Sang Pejalan

Majlisgugurgunung:: Dalam guyuran hujan deras seorang pemuda berjalan dengan mantap menembus rimba yang lebat di salah satu daerah di pulau jawa. Langkahnya mantap dan badannya gagah, seolah air hujan adalah keringat yang ia kucurkan selama perjalanan hingga membasahi sekujur tubuhnya. Melangkah dan terus melangkah sendiri menapaki sunyinya rimba yang semakin masuk semakin rimbun dan berkabut.

Arya namanya, berperawakan tinggi besar dan cukup kekar. Matanya sangat tajam membelah apa yang ada di depannya, dengan jambang yang tumbuh lebat menambah tegas perawakannya. Dia bukan kesatria juga bukan Begawan atau resi. Dia hanya pejalan yang selalu melangkahkan kaki sesuai tuntunan hatinya. Dia terus berjalan dari satu desa ke desa lainnya, dari satu rimba ke rimba lainnya.

Dibukannya belukar demi belukar kehidupannya melalui perjalanannya, dianyamnya persaudaraan dari perjalanannya, dan diteguknya air kasih sayang dari tempatnya singgah untuk melepas lelah selama perjalanan.

Di rimba yang kian waktu kian pekat dia terus berjalan hingga pencahayaan kian berkurang karena rupannya hari sudah senja dan sebentar lagi malam tiba. Hujan mulai reda di jeda waktu pergantian antara siang dan malam tersebut. Arya segera menghentikan langkahnya di sebuah tanah yang cukup lapang di tengah rimba. Dibuatnya api unggun dari ranting-ranting yang berserakan di sekitarnya.

Arya sengaja berpuasa seharian ini, bahkan tidak pula segera berbuka hingga malam tiba. Dia senantiasa menajamkan rabaan pendengaran hatinya. Dia tidak akan berbuka jika tidak diminta. Begitu mantap tekad dan prinsip yang ia pegang membuat seolah-olah dimanapun dia berada disitu adalah rumahnya. Seperti malam ini, di tengah rimba yang lebat dan amat sunyi. Hanya suara serangga dan hewan malam yang tampak beraktifitas.

Setelah selesai membuat api unggun arya segera mencari tempat di sekitar api unggun dan duduk dengan posisi bersila dengan wajah dihadapkan ke barat. Dan malam menjadi tambah hening dan sunyi dengan bersemedinya pemuda gagah tersebut.

Digedor dan dibukanya pintu demi pintu, dia buka lembar demi lembar kabut yang menyelimuti sanubarinya. Tibalah ia di sebuah tanah yang begitu luas, tak ada barat dan utara, apalagi selatan dan timur. Tak ada mata angin, tak ada arah, tak ada siapa-siapa kecuali dirinya seorang diri. Secara tiba-tiba muncul suara gemuruh namun menenangkan. Arya semakin menajamkan pendengarannya, dicermatinya setiap gemuruh yang muncul, dan dicernanya sebagai bacaan untuk langkahnya selanjutnya.

Mentari menampakkan ujung ekornya di awal pagi. Perlahan demi perlahan arya membuka matana. Menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali. Terbitnya matahari adalah tanda bahwa ia harus kembali melanjutkan perjalanan dan tetap berpuasa, karena ternyata memang belum ada tanda-tanda yang mengharuskan dirinya untuk berbuka.

Dikemasinya seluruh barang bawaan, dan setelah membersihkan diri di sungai yang tak jauh dari tempatnya beristirahat segera arya melanjutkan perjalanannya menyusuri kembali lebatnya rimba.

Selangkah demi selangkah terus dan terus dia melangkah yang sepertinya letih sudah enggan menggodanya. Hingga tibalah ia di suatu pemukiman masyarakat di kesunyian hutan tersebut. Dengan tenang ia melangkah menuju pemukiman tersebut. Ditengah keheranan warga yang berkumpul ketika mereka melihat kedatangan arya, aryapun mengucap salam kepada mereka dan disambut dengan suka cita dan tarian-tarian penyambutan bagi arya. Arya sendiri tak menyangka ada masyarakat yang sebegitu menghargai tamu dan menganggap salam adalah syarat sah untuk masuk ke desanya, layaknya password.

Arya duduk ditengah-tengah kehangatan warga yang sedang berkumpul dan menikmati sajian yang sudah dipersilahkan untuknya berbuka.

Arip Wibowo

Facebooktwittertumblr
Posted in Kembang Gunung.