Pertemuan rutin majlis gugurgunung pada bulan ini jatuh pada tanggal 31 Maret 2018 bertempat di Balai Desa Klepu Ungaran, Kab. Semarang dengan tema “Sinau Mulat”. Seperti biasa, kegiatan dimulai sekitar pukul 21.00 WIB, dengan do’a pembuka dan wasilah oleh Mas Tyo, dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Jion. Sedikit kalimat pembuka dari Mas Agus untuk mengawali diskusi, yakni pada malam ini bebarengan dengan rapat pleno Maiyah di Kadipiro dan juga tepat 40 tahun usia (hijriah) Mas Sabrang. Sedikitdo’a dipanjatkan untuk kebaikan beliau. Amin.
Tak lupa, Mas Agus mewakili Majlis Gugurgunung berterima kasih kepada sedulur Maiyah Kalijagan, Gambang Syafaat yang meluangkan waktu untuk merapat. Dimana Gugurgunung dan Gambang syafaat ini juga merupakan satu bebrayan agung yang nantinya dapat terintegrasi di hati masing-masing individu. Malam itu dihadiri pula oleh sedulur Jepara, Slawi, Jogja.
Moderator malam hari ini ialah Mas Dian, langsung memberikan kesempatan pertama pada perwakilan Tim Tema yakni Mas Kasno untuk membacakan mukadimmah sebagai prolog atau pengantar topik sebagai bahasan pada malam hari ini.
Usai penyampaian mukadimmah langsung mendapat respon dari Mas Hajir, dimana bercerita tentang keinginannya untuk selalu merapat dalam kegiatan rutin Gugurgunung namun waktu yang diluangkannya mesti dibagi dengan kehadirannya di beberapa simpul maiyah lain dan juga keluarga di rumah. Sedikit cerita tentang perjalanan Mas Hajir dalam tiap simpul memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Gugurgunung diapresiasi dengan bentuknya yang nampak sederhana namun bersungguh-sungguh dalam kegiatan sinau bareng. Tanpa adanya panggung serta narasumber-narasumber besar dimana hal ini sering menjadi godaan dalam sinau bareng. Salah satu tujuan maiyah dalam kegiatan melingkar ialah berdiskusi dan saling belajar antar organisme, bukannya hanya mencari narasumber ternama dan mendengarkan ceramah saja.
Dalam pada itu, Mas Hajir juga menanggapi tema pada malam hari ini dimana kita harus memahami tentang “mulat”, yakni melihat lebih ke dalam diri atau evaluasi diri lebih mendalam. Untuk mengevaluasi harus mengerti serta memahami tentang letak dan posisi. Posisi kita sebagai makhluk ialah bukan untuk memposisikan diri sebagai pencipta sehingga menganggap makhluk lain ialah objek untuk di eksploitasi.
Untuk mengetahui tentang letak dan posisi kita harus mengerti dulu di aliran mana kah kita terbawa. Dicontohkan ialah sahabat Umar bin Khatab yang pada saat itu mengalir pada kejahiliyahan, namun ketika mendapat hidayah dari Allah yang juga dengan sarana do’a dari Rasulullah akhirnya sahabat Umar bin Khatab masuk dalam aliran kehidupan Islam. Di dalam bermaiyah juga memiliki tujuan yakni berhijrah untuk menjadi lebih baik. Dimana hijrah ini juga diajarkan oleh panutan kita Rasulullah SAW.
