Maiyah Combat
(Ora Nekat Ora Kuat)
Majlis Gugurgunung 27 Februari 2016
Cangkruk budi doyo di majelis gugur gunung ini diawali dengan cerita dari jamaah yang ternyata mengalami pertempuran yang bermacam-macam dalam perjalanan menuju majlis gugur gunung. Dan ini hampir dialami oleh seluruh jamaah yang datang. Cukup unik memang, hal yang dialami jamaah terkait dengan tema yang diangkat di malis gugur gunung. Dengan bermodal ora nekat ora kuat akhirnya jamaah dapat melangsungkan cangkruk budi doyo yang bertempat di Pengairan – Balongsari – kabupaten Semarang.
Dimulai dengan Mas Agus Wibowo yang menceritakan tentang salah satu kesatria yang mengamankan desanya. Yang bertempur mati-matian dan bertaruh nyawa demi menciptakan kedamaian di desanya. Kurang lebih ceritanya seperti ini:
Adalah sebuah desa di kaki gunung di dataran pulau Jawa, desa ini cukup sejahtera dengan kondisi alam dan penduduknya yang saling bersinergi satu sama lain, yang akhirnya menumbuhkan iklim yang cukup baik di desa tersebut. Hingga pada suatu hari, pulanglah seorang pemuda dari pengembaraanya, Wiro namanya.
“hai Wiro, wah akhirnya kamu kembali juga di desa ini, sudah selesai pengembaraanmu?” sapa seorang pemuda
“belum, pengembaraanku masih panjang” jawabnya
“lantas kenapa kamu sudah pulang?”
“karena desa ini juga termasuk jalurku mengembara”
“hahahahaha, bahasamu seperti pendekar saja. Mengembara kemana saja kamu?”
“aku berlatih silat dan ilmu kanuragan”
“Wah, berarti sekarang sakti dong? Boleh ni kita coba kesaktiannya, hehehe”
“silahkan!”
Akhirnya pemuda tersebut dan Wiro bertempur. Benar saja, cukup dengan sekali pukulan saja pemuda tersebut sudah jatuh terjerembab dan tak sadarkan diri. Kejadian ini membuat pemuda yang lain langsung mengambil sikap hati-hati kepada Wiro, karena benar dia sekarang sudah menjadi amat sakti. Dan akhirnya sore itu suasana di depan warung yang terletak di ujung desa menjadi cukup mencengangkan.
Setelah tak ada lagi yang menantangnya Wiro melanjutkan perjalanannya memasuki desa tersebut dan tiba di depan rumahnya. Rumah yang telah lama kosong karena kepergiannya. Benar memang hanya dia seorang diri yang mendiami rumah tersebut sedari kecil. Orang tuanya sudah meninggal sejak dia berusia 10 tahun dan setelah itu dia harus bertahan hidup sendiri karena memang dia hanya seorang diri sepeninggal orang tuanya. Tak ada sanak keluarga, yang ada hanya tetangga yang jarak rumahnya saja sudah cukup jauh dari rumahnya.
Sekilas Wiro kembali mengenang masa-masa itu, dikala dia ditinggal pergi kedua orangtuanya untuk selama-lamanya, dikala dia harus menjalani hidup seorang diri, mencukupi kehidupannya sediri dengan berdagang kayu bakar yang dia kumpulkan dari hutan dan dijual ke desa sebelah, menjadi buruh tani, menjadi buruh pupuk kandang yang harus memikul kotoran sapi dan berjalan cukup jauh hingga rambutnya berubah warna menjadi merah karena panasnya kotoran sapi.
Hingga terdengar suara yang cukup ramah menyapanya.
“Eh Wiro, sudah pulang? Apa kabar? Sapanya ramah
“Baik Jo, kamu apa kabar? Keluargamu?
“yah seperti yang kamu lihat sekarang ini, hehehehe. Mau aku bantu membersihkan rumahmu?
”tidak terimakasih”
“hmmmm… ya sudah, aku pulang dulu ya kalau begitu”
Harjo berlalu, dan Wiro segera mengambil peralatan seadanya untuk memebersihkan rumahnya karena memang hari sebentar lagi gelap. Tak butuh waktu cukup lama untuk Wiro membersihkan rumahnya, karena dia meminta pertolongan kepada beberapa jin yang berdiam di sekitaran rumahnya untuk membantunya membersihkan rumah. Rumah sudah layak untuk ditempati dan jin-jin tersebut berlalu meninggalkan Wiro seorang diri.
