Majlisgugurgunung:: Dengan rasa penasaran begitu tinggi, seseorang mendatangi rumah dengan papan nama pelacuran syariah. Dia merasa agamanya dihina dengan terang- terangan. Dengan emosi yang berkecamuk dia akan mengumpulkan data konkret untuk kemudian membawa masa menghancurkan tempat maksiat itu. Sampailah orang itu, dia langsung masuk. Namun, sebelum melangkah lebih jauh dia dihadang dengan sebuah teguran suara perempuan.
“Assalamu’alaikum, selamat datang Bapak” Orang itu kaget sebentar dan mendekati perempuan itu.
“Mana pelacurnya? Aku mau pakai”
“Sebentar, mohon bapak melihat dahulu katalog kami, pelacur mana yang Bapak kehendaki”
“Manah!!”sambil menarik katalog yang berisi foto-foto perempuan cantik dengan keterangan biografi masing-masing.
Setelah dilihat-lihat, ia menambatkan matanya pada foto seorang gadis berparas cantik dengan keterangan usia yang masih belia. Namun cepat-cepat ia sadar bahwa ia kesana bukan karena ingin melacur tapi ingin mencari fakta, yang fakta itu kemudian digunakannya untuk menindaklanjuti tempat jahanam ini. Tapi senyuman gadis di foto itu sungguh mengusik hatinya, matanya kembali hinggap di foto itu lantas diam-diam ia mulai sedikit berdiskusi di dalam hatinya, “yang namanya fakta itu adalah kenyataan di lapangan, apa saja yang ditemukan di lapangan itulah fakta, jika faktanya ia harus dapatkan dari gadis ini pun tetaplah fakta, apalagi ini menarik, ia punya nama yang indah, punya background sebagai mahasiswi, bahkan pernah menjadi santriwati!!! Bagian ini rasa ingin tahunya semakin menggebu-gebu, hatinya berkecamuk, dadanya berdegup dan kemarahannya yang coba ditahan membuat nafasnya tak beraturan.
Dia segera letakkan katalog itu dengan kasar dan telunjuknya ia tempelkan pada foto perempuan yang mengobrak-abrik jiwa kemanusiannya itu.
“Ini, saya mau yang ini!”
“Alhamdulillah, baiklah Bapak, silakan ambil nomor urut ini dan tunggu sebentar di ruang tunggu, ruang tunggu untuk bisa merokok di sebelah kanan dan ruang untuk tidak merokok di sebelah kiri” ucap perempuan itu lembut.
“Nggak usah kebanyakan syarat, aku ini datang bukan untuk menunggu, ngerti kamu!, bawa aku masuk sekarang!”
“Mohon maaf Bapak, dengan berat hati saya harus memberi nasehat kepada Bapak bahwa bapak sebaiknya bersabar”
Dengan wajah kecut, lelaki ini beringsut merasa agak malu, dengan menutupi sebisa-bisanya dia timpal dengan berlagak gak peduli
“sudah.. sudah.. mana ruangan sebelah kanan!” ia pergi sambil menyaut nomer urut.
“Silakan bapak mengikuti lorong ini nanti ada papan petunjuknya”
Iapun berjalan, dia lihat di kiri dan kanan terpampang berbagai lukisan kaligrafi. Ia pun bergumam dalam hati. “Gila, ini penghinaan sangat sangat serius, dianggapnya apaan agama ini, pengusaha tempat ini benar-benar telah sesat” Sesaat kemudian ia sampai ke ruang tunggu, ia duduk dan melihat sekeliling. Disana ia lihat ornamen-ornamen bercorak timur tengah dipadu padankan dengan tanam-tanaman hias yang tertata rapi. Suasana semakin menyejukkan tatkala ruangan itu didengungkan sayup-sayup lantunan Al- Qur’an.
Pada sebelah sudut terdapat lorong yang di atasnya bertuliskan “Mushola”. “GILA!! Bagaimanapun baiknya tempat ini secara lahir, tetap saja tidak bisa menghapus najis dan kemaksiatan di dalamnya. Apakah orang-orang yang ada di sini masih punya pikiran?”
“Mana mungkin ada orang yang melacur kemudian ahhh… ini sekte baru. Ini alat pemecah belah! Ini pembodohan umat” Belum selesai ia berdialog antar dirinya sendiri, terdengar panggilan dengan nomer yang ia bawa. Ia tengok kiri kanan, dari tadi nggak ada orang lain, ngapain disuruh nunggu. Ia pun beranjak dan menuju ke kamar yang disebutkan dengan dihantar dua orang pemudi yang juga berpenampilan santun dan penuh hormat. Setelah sampai depan pintu kamar, dua orang penghantar memohon diri dan mempersilakan lelaki tersebut masuk.
