Majlisgugurgunung:: Sungguh sebuah peristiwa yang tidak dinyana sebab tanpa perjanjian dan rencana untuk bertemu, ternyata pada Selasa 31 Januari malam Rabu Pahing 1 Februari 2017 masyarakat gugurgunung dihadiahi pertemuan kepada seseorang yang sudah sangat dikenal di Maiyah dalam kiprahnya sebagai Dalang. Ialah Mas Sigid Ariyanto yang kebetulan sejak beberapa kurun telah menjalin ikatan mesra dengan Masyarakat Gambang Syafaat, memiliki kegiatan beberapa hari di Semarang, tepatnya di UNNES untuk melakukan rekaman. Jalinan ini semakin dipererat dengan salah satu sesepuh Gugurgunung yakni Mas Jion yang kebetulan aktif untuk Gambang Syafaat maupun Gugurgunung. Mas Jion memperkenalkan kepada Mas Sigid tokoh dalang muda yang masih sangat-sangat minim menggeluti dunia wayang kulit untuk bisa ngangsu kawruh kepada yang telah menjadi ahlinya. Pemuda yang dimaksud ialah komunitas Ki Wangker Bayu ( iki Wayang Kerdus Banget Ayu) yang menjadi dalang spesialis yang baru beani pentas untuk keluarganya sendiri yakni Majlis Gugurgunung.
Mas Sigid sangat apresiatif terhadap upaya Mas Jion mempertemukan 3 dalang Wangker Bayu ini. Di Unnes mereka guyup dan sayuk rukun merembuk hal ihwal dunia pewayangan hingga dunia Maiyah. Dari sinilah kemudian Mas Sigid disarankan untuk bertemu dengan warga Gugurgunung yang lain untuk menggali dan kondho takon bab Maiyah. Ternyata gayung bersambut, Mas Sigid sangat antusias dan saat itu juga berkeinginan membangun suasana lebih dekat dengan keluarga gugurgunung. Hal tersebut juga didorong oleh rasa gembiranya setelah Mocopat Syafaat, yang pada kesempatan itu selain mempergelarkan lakon wayang kulit berjudul “PETRUK KEMBAR” Mas Sigid juga memohon pangestu dan dhawuh dari Simbah untuk merintis simpul Maiyah untuk wilayah Rembang.
Pada kisaran pukul 23.00 WIB akhirnya pertemuan terlaksana. Angkringan sebagai tempat tongkrongan yang santai menjadi tempat pertemuan tersebut. Mas Sigid bersama rombongan terdiri dari anggota paguyuban Cokroningrat ditemani oleh Mas Jion dan wadyo bolo gugurgunung yang sama-sama berdiskusi di UNNES. Ada sekitar 8 orang rombongan berangkat dari UNNES dan 4 orang yang telah lebih dulu melingkar di Angkringan.
Semua mengambil posisi duduk yang santai, dan tidak menunggu lama sesi kondho takon selapis demi selapis menghiasi pertemuan. Suasana tetap khidmat meskipun diiringi suara sliwar-sliwer mobil yang berlalu lalang.
Pondasi Maiyah
Dalam hal ini Mas Sigid dengan rendah hati memohon saran sekira apa-apa saja yang perlu dipersiapkan sebagai tradisi umum di lingkaran Maiyah. Mas Agus mencoba merespon dengan terminologi Segitiga Cinta. Kita semua hidup dalam semestanya masing-masing, dalam dunianya sendiri-sendiri meskipun bersama-sama hidup di alam dunia yang sama. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa pihak-pihak yang menjalankan individu itu memiliki cara pandang dan penyikapan beraneka ragam dan rahasia. Individu ini lantas saling bernaluri menemukan kesesuaiannya dengan individu lain untuk memperkokoh dan memperluas semestanya. Ada yang kemudian berjalinan dalan corak semesta ekonomi, pendidikan, kebudayaan, kesenian, humaniora, dlsb. Maka dengan naluri untuk terus bersama, masing-masing corak mencoba menemukan kesesuaian dengan corak lain untuk makin memperluas semestanya. Dalam menemukan kesesuaian ini seringkali manusia harus melaluinya dengan perselihan dan bahkan perkelahian hingga peperangan. Seakan-akan perang mempertahankan semesta. Demi menyikapi hal seperti ini, kita semua diberi wasiat oleh Sahan untuk menggunakan metode segitiga cinta. Yakni ; Kita, Allah, Rasulullah. Sedangkan semesta-semesta yang bergelembung-gelembung dengan penghuninya masing-masing itu berada di dalamnya. Kondisi yang terjadi sekarang, orang dengan sangat mulia mempercayai dan memuliakan segitiga cinta tersebut namun sayangnya posisi segitiga berada lebih kecil atau didalam bulatan-bulatan semesta corak selera manusia. Padahal tatanan telah membuktikan berkali-kali bahwa patron, corak, ideologi, faham, isme, dlsb satu demi satu tumbang dan tak lagi mampu membuktikan kebesarannya seperti tatkala masih menjadi pujaan dan junjungan banyak orang. Namun, segitiga cinta yang ‘digempur’ dengan kekuatan-kekuatan isme itu tetap mampu bertahan dan bahkan memperlihatkan kebenarannya.
