Majlis Gugurgunung pada akhir bulan September ini kembali menggelar rutinan Maiyahan pasca melebur pada edisi bulan Agustus lalu di Gambang Syafa’at. Kegiatan ini dihelat pada tanggal 29 September 2018, bertempat di kediaman Mas Mundari yakni di Ngempon, Ungaran, Kab. Semarang.
“Paseban Muharram” menjadi tema yang dipilih pada diskusi malam hari ini. Berkesesuaian pula dengan bulan ini, yakni bulan Muharram atau Suro di kalender Jawa.
Semua yang hadir telah duduk melingkar, hingga dimulailah kegiatan malam itu pada pukul 21.00 WIB. Diawali dengan pembacaan do’a wasilah oleh mas Ari, juga dengan Wirid Gugurgunung dan memimpin tembang Gugurgunung anggitan mbah Narto Sabdo. Lanjut dengan Pembacaan Munajat Maiyah oleh mas Jion.
Diskusi dimulai dengan pembacaan Mukadimmah oleh mas Kasno selaku moderator yang juga dibersamai oleh mas Dian untuk memandu jalannya diskusi. Semua yang hadir menyimak pembacaan mukadimmah dengan seksama. Beberapa yang hadir yakni sedulur dari Majlis Alternatif Jepara, juga sedulur dari Semarang, serta Master Zain Zamatera bersama dua kerabat dari Pagarnusa Salatiga. Namun Master Zain pada kesempatan kali ini menyampaikan permintaan maaf yang sebesarnya karena beberapa hal, baik karena beliau yang meminta maaf atas kedatangannya yang terlambat, lalu meminta do’a untuk Zamatera yang akan mendapatkan surat pengesahan dari Kementerian Kesehatan sebagai Badan Terapist resmi di Indonesia, serta beliau mohon izin untuk pulang lebih awal sebab secara mendadak harus mengejar jadwal pesawat di Surabaya untuk menghadiri kegiatan di Batam esok pagi, dimana sesungguhnya berat pula bagi beliau yang sebenarnya rindu untuk melingkar bersama Majlis Gugurgunung.
Usai sepatah dua patah kalimat disampaikan oleh Master Zain, tiba waktunya untuk mas Yoga membawakan sebuah lagu untuk menghibur sedulur yang hadir. Sebuah puisi karya Chairil Anwar berjudul “Sia-Sia” yang diaransemenkan menjadi sebuah lagu mendapatkan apresiasi yang cukup baik. Kemudian mas Dian selaku moderator kembali membuka sesi diskusi. Mas Ajik menjadi yang pertama ditunjuk olehnya untuk memantik bahasan diskusi yang dapat dikembangkan lebih luas dan dalam.
Tentang kata pada tema ini, yakni Paseban dimana diartikan sebagai pertemuan. Setiap hari kita mengalami proses pertemuan-pertemuan. Baik dengan alam, yakni bertemu dengan pagi ataupun malam. Juga pertemuan dengan manusia-manusia lain. Sedari bangun tidur hingga menuju kembali tidur, sebenarnya sangat banyak pertemuan yang terjadi. Namun itu semua juga tergantung pada kesadaran kita. Apakah diri kita ini menyadarinya atau tidak. Ketika dihadapkan pada sebuah pertemuan, banyak kemungkinan pada pikiran kita yang terseret ke belakang yakni masa lalu seperti sedang ada masalah hutang dlsb. Atau bahkan pikiran melompat ke depan dimana hal itu masih belum jelas, seperti besok makan apa? dlsb.
Kemudian pak Zam juga melanjutkan pembahasan. Terkait mukadimmah, muncul sebuah pertanyaan. Tercantum dalam mukadimmah bahwa, terkait pula tema ini dengan terjadinya salah musim. Manusia berperan penting dalam pengrusakan alam hingga berujung musim yang sering tidak jelas. Namun, ketika alam nanti semakin rusak hingga ujung kerusakan apakah justru akan menemukan keasliannya?
Salah seorang sedulur dari Jepara, yakni mas Anang. Juga memiliki sebuah pertanyaan untuk memantik diskusi. Bahwa alam yang baik sudah dirusak oleh manusia, sehingga alam seakan memberontak ataupun marah. Namun bagaimana cara agar alam dapat kembali sesrawungan dengan kita manusia?
Hampir senada, mas Ari juga memiliki pertanyaan. Terjadinya salah mongso dikaitkan dengan manusia sekarang yang juga sudah salah mongso. Atau salah buruan / salah yang dimakan. Manusia sekarang justru lebih memburu dunia. Namun bagaimana agar tidak terjadi “salah makan” seperti ini?