Ia kini nggak cukup mengerti kenapa tiba-tiba kondisinya terjebak sebuah situasi yang susah diterjemahkan. Ia harus langsung membuka pintu? mengetuknya terlebih dahulu? atau mengetuknya kemudian mengucapkan Salam? Seperti sejak semula ia masuk, kemudian disambut, kemudian didatangi kedua penghantar, dan saat kedua orang penghantar memohon diri. “Ah tentu saja itu semua bukan salam sebenarnya, itu semua hanya basa-basi industri. Lalu kenapa aku harus risau, sejak semula aku sudah teguh memperjuangkan agama terhadap penistaan”.
Maka, ia pun langsung masuk dan di dalam ia temui seorang perempuan muda yang sangat cantik tersenyum dan langsung mengucapkan salam. Pakaiannya sopan, tidak ada aurat yang tampak dan duduknya bersimpuh di atas bantal beludru besar bercorak ornamen-ornamen emas yang berkesan mewah, tampak menawan hati. Meski begitu jelas bisa dilihat, tetap ada tirai lembut yang berfungsi sebagai semacam kelambu yang tersibak-sibak gemulai terkena angin. Lelaki belum sempat mengucapkan salam dan juga belum menjawab salam, ia memperhatikan dengan seksama seakan terpaku, apa yang ada di dalam buku katalog itu memang benar-benar yang kini dihadapannya.
Ia tiba-tiba tergairahkan oleh suasana bathin yang aneh. Yang ia lihat ini adalah perempuan cantik yang tadi membuat jiwanya terusik tidak mau terima terhadap nasib malang si perempuan ini. Tapi, setelah yang dia lihat tampak bahagia, tidak ada getaran keterpaksaan, terhimpit derita dan lain-lainnya, lelaki ini menjadi gagal untuk memerankan diri sebagai pahlawan. Ia justru membayangkan bahwa jalan hidup inilah yang dipilih perempuan cantik ini. Ia telah sangat menguasai penderitaan sehingga bahkan mampu mengubahnya menjadi kebahagiaan.
Lelaki ini diam-diam membayangkan mensetubuhi perempuan ini, membuka pakaiannya sehelai demi sehelai dan …..
“Silakan duduk, sebaiknya saya memanggil dengan sebutan apa? Bapak. Mas, atau kakak, Abang? Atau..?
“Eng… , sila boleh soal sola soleh, .. nam nama saya sholeh”
“Silakan duduk Bapak Sholeh”
“Ahh.. jangan Bapak dong, Mas aja atau Abang aja”
“Baik Mas Sholeh, silakan duduk” Suara lembutnya yang memanggil namanya dengan sebutan “mas” di depannya terasa cess.. di dada terasa sejuk, dan ia duduk sambil tak beralih pandangannya ke paras perempuan itu. Kemudian perempuan itu berkata lagi :
“Terimakasih telah sudi hadir ke tempat kami, sebuah pelacuran syariah. Apakah mas Sholeh tahu apa itu pelacuran?”
“Persenggamaan?”
“Suami dan istri pun bersenggama”
“Persenggamaan tanpa ikatan nikah”
“Apakah yang kemudian membuat orang mau menikah? Sedangkan itu berarti ia akan boleh bersenggama hanya kepada 1 orang, dan ia harus mencukupi kebutuhannya, dan ia juga harus bertanggung jawab atas keluarganya yakni anak dan istrinya, dan ia harus menganggung penderitaan dengan penuh siksa tatkala ia lihat istrinya tak lagi secantik dan semuda perempuan yang baru ia temui entah dimana. Kenapa orang menjadi bodoh memilih menikah jika hal paling utama adalah persenggamaan?”
Sholeh tidak cukup siap dengan pertanyaan ini, ia bahkan tidak menyangka adegannya akan seperti ini. Ia coba kembali reset otaknya untuk lebih siap ke adegan ini. Ia coba telaah lagi pertanyaan awal perempuan di depannya, …apakah ia tahu apa itu pelacuran” Sejenak ia menarik nafas dan mulai menjawab dengan tidak berani asal-asalan.
“Dik siapa namanya?”
“Seperti yang mas Sholeh baca di katalog, Ramdhannisa Syahlamus Shaliha”
“Em.. _ada nama yang mirip di belakang gumamnya pelan_, dik Liha, saya kesini bukan mau aneh-aneh, tapi mencari fakta penistaan agama, kenapa bisa-bisanya menggunakan kata syariah dengan diletakkan setelah kata pelacuran”
“Harusnya? Ia hanya boleh untuk rumah sakit? Untuk Bank?
