Srawung Eling

Manusia diperkenankan untuk membangun peradaban yang segemilang mungkin. Sehingga munculah berbagai peradaban manusia yang sangat unggul di atas bumi ini. Peradaban ini lantas musnah dan hanya meninggalkan puing-puing sebagai artefak hasil pencapaian peradabannya. Di antara peradaban yang hebat itu ada yang bahkan masih misteri dan tidak dapat dirumuskan oleh manusia sesudahnya. Kisah-kisah itu menjadi contoh bahwa kecanggihan yang dicapai suatu peradaban manusia akan menjadi hanya sekadar bangunan kertas yang diimajinasikan memiliki kecanggihan teknologi. Bangunan ini sangat rapuh dan mudah sekali musnah.

 

Kekuatan bangunan itu apabila disokong oleh rasa kemanusiaan yang tangguh, bening, dan beradab. Ketika kualitas itu pudar, maka pudar pula kualitas produk yang mereka hasilkan. Mereka tidak bisa mengandalkan ilmu yang ilmu itu justru terpakai untuk melupakan yang memiliki dan memberikan ilmu tersebut. Kehebatan ilmu yang dikaruniakan kepada kaum-kaum terdahulu seolah sudah sangat kuat dan tidak terbatas, sehingga sisa ketangguhan dan estetikanya masih bisa bertahan lama dan beberapa dapat disaksikan oleh manusia berabad-abad setelahnya.

 

Bisa jadi manusia selanjutnya iri dengan pencapaian yang dapat diraih pendahulu mereka, namun bisa jadi para pendahulu yang telah dimurkai oleh Allah itu justru mengidamkan atau merindukan kehidupan yang tidak perlu terlalu pandai namun masih memiliki ingatan serta tunduk kepada Tuhan. Ada satu kondisi dimana tidak terlalu pandai menjadi kesadaran motivasi dan ingat akan kelemahan diri, motivasi untuk terus berbenah dan sadar untuk tidak patut bersikap melampaui batas dan bahkan bersikap ingkar.

 

Tahun ini hampir usai dan bulan depan kembali Majlis Gugurgunung melaksanakan Tancep Kayon. Mari kita mengevaluasi diri bersama-sama dengan sinau bareng. Yang masih lemah dan kurang tidak untuk membuat kita ringkih, yang telah tumbuh dan kuat tidak untuk membuat kita angkuh.

Masyarakat Lebah Me-Madu

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
(Peradaban Robbun Ghafur)

Semua orang memiliki keinginan untuk tinggal dan hidup dalam sebuah negeri yang menentramkan, menyamankan, menggembirakan, makmur, indah, penuh kreatifitas, saling berlomba menyuguhkan kebaikan. Namun, karena keinginan tersebut terdengar terlalu utopis maka banyak yang tetap menyimpannya sebagai keinginan terpendam dengan label ngimpi di siang bolong. Terlalu berharap dan terlalu naif. Namun, bagaimana jika sebaliknya? Justru sesungguhnya yang dilabeli ngimpi di siang bolong ini adalah informasi primer yang ditanamkan di dalam dada masing-masing orang oleh Tuhan. Agar manusia hidup bahagia dan penuh syukur.

 

 

Rasa Terburu-buru dan Etos Hasil

Karakter dasar secara general manusia adalah rasa ingin segera terjadi. Ingin agar segera terlaksana, ingin segera menikmati hasil dan menjadi bagian dari kegembiraan. Yah, mungkin semacam hari Raya, dimana yang merayakan tidak selalu bersedia untuk berpuasa sebelumnya. Oleh sebab itu, penting bagi tiap manusia memahami karakter dasar ini. Sehingga punya kewaspadaan dan penjagaan diri agar tidak mudah terhasut sikap terburu-buru. Dalam istilah Jawa disebut “Nggege Mongso”. Segala sudah ada ketentuan waktunya dan itu dalam kuasa Allah SWT, oleh sebab itu manusia secara mendasar harus meletakkan ini sebagai sikap fundamental, bahwa terjadinya segala sesuatu bukan wilayah kerja manusia melainkan mutlak Hak Allah SWT.

Manusia hanya dalam posisi menjalankan dan berproses sejauh yang bisa dijangkau. Cara yang tampak pasif dan narimo ini sesungguhnya justru proses dinamis dan progresif. Tentunya ini mudah dipahami kenapa justru menjadi sikap yang dinamis dan progresif, sebab manusia diwajibkan berbuat baik maka harus berbuat sesuatu yang produktif. Sedangkan Tuhan Pencipta langit dan Bumi, maka kejadian yang ada di langit dan di bumi adalah Ciptaan Allah termasuk berarti segala gerak-gerik dan aktifitas apapun dilangit dan bumi. Sedangkan manusia ketika membikin sesuatu saja memiliki maksud dan tujuan, apakah mungkin Allah tak memiliki maksud dan tujuan terhadap CipatanNya? Allah pasti punya kehendak, jika manusia yakin bahwa ia ciptaan Allah maka kesadaran utamanya pada proses menyelaraskan kehendaknya dengan Kehendak Allah SWT. Allah sudah memiliki waktu yang mutlak di bawah KuasaNya. Sehingga wajar jika manusia dianjurkan untuk tidak terburu-buru, agar proses bisa berjalan lancar dan selaras sesuai kehendak Allah SWT. Kehendak pribadi manusia yang tidak selaras justru bisa menambah hambatan kehendak Allah SWT yang mau segera menurunkan karuniaNya.

Rasa khawatir dari manusia yang sering menyangka sikap terburu-buru merupakan upaya yang berguna demi memastikan hasil cepat teraih. Takut kehilangan dan cemas jika sesuatu yang diidam-idamkan itu tiba-tiba terlepas. Rasa khawatir, takut kehilangan, dan cemas itu sebagai tanda bahwa manusia masih lebih meyakini dirinya sendiri, lebih mempercayai pikiran dan imajinasi kesuksesannya sendiri daripada mempercayai kekuasaan dan Rancangan Tuhan Yang Maha Adil yang Maha Penyantun yang tak pernah berhenti memberikan karunia dengan penuh Kemurahan. Diam-diam manusia menjadi pembantah padahal tadinya dia kecil tersembunyi tak terhitung, hanya sekedar titik mani. Kemudian pada akhirnya diperkenankan Tuhan untuk menjadi manusia, lantas merasa menjadi pengatur dan pencipta segala hal sehingga malah mencemaskan kinerja Allah, mengkhawatirkan kehendak Allah, meragukan Keadilan Allah, dan merisaukan kebijakanNya seolah-olah Tuhan pelupa kepada semua rancangan dan ciptaanNya yang Agung sehingga butuh bantuan dari dirinya.

Generasi Maiyah telah mendapat pembekalan sikap untuk tidak terburu-buru ini sejak lama bahkan jauh sebelum Maiyah ada. Dalam salah satu tulisan pada kurang-lebih tahun 1983-an, Mbah Nun menyampaikan sbb:

“Dalam dimensi yang lebih mendalam kita juga bisa kehilangan ruhani sebagai bangsa. Kita menjadi rangka-rangka patung, robot-robot yang rakus uang dan segala materi. Yang terpenting dari semua: bahwa dengan mendominasikan etos hasil, sesungguhnya hasil yang kita capai juga tidak maksimal. Etos kerja justru yang menawarkan berbagai kemungkinan hasil. Kita jangan dulu memperdebatkan hal itu, tapi silahkan buktikan dalam suatu jangka waktu.”

Tulisan Mbah Nun ini jelas sangat futuristik, masih begitu relevan, mengandung kilatan anjuran dan kunci. Demi menjaga ruhani sebagai bangsa, manusia tidak disarankan untuk menenggelamkan diri pada hasil dan hasil, sementara hasil-hasil itu tidak berimbang dengan sejarah proses kerja yang ia tempuh. Orang yang berhasil mendapat fasilitas kemudahan nan melimpah sesungguhnya tidak lantas bisa dipastikan sebagai tanda keberhasilannya sebagai manusia. Justru bisa jadi yang berhasil adalah yang membangun fasilitas kemudahan berangkat dengan rasa syukur, presisi menggunakan akal dan memiliki ketangguhan mental sehingga mampu bertafakur mengkhidmati kesulitan dan kemudahan sebagai paket yang mendewasakan pengetahuan pengabdiannya kepada Tuhan.