Termenung dia memandangi kisah masa lalunya di desa tersebut, memang cukup ramah kebanyakan masyarakat disini tapi juga tak sedikit yang menindas dan mencemooh Wiro dulu sebelum dia mengembara. Wiro juga mendengar kabar bahwa salah satu yang gemar mencemooh dan menghinanya menjadi demang di desa tersebut. Demang Jatmiko namanya, Wiro berniat menantang demang Jatmiko untuk bertempur demi melampiaskan dendam yang lama tertancap di dadanya.
Tiba akhirnya mentari menjulurkan sinarnya Wiro sudah siap dengan tekadnya untuk menantang demang Jatmiko bertempur. Wiro mulai melangkah keluar rumah dan menyusuri jalan menuju kademangan, benar juga sebelum mencapai singgasana demang Jatmiko dia harus menyelesaikan beberapa penjaga yang berjaga di gerbang kademangan, dan itu bukan masalah yang cukup besar bagi Wiro. Tak butuh waktu lama, seluruh penjaga sudah terkapar tak berdaya.
Tibalah Wiro bertemu dengan demang Jatmiko yang kelihatan begitu ketakutan melihat kekuatan Wiro.
“masih ingat aku wahai yang terhormat demang Jatmiko?”
“ma.. ma.. masih, kau Wiro anak yatim piatu itu kan?”
“hah, masih saja empuk ucapanmu hai demang sialan!”
“a..a.. apa maumu Wiro mengobrak-abrik kademangan?”
“hahahaha, cium kakiku sekarang dan minta maaf”
“minta maaf atas apa? Aku tidak mau!”
“belum sadar juga kamu ternyata atas apa yang kau lakukan kepadaku”
KLAAAk!, terdengar suara tulang tangan dan kaki demang yang dipatahkan oleh Wiro, jeritan demang memecah kesunyian dusun tersebut pagi itu.
________________________________
Berita tentang beringasnya Wiro mengobrak abrik kademangan langsun tersebar seantero desa. Hal ini membuat beberapa orang kuat di desa tersebut menjadi panas dan ingin mengajak Wiro duel. Mereka secara bersama-sama bergegas menuju rumah Wiro dengan peralatan yang cukup komplit.
Sampailah mereka di gubug tua tempat dimana Wiro tinggal.
“Wiroo! Keluar kamu!” teriak salah satu dari rombongan
“keluar kamu jagoan kecil!” sahut yang lainnya
Tak lama Wiro keluar dengan memegang piring makanan di tangannya.
“ada apa? Berani sekali kalian mengganggu makanku” jawab Wiro
“kami ingin mengajakmu bertarung. Kami dengar kamu hebat sampai berani mengacak-acak kademangan yang dijaga banyak penjaga”
“hahahahaha, sebentar ya, aku selesaikan makanku dulu”
“ah banyak omong kamu! Ciaaaaaaat!!!”
“ternyata kalian tak sabar ya, baiklah”
Akhirnya pertempuran antara Wiro dan sekumpulan orang kuat di kampong tersebut dimulai, dan seperti yang terjadi di kademangan, tak butuh waktu lama satu-persatu dari mereka tumbang di halaman rumah Wiro, dan dengan santainya Wiro melanjutkan makannya di depan sekumpulan orang yang sudah dikalahkannya dalam sekejab.
Tak cukup hanya membuat mereka ambruk, setelah selesai makan Wiro memapah mereka satu persatu di pepohonan besar yang tumbuh di pekarangannya dan mengikat mereka di pohon-pohon besar tersebut. Setelah yakin semua terikat dengan rapi, Wiro mengambil madu yang baru dipanennya dan melumuri tubuh mereka dengan madu tersebut. Tak butuh waktu lama semut-semut berdatangan dan menyerang mereka. Teriakan dan rintihan mereka membuat Wiro benar-benar puas siang itu.
