Berkurban untuk kesehatan
Ini bukan artikel kesehatan karena kesehatan yang dimaksud di sini bukan jenis kesehatan yang dibahas dalam umumnya dunia medis. Kebutuhan protein manusia salah satunya didapatkan dari daging. Protein memiliki fungsi memperkuat sistem metabolisme tubuh. Dengan sistem yang tubuh yang bekerja baik, prima, dan penuh energi, akan memungkinkan seseorang melakukan aktifitas secara optimal baik dalam urusan kebaikan maupun ketidakbaikan. Baik untuk urusan yang menyehatkan lingkungan maupun untuk urusan yang menyehatkan diri sendiri.
Ummat Islam mengkonsumsi daging sebagai salah satu sumber protein setidaknya setahun sekali. Meski protein bisa pula didapatkan dari Telur, Tahu, atau Tempe, namun protein dari daging memiliki fungsi yang sedikt berbeda. Protein dari daging memiliki beberapa spesifikasi yang disinyalir kurang baik bagi sistem kesehatan, seperti lemak dan kolesterol. Tidak seperti sumber protein nabati yang mungkin tidak seenak daging namun lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh tanpa banyak gangguan yang ‘merugikan’ tubuh. Namun, bisa jadi justru inilah PR sesungguhnya. Setiap hal yang mudah dan hampir tanpa resiko terdeliveri dengan sajian rasa yang sederhana. Sedangkan pada sajian rasa yang lebih sensasional tertitipkan pula beberapa unsur yang memerlukan sikap lebih komperehensif dan mewaspadai awal akhir. Yakni rangsangan untuk tidak sekedar berkonsentrasi dalam urusan enak tidak enak, mudah atau tidak mudah, ringkas ataupun rumit, namun juga kesehatan pikir ataupun kesehatan jiwa. Setiap hal enak selalu ada ketidak-enakannya, dan setiap hal yang kurang enak ada kemudahan di dalamnya. Dalam hal kesulitan ada kemudahan dan dalam kemudahan ada hambatan, hambatan terbaik adalah menghambat kemungkaran dan hambatan yang membahayakan adalah menghambat sunatullah.
Siapa yang pernah menduga bahwa kandungan lemak dan kolesterol dalam daging diakibatkan dari sebuah sebab yang berasal dari pikiran dan jiwa. Baik pikiran dan jiwa pemelihara, penyembelih, hingga yang berkurban. Lemak adalah lambang dari timbunan kemalasan. Dan kolesterol lambang dari gangguan rasa syukur. Kurangnya rasa syukur bisa jadi bermanfaat ketika justru bisa menjadi bahan evaluasi untuk mengerti dan mengambil hikmah, namun tak mengerti bersyukur bisa menghambat saluran kenikmatan.
Berkurban untuk budaya
Manusia rata-rata menyukai kemenangan dan perbuatan menindas atau mengalahkan dengan tetap merasa benar karena dilegitimasi oleh hukum yang disepakati bersama apalagi jika hukum tersebut adalah hukum agama. Begitupun dalam hal menyembelih hewan, banyak yang menyangka bahwa hewan sembelihan pantas diperlakukan secara tertindas dan kasar. Untuk menemukan kesadaran bahwa hewan sembelihan apalagi dalam rangka berkurban tidaklah benar jika diperlakukan demikian mungkin bisa saja diperintahkan melalui kitab, namun akan lebih bermutu jika manusia menemukannya sendiri melalui akal. Justru hewan sembelihan ini harus diperlakukan secara baik, santun, dan penuh penghormatan. Mungkin salah satu fungsi berkurban yang repetitif setiap tahun sekali sebagai tradisi tahuhan ini salah satu fungsinya adalah membuat manusia mampu menemukan kelemah-lembutan dan sikap terhormat sebagai manusia karena mampu menindas dan mengalahkan nafsu pembantaian. Dalam hal ini, melatih diri dengan memperlakukan hewan kurban yang jelas lemah dan tak memiliki kuasa dengan perlakuan penuh penghormatan, dengan akhlak yang mulia, dan senantiasa bersyukur menjadi sangat penting dimiliki sebagai sikap utama sebagai seorang muslim.
Kenapa ini penting? Karena sikap memperlakukan pihak lemah, tak berdaya dan tak memiliki payung hukum yang kuat lebih mendorong pihak yang lebih kuat untuk berbuat sewenang-wenang kepada mereka yang lebih lemah.
Di Hari Raya Kurban, baik yang berkurban maupun yang tidak, juga memiliki kesempatan untuk mengelola batas dan keseimbangan dalam kondisi ketika mendapatkan hidangan yang melimpah. Sebisa mungkin, bukan pelampiasan dan kerakusan yang muncul, namun pengendalian diri yang seharusnya lebih mengutama.
Berkurban untuk ruhani
Berkurban, ketika berhasil mengingatkan untuk menyatakan syukur kepada Tuhan, menyatakan kerelaan dalam hal mempersembahkan yang terbaik. Menjaga kemuliaan akhlak, memperlakukan yang lemah dengan penuh penghormatan dan adab yang santun. Menjaga lidah dan keinginan dengan mengendalikan dan membatasi diri, bukan meliarkan dan melampiaskan selera. Maka, dengan demikian akan terjadi momentum pertemuan kepada Tuhan secara lebih dekat dan akurat. Jiwa menjadi lebih bening, pikiran lebih nalar, perilaku lebih tertuntun, dan rasa tentram makin terasa. Kesehatan ruhani terangkai dari sejak cara memperoleh dana, bertransaksi, memperlakukan hewan, adab menyembelih, adab perlakuan saat memotong-motong daging, dan pendistribusian secara amanah dan sebisa mungkin menjunjung keadilan.
Agus Wibowo
Senin Pahing, 4 September 2017
12 Dzulhijjah 1438 H