Simulakra
Menyingkap Ilusi Realitas

Hari ini kita sedang hidup dalam medan peperangan paling tua sekaligus paling modern dalam sejarah keberadaan manusia yaitu : Perang Kesadaran 

 

Perang kesadaran ini berlapis dan bersusun dimensi. Yang dirancang agar manusia : 

– Sibuk dengan dunia fisik 

– Terkunci pada kebanggaan lencana palsu 

– Terhipnotis oleh ilusi sukses dan kebahagiaan busuk. 

– Takut kehilangan kenyamanan sistem. 

– Tak lagi peka membaca tanda tanda Nur di sekitarnya. 

 

Ada dua jalur yang kian ditebalkan, dan terus menerus menjadi simulasi simulakra, yaitu : 

 

Kebohongan yang diulang terus menerus  sampai orang percaya 

Atau  

kebenaran yang didiamkan sampai orang lupa 

 

Dua jalur ini bukan sekadar jebakan logika, tapi peta galur penyesatan di hampir setiap zaman. Seperti kutub positif dan negatif dalam baterai, keduanya justru saling melengkapi—mengisi daya pada sistem besar bernama simulakra. Sebuah sistem yang memanipulasi persepsi, menyusun realitas semu, dan menyandera kesadaran lewat dua cara, yaitu : 

 

Membuat manusia percaya pada kabut, dan Membiarkan manusia lupa akan cahaya. 

 

Dalam dunia simulakra, yang palsu bisa lebih meyakinkan dari yang asli, dan yang nyata perlahan jadi samar karena tak pernah lagi disuarakan. Kebohongan difabrikasi lewat repetisi, kebenaran dikubur lewat diam. 

 

Maka tak heran jika layar lebih dipercaya dari nurani, dan gema lebih dipercaya dari pada sumber suara. 

 

Perang ini tidak mengenal Netral. Maka penting memahami : 

– Siapa musuh kita sebenarnya ? 

– Bagaimana mereka bekerja dalam lapis dimensi ? 

– Sejak kapan perang ini digelar ? 

– Kapan semua ini runtuh total ? 

– Siapa yang kelak bertahan di jalur Nur, dan siapa yang tenggelam dalam collapse Rancangan Sumulakra ? 

 

Namun orang-orang tua kita dulu sudah menanam rumus perlindungan yang sangat halus tapi dahsyat: 

”Eling lan waspodo.” 

Itulah firewall Nur paling tua, paling canggih. 

Eling membuat manusia sadar siapa dirinya dan dari mana asalnya. 

Waspodo membuat manusia berjaga.   Tidak mudah larut dalam arus realitas palsu yang didesain rapi oleh sistem. 

 

Di sinilah pentingnya kesadaran batin resonansi nurani, dan napak tilas pada cahaya asal. Karena selama manusia menggenggam “eling lan waspodo”, bahkan di tengah samudera ilusi sekalipun, kabut hanya akan membias pandangan — tapi takkan pernah memadamkan cahaya sejati. 

Facebooktwitteryoutubetumblrinstagram
Posted in Mukadimah.