BANJIR BESAR
Langit mendung makin pekat, gemuruh langit, guntur, berdebum-debum dari segala sisi secara bergantian dan rancak bagaikan sedang menggelar orkestra raksasa. Dalam kondisi yang seperti ini pun ternyata masih banyak yang tidak tergetar dalam rasa takut. Suara petir dan letusan gunung sudah terlanjur menjadi bagian kesenangan yang bisa dibuat sehingga kondisi ini meskipun cukup menggetarkan namun masih memiliki sisi menyenangkan dan memukau. Lambat laun air hujan diturunkan dari langit, makin lama makin deras, dan makin deras, makin hebat pula sahut-menyahut petir. Yang mulai menyambar kesana kemari. Beberapa orang mulai melarikan diri masih dengan ekspresi tertawa-tawa seperti orang nonton kuda lumping yang lari takut tapi suka. Dari sekian rentet kejadian itu, makin lama ada pula yang mulai panik dan mulai mengingat kepada Nabi. Nabi Nuh mengumumkan terus menerus kepada ummatnya untuk naik ke bahtera :
“Naiklah semuanya yang masih memiliki iman dan sesembahan yang menciptakan langit dan bumi! Naiklah semunya yang memerlukan perlindungan! Saat ini tak ada yang dapat menjadikanmu tempat berlindung melainkan naik ke bahtera ini!”
Suara Nabi Nuh bersaing dengan suara guruh petir-petir, guntur, dan teriakan orang-orang yang mulai panik. Sayup-sayup saja terdengar dan sama sekali tidak terdengar bagi sudah terlanjur ‘tuli’ sebab apa yang disuarakan Nabi dari atas gunung itu diteriakkan dengan kemampuan telepati kepada seluruh ummat yang masih ingin bertobat dan kembali kepada iman.
Hingga kemudian ketika air laut sudah setinggi gunung hendak merangsek melantakkan peradaban manusia. Sang Nabi merasa begitu cemas karena belum melihat salah satu anaknya berada di antara mereka. Ia kemudian berkata kepada anaknya yang jauh terpencil :
“Wahai anakku, segeralah kamu bergabung bersama kami di sini. Masuklah ke bahtera Allah, bersatulah kamu bersama orang-orang yang beriman”.
Ternyata panggilan sang Nabi didengar oleh anaknya. Sang anak masih percaya diri dan merasa mampu menyelamatkan dari kondisi ini dengan kemampuannya berpindah tempat ke koordinat lain dengan cepat, ia dengan lantang menjawab ayahnya :
“Aku tidak perlu naik ke perahu itu, aku akan naik ke gunung yang paling tinggi!” Nabi Nuh dengan jiwa welas asih seorang Bapak merasa gelisah dengan jawaban putranya :
“Hari ini tidak ada yang bisa menyelamatkan kecuali Allah”
Sang anak tetap pada pendiriannya dan gelombang air pun sudah meluncur cepat dengan sangat mengerikan, Bagai kawanan Naga raksasa yang melantakkan segala apapun yang dilewatinya. Nabi Nuh dan pengikutnya menyaksikan peradaban yang begitu dipuja-puja dan dibanggakan itu hancur bagai rumah semut disiram air.
Tumpaslah kejayaan dan keangkuhan. Tumpaslah kehebatan dan tumpas pula kesombongan. Air makin meninggi dan menjulang, membentuk pusaran dan gelombang-gelombang, beberapa kendaran angkasa Wimana tampak berusaha terbang melarikan diri dan segera berjatuhan terkena petir dan jatuh hilang ke dalam gelombang Samudra, peradaban makin berkeping-keping tanpa bentuk, tanpa kegagahan bagai remah-remah terhempas dan tergenangi air bergunung-gunung banyaknya dari langit dan bumi. Dengan cepat air pun meninggi dan mulai menenggelamkan beberapa puncak gunung. Demikian gunung tempat Bahtera Nabi Nuh berada, air mulai meluber meninggi dan mengangkat Bahtera Nabi Nuh yang berada di atas gunung itu. Air terus meninggi, gelombang pun masih sangat lincah menari-nari seakan isyarat bahwa hal ini akan terus lebih tinggi hingga pada ketinggian tertentu akhirnya menjadi tenang. Nabi Nuh demi menyaksikan kedahsyatan gelombang banjie besar dan gulungan-gulungan badai yang sangat gagah ini sedih bukan kepalang, anaknya ikut tenggelam bersama kaum yang ingkar. Ia pasti tidak berhasil menemukan gunung yan paling tinggi itu. Saat ini seluruh muka bumi tergenangi air yang maha dahsyat. Sang Nabi merasa gagal menjaga keluarganya dari murka Allah. Ia berkeluh kesah dalam hati kepada Tuhan tentang keadaan anaknya yang tak ikut menjadi bagian yang diselamatkan. Tuhan pun memberikan jawaban kepada Nabi Nuh dengan langsung ke dalam hati dan pikirannya, lahir sebagai nalar dan analisa yang dirahmati. Nabi memetik hikmah ilmu bahwa seorang anak secara genetik tidak langsung berarti keluarga. Sebab seorang keluarga harusnya memiliki keahlian yang berjalinan dalam prinsip, keteguhan, perjuangan hidup, orientasi, dan keyakinan utama dalam menjalankan pengabdian di dunia meskipun cara, aplikasi, metode, dan peranti yang digunakan berbeda-beda.
Pada kurun beberapa minggu, kondisi samudra dan air bah yang bergolak-golak itu mulai tenang. Pada sekian bulan mulai menyusut. Makin hari makin mereda dan terus menyusut. Nabi Nuh dan para pengikutnya segera memulai kehidupan kembali setelah air kembali terserap ke bumi. Para manusia turun dari bahtera demikian pula kawanan binatang. Nabi Nuh masih harus mengembangkan manikam menjadi binatang-binatang untuk dikembalikan ke habitat aslinya. Binatang-binatang yang ikut ke Bahtera ada yang bisa tinggal dan menyesuaikan dengan kondisi baru. Namun ada pula yang tidak cukup adaptif dengan kondisi baru sehingga yang seperti ini tidak boleh dibiarkan mati. Binatang yang dikembangkan dari manikam yang dimbil dari penjuru bumi di kembalikan lagi ke habitat asalnya seperti semula untuk membangun keseimbangan alam. Paska banjir besar ini adalah awal baru kedewasan manusia dan peradaban.
Agus Wibowo