Setelah mereka terlihat lemas, Wiro melepaskan mereka dan menitipkan pesan kepada mereka.
“hai para pahlawan kesiangan, ingatlah kejadian ini. Dan silahkan menuntut balas jika kalian tidak terima!”
“tidak Wiro, kami mengaku kalah kau memang sakti kami bersedia jadi pengikutmu”
“aku tidak butuh pengikut, hanya saja kalian harus mengirimkan bahan makanan kemari setiap hari! Kalian tahu sendiri akibatnya kalau mengelak”
“baik Wiro kami siap mengirimkan bahan makanan kemari setiap hari”
“baguslah kalau begitu”
Sekumpulan orang kuat yang baru saja dirobohkan Wiro berlarian tunggang langgang meninggalkan rumah Wiro.
____________________________
Kian hari Wiro semakin menjadi-jadi, seolah olah dia menjadi penguasa di desa tersebut. Apapun yang dimintanya harus dituruti. Dia tak segan-segan melukai penduduk jika keinginannya tidak terpenuhi. Hingga pada titik tertentu penduduk desa mulai geram dengan kelakuan Wiro dan mereka sedang merencanakan untuk menghancurkan Wiro. Tapi kembali lagi ini hanya menjadi grundelan mereka saja karena tak ada yang benar-benar berani melawan Wiro. Hingga pada suatu hari di balai desa. Semua persoalan dirembug bersama dengan melibatkan semua laki-laki di desa baik tua maupun muda. Lagi-lagi rembug desa hanya berlangsung penuh intrik, politik dan polemik, demi saling menghindar dari tanggungjawab.
“sudah, biar aku saja yang melawannya” kata seorang dengan suara sedikit bergetar
“hah, Ki Buyut tidak sedang bercanda kan?
“tidak le, aku berkata sebenarnya”
“Ki Buyut kan sudah tua renta sudah loyo, ringkih pula. Bagaimana bisa melawan Wiro yang begitu kuat”
“dari pada kalian yang masih muda dan berteNaga hanya bisa berkoar-koar saja tanpa tindakan yang nyata. Lagian apa yang aku takutkan sementara yang paling ditakutkan manusia adalah kematian. Sedangkan kematian itu kini sudah menjadi yang aku rindukan dalam kehidupanku”
“baiklah kalau begitu ki, kami mendukung Ki Buyut menghadapi Wiro. Kami berharap Ki Buyut menang dalam pertempuran melawannya” kata seorang pemuda yang mencoba bijaksana dengan kalimat seadanya.
“iya ngger” jawab sang Ki Buyut sambil berlalu pergi meninggalkan balai desa.
____________________
Tibalah suatu pagi ketika Ki Buyut sedang menggarap ladangnya. Terlihat sesosok pemuda gagah berkuda melintas di depan rumahnya.
“nak, nak Wiro. Tunggu nak!” panggil Ki Buyut
“ada apa ki” jawab Wiro setelah memberhentikan kudanya
“begini nak, Ki Buyut dengar kamu adalah pemuda terkuat di desa kita ini, apakah benar?”
“oh jelas, seluruh penjuru desa mengakui itu ki”
“baguslah kalau benar begitu”
“memangnya ada apa ki?”
“begini nak, desa kita sekarang sudah tidak aman lagi”
“tidak aman bagaimana ki?”
“ada mara bahaya yang mengancam desa kita, dan hal ini membuat penduduk desa menjadi cemas nak”
“wah, siapa ki yang berani membuat onar di desa ini? Biar kuhabisi!”
“di ujung barat desa ini ada hutan, di dalam hutan tersebut hidup seekor Macan yang sangat besar, dia menerkam siapa saja yang di depannya saat dia lapar nak. Sudah banyak penduduk yang menjadi korban keganasannya”
“kurang ajar! Berani sekali dia membuat onar. Sudah ki, biar aku bereskan Macan itu”
“terima kasih nak, aku hanya mampu membantu lewat pengharapan atas keselamatanmu”
“makasih ki”
Wiro langsung melesat pergi mengambil peralatan untuk bertempur dan langsung memacu kudanya menuju hutan di pojok barat desa. Setiba di dalam hutan, terlihat bayangan cukup besar dari rimbunnya semak. Segera Wiro menghampiri bayangan tersebut, dan ditemuinya seekor Macan ang amat sangat besar. Tidak seperti Macan pada umumnya, Macan ini besarnya hampir tiga kali dari Macan pada umumnya.
