Islam adalah berserah diri, damai, pasrah, menghamba. Berbicara Islam adalah berbicara kesemestaan, di dalam Islam tersusun kumpulan prilaku-prilaku Silmi. Dimana Silmi adalah prilaku yang berkarakter menebarkan Salam. Menebarkan salam ialah memastikan kehadirannya tidak mengganggu oranglain, tidak mengusik, tidak mencederai, menjamin dirinya tidak akan mengganggu martabat, harta, dan darah pihak lain. Penebar salam memastikan keselamatan atas lingkungannya, berkontribusi dan konstruktif, produktif, kooperatif, jika ia sebagai warga. Memastikan keselamatan tanah air, nafkah, mata pencaharian, logistik, kebutuhan peribadatan, pendidikan, kesehatan, sandang, papan, kreatifitas, dlsb bagi warganya jika ia sebagai pemimpin. Memastikan keselamatan moral dan menyempurnakan akhlak negara, pemerintah, dan warganya jika ia seorang ulama.
Dalam kondisi sekarang, ternyata hanya warga yang masih berusaha menjalankan fungsinya dengan baik meski tertatih-tatih. Ia tetap berusaha membayar pajak, ikut BPJS, tidak ada lapangan kerja bikin lapangan kerja sendiri. Tetap ada Nyadran, tetap ada Idul Fitri, Idul Adha, dan hari besar lain yang tidak perlu disubsidi pemerintah. Ada sekolahan reyot tidak menuntut, tetap digunakan tetap buat belajar. Ada sawah yang disita, mengalah. Ada rumah yang digusur, memilih mundur. Terus seperti itu, hingga ternyata warga berada dalam posisi yang terus mengalah dan mundur dan makin tergusur dari sisi dan segi apapun. Sebagai warga hukum, ia tergusur. Sebagai warga negara ia merana. Sebagai warga ekonomi, ia pasar dan sapi perah. Sebagai warga pendidikan, ia bodoh.
Sesungguhnya jika pemimpin lebih mau bekerja, yang diprioritaskan bukan melulu jalan tol atau pembangungan infrastruktur yang diimajinasikan sebagai ukuran sebuah keberhasilan dan bukti adanya pembangunan. Ranah kesenian telah banyak yang ambruk karena warga makin terhimpit untuk terus mempertahankannya. Grup-grup kesenian meredup dan padam. Ranah kebudayaan makin tak terurus sedangkan warga yang mengurusi itu sering memakai biaya pribadi untuk mempertahankannya. Bidang olahraga makin tak terbina. Di bidang sastra dan literasi makin tak digemari dan dianggap basi. Rakyat teriak dicap subversif, rakyat diam dianggap mengijinkan. Ulama yang berusaha memberi masukan dicap sebagai pihak yang bersebrangan. Ulama yang mendukung, akan diangkat dan dijunjung meski tanpa kualitas dan abilitas. Urusan-urusan yang berkaitan dengan kemudahan oranglain untuk berbuat baik dengan makin mudah adalah “jalan-jalan tol” yang sangat jembar. Hamparan-hamparan untuk membangun keselamatan di segala bidang Itu semua adalah bulir-bulir Silmi yang bisa diambil oleh setiap warga, pemimpin, ulama untuk membangun masyarakat yang Rahmatan Lil ‘Alamiin.
Orang tidak perlu menjadi Islam, tapi setiap orang bisa menelurkan bulir-bulir Silmi yang dikontribusikan dan dikumpulkan demi kemaslahatan bersama. Wallahu a’lam.
Agus Wibowo