Manusia adalah makhluk komunal yang memiliki naluri berkumpul sebagaimana makhluk komunal lain seperti lebah ataupun semut, dan jembatan untuk berkumpul, berserikat adalah komunikasi. Dalam term Jawa, berkomunikasi disebut sebagai tetembungan. Dari kata ‘tembung’ yang berarti ‘bilang’ atau ‘menyampaikan’. Konon lebah berkomunikasi dengan kode-kode tarian untuk menunjukkan koordinat nektar yang bisa diambil. Semut mungkin dengan frekuensi khusus yang setelah ada salah satu yang menemukan makanan, tanpa ia pulang ke rombongannya tiba-tiba sekelompok bala semut datang berbondong. Sedangkan manusia berkomunikasi secara berbeda yakni dengan keduanya. Dengan ‘tarian’ atau gestur dan juga dengan frekuensi yang dititipkan dalam intonasi, dan ada salah satu lagi yakni bahasa. Bahasa ini tidak selalu menjadi syarat utama jika syarat pertama dan kedua telah terpenuhi.
Di jaman sekarang bentuk komunal menjadi semakin meluas namun juga semakin mengarah pada perubahan pola. Itu disebabkan oleh model komunikasi yang berbeda pula, yakni melalui tulisan. Tidak ada gestur dan tidak ada frekuensi yang terbangun secara tepat. Pola komunikasi ini sesungguhnya telah ada sejak lama dengan sebutan ‘serat’ adalah alternatif komunikasi yang berguna untuk menautkan yang terentang jarak dan menjalin yang terpisah waktu seperti yang digunakan dalam Kitabullah. Namun, hebatnya kitabullah tetap mampu mempertahankan produk frekuensi yang indah, ajeg, dan langgeng, ini yang susah digapai oleh serat manusia. Akhir-akhir ini justru model serat ini yang lebih primer dipilih sebagai alat komunikasi. Dalam serat sesungguhnya pun masih mengeluarkan frekuensi namun tak jarang antara pembicara dan pendengar melahirkan frekuensi yang tidak sinkron. Antara yang disampaikan oleh penyampai atau ‘pembicara’ ditangkap secara berbeda oleh pendengar / pembacanya. Jika manusia lantas menggunakannya secara paten sebagai pengganti komunikasi utama, ada efek ketidak-pekaan karena tak lagi mengenal bahasa ‘tarian’ dan frekuensi yang sinkron. Bentuk komunalnya juga bisa berbeda, orang tidak lagi memiliki kesempatan untuk menyelami ragam kemanusiaan yang berlimpah keunikan. Ini bukan ranah skeptis, justru ada kemungkinan manusia akan lebih menemui kemanusiannya dengan pola komunikasi baru setelah beradaptasi. Hanya saja tidak pula over optimis sehingga tak perlu membuat langkah pertahanan dan antisipasi yang memungkinkan manusia tetap mengenal pola tetembungan yang bermuwajahah dan saling menyelami sanubari rasa kemanusiaan secara kaya dan intim.
Berdasarkan dengan pandangan di atas betapa pentingnya tetembungan maka tema ini dipilih sebagai bahan sinau bareng edisi bulan ini. Apakah hanya faktor bahasa saja? Tentunya tidak. Sebab manusia tak boleh melepaskan adab berkomunikasi dan akhlak sebagai bagian penting mengindahkan pergaulan, perkumpulan, perhimpunan. Ada cara tetembungan yang tidak hanya benar atau baik, namun juga indah baik secara gestur dan intonasi, tak merendahkan martabat orang lain dan menjunjung kenyamanan sanubari masing-masing.
Mari melingkar sebagai salah satu bentuk ikhtiar. Saling Tetembungan, tetembangan, menari, dan atau apapun untuk saling menyampaikan dx informasi, frekwensi, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Tansah nyuwun tambahing pangestu.