“Tentu saja! Karena mereka jelas membawa manfaat dan maslahat bagi ummat”
“Bagaimana dengan pelacuran?”
“Jelas haram, najis, dan tidak pantas menggunakan kata syariah di belakang, karena agama justru melarang pelacuran bukan menganjurkannya”
“Apakah agama menganjurkan riba”
“Tidak”
“Apakah agama menganjurkan menolong yang sakit kepada hanya yang mampu atau utamanya kepada siapapun yang sakit”
“Tentu saja kepada yang sakit, karena yang mampu bisa saja tidak sedang sakit”
“Jika prakteknya yang riba jadi tidak tampak riba bahkan tampak berwajah kemanfaatan dan kemaslahatan ummat, apakah ia tetap disebut riba meskipun menggunakan pakaian, atribut, dan simbol-simbol istilah agama?”
“Yang riba tetap riba, yang haram tetap haram, yang najis tetap najis, yan bathil tidak akan mampu menggantikan yang haq”
“Baiklah Mas Sholeh, maka mas Sholeh tidak akan menjumpai persenggamaan di sini. Di sini kami sedang membuka dialog, kami sedang merasa syariah dijajakan dengan murah, diecer-ecer dan bisa ditawar dan dipangku siapapun yang berkuasa. Maka jika syariah diperlacurkan seperti itu, maka ini adalah tempat yang secara tegas mengatakan sebagai pelacuran syariah. Karena kami menggunakannya untuk menyamakan diri dengan riba syariah, make up syariah, fashion show syariah, shampo syariah, gossip syariah, sinetron syariah, dlsb.
Mereka toh tidak bersungguh-sungguh paham apa itu maksud syariah karena yang dipahami hanya satu hal yakni, kata syariah sebagai mantra mujarab untuk mengeruk keuntungan berlipat ganda dari pasar yang mayoritas penduduknya sangat mudah kaget dan kagum dengan label dan simbol agama anutannya. Maka kami pun tidak akan bersungguh-sungguh melacurkan siapapun manusia di sini, satu satunya yang kami lacurkan adalah kata syariah yang sudah terbiasa dilacurkan.
Mas Sholeh silakan temukan fakta penistaan agama di sini, silakan hancurkan tempat ini dan silakan bawa masa untuk menyerang dan membabi buta membela agama dengan nafsu pembantaian. Mas Sholeh, silakan terjemahkan sendiri. Pelacuran syariah ini bukan melacurkan orang dengan cara syariah, pelacuran syariah ini adalah melacurkan kata syariah yang dengan tega kami sandingkan dengan kata pelacuran. Lalu bukalah cakrawala yang lebih luas apakah tidak demikian juga sesungguhnya kata syariah itu bernasib”
“Kenapa harus dengan kata Pelacuran Syariah? Apakah itu kritik sosial, apakah itu semacam social prank karena melihat kerancuan keadaan? Apakah ini penyadaran sosial? Apakah ini bukti bahwa dengan fakta kata ‘pelacuran’ pun tak lantas berarti ada praktek pelacuran? Sehingga dengan fakta ada kata ‘syariah’ pun belum tentu ada praktek syariah? Lalu bagaimana dengan persenggamaan, tentang suami istri tentang kenapa orang harus menikah?”
“Orang menikah bukan karena manusia semata-mata menjalankan konsep kemauannya sendiri, menikah adalah konsep yang menjalankan konsep dari Tuhan kepada manusia. Menikah melatih orang bukan sekedar untuk bersenggama, namun menemukan ruh kemanusiaan dan pengabdiannya yang sering terselimuti tebalnya keinginan-keinginannya yang terus bertumpuk. Menikah adalah pertolongan Tuhan kepada manusia untuk memiliki pengalaman mencintai kepada manusia lain dengan tulus bahkan melebihi cinta kepada dirinya sendiri”
“mmm… laluu.. “
“Mas Sholeh mau bagaimana sekarang?”
“iya, bagaimana ya? Aku menemukan fakta yang bertolak belakang sehingga sesungguhnya tempat ini tidak bisa disebut sebagai pelacuran”
“Silakan pulang ke rumah, lihatlah dahulu yang paling sederhana, jangan terburu-buru berjuang dengan buta. Apa yang tampak hina-nista belum tentu hina nista, apa yang tampak indah-jelita pun belum tentu indah-jelita. Semua bisa sebaliknya” .