Mas Jion merespon tentang soal pranata mangsa. Dimana bumi akan menurut dengan segala cara manusia mengkhalifahinya. Sebuah kata luhur yakni Memayu Hayuning Bawana, mungkin bisa menjadi salah satu alternatif cara untuk kita sesrawungan dengan alam kembali.
Mas Agus turut merespon dari beberapa pantikan diatas. Paseban, seba diartikan sebagai sowan, mangkat, bertemu. Paseban Muharram berangkat dari bekal yang kita himpun dari setahun yang telah jalani sebelumnya. Dalam sekian rentang waktu dari lahir, senantiasa dalam rangka seba. Namun bagaimanakah seba yang baik yang perlu kita telaah lebih dalam.
Muharram, berasal dari kata Haruma, yakni tercegah. Setiap memasuki bulan Muharram harus memiliki paugeran tentang hal apakah yang perlu untuk dilanjutkan, dan apakah yang tidak perlu untuk dilanjutkan pada tahun berikutnya. Selain itu juga perlu dipilah tentang hal apakah yang perlu untuk mulai diberlakukan dan tidak lagi diberlakukan. Meskipun diluar diri kita masih ada yang masih memberlakukannya. Sebagai contoh ialah, penggunaan pupuk kimia pada tanaman baik sayuran maupun buah-buahan. Meskipun kita sedikit sesak merasakannya, sedangkan hal tersebut terus berlanjut secara kontinue. Tetapi kesadaran yang harus dimiliki ialah bumi sudah bersusah untuk menghasilkannya. Baiknya, kita memformat diri menjadi pihak yang tidak terlibat oleh sistem nafsu. Sebab ada sistem yang dibangun oleh akal. Sistem tersebut dapat dipakai hingga level kenegaraan. Ada dua negara yang disebut oleh Mbah Nun yakni China dan Iran, dimana negara tersebut sangat memikirkan rakyatnya hingga level terkecil. Meskipun hal tersebut tidak terjadi di Indonesia, apakah kita menolak Indonesia? Tentu tidak, biarkan saja hal tersebut berlanjut. Sebab manusia terkadang perlu pembuktian.
Ada beberapa hal yang terkadang bisa tertangkap oleh Akal, ada yang terserap oleh pikiran, ada pula yang harus dibaca melalui kejadian. Contoh simulasinya, ialah ketika negara memiliki regulasi khusus tentang pupuk dan biji-bijian. Ketika hanya mampu dikonsumsi dan dimainkan oleh pihak besar dan hanya menguntungkan salah satu pihak saja, dan pihak tersebut bukanlah petani.
Apakah perlu kita melakukan kudeta? Jelas tidak. Sebab itu bukanlah pilihan yang baik. Solusi yang paling berkemungkinan baik ialah memberikannya contoh, seperti yang dilakukan oleh sedulur Majlis Alternatif di Jepara dan Petani Muda di Jogja yang menggunakan pupuk organik.
Andai, selama tujuh tahun ke depan akan terjadi kesengsaraan. Bagaimana kita menghadapinya? Apakah akan kita mengkonversikannya menjadi kekebalan ataukah justru kebebalan?
Jika terjadi kerusakan secara masif, yang itu dapat menjadi pembelajaran empiris namun sebenarnya tidak perlu terjadi jika disentuh oleh akal dan pikiran. Qiyamah, juga memiliki arti kebangkitan. Ada yang dibangkitkan berarti ada pula yang ditumbangkan. Tinggal pihak mana yang akan kita pilih, pihak yang akan dibangkitkan ataupun pihak yang akan ditumbangkan.
Dari beberapa uraian tersebut, jangan pula menganggap diri kita bukan sebagai faktor dalam perusakan-perusakan. Namun tergantung perusakan mana yang kita pilih. Petani mencangkul pun juga terlihat merusak tanah, namun menghasilkan nilai fungsi yang lebih besar.
Harapan seorang petani sebagian besar ialah, hasil panen bagus, melimpah, dan laku mahal. Namun ketika hal tersebut tidak terjadi, apakah mereka akan berhenti berdo’a? Tidak, sebab dalam pada itu sangat berkemungkinan do’a-do’a tersebut dikumpulkan dan menunggu momentum untuk memanen setiap do’a dan usaha yang sudah dijalaninya. Inilah sikap berserah, Namun tentu saja, momentum tersebut tidak akan tercapai apabila kita pasif, sebab tidak mungkin bisa hanya dengan leyeh-leyeh bisa mengunduh hasil.
