Majlisgugurgunung:: Kulangkahkan kaki semeter demi semester, sekilo demi sekilo. Melangkah dan terus melangkah, hingga akhirnya aku kelelahan. Ku duduk dengan posisi bersila di bawah pohon beringin besar di tengah rimbunnya rimba. Kupejamkan mata sejenak, kunikmati sepi, hening dan sunyi ini. Sekilas terdengar suara lirih menyapaku; “siapa kamu? Kenapa kamu terus berjalan? dan kenapa sekarang kau terdiam bersila disini?”. Aku tetap diam tak menjawab, dan suara itu kembali terdengar; “siapa keluargamu? Dari mana asalmu? Sudahkah kau mengingat dan menjaga?”. Dan pertanyaan yang baru saja terucap membuatku tersentak hingga kubuka mata.
Pertanyaan demi pertanyaan yang kudengar tadi membuat hati dan pikiranku runyam. Benar juga, ngapain aku capek-capek terus berjalan, tapi kalu tidak berjalan menyusuri tiap lekuk jalan bagaimana aku bisa mengingat? Bagaimana mau menjaga sedang mengingat saja aku masih terus lakkukan. Masih terus kucoba membuka tabir demi tabir yang menutupi ingatanku. Bagaimana pula akau mau menjaga sedang diriku sendiri aku belum tahu pasti siapa, apalagi keluargaku. Siapa keluargaku? Dari mana aku? Dari mana sangkan paranku?
Terus berputar olahan hati dan pikiranku, hingga kepalaku tak kuat menampung dorongan hatiku hingga akhirnya aku memilih untuk berbaring sejenak, barangkali ini mampu mengurai keruwetan di kepalaku hingga kucapai keselarasan kembali dan mampu mengingat setitik demi setitik tinta kehidupanku, tinta catatan diriku, catatan keluargaku, catatan asalku, dan catatan kekasih sejatiku.
Terik mentari membangunkanku dari tidur, terasa cukup segar kurasa badan ini. Pusing dikepala juga sudah tak terasa lagi. Kuusap wajahku dengan air segar sungai kasih sayang di depan mataku. Kini aku siap berjalan kembali.
Kususuri kembali rimba hingga kutemukan sebuah kampung, “ah kebetulan, aku bisa singgah sejenak untuk melemaskan otot kaki dan sekedar mengisi perut yang sedari semalam kubiarkan kosong” gumamku.
Tibalah aku di kampung tersebut. Terkejut aku ketika memasuki kampung ini, sungguh begitu rapi tatanannya, wangi dan segar udaranya, belum lagi masyarakatnya yang begitu ramah dan santun. “nak nak, kiranya ada yang bisa kakek bantu? Kakek perhatikan dari tadi sepertinya sedang bingung. Mari singgah di gubuk kakek sejenak nak!” Sapa salah satu kakek penghuni kampung tersebut. “oh iya kek terimakasih.” Jwabku.
Akhirnya kami sampai dirumah sang kakek. Rumah yang sederhana namun benar-benar rapi tatananya, indah dilihat mata, bersih, dan harum baunya. “silahkan duduk nak, kakek ambilkan minum dulu.” Suara kakek mempersilahkanku. “baik kek” jawabku.
Tak lama kakek datang membawa 2 cangkir kopi, kacang rebus yang masih hangat, dan beberapa linting rokok.“ silahkan nak kopi dan kacang rebusnya! Mumpung masih hangat, rokoknya juga dicicip, itu rokok khas daerah sini nak.” Kakek mempersilahkan. Segera ku sruput kopi yang masih hangat itu. Begitu pyaaar kopi buatan kakek ini dan kemudian kubakar rokok pemberian kakek. Serasa metabolisme tubuhku yang tak karuan tersulam dan teranyam lagi.
“kopi apa ini kek? Kok rasanya pyaar sekali” tanyaku.
“Orang sini biasa menyebutnya kopi kopen nak” jawab kakek singkat.
“kenapa namanya kopi kopen kek? Apakah ada cerita dibalik namanya?” pertanyaanku penasaran.
“itu sebenarnya bentuk usaha dan do’a nak” jawab kakek.
“usaha dan do’a yang bagaimana kek?” tanyaku mengejar.
“usaha ngkopeni dan berharap terjalin hubungan kekeluargaan yang hangat di tiap teguk”
“nggkopeni? Hubungan kekeluargaan? Bagaimana lagi itu kek?”
“ngkopeni dari kata dasar kopen yang artinya terawat dan terjaga, kemudian diberi imbuhan ng-kopeni yang kemudian menjadi kata kerja yang menyimbolkan usaha kami untuk menjaga dan merawat apa yang seharusnya kami janga dan rawat atau bahasa gampangnya ngeman-eman. Tak lupa pula kami berharap menjadi keluarga siapapun dimanapun kami berada, terutama di kampung ini. Persembahan kami sebagai tuan rumah adalah bentuk pengharapan atas diri kami agar selalu memposisikan diri menjadi keluarga yang baik kepada siapapun bahkan orang dari luar kampung sini. Dari kesemua itu intinya adalah kami berusaha sekuat tenaga kami menjamu dan berharap agar yang kami jamu nyaman dan seperti berada di naungan keluarganya sendiri tanpa merusak ingatannya akan asal musalnya, makannya selain kopi ini kakek juga menyajikan kacang rebus dan rokok ini nak untuk kamu nikmati”
“sungguh tatanan symbol yang sungguh indah kek. Memang akhirnya aku merasa seperti di naungan keluargaku sendiri kek ketika berada disini.”
Perbincangan kami terus berlanjut dan semakin hangat di gubuk sederhana yang penuh dengan cinta, di tengah kampung yang indah dan tertata.
Arip Wibowo