majlisgugurgunung:: Berguru adalah fenomena kesadaran sebagai murid. Dan sebagai murid sudah sepatutnya memiliki modal awal yang cukup baik untuk bisa disebut murid, modal tersebut adalah kehendak, menghendaki. Kehendak ini juga sekaligus syarat untuk menjadikan seseorang melakoni kehidupannya di dunia. Lantas kehendak atas apa? apakah kehendak rasa ingin tahu? atau kehendak karena butuh tahu? atau kehendak untuk mendekat saja dengan secara otomatis tertambah pengetahuan dan terpenuhi kebutuhan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan rahasia tentang misteri terbesar dalam hidup yang setiap insan di bumi diam-diam berlomba menguaknya.
Jika kemudian ada kalimat ‘mendekat’ lantas pada apa ukuran jarak dekat dan jarak jauh sedangkan sejak semula manusia bermula hingga kemudian berakhir tidak keluar dari naungan inti Tuhan. Kemana saja manusia mengembara bahkan pun jika harus melintasi galaksi-galaksi toh ia tak kemana-mana melainkan mengakurasi kesaksian dengan pengalaman-pengalaman perjalanannya. Tidak bisa mengatakan kita di koordinat C untuk mendekat menuju kepada Tuhan di koordinat A. Andaikan pun koordinat itu berlaku pula bagi Tuhan, bukankah mestinya kita dari koordinat A mendekat menuju ke koordinat A. Kemudian apa yang harus ditempuh sedangkan sejak semula tak beralih koordinat.
Maka kemungkinan jauh dan dekat itu berada pada kualitas kesadaran seseorang untuk mengenali koordinatnya sendiri. Dirinya berada dimana, untuk apa dan mau ngapain. Di manapun saja ia menemukan koordinat dirinya, maka otomatis ia memutakhirkan kesadaran posisi bahwa Tuhan meletakkan dirinya pada fungsi itu dan atau Tuhan ‘meletakkan’ diriNya dalam fungsi dengan penjasadan melalui dirinya.
Kesadaran seseorang yang berhasil menyibakkan selimut-selimut hijab serta-merta menguatkan posisi dan sambungannya secara lebih absolut kepada pergerakan semesta yang diatur dalam sebuah hukum absolut yang tak mendua. Kondisi kesadarannya menjadi semacam hubungan imbal balik dari pemancar dengan penerima. Hubungan imbal balik itu terjadi karena meningkatnya kesadaran, maka kesadaran itu semacam password yang tepat yang terkonfirmasi oleh server untuk memperoleh ‘sinyal wi-fi’ (informasi yang terletak dari ruang tak terbatas). Semakin seseorang berhasil menguak kembali kesadaran baru dan makin menegaskan koordinat keberadaannya maka ia memasukkan password baru untuk mendapat ‘sinyal wi-fi’ yang lebih cepat.
Lantas kemudian, sesungguhnya kita ini berjalan menuju atau diam tak kemana-mana? Jika diam mengapa kita seakan-akan berjalan? atau jika kita berjalan maka perjalanan apa yang sesungguhnya tengah kita titi?
Apakah kita sedang terjebak semacam ilusi bahwa karena kita menyangka kita berjalan dan terbiasa membuat tolok ukur jarak ruang itu ditengarai oleh koordinat-koordinat maka kemudian kita terjebak mengukur perjalanan ruhani dengan spesifikasi metode yang seharusnya hanya berlaku untuk urusan jasad.
Apakah karena kita terbiasa mengukur progresi dan ukuran keberhasilan itu dengan pertumbuhan dan peningkatan yang tertimbang dan terukur maka kita ‘terhasut’ untuk mengukur progresi ruhani dengan dengan diukur dan ditimbang. sedangkan bisa jadi ukuran yang seperti itu hanya berlaku dalam urusan-urusan jasad, Sedangkan untuk progresi ruhani, mungkinkah jika ternyata hanya tentang gelap atau terang.
Pertanyaan demi pertanyaan akan terus bergulir. Untuk itu kembali harus diingat posisi sebagai murid yang baik dan cara duduk yang baik. Cara duduk yang baik adalah duduk bersila atau patrap silo. Lantas bagaimana mau mengerti ilmu berjalan jika posisi terbaik sebagai murid adalah duduk bersila? disini mungkin kita perlu belajar dengan metode markesot. Dimana kata markesot merupakan julukan kepada seseorang yang tampak selalu ‘ngesot’dari kata dasar ‘kesot’. Seperti halnya sebutan satire untuk seseorang yang ndablek dipanggil Markonah dari kata Qona’ah yang artinya nrimo, saking nerimanya sering tampak ndablek alias cuek.
Kata ‘kesot’ itu berarti menyeret badannya dengan kondisi kaki tetap bersila untuk menuju dari satu titik ke titik berikutnya. Maka Markesot dalam tema ini bukan bermaksud untuk menterjemah-jemahkan Markesot yang bagi Jamaah Maiyah sudah tidak asing. Apalagi mentafsiri dan mengidentifikasi Markesot.
Biarkan Markesot tetap menjadi tokoh atau seseorang yang berperan menyampaikan kandungan kawruh dan hikmah. Entah sejatinya Markesot di situ itu wujud, fungsi, atau sifat.
“Belajar dengan Markesot” pada Majlis gugurgunung edisi April 2016 ini akan lebih mengambil posisi mempelajari Markesot sebagai metode. Ini seperti berkata “belajar dengan telaten”. Bahwa si ‘telaten’ itu bukan sebagai tokoh eksternal, ia menjadi pihak internal yang manjing bersama kehendak sebagai bagian secara elementer untuk belajar atau berguru. Bahwa kita mungkin akan sangat kesulitan berjalan ngesot, namun jika segala hal yang berlaku bagi jiwa dan ruhani kita terletak dalam posisi patrap silo, (bersimpuh dengan tata susila yang baik ) maka banyak hal yang sangat mungkin lebih akan kita dapati sebagai sebuah ilmu dengan sesedikit mungkin muncul perasaan gagah akibat merasa pandai atas pihak lain.
8 April 2016
Redaksi Majlis gugurgunung