Majlis Gugur Gunung kembali melakukan perjalanan menganyam paseduluran. Tujuan pertama kali ini adalah warung museum garuda yang terletak di kota Yogyakarta. Warung yang digagas oleh Pak Nanang Garuda ini berisi banyak hal tentang garuda dan barang-barang yang bersifat nasionalisme tinggi. Wadyo bolo Gugur Gunung tiba di sini sekitar pukul 23.00 WIB.
Dengan tampilannya yang santai mengenakan celana jeans potongan, kaos hijau polos, kacamata, serta rambut gondrongnya langsung memberikan sambutan yang hangat kepada kami. Beliaulah Pak Nanang, pemilik warung museum garuda.
Sedikit cerita tentang warung museum garuda, beliau berencana akan membuat warung singgah dengan memanfaatkan jadwal pedagang yang berkeliling di sekitar untuk berjualan dengan menunya masing-masing di warung museum garuda tersebut. Usai mengobrol beberapa saat sambil menyeruput kopi yang disuguhkan kami diajak masuk dan ditemani berkeliling ke dalam museum.
Banyak sekali macam barang dari garuda mulai dari lukisan, patung, hingga wayang. Semuanya sangat menggambarkan kecintaan Pak Nanang terhadap Garuda. Dengan nasionalismenya yang tinggi bahkan pak Nanang ingin membuat video atau film tentang pembacaan pancasila dari berbagai bahasa yang dimiliki oleh negara kita ini. Namun beliau sedikit khawatir tentang persaingannya dengan film-film barat yang menggunakan teknologi tinggi sehingga sangat impressive bagi masyarakat.
Ditanggapi oleh Mas Agus bahwa disini kita tidak harus memenangkan metode. Memang yang diapresiasi oleh masyarakat kebanyakan adalah yang visualnya memukau. Namun justru ketika memiliki niat yang tidak ingin bersaing tapi lebih kepada mempertahankan warisan, hal tersebut akan lebih berhasil daripada kemenangan. Dengan tidak memakai orientasi sebuah kemenangan itu harus ditengarai dari kekalahan orang lain.
Sedikit cerita dari Pak Nanang, bahwa beliau dahulu pernah membuat workshop di asrama anak-anak aceh dengan membikin film tentang kegelisahan yang terjadi di aceh. Dengan menggunakan bahasa aceh sepenuhnya ditambah subtitle dari bahasa indonesia. Namun hal tersebut tidak dipublish secara luas.
Pak Nanang juga memiliki angan-angan membuat sebuah film superhero dimana sosok garuda yang bernama gardala menjadi tokoh protagonisnya. Lalu disisipkan tokoh-tokoh antagonis dimana setiap kejahatan yang muncul berupa kekhilafan dengan diwujudkan sebagai monster. Dengan sebuah pertarungan lalu dikalahkan oleh gardala tadi. Usai kalah lalu tokoh antagonis tersebut melarikan diri dan berpindah di kota atau provinsi lain dengan membawakan bahasa daerah tersebut. Sedangkan Gardala sang garuda mampu berbicara setiap bahasa daerah yang ada di indonesia ini sebagai simbol bhineka tunggal ika. Lalu diberikan subtitel indonesianya. Sungguh menarik ide dari Pak Nanang dengan konsep nasionalismenya.
Ditanggapi oleh Mas Agus bahwa sebuah aksi terkadang ingin menemukan bentuk yang paling ideal. Tapi ketika itu yang ingin dicapai, akan nampak sesuatu yg tidak natural. Ibarat ada daun talas, ketika ada embun yang lebih besar daripada yang lain akan menghabiskan waktu untuk menetes ke bumi. Terkadang tidak sempat menetes karena matahari sudah semakin tinggi. Akan berbeda cerita ketika embun besar bergulir dengan mengumpulkan embun-embun kecil disekitar daun tersebut. Ketika bertambah beratnya maka daun akan lebih melengkung dan menetes terus menerus. Memang tetap tidak akan menetes semuanya namun jumlahnya yang sebagian besar mampu menetes ke bumi. Sama halnya dengan yang dilakukan Pak Nanang, yakni ketika sudah ketemu pakemnya dengan metode piranti wayang, film, dll, Maka akan mampu merangsang suku-suku yang lainnya juga. Jika nanti merangsang suku-suku lain untuk mewayangkan atau memfilmkan maka bisa dibantu untuk lebih ditingkatkan. Namun misal tidak ada ya tidak apa-apa. Ini namanya ilmu katuranggan. Dimana turonggo yakni aturing onggo, yang memiliki maksud berbicara langsung dengan sikap atau memberi contoh. Hal ini akan meminimalisir waktu yang terbuang.
Usai ngobrol sekian waktu Pak Nanang diperkenalkan dengan Ki Wangker Bayu. Yang kemudian diijinkan untuk melakonkan wayang karangan dengan wayang-wayang pulau-pulau nusantara milik Pak Nanang. Sungguh kebahagiaan dari persaudaraan kami Majlis Gugur Gunung dengan Pak Nanang.
Saat hampir pukul 04.00 dini hari bersamaan dengan bunyi-bunyian tarhim sebelum adzan subuh, akhirnya Majlis Gugur Gunung berpamitan karena masih harus memenuhi janji untuk bersilaturahim ke Maiyah Surakarta pada sabtu pagi.
Andhika Hendryawan