Tanpa pikir panjang Wiro langsung menyerang Macan tersebut dengan gesit. Tak hanya diam, sang Macan juga membalas serangan-serangan Wiro dengan cepat. Terjadi pertarungan yang cukup panas siang itu. Tapi disini Wiro tak sendiri, dia membaa tiga Wiro. Yang pertama Wiro yang kuat atas dirinya sendiri, yang kedua Wiro yang rela bertempur membela warga kampung, dan ketiga membawa martabatnya yang akan hancur kalau sampai dia kalah. Dan benar, akhirnya Macan itu tumbang di hadapan Wiro. Segera dia memotong kepala Macan tersebut sebagai bukti yang akan dia bawa ke penduduk desa kalau dia sudah mengalahkan Macan tersebut.
Dengan tubuh lemas dan penuh luka dia menaiki kudanya dan melangkah pergi kembali ke desanya. Sesampainya di desa warga menyambutnya dengan suka cita. Masyarakat memuji kehebatannya hingga Wiro semakin percaya diri.
Disebarkan pandangannya mencari Ki Buyut yang menugasinya membunuh Macan tersebut di tengah kerumunan warga. Namun tak tampak. Maka setelah cukup hingar bingar dengan luapan pujian masyarakat, dia segera menuju ke gubuk Ki Buyut.
“satu mara bahaya sudah berhasil aku hancurkan ki. Apa masih ada lagi”
“masih nak”
“dimana tempatnya ki? Biar aku hancurkan sekalian”
“sabar nak, sembuhkan dulu lukamu! Setelah sembuh temui aku di gubukku”
“aku tidak apa-apa kok ki. Hanya luka seperti ini sudah biasa” sambil menahan sakit dalam tegarnya
“sudah sembuhkan dulu lukamu!”
“baiklah kalau begitu ki”
____________________________
Di suatu pagi, dengan luka yang belum sembuh benar Wiro memacu kudanya menuju rumah Ki Buyut yang berjanji akan memberi tahu kekacauan atau mara bahaya kedua. Dia tampak bersemangat dan tak sabar ingin bertempur melawan kekacauan atau mara bahaya ini.
Sesampainya dirumah Ki Buyut tersebut
“selamat pagi ki”
“selamat pagi nak. Semangat sekali kamu pagi ini”
“iya ki tidak sabar aku ingin bertempur kembali”
“apakah lukamu benar-benar telah sembuh?” Tanya Ki Buyut lembut
“sudah ki, cepat beritahu aku dimana letak kekacauan atau mara bahaya kedua itu!”
“baiklah, tapi yang ini jauh lebih kuat dari Macan yang kau bunuh tempo hari nak”
“aku tidak peduli ki. Siapa saja yang berani membuat kekacauan atau mara bahaya di desaku akan aku hancurkan. Apapun itu!” jawabnya tegas
“baiklah nak, di kaki bukit yang terletak di ujung timur desa terdapat gua yang cukup besar. Dimana di dalamnya hidup seekor Naga yang besar, kuat dan ganas. Naga tersebut keluar gua setiap sepuluh tahun sekali. Dan minggu-minggu ini adalah waktu dimana Naga tersebut akan kembali keluar. Setiap dia keluar, dia memangsa penduduk desa. Aku hanya salah satu orang yang beruntung dapat selamat dari serangan Naga tersebut. Hampir seluruh desa kita ini habis dimangsanya entah berapa puluh tahun yang lalu. Hanya segelintir orang termasuk aku yang berhasil selamat dan melanjutkan kehidupan di desa ini. Bukan hanya desa ini yang menjadi lahan makan si Naga. Warga di desa-desa sebelah juga tak luput menjadi santapannya. Seakan si Naga punya peternakan manusia yang dia panen setiap 60 tahunan untuk satu desa”
“sedasyat itukah ki”
“iya nak, bagaimana? Masih mau maju?”