Kita sebagai masyarakat Maiyah meletakkan segitiga cinta harus lebih besar daripada semesta yang kita huni. Agar kita bisa membawa jalinan dalam keluasan dan rahmat yang lebih besar karena bulatan yang kita huni makin meluas dan penuh hiasan beraneka warna bagai kebun dengan berlimpah aneka buah yang beraneka ragam rasanya pula. Sekaligus itu sebagai rumus untuk memperoleh cinta dari Rasulullah SAW dan Ridho Allah SWT. Semakin besar gelembung, semakin besar bulatan, segitiga makin besar karena harus menjadi kebijakan utama dalam menyikapi dunia.
Makna Maiyah dan Segitiga Cinta
Maiyah adalah Membersamakan diri, Maiyatullah ; membersamakan diri dengan Allah. Ma’a adalah bersama. Inti Maiyah adalah membersamakan diri. Untuk itu perlu pengenalan mekanisme membersamakan diri. Mekanismenya ialah Segitiga Cinta, kita tidak bisa langsung bersama Allah tanpa ada pihak yang menjadi kekasihNya. Ialah Rasulullah Muhammad sebagai pihak yang memperantarakan namun juga menggandeng dan membersamakan diri antara Insan dan Allah. Hal ini dalam dunia Maiyah dipegang untuk terus memahami posisi diri dan senantiasa empan papan. Selain dalam hal teknis perlu untuk disiplin rekam jejak. Seperti Mukadimah, reportase, poster, akun media sosial, hingga jika memungkinkan website. Untuk pelaksanaan bisa diawali dengan tartil ayat suci Al-Qur’an secara bertahap, jika tidak memungkinkan bisa langsung pada Munajat dan Sholawat Maiyah. Kemudian masuk ke sesi diskusi tahap 1 dan sesi diskusi tahap 2. Sesi diskusi tahap 1 berorientasi ringan, ramah tamah, dan renyah. Sedangkan sesi kedua adalah diskusi yang mulai mengupas tema secara mendalam dan khidmat. Dalam setiap sesi itu bisa diselingi dengan bebungah berupa musik ataupun penampilan lain. Setelah cukup, majlis dipuncaki dengan Shohibu Baiti dan Do’a.
Rukun Iman sebagai cara mengenal Allah
Mas Sigid kemudian mengisahkan kronologi rintisan simpul Maiyah di Rembang. Bertepatan dengan pagelaran 17 Januari di Mocopat Syafaat, Mas Sigid menegaskan diri untuk memohon pangestu dan dhawuh dari Simbah untuk ikut mewarnai Jannatul Maiyah di wilayah Rembang. Nama yang digunakan adalah “SENDHON WATON”. Nama ini memiliki keterkaitan sejarah dengan daerah Rembang dan sekitarnya. Harapannya agar bisa kembali menjalinkan masyarakat masa kini dengan rasa guyup dan rukun seperti masa silam. Harapan ini tentu saja disambut baik dan diamini oleh keluarga gugurgunung.
Mas Sigid mencoba menggali lebih jauh, apakah mungkin kita mengenal Allah dengan mempertahankan tradisi para leluhur? Itu masuk ke khurofat, syirik atau tidak?
Mas Agus merespon hal ini dengan mengawalinya dengan ajakan untuk tidak menjadikan anggapan dan tudingan orang sebagai acuan kebenaran. Jika kita ingin memakai acuan, gunakan acuan melalui Qur’an maupun Hadist. Mas Agus mengatakan tidak mengerti bahwa memuliakan tradisi para leluhur dianggap takhayul, khurofat, dlsb. Kita punya acuan bahwa dalam doa Attahiyat baik awal maupun akhir memuat salam kepada para abdi yang sholeh, kepada Nabi Muhammad, Kepada Nabi Ibrahim, itu semua menyapa kepada masa lalu kepada leluhur, leluhur itu adalah sebuah bangunan ruhani yang meluhurkan martabat kemanusiaan, petugasnya bisa orang-orang Sholeh yang sudah ada sejak zaman dahulu, sejak zaman Nabi Ibrahim hingga zaman Nabi Muhammad pun masih ada. Nabi-Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi Ibrahim ditengarai sebagai nama yang bukan berasal dari Bahasa Arab. Dengan dasar ini kita boleh punya asumsi bahwa zaman Nabi sebelum adanya jazirah Arab bisa jadi di sini, di Nusantara. Sudah ada orang-orang sholeh sejak zaman Nabi Adam. Bahkan orang Jawa sangat klop dengan Islam sebab melanjutkan tradisi ajaran awal yang dibawa Simbah Adam. Banyak kata-kata Jawa yang termonumenkan ke dalam Bahasa Arab, misal kata ‘mati’, ‘naraka’, ‘wahyu’, dan beberapa kata lain yang mengindikasikan demikian.