Kemudian bahasan diskusi berlanjut pada gambar awan yang terpampang di poster. Bersama kita mentadaburi, bahwa semua adalah pertanda bagi orang yang berpikir. Hal tersebut ialah fenomena yang menjadi trigger akan tema Paseban Muharram kali ini.
Awan tersebut nampak terlihat jelas di puncak gunung Ungaran. Nampak beberapa awan yang hampir sama terlihat di beberapa gunung sekitaran Jawa Tengah, bahkan juga di Gunung Gede Jawa Barat serta Gunung Agung Bali. Pranata mangsa yang kerap kali berubah-ubah, bahkan terbolak balik pada sekian lama ini mungkin akan terdapat perbaikan untuk ke depannya. Sedikit hal yang mendasari ialah ada beberapa pihak yang sudah mau dandan atau memperbaiki diri, serta lingkungan. Dari lahan tandus telah mulai muncul kecambah. Meskipun hanya sebagai bidak dalam permainan catur, namun merupakan salah satu pihak yang memiliki peran utama dalam permainan tersebut sebab memiliki potensi akan harapan yang besar. Ketika satu bidak telah sampai di ujung perjalanan, ia mampu untuk memilih akan menjadi apakah dia. Bebas memilih, asal tidak menjadi “Ratu”.
Titah ataupun ilmu akan sesuatu yang dahulu mungkin pernah dimiliki leluhur tentu masih akan terjaga. Baik titah maupun ilmu semua berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dimana pasti akan bernaluri kembali kepadaNya. Tubuh manusia mungkin boleh mati, hancur dan terurai. Namun titah maupun ilmu yang dimilikinya tentu akan kembali kepada Sang Maha Pemilik Ilmu dan masih berkemungkinan untuk ditransfer kembali kepada kita entah dengan bentuk mekanisme apapun.
Kisaran waktu pukul 23.30 WIB, mas Khafid diminta untuk membacakan puisi karyanya, dengan diiringi petikan gitar oleh mas Yoga.
Lirik penuh arti serta pembawaan yang mantap pun mendapat apresiasi dari sedulur-sedulur yang hadir.
Usai disela musikalisasi puisi, mas Dian turut mengajukan sebuah pertanyaan yang masih terkait dengan diskusi malam ini. Dimana dalam waktu dekat-dekat ini banyak terjadi bencana alam. Seperti gempa di Lombok serta tsunami yang menerpa saudara kita di Palu dan Donggala. Apakah hal ini juga merupakan sebuah bentuk proses perbaikan alam seperti yang dimaksud tadi? Namun direspon oleh mas Agus bahwa tidak perlu mengkaitkan hal-hal tersebut, sebab prioritas utamanya ialah menjaga kemanusiaan. Tidak mampu untuk memberikan bantuan secara fisik, namun lakukan apa yang bisa kita lakukan bahkan dalam bentuk do’a sekalipun.
Mas Rizal dari Semarang juga menggendong pertanyaan yang masih berkaitan dengan Muharram atau Suro. Jaman dahulu tidak ada yang menikah pada bulan suro, namun era saat ini justru banyak yang melakukannya. Direspon pula oleh mas Agus bahwa, alasan leluhur untuk tidak menikah di bulan Suro ialah bulan ini merupakan bulan berkabung Rasulullah. Dimana cucu kesayangan Rasulullah mengalami fenonena yang menyedihkan yakni dibunuh, dan dipenggal kepalanya. Para leluhur mencoba untuk mendekat dengan Rasul termasuk memahami apa yang membuat rasul bersedih, sehingga agaknya kurang pas di bulan berkabung ini justru digunakan menjadi fenomena untuk berpesta atau berbahagia.
Do’a penutup menjadi pertanda bahwa usai sudah diskusi malam hari ini. Namun cangkrukan masih belum usai, sebab menu khas gunung yang selalu dirindukan senantiasa menjadi penutup dalam tiap acara majlisan Gugurgunung. Lingkaran-lingkaran kecil masih terbentuk, dengan bahasan ringan menjadi suguhan untuk saling ditukar satu sama lain untuk menambah sekelumit informasi tentang kemanusiaan, sebab sebaik-baiknya “menjadi” ialah Menjadi Manusia.
Sekian reportase edisi September 2018 dengan Tema “Paseban Muharram”, semoga bermanfaat.
Andhika Hendriyawan