“bukan Wiro namanya kalau menyerah sebelum maju bertempur”
“baiklah nak, aku salut dengan keberanian dan semangatmu. Bawalah ini nak” Ki Buyut memberikan Bendo miliknya
“untuk apa Bendo ini ki? Bukannya lebih mantap meggunakan pedangku ini yang sudah banyak berlumuran darah?”
“ikut sertakan Bendoku ini pada perlengkapanmu sebagai ubo rampe! Bendo itu sudah menemaniku selama aku hidup. Bendo itu ku gunakan untuk membuat pagar, memotong dan membelah pring (bambu) dan kegiatan bermanfaat lainnya. Tidak ada yang pernah terluka dan berdarah dengan Bendo itu kecuali tanganku sendiri yang tak berhati-hati memakainya”
“baiklah ki, aku pamit”
“hati-hati nak, semoga kau berhasil”
“ya ki” jawab Wiro sambil berlalu pergi.
________________________________
Sesampainya di mulut gua, Wiro mengikat kudanya di pohon yang tumbuh di depan gua. Perlahan dia mulai memasuki gua yang kian dalam kian pula gelap. Terdengar suara puluhan kelelawar berterbangan karena kedatangan Wiro. Sampai diujung gua, terlihat Naga yang sangat besar sudah dengan posisi siap menyerang Wiro. Pertempuranpun berlangsung. Dengan cukup gesit Wiro menyerang dan menghindar. Dengan cekatan dia mengambil senjata yang menggantung di pinggangnya tanpa sadar yang diambilnya adalah Bendo Ki Buyut. Bendo tersebut langsung diayunkan dan berhasil melukai Naga tersebut, tapi Naga tersebut masih ganas dan berteNaga. Disarungkan kembali Bendo Ki Buyut dan dengan cepat dia mengambil pedang kebanggaannya. Diayunkannya pedang tersebut ke tubuh Naga, namun pedang kebanggaan Wiro tersebut malah patah. Dengan cepat dia membuang pedangnya dan mengambil kembali Bendo pemberian Ki Buyut dengan gerakan yang lincah dan cepat Wiro berhasil membuat banyak luka di tubuh sang Naga. Naga semakin tak berdaya dan akhirnya jatuh tersungkur di lantai gua. Wiro tampak kelelahan dan sedikit jengkel karena ternyata pedangnya patah. Dan yang lebih pahit lagi Naga tersebut dapat terluka dengan Bendo pinjaman Ki Buyut.
Dengan badan penuh luka dan tertatih-tatih, Wiro pulang membawa salah satu organ tubuh Naga tersebut. Penduduk desa menyambut kedatangan Wiro dengan penuh suka cita, bahkan masyarakat menyambut kedatangannya dengan diiringi tarian khas desa tersebut.
Dikerumunan warga yang begitu padat, Wiro tampak bingung karena setaip kali ada hingar bingar dan penyambutan tak ia dapati Ki Buyut yang memerintahkannya membunuh Macan dan Naga tersebut. Belum juga pesta selesai, Wiro mohon pamit dan melesat menuju gubuk Ki Buyut. Didapatinya Ki Buyut sedang mengasah Bendo baru di halaman rumahnya.
“Ki Buyut”
“eh nak Wiro. Syukurlah kamu sudah kembali. Bagaimana keadaanmu nak?”
“ya begini ki, dan aku berhasil membunuh Naga tersebut ki”
“syukurlah, terimakasih nak. Kau memang benar-benar pemuda yang tangguh”
“terimakasih ki. Aku kesini ingin mengembalikan Bendo pinjamanmu ki”
“oh itu, sudah ambil saja nak. Aku sudah punya yang baru, ini baru saja selesai ku asah”
“Bendo Ki Buyut sudah terkena darah Naga, pasti Bendo ini semakin sakti ki. Ini ki aku kembalikan”
“tidak nak, sudah ambil saja untukmu. Aku sudah punya yang baru nak. Lagi pula, gaman yang kupakai tidak ada yang kugunakan untuk membuat darah disekitarku keluar, kalaupun ada darah yang keluar dari Bendoku adalah darahku sendiri karena aku tak hati-hati dalam menggunakannya nak. Bendo kugunakan hanya untuk membuat pagar, memotong dan membelah pring, serta kegiatan bermanfaat tak berdarah lainnya. Kalau aku boleh sedikit menjelaskan kepadamu nak, tapi ini hanya sekedar penjelasan dariku. Kau boleh mengambilnya, apalagi membuangnya.”