Kemudian Mas Kasno menambahkan respon tentang tema, namun karena jika disampaikan dengan kalimat terlalu panjang maka diubah menjadi sebuah simulasi. Mas Anjar dan Mas Chafid diminta untuk menjadi relawan dalam simulasi kali ini, dengan seutas tali rafia dengan panjang kurang lebih dua depa. Salah seorang diminta untuk berdiri diam sambil memegang salah satu ujung. Dan seorang yang lain juga memegang ujung yang lain sambil berjalan ke depan, belakang, kanan dan kiri tanpa melebihi batas dari panjang rafia tersebut. Tanpa bermaksud untuk mendistorsi kurang lebih memiliki makna demikian, orang yang diam itu ialah diri yang sejati (nol, kosong, suwung) , tali rafia bagaikan batas yang diberikan untuk manusia di dalam laku perjalanannya, dan orang yang berjalan ke depan, belakang, kanan, kiri ialah orang yang menempuh laku dalam perjalanan hidup. Eling lan waspodo terhadap batasan-batasan. Baiknya dalam menjalani hidup kita tetap mengenal batasan agar senantiasa berada dalam lintasan yang berbentuk lingkaran seperti perjalanan orang yang sedang bertawaf mengitari kiblat. Pernah juga Mas Kasno mendengar dari Mbah Nun istilah tentang seluruh kiblat menjelma jagad, dan seluruh jagad menjelma kiblat.
Direspon oleh Mas Agus bahwa, memang akan terlampau panjang ketika simulasi tersebut diterjemahkan menjadi kata-kata. Ketika orang yang sedang laku tersebut bergerak dari titik nol misalkan ke depan maka akan menjadi bernilai satu, bukan nol lagi, maju lagi maka akan menjadi dua begitu seterusnya. Demikian halnya ketika bergerak mundur maka menjadi minus satu, minus dua dan seterusnya. Namun minus itu juga tetap sebuah nominal. Disini letak yang kurang pas karena ketika harus mengakurasi pengabdian malah justru meningkatkan eksistensi diri. Ketika jumlah nilai terus maju ke depan menjadi satu, dua, tiga, empat dst kita anggap sebagai penambahan jumlah kepala. Semakin banyaknya kemunculan kepala-kepala imajiner seperti itu harus kita kembalikan lagi. Mungkin disitu memerlukan proses jatuh atau keterjerembapan. Hal tersebut yang kita sebut sebagai reridu. Namun hal tersebut alangkah baiknya ketika kita mau untuk mengembalikannya pada posisi nol kembali.
Mas Haris dari Jepara juga bercerita tentang usahanya di dalam berhijrah. Dimana pada masa mudanya pernah terasa melewati batas, dan sekarang berusaha untuk kembali lebih mengenal tentang batasan. Dimana direspon oleh Mas Agus bahwa salah satu cara untuk mengenal batas ialah keluar batas. Kapan diri kita mengetahui batasan dalam makan? Tidak akan kita mengetahuinya apabila belum pernah merasakan keluar batasnya yang bernama kekenyangan. Dengan demikian, kita akan merasakan titik kapan saat untuk berhenti sebelum perut merasakan kenyang.
Mas Agus melanjutkan, bahwa disini kita harus menghilangkan kebekuan hati dan fikiran kita masing-masing, karena disini kita masing-masing ingin menikmati “suguhan” yang dibawa oleh siapapun yang berada disini. Meskipun hal tersebut tidak disampaikan secara lisan, namun juga bisa disampaikan melalui hal yang lain. Beberapa respon diatas oleh sedulur-sedulur bukan hal sepele bahkan juga menjadi poin-poin penting.
ALIF-EHE-JIM-JIMAWAL-DAL-BE-WAU-JIMAKIR
Sebuah tulisan dari Mas Agus yang ditulis di permukaan papan tulis putih yang ditulisnya dengan spidol. Adalah rumusan dalam masa hidup tiap 8 tahunan (Windhu). Jadi hasrat putaran kita dalam menjalani kehidupan yang bersungguh-sungguh atau astuti. Astuti memiliki arti asta ne kudu ngasta sesuatu sing sayekti. Asta bisa diartikan sebagai tangan, juga bisa diartikan sebagai delapan. Sebab kita akan mengkaitkan kesungguhan yang sudah kita lakukan dengan tangan-tangan kita. Di dalam Al Qur’an juga dicantumkan bahwa kerusakan di daratan dan lautan disebabkan oleh tangan-tangan manusia.