 

Fasilitas Kemudahan Dari Tuhan dan KehendakNya

Pada dasarnya manusia hanya mau mengabdi kepada Tuhan, baik secara sadar maupun bawah sadar. Meskipun pikiran dan artikulasi kata tidak sempat tersemat namun kenangan Cinta Tuhan kepada dirinya seolah senantiasa tertambat. Orang ingin menjadi pemurah karena Tuhan Maha Pemurah. Orang ingin menjadi pemudah karena Tuhan Maha Memudahkan. Orang ingin bermanfaat bagi oranglain karena Tuhan Maha Penyantun. Inspirasi terbesar manusia adalah Tuhan sendiri. Jadi segala perbuatan baik manusia adalah manifestasi kerinduan hamba kepada Tuhan. Namun, manifestasi rindu kepada Tuhan ini bisa berkelok dan malah berputar arah pada saat kombinasi dalam diri mansuia berupa ‘kepasrahan’ dan ‘kepemilikan’ lebih didominasi kepemilikan.

Dari rasa kepemilikan munculah keinginan untuk berkuasa. Setelah berkuasa akan menimbulkan hasrat menguasai. Dengan kekuasaan dan hasrat menguasai menimbulkan sikap merendahkan, merasa superior. Dari sikap merendahkan dan perasaan superior itu muncul kecenderungan untuk mudah meremehkan dan mengabaikan, terdapat pohon kesombongan yang terus tumbuh dan beranting, meninggi dan membesar dari sikap abai dan tak acuh.

Dengan demikian betapa pentingnya menjaga kepasrahan diri. Salah satu metode kepasrahan adalah dengan menghitung kepemilikan dan fasilitas kemudahan dari Tuhan. Manusia bernalar pasti akan memahami kerapuhannya. Ia lebih banyak memiliki ketidaksanggupan daripada kesanggupan. Manusia memerlukan punggung kuda karena punggung dan kakinya tak cukup sanggup membawa beban berat dengan tangguh. Dan pernahkan manusia menciptakan kuda? Tuhan-lah yang menciptakan. Manusia kedinginan dan kelaparan, Allah memberikan binatang yang bisa diambil kulitnya sebagai pakaian dan menggunakan dagingnya untuk dimakan. Rapuh, ringkih, lapar, rentan, yang disangga manusia adalah Rahmat Allah. Karenanya Allah juga mengkaruniakan akal, pikiran, panca indera, dan perasaan sebagai jalan keluar bagi manusia untuk berjuang menemukan Rahmat Allah yang lain yang menjawab peristiwa kerapuhan, keringkihan, rasa lapar dan kerentanan hidupnya tersebut.

Kepasrahan diri akan membuat manusia menggunakan karunia fasilitas kemurahan Tuhan untuk mengabdi dan merias kehidupan dengan cinta yang terus meluap-luap kepadaNya. Kepada Tuhan Yang Maha Esa sesembahannya. Sedangkan hasrat kepemilikan akan membuat manusia menggunakan karunia fasiitas kemudahan Tuhan untuk ditundukkan, ditakhlukkan, sebagai sarana memenuhi kecintaan-kecintaannya sendiri. Yakni kepada hal yang ia puja dan ia sanjung sebagai sesembahan yang seolah memberinya kebahagiaan dunia akhirat.

Padahal fasilitas kemudahan dari Tuhan sesungguhnya sebagai tanda “kehadiranNya” secara mawujud. Allah menghadiahkan binatang-binatang dan tetumbuhan. Bukan sekadar Ia hendak hadir menjadi jawaban lapar dan dingin saja, namun juga hadir sebagai pelipur hati dengan keindahan visualnya. Keindahan yang Allah Ciptakan akan mengindahkan pandangan mata, mengindahkan bathin, dan mengindahkan pikiran manusia yang makin tak merelai kerusakan dan tak berselera terhadap penyimpangan.

Allah telah ‘hadir’ dengan segala kebaikan sehingga manusia yang berserah dan waspada akan menunaikan kebaikan sebagai pilihan sikap hidupnya. Sebagai suatu pengibaratan, Allah menciptakan pohon mangga, apakah Allah mengharapkan buah mangganya? Ataukah Allah mengharap perjuangan optimal sang pohon mangga sehingga Dia akan memeluk dengan belas-kasih kepada sang pohon mangga yang meskipun belum kunjung berbuah namun berjerih payah tumbuh dan meneduhi sekitarnya padahal sebelumnya ditumbuhkan pada tanah tandus. Dengan belas kasih sayang Allah, sangat mudah bagiNya mengkaruniakan bunga dan melebatkan buahnya. Bunga dan Buah itu bukan untuk Allah, namun untuk membahagiakan makhluknya yang berdedikasi menjaga cintanya kepada Tuhan melalui prosesnya dalam menjaga amanah.

Masyarakat Maiyah di-deder Mbah Nun untuk menerapkan sikap demikian dalam menjalani kehidupan. Melakukan segala pekerjaan sebagai ibadah. Ibadah Mahdhah dan Ibadah Muamalah. Dalam banyak kesempatan sering disampaikan kepada anak-cucu Maiyah untuk menyadari keringkihan kita di hadapan Tuhan namun berjiwa besar dan ksatria dalam menghadapi kehidupan dunia. Manusia tak boleh merasa mampu menjamin keselamatannya, karena keselamatan datang dari Tuhan, manusia itu ringkih sehingga butuh pertolonganNya secara terus menerus. Maka perlu pengabdian terus-menerus demi tegaknya keselamatan ini yang salah satu bentuknya adalah dengan menjamin kehadiran dan keberadaan dirinya tidak untuk menjadi ancaman bagi oranglain, tidak mengancam martabat oranglain, tak mengancam harta benda oranglain, dan tak mengancam darah oranglain.

Benar bahwa seseorang tak mampu menjamin keselamatan dirinya apalagi orang lain, namun tiap-tiap manusia bisa berpihak pada kedamaian yang sanggup diperjuangkan sehingga menjamin kehadirannya tak muncul sebagai ancaman keselamatan. Hal ini sering dianjurkan oleh mbah Nun kepada anak-cucu Maiyah dalam banyak kesempatan Sinau bareng. Anjuran tentang ibadah Mahdhah dan Muamalah ini begitu deras seolah tadris agar terus dideres anak cucu Maiyah hingga menjadi ilmu dan pemahaman mendasar. Dalam satu tulisan Mbah Nun menyampaikan sbb:

“Maka, bagaimana jalan keluarnya sebab manusia tidak boleh hidup kecuali untuk ibadah? Jawabnya: semua pekerjaan di luar ibadah Mahdhoh direkrut menjadi ibadah. Jadi apapun saja diniati sebagai ibadah. Caranya? Caranya adalah semua laku diarahkan ke pekerjaan-pekerjaan yang kira-kira diterima Allah. Dan, agar supaya diterima Allah maka jangan sampai pekerjaan itu melanggar aturan Allah“

 

Keselamatan Peradaban

Pada sub bahasan ini maka mulai beranjak kepada bahasan masyarakat Robbun Ghofur. Mbah Nun sudah menyampaikan tentang  Tadris, Ta’lim, Tafhim, Ta’rif, Tarbiyatul Islam, Ta’dibul Islam, yang bagi masyarakat maiyah merupakan kunci penting untuk menata dan menapaki fase peradaban. Tidak untuk skala peradaban dengan terlibatnya masyarakat dunia yang luas. Sebab, istilah peradaban tampaknya paling pokok adalah: disangganya adab. Bisa skala luas masyarakat dunia, bisa cukup skala sedang kelas regional, atau sekadar skala mikro level personal, dlsb. Adab tetap adab meskipun hanya dijunjung oleh seorang saja, penjunjung adab akan tampil sebagai orang yang beradab dan memiliki peradaban dalam kesemestaan hidupnya.

Apa kira-kira adab yang dimaui oleh Allah pada diri seseorang? Atau jika seseorang ini berjumlah banyak maka apa kira-kira yang dimaui oleh Allah pada diri suatu kaum? kaum yang seperti apa yang dikehendaki oleh Allah? Mungkin beberapa ayat dalam Surah An-Nahl bisa ditadabburi. Pada ayat kedua disampaikan bahwa “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”.