Orang Jawa kuno oleh orang modern dianggap penganut ajaran animisme dan dinamisme. Padahal bagiamana jika anggapan itu berangkat dari daya ungkap yang grusa grusu dan sembrono tanpa analisis yang baik? Bagaimana jika ternyata masyarakat Jawa atau Nusantara adalah pihak yang telah berhasil menjumpai Wajah Allah dalam setiap pertemuannya kepada apapun, siapapun, dimanapun? Bagaimana jika itu adalah keberhasilan Iman yang mampu membuat mereka senantiasa pandai bersyahadah, merasa disaksikan dan senantiasa bersaksi atas segala bentuk karunia dan keagungan Allah? Bahwa akhirnya mereka sangat berhati-hati ‘menjaga perasaan’ alam apakah itu khurofat? Takhayul?. Tidak semena-mena, senantiasa mempertimbangkan keseimbangan, dan menjaga kemurniannya. Air tetap jernih, udara tetap segar, tanah tetap subur, api tetap terkendali. Bagaimana jika itu adalah sikap paling representatif terhadap isi Al Qur’an?
Cobalah kita cermati bersama, ada ayat dalam Al Qur’an yang mengatakan : “kemanapun wajahmu menghadap, disitulah wajah Allah”. Dalam rukun Iman kita dianjurkan untuk beriman kepada Allah. Bagaimana itu? Kita tak mampu menjangkau wujudnya dengan netra, tak sanggup bersentuhan dengan kulit, tak kuasa mengaroma dengan hidung, dlsb. Bukankah itu sangat sulit?
Maka jika itu sulit temukan dan saksikan keagungan Allah melalui Malaikat, mungkin itu masih sulit meskipun sesungguhnya kita bisa jumpai mekanisme kerja Malaikta melalui kinerja anatomi tubuh kita sendiri. Daripada susah, Imani Nabi dan Rasul yang berwujud insan seperti kita, contohlah prilaku dan ambil hikmah-hikmah kisah hidupnya. Pun itu masih bisa disanggah bahwa kita tak lagi sejaman.
Jika demikian pelajarilah kitab-kitabNya, yang tetap bisa ditemukan meskipun terentang dan terpaut ribuan tahun. Jika itu masih susah pelajari yang sederhana seperti hari akhir, hari akhir itu pasti karena ada hari awal. Hari awal itu bisa berupa lapar kemudian dihari akhiri dengan kenyang. Kita tidak bisa ternyata mengontrol kapan lapar atau kenyang sendiri, kita harus tunduk kepada mekanisme itu. Jika itu masih susah saksikan keagungan Allah melalui kehendak, kita punya kehendak muda terus tapi ternyata bertambah tua, kita punya kehendak sehat terus ternyata sakit juga, kita berkendak hidup terus tapi ya mati juga. Lantas siapa yang Maha Berkehendak dan memiliki ketentuan itu? Jika itu masih tidak bisa, nggak apa-apa cukup jadi orang baik dan tidak menyakiti diri sendiri dan oranglain.
Mas Sigid merespon dengan penuh antusias, irama pembicaraan semakin malam semakin hangat, akrab dan tak terasa waktu bergulir dengan begitu cepat. Masih ada tema-tema yang juga diurai malam itu seperti konsep untuk Maiyah Rembang maret depan, kemudian ada tentang Himpunan dan Allah Maha Menghimpun, hingga mengurai makna Gunungan dalam Kayon Wayang Kulit versi gugurgunung.
Mas Sigid tampak sangat menikmati pertemuan, begitu pula keluarga gugurgunung. Bagi Mas Sigid sangat sayang ada orang-orang yang tidak mau belajar dan berharmoni bersama Alam. Adalah orang yang merugi sebab tidak mengambil bentuk pertolongan Tuhan dengan keadaan yang terjadi kepada dirinya. Kahanan (keadaan) seperti dianggap tan hana (tidak ada), lantas dia hidup dimana jika keadaan yang dirinya berada di dalamnya pun dianggap tiada. Mas Agus merespon hal ini dengan konsep Gunungan dan selapis Kulit, dimana ketika orang sudah merasa mampu dan bahkan merasa menjadi bangunan yang kokoh dan tak tergoyahkan bagai gunung, ia sesungguhnya sedang membalikkan diri selapis kulit menjadi api yang melantakkan pengabdian. Pertemuan harus benar-benar pungkas pada kisaran pukul 03.03 WIB. Kami semua saling bersalaman, bertukar kontak, dan kemudian saling berpamitan pulang. Demikian reportse semoga bisa menjadi oleh-oleh yang berguna.
Reportase Majlis Gugurgunung, 03 Februari 2017