“silahkan ki”
“jadi begini nak, Bendo itu dari kata ngaben ing bebodo. Dalam arti, membakar kebodohan dalam diri. Diri kita ini terhijab oleh bermacam kebodohan yang kita ciptakan sendiri. Maka dari itu dibutuhkan perlambang Bendo untuk menumpasnya. Bendo itu kepasrahan bukan kegagahan, bendo itu ketelatenan bukan grusah-grusuh. Bendo itu menebarkan kemanfaatan bagi sebanyak-banyak orang, bukan menebarkan kekeruhan dan kekisruhan. Bendo itu Salam. Maka jika engkau paham kebodohanmu, kamu akan mau membakarnya supaya tak menjadi bahan bakar api kesombongan yang ingin terus membumbung. Kebodohan bukan persoalan kamu tak mampu berhitung, bukan perkara kau tak bisa mengerjakan baca tulisl.
Bodoh itu : kau tak gunakan kepandaianmu dengan penuh pengabdian seperti kehendak pencipta kepandaian tersebut. Bahkan kau gunakan kepandaianmu untuk mengingkari kedamaian dan keselamatan. Sedangkan sesungguhnya kau diperintahkan untuk menjadi petugas yang menjaga kedamaian dan keselamatan itu di bumi ini.
Kemudian ada pagar, pagar itu dari kata paugeran atau batasan. Semakin kamu tak tahu batasan, kamu tak akan pernah bisa mengenali dirimu dan hanya seperti itu itu saja. Kuat untuk menekan dan menghancurkan, cerdik untuk menipu, dan lain sebagainya. Padahal jika tahu batasan, kesemua potensi itu tadi bisa menadi tameng yang kuat dalam kehidupanmu. Dengan batasan kamu akan mendapatkan identitasmu sebagai manusia, tapi jika tanpa batasan lantas siapa kamu? Dan karena tak ada yang mengenalimu bahkan dirimu sendiri pun tak kenal, Tuhan berhak untuk menganulirmu di jalan cerita ini, bahkan di alam jasad dan roh. Musnah nak, sirna tak berbekas.
Kemudian ada pring, pring atau bambu memiliki bentuk yang tegak lurus keatas, walaupun ada yang berkelok tapi ujungnya keatas juga. Pada tahap ketinggian tertentu, bambu tak meIihat bumi yang akan dia hias yang akan dia dandani, dia melengkung sebagai lambang bahwa setinggi-tinggi ilmu namun tak mampu memanfaati ilmu itu dalam kehidupan itu seperti pring yang tak tahu merunduk, dia akan tua dan mati tanpa manfaat dengan kondisi yang belum mengenal ketinggian yang diimpikan. Atau dia akan tumbang ditebang orang sebelum mencapai ketinggian yang diimpikan.
Itu adalah perlambang tauhid, bahwa apapun yang kamu lakukan entah berbelok atau bagaimanapun bentuknya. Sebisa mungkin julangkan ke atas, terus seperti itu. Dari pencapaian keatas lalu teruskan ke kanan kirimu. Apa yang diteruskan? Kasih sayang antar sesama makhluk nak, dan selalu menebar salam kepada siapapun, dalam arti berjanji tak akan berbuat buruk kepadanya, tidak mengancam martabatnya, tidak mengancam harta bendanya, tidak mengancam darahnya”
“hmmmmm, seperti itu ya ki. Terimakasih banyak ki atas ular-ularnya. Sekarang siapa yang ketiga ki? Yang berani mengganggu ketenangan desa ini”
“hmmmm, buru-buru sekali kamu nak”
“sudah tidak sabar aku ki, mau aku tumpas semua yang berani mengganggu ketenangan desa ini agar desa ini kembali menjadi desa yang damai, gemah ripah loh jinawi.”
“baiklah nak, tapi yang ketiga ini amat sangat kuat nak.”
“aku siap ki. Sekuat apaun akan aku hadapi demi kedamaian desa ini”
“aku juga berfikir hanya kamu yang bisa mengalahkannya nak. Benar kamu mau mengalahkannya?”