Yang dikehendaki dari hamba-hamba Allah adalah yang bersedia memberi peringatan tentang ketauhidan, tentang ke-Esa-an Allah dan anjuran untuk bertaqwa kepadaNya. Namun, apakah memberi peringatan itu lantas bermodal ucapan dan dalil-dalil saja? Tampaknya tidak, justru lebih kepada perilaku-perilaku yang dilakukan. Perilaku kemanusiaan utuh yang tidak hanya sekadar bergerak dan bernafas namun juga menggunakan akal pikir yang terindikator bahwa hamba tersebut prigel melewati proses secara aktif menggunakan karunia kemanusiaan yang telah dipasang Tuhan terhadapnya. Berikut ada sembilan indikator berdasar uraian pada Surah An-Nahl:

  1. Yatafakkaruun :Yang berfikir. Berfikir tentang tanda Kekuasaan Allah melalui fenomena lahiriah. Sepertinya berfikir adalah suatu gerakan aktif dari diri manusia dalam hal mengamati kondisi sekitarnya yang tertangkap panca indera.
  2. Ya’qiluuna :Yang menggunakan akal. Menggunakan nalar tentang Kebesaran Allah melalui fenomena bathiniah seperti bagamana Allah menundukkan siang, malam, matahari, bulan, bintang. Akal digunakan untuk memahami hal-hal yang tidak tertangkap secara konkret oleh Panca Indera.
  3. Yadzdzakkaruuna, Tadzakkaruuna :Yang mengingat dan mengambil pelajaran, Mengambil pelajaran dari suatu fenomena dengan kondisi mengingat Allah. Mengambil pelajaran dari peristiwa apa saja hendaknya dilandasi mengingat Allah sebab dengan demikian pelajaran berguna tidak hanya berhenti sebagai ilmu namun juga sebagai kebijaksanan(hakiim).
  4. Tasykuruuna :Yang bersyukur, Tidak menuntut dan tahu berterimakasih kepada Tuhan atas segala karuniaNya. Bagaimana manusia menyangka punya hasil panen dari kebun dan ladangnya sedangkan Tuhan yang punya Kuasa Menciptakan. Tanahnya, matahari, air, udara, benih, hujan yang diturunkan dari langit, tangan dan kakinya, penglihatan, pendengarannya, pikirannya, hatinya, hingga bahkan rasa gembira yang ia miliki pun adalah ciptaan Gusti Allah SWT.
  5. Tahtaduun :Tertunjuki, menyadari akan keterbatasan sehingga sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dari Tuhan. Segala aliran dan pijakan, kerlipan, merupakan petunjuk demi petunjuk untuk memahami arah mendekat secara presisi kepada dumadi.
  6. Inna Allaaha Laghafuurun Rahiimun :Tak sanggup manusia menghitung Ampunan dan Kasih Sayang Allah. Kesadaran manusia bahwa banyak sekali melakukan kesalahan, besar, kecil, halus, kasar, lembut, keras, tampak ataupun tersembunyi, sehingga memerlukan ampunan terus menerus dari Allah yang Maha Pemberi ampunan lagi Maha Pengasih.
  7. Yasma’uuna :Yang pandai mendengar, menyimak, mengindahkan karunia pendengaran. Bahwasanya orang yang tidak cukup pandai mendengarkan biasanya lebih dominan hasaratnya untuk didengarkan. Orang yang kurang mampu mengindahkan perkataan baik akan membuka risiko pada dirinya sendiri untuk makin tuli dan bisu, sebab kemampuan pendengarannya hanya untuk mendengar suaranya sendiri dan perkataannya pun hanya dia sendiri yang memahami. Oleh sebab demikian, perlu membuka peluang untuk menjadi lebih beruntung dengan cara menambah kepandaian dalam hal mendengarkan nasehat Tuhan yang diejawantahkan dalam audio visual kehidupan.
  8. Yu’minuun :Yang menjaga keimanan. Yang senantiasa merawat dan menjaga (ngeman-eman)untaian cintanya kepada Tuhan.Ia punguti dan untai sebutir demi sebutir di sepanjang jalan yang ia lalui.
  9. Khayrun Lishshaabiriina :(kondisi yng diceritakan pada kata2 sebelumnya) lebih baik bersabar. Yang bisa bersikap penuh kesabaran dan tidak terburu-buru. Kesabaran sangat berkaitan dengan waktu. Jika manusia menemui satu kebaikan dan kebaikan itu ia terapkan dengan sungguh meski menemui segala macam kondisi gelap terang, maka sepanjang itulah ia mampu buktikan kesabaran.

Berkaca dari kategori kaum terpilih di atas ternyata dapat kita temui kekeliruan sistem peradaban jaman sekarang yang dikawal oleh manusia yang tidak seperti kategori di atas. Sehingga lahir pula sistem nilai dan tata aturan yang tidak bertitik tolak dari tanggung-jawab primer yakni memberi peringatan tentang ke-Esa-anTuhan. Manusia satu dengan yang lain tidak memiliki pengertian universal yang memusat. Cenderung masih terserak atau berkamar-kamar yang tiap-tiap kamar punya pengertian berbeda-beda. Sehingga peringatan yang dilontarkan hanya sebatas pemahaman kamar per kamar yang bisa saling bertolak belakang. Dengan ke-Esa-an Tuhan, maka manusia akan tertuntun pada satu rujukan yang terpusat. Konsep ini akan menghadirkan secara lebih konkret posisi sebagai hamba kepada Tuhan. Sesungguhnya Tuhan bisa saja dengan mudah membuat manusia menjadi hamba yang mengEsakan dan menyembahNya tanpa berubah, seperti halnya manusia dari manapun mengEsakan cara menangis dan tertawa. Tapi dalam urusan penghambaan manusia terhadapNya, Gusti Allah mau manusia yang sudah diberiNya pendengaran, penglihatan, akal, pikiran, dan hati bisa memperoleh kesadaran sebagai hamba dengan peranti-peranti tersebut.

Sejujurnya manusia takkan sudi menyembah selain Tuhan. Datang saja pada tukang apapun saja, bisa tukang cuci, tukang jahit, petani, montir, dlsb. Hadirlah dengan sopan-santun dan setelah selesai pekerjaannya bayar dua kali lipat tarif jasa yang ia sebutkan. Sesaat kemudian musnahkan hasil kerjanya dan pesanlah kembali dengan iming-iming akan dibayar dua kali lipat uang jasa lagi. Kalau tukang tersebut mau pastilah suasana bathinnya tidak lagi setulus dan sebahagia sebelumnya. Untuk yang kedua ini ada tekanan aneh di dadanya dimana bayaran puncak yang ia harapkan tak muncul, yakni wajah bahagia pelanggan dan senyum puas pengguna jasanya.

Pada pekerjaan yang kedua ini segera rusak lagi atau kotori hasil kerja tukang tersebut dan bayar dua kali lipat lagi. Lalu pesan lagi yang serupa. Kali ini mungkin orang itu tak akan sanggup. Ia merasa gagal dengan pekerjaannya atau diremehkan pekerjaan sepenuh hatinya itu, ia juga tak mau melayani satu orang saja yang menyia-nyiakan usahanya, tak menghormatinya meski punya uang yang mampu membayar dua kali lipat jasanya. Ia ingin waktu yang ia jalani mengandung manfaat luas dan bermartabat bagi sebanyak-banyak orang.

Pada tingkat peristiwa tertentu manusia akan lelah berpura-pura mengabdi kepada uang atau kepada apapun yang bukan Tuhan, dia akan menunjukkan diri sebagai manusia bermartabat, karena dia dan rasa kemanusiaannya tak bisa dinilai dengan harga buatan manusia, melainkan hanya Tuhan saja yang berhak berkuasa atas dirinya. Segala perilaku kebaikan yang ia lakukan pun dalam rangka mengabdi kepada Tuhan, yakni dengan cara ia bermanfaat bagi oranglain. Sehingga jika lantas proses pengabdiannya ini tak disyukuri dan direndahkan, ia tidak akan terima dengan mudah. Ada kesepakatan bawah sadar yang ‘ahad’ dalam nurani setiap manusia tentang pengabdian, yang pengabdiannya itu sebagai bentuk menghamba hanya kepada Yang Ahad.

