paling berkuasa di wilayah keindahan, yakni merasa paling cerdas, paling pintar, paling ganteng, paling cantik, dst. Yang keempat adalah jari kelingking, jari ini tdk bisa apa-apa karena bentuknya yang paling kecil. Tetapi jari ini jauh lebih halus pengenalannya dari pada yang lainnya. Bila ketiga jari yang lain tadi pastilah mudah diidentifikasi karena berbentuk dan terlihat dipandang oleh sekitar, sehingga mudah dikenali. Namun berbeda dengan jari kelingking yang letak kekuasaanya di dalam yang bentuknya lebih halus. Ini adalah rasa dimana seseorang merasa paling rendah hati, paling suci, paling beriman, paling zuhud, dst. Ini menjadi sangat berbahaya karena letaknya di dalam dan kita sendiri yang mampu mengenalinya. Jika kita tak mau dan tak peduli terhadap potensi berhala yang satu ini, maka sulit untuk mendapat koreksi langsung dari sekitar bahkan malah mendapat sanjungan dan pujian karena dianggap lemah lembut dan taat beribadah.
Tetapi jika kesemua jari mau untuk bersujud, maka akan membentuk suatu genggaman yang kuat dan dapat bermanfaat. Dalam bersujud ini tidak mungkin dapat dilakukan jika tak ada kerelaan. Kerelaan disini berarti mau menerapkan kalimat Thoyibah dalam kehidupan, dimana jari telunjuk yang menjurus kepada Subhan Ana harus diluruhkan menjadi Subhanallah, kemudian jari tengah yang menjurus kepada Alhamdu Ana harus diluruhkan menjadi Alhamdulillah, jari manis yang menjurus kepada Lailaha Ana harus diluruhkan menjadi Lailahailallah, dan yang terakhir jari kelingking yang menjurus kepada Ana Akbar harus diluruhkan menjadi AllahuAkbar. Proses ini butuh perjuangan yang terus menerus, tidak bisa sekali usaha langsung sama dengan beres selamanya. Ini seperti memotong kuku di ujung-ujung jari. Seperti pula jari-jemari yang kadang memang harus bersikap meregang dan ada pula saat untuk tergenggam.
Yang tidak bisa dilepaskan dari tema jari adalah keberadaan kuku. Kuku itu dari kata “ngaku-ngaku”, suka mengakui yang bukan miliknya. Kotoran hitam yang menyelinap dibalik kuku datang dengan sangat alamiah dan tidak terasa. Maka, wajarlah manusia masih memiliki ‘keakuan’ sebagai bagian alamiah nafsu, namun perlu diingat bahwa keakuan yang kemudian disembah akan menjelma menjadi berhala yang lebih berkuasa dari apapun dalam hidup.
Diskusi terus berlanjut dengan begitu gayengnya. Tanya jawab, tukar pendapat dalam rangka mencari kebenaran bersama terus mengalir hingga waktu menunjukkan pukul 22.30 dan pengajian malam Jum’at Kliwon di Majlis Istighotsah Tugurejo menuju ke penghujung acara. Sebelum ditutup, majlis diakhiri dengan sedikit kesimpulan.
Bahwa dalam hidup, kita semua menghadapi semacam audisi, kita diamati dan dinilai hingga pada suatu saat diaudit / dihisap kualitasnya. Tema “Audisi pinggir kali” ini semoga mampu mengingatkan kita bahwa semua manusia yang hidup di bumi belum terbukti pasti baik dan pasti sabar sebelum masa penghitungan. Semua masih dalam proses menjadi lebih baik dan menjadi lebih sabar. Pinggir Kali bisa juga diartikan di penggalan waktu, sebab ‘Kali’ tidak selalu berarti sungai melainkan juga ‘waktu’ yang mengalir pula seperti sungai. Maka ada Kali dan Kala sebagai istilah waktu. dalam Al Qur’an pada beberapa ayat Allah SWT sering menggunakan pembukaan dengan menyebut waktu. Seperti misal Wadhdhuhaa atau Wal ‘Ashri. Dalam Al ‘Ashr misal, di situ disampaikan oleh Allah bahwa manusia tidak dianjurkan untuk merubah manusia lain melainkan hanya sekedar menjadi wasiat atau penganjur kepada yang lainnya dalam hal kebaikan dan kesabaran. Agar waktu yang dilalui tidak membuatnya menjadi manusia yang rugi. Dengan apa kita menganjurkan atau berwasiat kepada yang lain? Bukan pada lesan utamanya sebuah anjuran melainkan dengan perbuatan yang membawa arus ‘mata air’ (manfaat dan menyejukkan) yang mengalir terus menerus, sebab perbuatanlah yang akan memberi bukti lebih konkret tentang kebaikan dan kesabaran seseorang dalam menjalani kehidupan. Majlis kemudian dipungkasi dengan do’a.
Redaksi Majlis Gugur Gunung