“benar ki, aku siap apaun resikonya”
“baiklah aku akan memberitahumu siapa yang ketiga. Yang ketiga ini adalah dirimu sendiri nak”
“apa?! Aku ki?”
“Iya nak. Kamu orangnya”
Sesaat Wiro tertegun tak berucap sepatah katapun, nafasnya serasa terhenti mendengar hal ini. Suasana sesaat menjadi sunyi, dan hanya angin yang berhembus lirih yang tampak bersuara. Dan dengan secara tiba-tiba terdengar suara tegas dari mulut Wiro.
“baik, aku siap ki. Aku akan pergi meninggalkan desa ini”
“benarkah atas apa yang kamu ucapkan nak?”
“benar ki, aku tak pernah menarik kembali apa yang telah aku ucapkan”
“baiklah nak, kamu itu kesatria yang baik nak. Cuma masyarakatmu di desa ini belum cukup ilmu dan kebijaksanaan memiliki ksatria sepertimu di desanya. Carilah desa yang mau menerimamu apa adanya nak. Doaku menyertaimu nak”
“terimakasih banyak ki. Aku pamit”
Wiro beranjak meninggalkan rumah Ki Buyut. Sesampainya dirumah dia langsung berkemas dan bergegas pergi. Sangat berat memang bagi Wiro meninggalkan desa tempat dimana dia dilahirkan. Namun daripada merusak kedamaian di desanya dia memilih jalan ini. Membuang dirinya jauh dari desa tersebut dan pergi mencari desa yang mau menerimanya.
Sampailah Wiro di gapura desa, ketika hendak melangkah keluar gapura. Tiba-tiba terdengar suara yang cukup mengagetkannya.
“Wiro…Wiroooo…. Tunggu Wirooo” teriak salah seorang warga yang diikuti dibelakangnya beberapa warga lainnya.
“ada apa?”
“jangan pergi Wiro, kami membutuhkanmu di desa ini”
“bukannya aku di desa ini hanya membuat kekacauan dan ketidaknyamanan bagi kalian?”
“tidak Wiro, dulu memang seperti itu. Tapi setelah berjalannya waktu ternyata kamu membuktikan pada kami bahwa kamu pembawa damai. Kau tumpas semua yang berani mengganggu desa ini. Tak gentar dan bahkan kau bertaruh nyawa untuk bertempur melawan ancaman yang mengancam desa kita ini”
“itu sudah kewajibanku”
“kami mohon jangan pergi Wiro, tetaplah disini bersama kami”
“benarkah apa yang kalian katakan bahwa sekarang kalian membutuhkanku di desa ini? Aku sudah tidak menjadi ancaman lagi bagi kalian?”
“benar Wiro, tetaplah disini bersama kami”
Sekilas Wiro teringat pesan Ki Buyut “Carilah desa yang mau menerimamu apa adanya nak”.
Lututnya terasa lemas. Dia merunduk namun tetap melihat ke depan. Saat itu pundaknya disentuh seseorang dan berkata :
“nak, kau telah temukan gerbang pangapuro, kau telah berjumpa dengan gapuro. Maka kau juga tampak telah menemukan desa yang bersedia menerimamu. Bangkitlah, bangun, dan tinggalah di desa yang menjadikan kamu sebagai keluarga di dalamnya ini” Demikian ki Buyut berkata dengan getaran suara lembut.
Wiro Bangkit dari simpuhnya, berbalik arah dan dia memeluk Ki Buyut. Itu adalah pertama kalinya Wiro tampak menangis, mengeluarkan air mata dan memeluk seseorang. Seseorang yang tak lebih gagah darinya, orang tua yan renta dan tampak ringkih. Kepada orang ini Wiro rela menampakkan sisi ringkih dan lembutnya sebagai manusia. Masyarakat tertegun dan tak sedikit yang tertunduk haru. Wiro perlahan melepaskan pelukannya dan berkata kepada penduduk desa :
“baiklah, aku akan tetap di desa ini bersama kalian dan terimakasih telah menerima keberadaanku” Wiro berkata kepada penduduk desa.
Sorak sorai penduduk menyambut dan menyongsong Wiro dengan penuh suka cita.