Menyampaikan peringatan itu bukan tugas agamawan yang dipahami secara formal, namun adalah tugas hamba-hamba Allah yang terpilih atau dikehendaki. Rata-rata manusia masih enggan atau setengah hati untuk menghadirkan Tuhan sebagai puncak prioritas, puncak kebijakan, puncak inspirasi kasih-sayang, puncak atastujuan segala sepak terjangnya dalam menjalani kehidupan. Yang masih terjadi saat ini fikiran digunakan untuk hal-hal yang memusingkan. Akal dipakai untuk memanipulasi keburukan sehingga tampak sebagai keindahan. Tuhan dibiarkan kos di Masjid saja, segala perbuatan baik dan suci ada di area Tuhan, dan Tuhan ada di Masjid maka penipuan, penyelewangan, dan segala pemalsuan sah dilakukan asal tidak di Masjid, jadi ada wilayah Tuhan dan ada wilayah yang Tuhan tak berkepentingan. Tuhan diletakkan di lokasi statis dan minor, bukan di semesta yang penuh dinamika, bukan di dalam detak jantung, putaran darah dan nafasnya, yang kemanapun ia pergi selalu disertai olehNya.

Rasa syukur bukan lagi kepada kesehatan mata, pendengaran, hati, namun pada kenaikan pangkat, kenaikan gaji, bonus-bonus, diskon, paket hadiah gratis, dan segala macam hingar-bingar hasut kepemilikan yang melenakan. Manusia juga masih merepetisi permohonan untuk diberikan petunjuk namun tak benar-benar mau mendapat petunjuk, kecuali petunjuk itu memberi keuntungan secara cepat dan kasatperihal yang dia maui di dunia. Petunjuk untuk menemui artis idola mungkin lebih diminati daripada petunjuk untuk menemui Pencipta langit bumi. Untunglah Gusti Allah Maha Pengampun dan Maha Belas Kasih. Setiap proses hidup manusia selalu menjadi koma, tidak menjadi titik (kecuali yang berputus asa), atau sudah sampai ajal. Artinya masih akan ada kalimat selanjutnya yang diharapkan lebih baik dari hidup orang tersebut dan menegaskan makna hidupnya.

Masyarakat Maiyah mulai perlu menjajaki diri posisi sebagai anak cucu yang sedang menyeberang dengan obor penyuluh. Perjalanan ini penuh aral, tidak mudah, disalah-pahami, difitnah, diabaikan, namun tetap berproses. Justru semakin semarak berpuluh tahun dengan tetap gembira.Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal[1].

 

Kerumunan Lebah

Jamaah dan segenap generasi Maiyah bisa jadi merupakan kawanan lebah madu yang diperintah Gusti Allah untuk memaniskan gunung-gunung, memaniskan hutan-hutan, hingga memaniskan segala bangunan yang dibuat oleh manusia. Maka bathin masyarakat Maiyah disemangati khasiat obat sehingga kemana saja tinggal akan memberi kesenangan dan penyembuhan dengan corak dan warna yang beraneka. Mudah-mudahan masyarakat Maiyah, adalah yang dikehendaki Allah SWT untuk menjadi pembawa peringatan tentang keEsaanNya. Tidak mendua apalagi menandingkan Tuhan dengan segala sesuatu yang dibuat-buat sendiri dan disembah sendiri.

Semoga masyarakat Maiyah mendapat cahaya benderang di dadanya masing-masing sehingga bisa menjadi penyibak gelap di lingkungannya, memberikan kebahagiaan, tidak mengancam siapapun, senantiasa waspada, mahir bersyukur, terkaruniai petunjuk dari Allah, pandai bertafakur, tajam menggunakan nalar. Semoga masyarakat Maiyah adalah kawanan lebah madu yang segala perilakunya dipandu oleh Gusti Allah langsung di hatinya masing-masing. Sehingga segala karunia lahir maupun bathin tidak dianggap sebagai pencapaian yang ingin dipamerkan atau dipertandingkan, melainkan sebagai bentuk konkret Kasih Sayang Tuhan yang ingin menjadikan Masyarakat Maiyah saling melengkapi dan berlomba menyuguhkan kebaikan di saji tempayan kehidupan dengan banyak pencapaian, kepandaian, kecerdasan, kebenaran, keindahan yangempan papanyang bening dan menyegarkan. Hingga apabilakelak terwujudbaldatun thayyibatun wa rabbun ghafur semogalah keluarga Maiyahmenjadi salah bagian yang telah ikut merintisnya sejak sekarang, memperjuangkannya dengan gigih, dan anak-cucu Maiyah mendiami negeri tersebut bersama orang-orang yang dalam hati dan pikirannya selalu menyertakan Allah dan RasulNya secara damai dan aman. Aamiin.

 

Tulisan mas Agus Wibowo dalam rangka tahadduts binni’mah
yang diambil sebagai mukadimah tema MGG Juni 2019
Ungaran, 11 Juni 2019

 


[1] QS An-Nahl ayat 41. Ayat yang senada ada pada QS An-Nahl ayat 110 : Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Silatnas Maiyah 2018

Hari jum’at pada tanggal 7 Desember 2018 Masehi seakan menjadi kegembiraan tersendiri bagi seluruh penggiat simpul Maiyah. Perhelatan tahunan yang sudah empat kali dilaksanakan ini menjadi ajang untuk bersilaturahmi, bertukar pikiran dalam sebuah diskusi, serta menetapkan beberapa hal untuk menjadi bahan eksperimentasi selama minimal setahun ke depan.

Kegiatan bertajuk Silaturahim Nasional 2018 (silatnas 2018) digelar selama 3 hari 2 malam. Dimana dibuka pada hari jumat sore, dan ditutup pada Minggu siang dengan tagline kali ini ialah Blueprint Peradaban Masa Depan”. Simpul Maiyah Bangbang Wetan beserta beberapa simpul sekitar kali ini yang menyediakan diri untuk menjadi tuan rumah hingga dipilihlah sebuah tempat di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.

Semua simpul mendapatkan undangan untuk perwakilan dua orang. Begitupun Majlis Gugurgunung yang kali ini diwakili oleh Mas Patmo dan Dhika. Meskipun berangkat dari Ungaran, Kab. Semarang namun baru pada jum’at malam, kami berdua dapat berangkat menuju Surabaya dengan Bus Malam “Sugeng Rahayu”.

Perjalanan yang cukup panjang, yakni hampir sembilan jam dan hanya berhenti sekali di daerah Ngawi untuk makan malam. Pukul 05.30 WIB pagi, kami sampai di terminal Purabaya. Dikarenakan tidak adanya angkutan umum yang langsung menuju ke lokasi, maka menurut panitia kami lebih baik menggunakan Taxi online. Tepat di pinggir jalan, depan gapura bertuliskan Terminal Purabaya kami menunggu kedatangan Taxi online yang sudah kami pesan menggunakan aplikasi. Tak berselang lama, kami pun segera meluncur ke lokasi dengan jarak tempuh kurang lebih 10 Km.

Sabtu pagi kisaran pukul 07.00 WIB, tibalah kami di lokasi Asrama Haji Sukolilo Surabaya dimana disana sudah nampak beberapa wajah yang sangat familiar bagi kami. Memang waktu itu ialah waktu untuk sarapan pagi. Sebab acara baru akan dimulai sekitar pukul 08.00 WIB pagi. Tidak menunggu lama, segera kami berdua mengisi daftar kehadiran dan mengambil beberapa peralatan tulis menulis serta suvenir seperti kalender 2019, buletin maiyah, serta stiker yang kesemuanya terbungkus rapi di dalam map berwarna putih yang disediakan oleh panitia. Usai mengisi daftar kehadiran, kami segera diantar oleh salah seorang panitia untuk menuju ke kamar dan meletakkan barang-barang pribadi kami terlebih dahulu.

Pendekar Gugurgunung (Mas Padmo & Andhika) di lokasi Silatnas Maiyah 2018

Kamar nomor 218, bersama dengan beberapa simpul maiyah lain seperti Maneges Qudroh, serta Waro’ Kaprawiran. Sambutan hangat di kamar tersebut semakin terasa, sebab memang beberapa disana sudah memiliki kedekatan baik secara personal maupun secara simpul.

Tak menunggu lama, segera kami bersama-sama turun untuk menuju ruang makan. Berbagai hidangan sudah tersedia di meja, dengan nasi hangat lengkap bersama sayur pecel dan lauk-pauknya. Di meja makan, kami bertemu dengan sedulur dari Jepara seperti Mas Kafi dan Mas Haris yang sudah tiba sejak semalam. Obrolan ringan saling terlontar meskipun kami sedang menyantap sarapan pagi itu.