Nama-nama tahun di atas, masing-masing memiliki arti : niat-tandang-gawe-lakon-urip-bali-ing-suwung. Disini kita coba breakdown dimana satu windu terdapat 8 tahun.
Alif memiliki arti niat. Mengapa alif? Karena berbicara tentang sangkan paran atau asal-usul diri kita yaitu dari Dzat yang Maha Tunggal. Alif merupakan huruf Hijaiyah yang tidak bisa disambung ketika berada di depan, namun bisa jika di belakang. Coba dibayangkan jika kita sebagai sebuah benih. Nawaitu (niat), nawa (benih). Benih merupakan salah satu penggambaran yang memuat catatan tentang sangkan paraning dumadi. Sebuah benih kedelai, sudah memiliki catatan tentang modelnya tumbuh, teksturnya, daunnya, bahkan usia hidupnya, sehingga tidak ada benih kedelai yang melampaui batas. Berarti, kita harus mengetahui bahwa diri kita akan tumbuh sesuai dengan catatan-catatan yang kita bawa. Agar tumbuh maka kita harus tandang.
Ehe atau tandang, ialah mangkat. Mangkat memiliki dua arti, pertama yakni berangkat yang kedua ialah mati. Seperti halnya kiamat, yang bisa diartikan sebagai hari kebangkitan, bisa juga diartikan sebagai hari akhir. Tandang yang lebih bekerja ialah wilayah batiniahnya (pikiran, hati untuk bergerak).
Jim atau gawe, lebih kepada wilayah jasadiahnya. Tangan, kaki, panca indera dlsb menterjemahkan apa yang sudah diniati dan dipikirkan untuk berangkat dijadikan sebagai sebuah pekerjaan.
Jimawal atau lakon. Ngelakoni (laku) adalah melakukannya secara terus menerus. Kita tidak bisa mencangkul sepetak sawah, kita hanya bisa mencangkul satu kali de depan kita. Ini yang disebut nglakoni.
Apa yang dilakoni?
Dal atau urip (hidup). Ngelakoni urip. Indikatornya adalah, apa yang sudah kita lakukan di dalam kehidupan? Menghidupi? Atau justru mematikan. Hidup dan mati bukan hanya terletak di fenomena jasadiah, namun apakah pikiran, iman, dan hatinya juga mati atau tidak. Hewan kurban yang disembelih memang mati secara jasad, namun secara fungsi dia justru menghidupkan lainnya agar imannya meningkat bahkan sampai akrab dengan Allah. Quroba seakar kata dengan Qurban. Demikian halnya dengan mencangkul sawah, mungkin ada cacing yang mati saat tercangkul dll. Ini menjadi contoh bahwa kita tidak bisa seratus persen mampu menyelamatkan, mengemankan apalagi menghidupi, karena yang mampu seperti itu hanya Sang Maha.
Be atau bali. Tidak mematikan, supaya semuanya bisa kembali (Idul). Idul ada dua yakni, Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri, kembali fitrah atau kemurnian. Hidup yang sudah menjalani laku (custom) kembali pada settingan default. Ternyata kita perlu menjalani ritual kemurnian secara bertahap selama kurang lebih 30 hari atau sebulan (Ramadhan). Terasa sangat nikmat suatu makanan-minuman ketika perut sudah merasakan nikmatnya rasa lapar atau kerongkongan haus. Terasa nikmatnya diam dimana selain hari itu kita lebih bebas berbicara. Be atau Ba digambarkan sebagai Bismillahirahmanirrahim. Seakan-akan apa yang sedang kita jalankan, dalam rangka terus mengucap Bismillahirahmanirrahim sebagai cara kita tetap kembali.