Akhirnya Wiro kembali bersama masyarakat desa dan berbaur membentuk iklim yang sangat bagus di desa tersebut. Tak ada lagi ancaman yang berarti di desa tersebut. Desa tersebut akhirnya menjadi desa yang damai serta gemah ripah loh jinawi seperti apa yang diperjuangkan Wiro. Perjuangan desa tersebut kini terletak kepada para penghuninya. Apakah penghuninya tetap memiliki kedikdayaan dalam mempertahankan kedamaian atau justru diam-diam bosan dan merindukan pertikaian.
Dari cerita diatas dapat diambil banyak hikmah. Bahwa sebenarnya kekuatan, kepenguasaan, batasan, Macan yang kuat, buas dan cerdik, Naga yang besar, kuat, dan juga lihai, masyarakat, kesatria, desa itu ada dalam diri sesorang. Semua hal tersebut melebur jadi satu dalam diri setiap diri manusia. Tinggal manusia mau mengambil dominan yang mana, mau memenangkan Macan atau Wiro, Naga atau Bendo, dlsb.
Timbul pertanyaan yang cukup menarik dari Mas Tyo “dari ayat yang berbunyi sampaikanlah walau satu ayat, berarti ada kemungkinan manusia cukup mengambil satu ayat misal kejujuran dan hanya itu saja kemudian disampaikan melalui prilaku seumur hidupnya yang jujur atas apapun?”
Pertanyaan tersebut langsung ditanggapi oleh Mas Agus Wibowo, bahwa benar, karena dari satu ayat tersebut jika diterapkan dan diurai akan timbul embrio-embrio yang begitu banyak dan tak terbatas dari satu ayat saja. Ada dua jenis ayat, ayat Al Qur’an yaitu ayat yang tertulis dalam Al Qur’an dan ayat kauniah yang tertulis secara gamlang di alam semesta ini. Dan ambil saja satu ayat misal tauhid, tauhid ini jika kita ambil, kita urai dan kita terapkan akan menghasilkan embrio yang saling terkait antara satu ayat dengan ayat yang lainnya. Dan sudah pasti akan menebar cahaya di sekitar dan dirinya sendiri.
Mas Kasno juga menyampaikan, beliau sedang mempelajari satu ayat yakni batu, “ternyata dari batu ini kita dapat belajar banyak hal. Misalnya, batu sangat berpotensi sebagai penerima dan penyebar yang baik, batu bagaimanapun bentuknya dapat disusun menjadi bentuk yang elok bahkan bermanfaat ketika kita menemukan titik sudut keseimbangan batu tersebut, dan masih banyak lagi yang lainnya.”
Dari dua contoh yang diambil dari batu tadi, itupun dapat kita terapkan di kehidupan ini. Pertama sebagai penerima dan penyebar yang baik. Kita dianjurkan untuk mencari ilmu sampai akhir hayat, dan dianjurkan pula menyampaikannya walau satu ayat. Disini berarti kita lebih berpotensi sebagai penerima dan penyebar yang baik. Tinggal apa yang kita pilih untuk kita terima dan kita sebar. Apakah itu api atau cahaya.
Yang kedua bahwa batu dapat disusun menjadi bentuk yang elok bahkan bermanfaat ketika kita menemukan titik sudut keseimbangan batu tersebut. Disini kita belajar pentingnya timbangan pentingnya tahu batasan, pentingnya kejujuran dan pentingnya silaturahmi untuk menumbuhkan keindahan kerukunan yang menebarkan kebermanfaatan untuk alam semesta ini.
Mas Agus menambahi dengan “batu memang keras, tapi dia masih berpotensi mengeluarkan tuk atau mata air dari dalam dirinya yang dapat dimanfaatkan sekitarnya. Lha hati kita kalau sudah keras apa masih bisa mengeluarkan tuk?”
Majlis gugur gunung ditutup pada pukul 03.40 WIB menjelang Shubuh. Semua berpamitan dan kembali ke rumah masing-masing. Demikian reportase Majlis Gugur Gunung Februari 2016.
Arif Wibowo
NB : MGG bulan depan Insya Allah akan diadakan pada 26 Maret 2016.