Hampir pukul 08.00 WIB pagi, panggilan suara speaker dari dalam Aula G mulai terdengar. Segera kami kembali memasuki kamar untuk mandi dan mempersiapkan diri untuk mengikuti silatnas ini dengan konsep diskusi selama seharian penuh.

Buku tulis dan pena bertuliskan silatnas maiyah tak lupa kami bawa menuju Aula G dimana aula tersebut menjadi ruangan yang dipergunakan untuk berdiskusi dengan serangkaian bahasan. Mas Hari, seorang koordinator dari region timur, yang juga menjadi salah seorang moderator membagi tempat duduk berdasarkan region-region. Majlis Gugurgunung kali ini berdampingan dengan Maneges Qudroh, serta Kidung Syafa’at.

Pembahasan pagi itu dimulai dengan salah satunya pelaporan beberapa kegiatan simpul Maiyah seperti workshop region, terapi alternatif, juga digital media. Kemudian dilanjutkan pada pemaparan raport tiap-tiap simpul yang dibacakan oleh Mas Rizky (koordinator region tengah) dan Mas Fahmi (koordinator region barat). Hasil evaluasi di dalam raport kurang lebih berisi tentang publikasi (poster, mukadimmah, reportase, live tweet) dan arsip (foto, audio, dan video) yang telah dilaporkan dari masing-masing simpul pada koordinator setiap bulannya selama setahun 2018 (kecuali bulan Desember).

Baik tema, poster, mukadimmah, pertemuan, hingga reportase, foto dan live tweet selama simpul mengadakan diskusi menjadi sorotan utama dari koordinator.

Meskipun ada dua poin lagi yakni audio dan video, namun masih belum menjadi sorotan utama oleh koordinator. Sebab tidak semua simpul memiliki resource atau sumber daya entah itu dari petugasnya ataupun perlengkapannya yang kurang memadai.

Dua poin tersebut memang nampak terlihat masih berwarna merah (belum terpenuhi) bagi hampir semua simpul tak terkecuali bagi Majlis Gugurgunung. Hanya sebagian simpul besar saja seperti Kenduri Cinta (Jakarta), Bangbang Wetan (Surabaya) yang sudah berwarna hijau (sudah terpenuhi) semuanya serta beberapa simpul lain seperti Suluk Surakartan (Solo).

Pemaparan terkait raport berjalan hingga hampir tengah hari, meskipun sekitar pukul 10.00 WIB pagi diselingi coffee break.

Sedikit yang spesial pada silatnas kali ini ialah, diadakan di ruang ber-AC dengan meja dan kursi yang ditata melingkar dengan puasa merokok minimal hingga istirahat pada waktu makan. Memang terasa sedikit berat jika berdiskusi, ditemani kopi tanpa dapat menghisap rokok seperti kebiasaan umumnya di Maiyah. Namun hal ini mengingatkan tentang berpuasa merokok juga memberikan sedikit pembersihan yang baik untuk kesehatan, begitu kata panitia sambil disambut tawa dan senyum agak kecut dari sebagian peserta silatnas kali ini.

Suasana silatnas Maiyah 2018

Menjelang waktu istirahat makan siang pembahasan dilanjutkan pada penugasan dari koordinator simpul kepada masing-masing simpul untuk mengisi form yang berisi tentang; dari sekian nilai maiyah, apa langkah konkrit yang bisa diterapkan untuk setahun ke depan (bidang ekonomi, sosial, politik). Masing-masing simpul sambil memikirkannya dipersilahkan untuk istirahat makan siang, dan diberikan waktu untuk sholat dzuhur terlebih dahulu.

Usai jeda waktu istirahat, seluruh peserta silatnas kembali diminta untuk merapat di Aula. Dengan agenda pembahasan kali itu ialah, pemaparan hasil rembugan dari masing-masing simpul tentang tugas yang diberikan sebelum waktu makan siang tadi.

Dari Majlis Gugurgunung sendiri menuliskan kurang lebih seperti berikut :

Ekonomi ; Mengembangkan sistem kerjasama antar keluarga maiyah dengan landasan dasar seperti yang disampaikan Mbah Nun ; bahwa laba ekonomi jangan sampai menyingkirkan laba kemanusiaan.

5 hal yang dipakai adalah prinsip rukun Islam.

  1. Komitmen
  2. Menegakkan waktu agar tetap tegak kemanusiaan
  3. Memahami proporsi dan pengendalian diri
  4. Membina hubungan sosial secara lebih tertata
  5. Mengaji dan terus mengkaji kehidupan

Andhika mengutarakan beberapa usulan dari Majlis Gugurgunung

Dalam hal di atas sekaligus urusan sosial sudah terengkuh sebagai bagian tak terpisahkan. Dan menjalankan di atas adalah politik menyempurnakan akhlak. Bahwa sesungguhnya daya tarik utama pihak lain terdorong untuk bergabung dan rela menjadi bagian untuk bahu-membahu adalah ketertarikan mereka kepada kemuliaan akhlak.

Meskipun sekian banyak masukan dari seluruh simpul, masih perlu dirembug oleh koordinator region untuk menarik garis besarnya dan dibuat dalam beberapa poin.

Diskusi terus bergulir hingga waktu menunjukkan pukul 16.30 WIB. Di sela coffee break, koordinator region menyatakan bahwa berencana untuk membagi masing-masing simpul Maiyah yang memiliki kedekatan secara geografis, akan digabung untuk membentuk sub-sub region (Cluster). Dengan beberapa tujuan antara lain, mempermudah jalur komunikasi dari koordinator simpul untuk diteruskan informasinya pada simpul masing-masing, selain itu juga dirasa lebih efektif dan efisien bagi koordinator seluruh simpul maiyah yakni Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh (Mas Sabrang / Noe) untuk mengunjungi ke sub-sub regionnya, bukan ke seluruh simpul.

Kemudian masing-masing sub tadi diminta untuk berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil untuk membahas beberapa hal yang akan dilakukan bersama selama satu tahun ke depan yang terbagi tiap empat bulanan sekali.

Terdapat 7 simpul lain dalam cluster yang sama dengan Majlis Gugurgunung. Yakni Gambang Syafa’at Semarang, Kalijagan Demak, Semak Kudus, Majlis Alternatif Jepara, Kidung Syafa’at Salatiga, Tembang Pepadhang Kendal, beserta Majlis Gugurgunung Ungaran. Cluster ini dikoordinatori oleh Mas Yunan dari Gambang Syafa’at. Selain itu ketujuh simpul ini diberi usulan nama oleh Mas Agus Wibowo yakni, “PARADESA KEN SENGKUD”. Paradesa adalah wilayah yang di dalamnya berisi kemakmuran, ketentraman, kepatutan, kemurahan, dan kedamaian yang teramat sangat. Ken : seyogyanya, dipinta, dianjurkan, disuruh. Sengkud : Segera, Srempeng, Sregep, cekat-ceket, cekatan. Maka arti “PARADESA KEN SENGKUD” adalah : Bahwa upaya menuju satu wilayah yang bernaungkan kemakmuran, ketentraman, kepatutan, kemurahan, dan kedamaian di dalamnya seyogyanya segera dilaksanakan dengan srempeng dan cekatan.

Cluster “PARADESA KEN SENGKUD”

Usai makan sore yakni kisaran ba’da maghrib, sekian cluster diminta memaparkan rencana kegiatannya. Dan Mas Kafi dipilih untuk memaparkan, mewakili cluster ini.

Mas Sabrang selaku koordinator simpul Maiyah, memberikan beberapa uraian terkait kegiatan-kegiatan simpul. Bahwasannya kita disini semua berkumpul dengan rasa bungah atau bahagia sudah mengandung kemanfaatan. Namun selain manfaat juga diperlukan untuk tumbuh lebih lebar, lebih dalam dst. Maka tidak perlu kita membuat parameter-parameter tentang kemanfaatan.

Masih banyak guliran pertanyaan terkait mengapa Maiyah tidak dijadikan partai atau ormas apalagi timses, memang yang dicoba oleh Mbah Nun ialah hipotesis yang berbeda. Hipotesis yang saat ini diterapkan tidak menjawab persoalan, maka disini Mbah Nun memiliki hipotesis baru untuk menjawab persoalan.

