Bersih Diri
Mengenali Kepalsuan, Diyu, dan Ruwat Diri

“Tidak usah menunggu tua untuk mengerti KESEJATIAN , tidak usah menunggu hancur untuk sanggup memahami perbedaan yang PALSU dengan yang MURNI .” 

 

 (Mbah Nun) 

 

Quote lama Mbah Nun ini tiba-tiba terus berdengung dalam telinga. Sangat relevan pada kondisi yang kian se-palsu ini. 

 

Setidaknya ada beberapa point penting dari quote tersebut yang dapat kita gunakan sebagai pintu masuk sinau bareng, diantaranya adalah : 

– Kesejatian 

– Palsu 

– Murni 

Lalu kita gunakan sebagai identivikasi Diyu, dan Diri. 

 

Hidup bukanlah sekadar rangkaian peristiwa lahiriah, melainkan juga merupakan perjalanan ruhaniah.  

 

Dalam lintasan sejarah spiritual Nusantara dan dunia Islam, tema kesejatian manusia selalu menjadi inti: siapa sejatinya manusia, dari mana ia datang, dan untuk apa ia hidup? 

 

Dalam Islam, Al-Qur’an menegaskan manusia sebagai makhluk mulia, diciptakan dengan tangan-Nya, ditiupkan ruh Ilahi, dan diangkat menjadi khalifah di bumi.  

Para tokoh dunia Islam banyak menjelaskan bahwa kesejatian itu hanya bisa dicapai dengan menyucikan jiwa, meleburkan ego, dan menghidupkan sirr—rahasia ruhani dalam diri. 

 

Pemikiran ini bergaung pula dalam Spiritual Nusantara:  Menuturkan,  zaman edan yang penuh kepalsuan , dan hanya mereka yang eling lan waspada yang akan selamat.  

 

Namun, zaman terus bergulir ke arah paradoks: dunia modern dipenuhi ilusi, kepalsuan, dan kejumudan batin. Kebenaran dikerdilkan, makna dipoles menjadi citra, dan manusia makin jauh dari jati dirinya. Diri kian men-Diyu. Kebijakan-kebijkan, hukum, keadilan, keamanan,  Kesejahteraan, dst.  semuanya seolah mengakomodir keinginan dan kebutuhan Diyu. 

 

Dalam konteks ini, Sastra Jendra Hayuning Rat Pangruwating Diyu tampil bukan sebagai dongeng, melainkan peta batin yang mengisahkan pertarungan antara keilahian dan kehewanan dalam diri manusia. 

 

“Diyu” (raksasa batin) adalah simbol nafsu angkara, kerakusan, dan ego yang membelenggu ruh sejati. Untuk menjadi manusia yang paripurna, setiap jiwa harus menjalani proses pangruwatan—pembebasan dari “diyu” di dalam dirinya. Ruwatan bukan hanya ritual, tapi laku kesadaran: proses meluruhkan PALSU-PALSU agar CAHAYA SEJATI bisa menyala.  

 

Mukadimah ini adalah ajakan untuk menyelami ulang siapa diri kita. Di tengah zaman yang edan, kepalsuan menjadi normal. Maka manusia sejati bukan yang kuat, tapi yang sadar. Bukan yang besar, tapi yang bening. 

Facebooktwitteryoutubetumblrinstagram
Posted in Artikel, Mukadimah.