Ada konsep yang berbeda antara “hukum Tuhan” dengan hukum manusia. Dalam hukum manusia, diciptakan oleh manusia, semuanya harus mentaatinya kemudian ada penegak hukumnya disana, kita mematuhinya tanpa ada kesempatan untuk tidak patuh. Tidak bisa tiba-tiba seorang pencuri tidak kita masukkan penjara. Di Maiyah tidak bisa dilakukan, maka mencoba hukum yang lain yakni “hukum Tuhan”. Ketika berhadapan dengan hukum, maka sebagian manusia akan menyerahkan sebagian kebebasannya untuk patuh terhadap hukum tersebut. Maka kita bersyahadat, menyerahkan sedikit kebebasan pada yang namanya kepercayaan. Perbedaan yang signifikan dengan ialah orang-orang menyatakan diri untuk memasuki “hukum Tuhan” sedangkan hukum manusia memaksa orang-orang untuk memasukinya.

Di Maiyah tidak ada peraturan, tidak ada kewajiban, tidak ada pengawasnya pula. Tetapi maukah kita memasuki sebuah kebudayaan untuk hipotesis yang baru? Mungkin efeknya tidak akan serapi Undang-undang, tetapi hipotesisnya lebih mendalam untuk digunakan pada manusia. Yang lebih didorong di Maiyah ialah, kemauan seorang manusia untuk memasuki sistem di dalam dirinya sendiri. Maka metodenya ialah dengan mencontoh, learning by modelling bukan semata dengan aturan belaka. Kita pernah mendengar Jannatul Maiyah, Kebun Maiyah. Yang sedang kita bangun untuk dicontoh ialah cuacanya. Hal ini lebih cocok dengan nilai-nilai tanpa meninggalkan pokok utamanya yakni kebersamaan.

Perang singkat membutuhkan taktik, peralatan, dll. Namun untuk menuju perang panjang, kita membutuhkan sesuatu yang disebut “nilai”. Dimana setiap simpul memiliki interpretasinya sendiri-sendiri. Dapat kita contoh palang merah ketika sedang dalam berperang, harusnya menolong siapapun yang terluka dan membutuhkan bantuan meskipun itu adalah musuh. Terlihat tidak masuk akal, namun ada nilai yang terus menjadi pegangannya yakni nilai kemanusiaan lebih tinggi daripada peperangan itu sendiri.

 

Thoriqot maiyah

Ada salah seorang peserta silatnas yang menganalisis bahwa mungkin ada kemunduran yang sedang terjadi di Maiyah tiap tahunnya. Namun direspon oleh Mas Sabrang bahwa Mbah Nun ketika memulai di Padhang mBulan juga jangan kita lupakan pasang surutnya. Awal-awal hanya 10-15 orang hingga pernah mencapai 25.000 orang ketika diadakan di lapangan. Lalu dipindah dalam rumah, menjadi sedikit lagi 10an orang. Mbah Nun pernah mengatakan, bukan tentang jumlah yang banyak atau sedikit, tetapi istiqomah atau tidak dalam melakukannya. Thoriqot Maiyah adalah thoriqot istiqomah. Keistiqomahan yang bisa kita contoh dari beliau Mbah Nun ialah, keistiqomahannya dalam melakoni Padhang mBulan. Dari dulu jaman belum ada media digital hingga sekarang merebak luas. Kelakar Mbah Nun yang diceritakan Mas Sabrang, bahwa youtube diciptakan untuk Mbah Nun. Sebab sudah berbagai macam cara ditempuh untuk talak dari media massa dan pertelevisian Indonesia, malah ada youtube dengan segala macam “sop buntutnya”. Namun dengan demikian aroma Maiyah semakin tersebar dimana-mana. Banyak jama’ah yang datang bermaiyah namun sekedar untuk mencari tokohnya. Padahal mana yang lebih penting, antara tokohnya ataukah nilai-nilai yang dibawanya? Tetapi tidak apa, sebab setiap orang ada prosesnya dan tidak boleh kita halangi. Kemauan untuk belajar harus kita jaga bahkan harus kita galakkan.

 

Pergerakan Maiyah

Banyak pula diluar sana yang mempertanyakan, mengapa maiyah tidak membikin pergerakan atau movement? Mau dibawa kemanakah ini Maiyah, orang sudah berkumpul sebanyak ini, lalu apa yang akan dilakukan? Direspon oleh Mas Sabrang bahwa hingga empat kali dilakukan silatnas ini dalam rangka perlunya menjaga soliditas. Kita berusaha berbentuk cair, tapi perlu juga menjaga soliditas. Jangan sampai Maiyah gampang di catut oleh calon bupati, bahkan calon presiden sekalipun. Sebab demikian dengan mudahnya orang yang tidak tahu seluk-beluk Maiyah, namun menunggangi Maiyah untuk kepentingan pribadi ataupun golongannya sendiri. Seperti kedua kontestan untuk 2019, salah satunya sudah datang ke kadipiro. Dan hampir dapat dipastikan kontestan satunya juga akan merapat ke kadipiro.

Mungkin bagi kita hal tersebut tidak begitu penting. Namun sangat berbahaya ketika kita tidak membangun pagar-pagarnya terlebih dahulu. Kita tidak mungkin tidak mengambil posisi, dan kita tidak mungkin mengambil posisi di kontestan 1 atau kontestan 2. Jika kita tidak mengambil posisi, maka kita akan diseret-seret terus. Maka kita perlu mengambil satu posisi yang jelas dan seragam. Posisi akurat bagi Maiyah yang bisa kita ambil dalam skala nasional ialah, “jika ada dua tetangga kita sedang ribut mungkinkah kita tidak mendamaikan?”.

 

Dokumentasi simpul

Bagi Mas Sabrang, dengan sekian data yang dikumpulkan oleh ketiga koordinator region bukan semata iseng atau kesenangan. Mbah Nun pernah memiliki penyesalan terbesar yakni tidak pernah mendokumentasikan hidupnya. 52 buku yang tertulis, tidak termasuk puisi-puisinya yang hilang, sekian ribu kali kegiatan dengan Kiai Kanjeng masih belum menggambarkan dokumentasi lengkap perjalanan Mbah Nun. Sangat disayangkan meskipun hal tersebut bukan untuk semakin meninggikan Mbah Nun namun itu akan menjadi torehan sejarah. Termasuk sekian banyaknya kegiatan simpul Maiyah, amat sangat disayangkan ketika tidak didokumentasikan. Sebab hal tersebut bisa menginspirasi anak cucu. Sekalipun gagal, tetap bisa dicontoh yang bisa dipelajari oleh anak turun tentang arti perjuangan. Kiranya perlu kita berlatih mendokumentasikan setiap catatan simpul minimal selama satu tahun. “Dokumentasi ini bukan kewajiban kita, namun hak anak cucu”.

Bebas jika kita memilih menjadi seperti sunan atau wali yang bersembunyi di dalam keramaian, namun merupakan hak anak cucu untuk mengetahui bahwa Indonesia tidak kehilangan orang-orang yang mau untuk berbuat.

Selama setahun, Mas Sabrang menahan diri untuk banyak tidak melakukan sesuatu, sebab proses yang dijalani ialah bersama berlatih menulis. Jika kita ingin melangkah maka paling tidak kita bisa mendokumentasikannya. Alih-alih dibuat raport untuk tiap simpul, namun bukan dibilang prestasi juga, sebab hasilnya tidak dipergunakan untuk apa-apa kecuali untuk kita sendiri.

Kerja keras kalah dengan kerja pintar, kerja pintar masih kalah dengan kerja keras dan pintar, namun ini masih kalah lagi dengan kerja keras, kerja pintar tapi efisien, baiknya bekerja keras, pintar dengan efisien namun masih bisa dikalahkan pula dengan yang memiliki inovasi. Namun Maiyah ini terbalik, ini adalah inovasi tetapi belum berlatih bekerja keras, pintar juga efisien.

Menurut Mas Sabrang, tentang dokumentasi simpul baiknya tidak diserahkan pada generasi tua, alangkah baiknya jika generasi yang muda, yang setiap hari twitteran, setiap saat bermain instagram. Tidak harus langsung melangkah besar, langkah kecil-kecil tidak masalah seperti setahun kedepan kita pergunakan untuk belajar dokumentasi. Setahun berikutnya nanti apalagi dan seterusnya.

Semoga kita masih terikat dalam thoriqot istiqomah, thoriqot gotong royong, serta kejujuran untuk kebahagiaan bersama.

 

Kebenaran

Ada 16 bit warna dalam komputer, dengan jumlah pewarnanya 65 ribuan. Tetapi kosakata yang kita mampu gapai tidak sampai sedemikian banyaknya. Contohnya Demokrat dan Nasdem sama-sama biru tapi berbeda. PKB dan PPP sama-sama hijau tapi berbeda hijaunya. Jangan sampai menyerahkan kedaulatan pengartian pada orang lain. Tidak ada kesalahan pengartian, hanya saja pemahaman semakin berkembang. Misal ada tiga orang berdebat, bukan kita cari siapa yang benar dari 3 orang tersebut namun semuanya mengandung kebenaran, maka cari konsep baru yang bisa menampung ketiganya.

Salah satu kegerahan kita ialah ketidaktahanan kita memasang kuda-kuda di tempat licin. Benar salah bukan pada “hal”nya tetapi pada bias dirinya. Maka banyak orang malah mencari mana yang benar dan mana yang salah. Kita bergerak pada kebenaran yang terus berkembang, bukan karena kebenaran yang berubah tetapi pemahaman dan sudut pandang, jarak pandang, resolusi pandang kita akan kebenaran lah yang berubah. Ketika berpijak pada benar dan salah, padahal kita sangat tahu bahwa apapun bisa dibenarkan, apapun bisa disalahkan.

 

Manusia Ruang

Presiden, gubernur, bupati dll. semua itu adalah perabot. Perabot akan menurut pada ruangan. Ruangnya lonjong maka perabot lonjong yang bisa masuk, begitupun ruangan kotak, serta ruangan luas dan sempit. Yang sesungguhnya mengatur adalah Manusia Ruang, bukan Manusia Perabot. Meskipun yang terlihat, yang memiliki pangkat adalah manusia perabot.

Semar itu bukan presiden, bukan ksatria, bukan pemimpin. Tetapi siapapun akan datang ke Semar jika punya masalah.

 

Spiritualitas

Ruh, nyawa termasuk dalam spiritualitas. Spiritualitas berarti adalah sesuatu yang tidak bisa kita maknai secara real dengan indra. Berarti segala pembicaraan pendengaran tentang spiritualitas, sama sekali tidak menyentuh makna spiritualitas yang sesungguhnya.

 

Kegiatan diskusi berisi pemaparan masing-masing cluster terus berjalan hingga kisaran pukul 23.00 WIB. Kemudian acara hari itu ditutup dengan makan malam dengan menu Nasi Rawon. Di samping ruang sekretariat, disediakan terapi alternatif dengan menggunakan media telur ayam kampung. Tak ketinggalan bagi kami untuk mencobanya. Dengan gerakan yang nampak sederhana di ujung jari kaki, mampu memunculkan rasa sakit bagi semua yang mencobanya. Meskipun setelah proses terapi selesai, tubuh menjadi lumayan segar untuk mengantar tidur.

Mas Padmo mencoba terapi alternatif dengan menggunakan media telur ayam

Minggu pagi kegiatan dimulai lagi dengan pembacaan putusan dari koordinator region yakni Mas Hari, Mas Fahmi dan Mas Rizky yang juga disahkan oleh Mas Sabrang sebagai koordinator seluruh simpul. Terdapat sembilan poin yang akan diedarkan untuk seluruh simpul, dimana ini menjadi salah satu langkah kecil untuk melangkah jauh ke depan. Memang mungkin terasa berat, namun begitu bahwa “Dapur memang tidak seindah makanan prasmanan”. Bahwa panggilan setiap orang berbeda-beda, tidak semua orang bisa diajak berpuasa, tidak semua orang mau menderita, dan tidak semua orang mau untuk diajak menempuh perjalanan panjang. Sampai nanti sampai mati.

Silatnas 2018 ditutup dengan doa bersama, sholawat, lalu berfoto bersama dan bersalam-salaman. Sekian reportase kali ini, meskipun banyak kekurangan dari segi bahan pembahasan pada saat berdiskusi namun semoga tetap bermanfaat.

 

Andhika

Desa – Paradesa – Paradise

Bodean – Ungaran, 7 Syawal 1438 H – 01 Juli 2017

Sebagai awal rangkaian tulisan tentang desa, maka ‘Desa’ adalah tema yang sangat tepat menurut saya untuk dikupas dan diurai. Namun sebelumnya saya mohon maaf jika atas keterbatasan pengetahuan, tema tentang desa yang saya ingin ajukan ini merujuk pada konsep Desa dalam khazanah leluhur Jawa. Selain Jawa, saya hendak menggunakan operator uraian dengan terminologi Islam sebagai bahan lain yang sama-sama akrab bagi semesta pemikiran saya. Ini bisa jadi akan tidak memuaskan bagi sedulur-sedulur yang bukan Jawa namun mudah-mudahan tidak sama sekali sia-sia sebab khazanah leluhur ini dalam hemat saya membawa nilai universalitas yang relevan bagi manusia manapun dan dari suku bangsa apapun di belahan bumi ini.

Apalagi dalam tema per tema ini diam-diam saya juga ingin menyampaikan bahwa para pendahulu kita adalah sekaligus pendahulu bangsa-bangsa di seluruh dunia. Pendapat ini bukan tanpa alasan. Ada 3 alasan untuk menengarai hal ini. Yang pertama pendekatan linguistik (Bahasa), kedua bukti arkeologis, dan ketiga kualitas manusia atau genekologi.

Pendekatan Linguistik (Rekaman Peradaban)

Pendekatan Linguistik atau penelusuran sejarah melalui fenomena Bahasa sebagai alat rekam peradaban. Perlu diketahui bahwasanya Bangsa kita menyebut diri sebagai Bangsa Kawi dengan Bahasa Kawi sebagai alat komunikasinya. Bahasa Kawi disebut demikian karena Bangsa ini merupakan Bangsa Kawitan (awal). Bangsa wiwitan (yang memulai peradaban), dimana Wiwitan ini kemudian juga menjadi Wetan, nama arah tempat mula matahari terbit yakni Timur. Jika Anda pernah mendengar istilah ‘Peradaban dimulai dari timur’ maka di sinilah Timur itu. Negeri Kawitan, Bangsa avant garde (wiwitan), dengan manusia-manusia Kawi sebagai penghuninya.

Apakah manusia Kawi itu? Kawi dalam Bahasa Kawi maupun Bahasa Sangsekerta memiliki banyak arti, antara lain : Pujangga, Penyair, Syair, Penembang, Cerdas, Cerdik, Pandai, Bijaksana, Matahari, Intelektual, yang diberi karunia, yang memiliki pengetahuan, tercahayai dan lain sebagainya yang pada intinya membawa ciri keunggulan, keindahan, dan kelebihan. Dengan arti yang sebegitu agung, tentunya tidak akan sembarang bangsa berani menamakan diri sebagai bangsa kawi jika hanya sebagai bangsa peniru apalagi pengekor. Justru Bahasa Kawi yang ketika itu hanya bisa dipahami dan digunakan oleh orang-orang Kawi menjadi kontributor besar untuk Bahasa Sangsekerta. Sebab, Bahasa Kawi ini kemudian digodok, dimasak, siap saji dengan yang kemudian lahir sebagai Bahasa Sanskrit/Sansekerta/Sangsekerta. Padahal Bahasa Sangsekerta itu sendiri menurut pada ahli sejarah sudah merupakan Bahasa paling tua yang usianya hampir seusia bahasa itu sendiri. Penjelasan ini memberi bahan konsiderasi, jangan terus beranggapan bahwa bahasa Sansekerta adalah bahasanya orang India dan kita terpengaruh olehnya. Buatlah kemungkinan lain tentang asal-usul yang kemungkinan justru sebaliknya, kitalah yang menginfluensi dan menginspirasi bahasa, tata nilai, dan lain sebagainya kepada bangsa-bangsa lain. Sedikit intermeso, boleh percaya boleh tidak : jika ingin mengetahui berapa banyak bangsa di seluruh muka bumi ini terpengaruh dari peradaban kita, lihatlah apakah bangsa itu mengenal permainan catur, jika iya maka pengaruh leluhur kita telah sampai disana. Kembali ke pendekatan linguistik.

Pendekatan ini menggunakan pendekatan melalui bahasa, yang menimbulkan getaran rohani. Contoh gemericik air yang membawa suasana tentram. Ini soundscape (kita hidup di wilayah / skup suara). Suara yang terjaga dan terus senantiasa memberikan makna. Suara disini dapat di kategorikan suara yang terjasad dan tidak. Dimana suara jasad mampu diterima melalui frekuensi yang mampu diterima oleh jasad (telinga). Namun ada suara yang langsung menembus masuk di wilayah non jasad. Yang dimana peradaban tua mampu memadukan 2 jenis suara ini menjadi sebuah bahasa. Bahasa masyarakat Purwa, masyarakat pembuka, masyarakat peradaba awal. Peradaban tua.

Sebagai peradaban tua yang akan mengawal peradaban berikutnya maka ada syarat yang harus dijunjung yakni menjadi inspiration & prototype. Jadi peradaban tua itu tidak main-main, dia harus menjadi inspirasi untuk peradaban setelahnya dan menjadi prototipe bagi peradaban setelahnya. Untuk membawa itu dia harus menjadi cahaya (LIGHT) yang terdiri dari Love (membawa cinta keindahan, rasa kasih sayang, dll), Inspiration (menginspirasi, mendorong seseorang untuk tumbuh), Greatness (membawa keagungan), Highness (membawa keluhuran), Top (totally, kafah, kavi, puncak) yang dimana kesemua itu berujung atau tersambung ke istilah yang disebut “Kawi”. Our ancestors are a light society. Para leluhur kita adalah masyarakat cahaya.

Makna kawi itu sendiri salah satunya adalah inlightned yang artinya tercahayai. Karena tercahayai maka dia adalah makhluk cahaya/manusia cahaya. Manusia-manusia yang menjadi inspirator dan prototipe peradaban berikutnya adalah yang mencahaya. Jadi kesadaran utama peradaban leluhur kita adalah cahaya, adalah makhluk ruhani yang sedang diperjalankan dengan sangat sementara sebagai makhluk dengan jasad. Untuk itulah maka setiap kebijakan dilandaskan pada pertimbangan ruhani. Cara berpakaian, cara mengatur alam, cara mengemban sesrawungan, cara memperlakukan kejadian baik dan tidak baik, cara bikin rumah, cara mengelola kebutuhan pangan, semua. Bahkan cara bersenang-senang pun tetap dibatasi dengan adab spiritualitas. Semuanya dengan berpihak pada cara pandang ruhani. Termasuk bagaimana membangun kawasan pemukiman atau desa. Dimana ‘desa’ bisa untuk wilayah luas maupun wilayah kecil. Apapun yang berarti kawasan disebut sebagai ‘desa’.

Untuk bukti arkeologis, dan kualitas manusia atau genekologi diperlukan bahasan khusus dalam tulisan terpisah.

Tiga Pilar Utama Desa

– Spiritual

– Pemikiran/Jiwa/Ideologi/Pranatan – Memayu hayuning bawono

– Sandang, Pangan, Papan

Disini kesadaran yang perlu kita bangun adalah teknologi pemikiran, semuanya harus mengacu kepada spiritual. Desa akan dipimpin oleh seseorang yang mumpuni dalam mengawal masyarakat di bidang spiritualitas, yang disebut : Sesepuh, Kamituwo, Pinisepuh, Kabuyutan. Selain itu, juga akan didampingi oleh pemimpin yang mengawal di bidang teknis, ideologis, yang disebut Lurah untuk mengatur secara formal struktural. Pemimpin ini menjalankan dan menjadikan nasehat kabuyutan sebagai acuan kebijakan. Yang ketiga, pemimpin yang mengatur urusan sandang, pangan, papan, pada wilayah sektoral. Pemimpi ini disebut Dukun/Dukuh/Dusun.Ia bertugas mendampingi Lurah yang tidak selalu bisa di lapangan mendampingi masyarakat secara langsung. Kini istilah Dukun/Dukuh/Dusun sudah terdistorsi makna dan penggunaannya. Inti dari struktur pranatan ini adalah : menjelitakan alam semesta yang telah cantik, memayu hayuning bawana.

Tiga Jalinan/Ukhuwah Desa

– Tuhan – Manusia – Alam

Manusia berada di tengah-tengah dari pendekatan ini, dengan harapan hubungan persentuhan dan perkenalan antar manusia dengan alam ini akan mengacu kepada Tuhan. Makanya di peradaban kita mengenal istilah Begawan dan Prabu. Begawan dan Prabu adalah manusia terpilih yang dianggap representatif terhadap kehendak Tuhan (kalimat, pitutur solah bowo, perilaku) itu selalu terjaga dalam adab spiritual yang suci. Karena dia terjaga, dia menjadi yang dianggap suci. Karena dianggap suci, kesucian itu bukan milik makhluk. Kesucian itu sendiri hanya milik Tuhan bukan milik makhluk. Untuk menghormati kesucian orang tersebut, orang tersebut disebut sebagai Begawan/baghwan atau juga disebut prabhu. Begawan lebih ke uluhiyah nuansanya, sedangkan Prabu lebih ke wilayah rububiyah. Jadi ada Ilah dan ada Robb. Begawan akan mendampingi masyarakat dengan Candi dan Mandira (peribadatan). Prabu mendampingi masyarakat dengan Kotapraja, Singgasana (pemerintahan).

7 Manunggal

Jalinan Tuhan-Manusia-Alam ini menuju untuk menjadi Janma atau insan. Manusia berdiri tanpa Tuhan dan alam bernama jalma (belum lahir). Ketika kita sudah menjalin Tuhan dan alam, yang berlaku di dalam prilakunnya, ini menjadi janma/lahir menjadi insan. Dimana insan ini harus meracik dirinya dari mengelola ego hingga pengabdian. Sangkan paraning dumadi.

Konsep bermula dari ‘ada’ hingga ‘mengabdi’ (7 trap) bisa juga dijumpai pada beberapa sumber. Dalam sudut pandang Islam ada, pada Hindhu pun ada. Ada juga konsep cakra ( I am, I feel, I think, I love, I speak, I see, I understand), Juga bertaut kepada konsep cahaya yang tadinya utuh, tunggal, satu, putih, memecah menjadi 7 : (Mirah, jingga, kuning, hijem, milangit, wulung, wungu). Ketika mampu menjalinkan menjadi satu kembali warna-warna cahaya yang berbeda-beda itu, maka dia akan kembali menjadi utuh (Futuh, Fatih, Fatah, Fatihah, Al Fath). Desa yang utuh adalah desa di atas desa, yakni desa yang bukan hanya subur dan kaya namun juga dihuni oleh masyarakat yang mendapat Pangapuro dari Tuhan karena senantiasa menebarkan kedamaian, kemanfaatan, dan penataan yang tidak menyimpang dari kehendak Tuhan. Inilah Paradesa : Desa di atas Desa yakni desa yang dihuni oleh manusia cahaya, saling mencahayakan, saling memancarkan keindahan, kesejukan, senang berbagi, mirip seperti yang Anda lakukan di grup ‘Kangen Desa – Rindu Kampung‘, masing-masing ingin mengabarkan keindahan dan berbagi ketentraman meskipun baru melalui foto, ini adalah kabar baik sebagai indikator bahwa Anda merupakan pewaris manusia-manusia cahaya yang selalu ingin menyuguhkan keindahan, mempersembahkan kesejukan, mengabarkan ketentraman, menebarkan suasana damai dan penuh berkah. Jika hal seperti itu bisa ditampilkan dalam hidup bermasyarakat niscaya Anda akan merasakan tinggal di Paradesa, dimana ‘Paradesa’ inilah yang dikemudian digunakan oleh bahasa Inggris menjadi paradise yang diartikan : Surga. Bahkan Paradesa ini pun terekam dalam Kitab Suci Al Qur’an[1] dan juga Hadist Nabi dengan sebutan : Firdaus. Firdaus pula yang menjadi acuan Nabi Adam dalam mengkhalifahi kehidupan di dunia. Maka konsep Paradesa merupakan konsep Bumi pada awal peradaban dan resmi bersambung kepada konsep kemasyarakatan Langit sebelum manusia diturunkan ke muka Bumi.

[1] Surah At –Tahrim 66 : 11 Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.

Surah Al Mu’minuun 23 : 8 - 11 Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

Surah Al Kahfi 18 : 107 Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal,

TIM GUGURGUNUNG