Wau atau ing. Mengapa Wau? Sebab kita harus memiliki patrap sila. Harus mengerti tentang patrap dan silo. Patrap adalah posisi atau letak, sedangkan silo adalah susila atau keindahan pekerti. Oleh karena itu kita harus mengerti letak keindahan pekerti dari diri kita. Maka Wau sebagai huruf Hijaiyah berbentuk seperti orang bersila. Kaitannya adalah, kita harus mampu menekuk kaki kita agar tidak hanya lurus sehingga hanya berhenti di Alif. Al awwal dan Al akhiir adalah Alif, tetapi kita tidak boleh menjadi Alif. Ketika kita mempertahankan diri menjadi Alif maka kita akan menjadi Naar, ketika kita melakukan Wau maka akan menjadi Nuur (cahaya atau pepadhang). Contoh ketika panen, kita hanya berharap harga tinggi, untung besar dan tidak dikembalikan pada Bismillahirahmanirrahim dimana tujuan awalnya adalah tandur supaya bermanfaat untuk semuanya. Godaan tersebut yang mengganggu kita untuk susah mengenali kandungan rahasia dalam kekosongan (Kekosongan ambisi, kekosongan harapan, kekosongan rencana dan skenario, kekosongan dalam hal trik dan manipulasi hidup) menjadi jimakir atau suwung. Harus selalu kita ingat bahwa kita adalah abdi.
Jimakir atau suwung (nol, kosong). Ketika menjadi abdi, tidak perlu eksistensi sebagai tujuan, tak perlu membela ambisi pribadi, tak terpenjara pada tercapainya harapan pribadi, tak terkungkung oleh rencana dan skenario sendiri yang rapuh, tak perlu terbebani membuat sekian pola pembenaran, pengelabuan untuk mengakali hidup . Karena yang ada hanya Gusti Allah. Nol itu bukannya tidak bernilai sama sekali namun kita kembali pada batas-batas itu tadi. Bukan berarti dengan menjadi suwung atau nol lantas kita tidak lagi memiliki apa-apa, kita tetap punya pengetahuan dan karuania lainnya yang telah diterima, tidak lantas hilang terhapus namun kita kembalikan pada koordinat asal-usul dan penebaran manfaat sejangkauan kemampuan seperti yang Allah santunkan pada semua hambaNya siang dan malam.
Delapan windu adalah jatah standar siklus hidup manusia, kurang ataupun lebihnya merupakan bonus. Tetapi rata-rata adalah 8 windu yakni sekitar 64 tahun (catursat atau catur yam) Catur adalah 4 Sat adalah 6. Dan dibacanya terbalik dari 46 menjadi 64 seperti halnya Condrosengkolo. 64, 6 ditambah 4 adalah 10. Satu dan nol. Satu adalah Allah (Pencipta), nol adalah kita (Abdi). Angka tersebut juga berkaitan dengan Caturangga yang pernah didiskusikan, yakni permainan catur yang memiliki 64 kotak. Itulah hidup, kita bisa menjadi apa saja yang kita inginkan selain menjadi raja. Setelah tujuh tahap maka kita bisa memilih tetap menjadi pion, kuda, ster ataupun menteri dll selain menjadi raja.
TERAPAN WINDU
Kita sudah tidak terbiasa menggunakan istilah alif-ehe-jim-jimawal-dal-be-wau-jimakir namun kita bisa mengambil filosofinya. Artinya setiap 8 tahun jangan menjadi diri atau nafsu, sebab nafsu hanyalah satu piranti saja. Masih ada akal, pikiran, hati dst mengapa hanya menjadi satu saja. Dalam jatah 8 windu, kita diberikan bonus 2 windu yakni windu pertama dan kedua namun, menginjak windu ketiga maka sudah mulai berjalan. Agar kita memiliki langkah kecil yakni per 8 tahunan dan langkah besarnya adalah seluruh kehidupan kita. Itulah kakawin dan reridhu, tidak hanya kita diberi kesedihan namun juga kebahagiaan, kita tidak hanya diberi kesulitan namun juga diberi kemudahan.
Insya Allah nanti ketika kematangan jiwa kita menjadi lebih baik, maka tidak ada kesedihan dan kesulitan itu, karena itu semua adalah reridu untuk bertemu kepada cahaya. Ketika kita semakin hafal, bahwa itu adalah langkah untuk bertemu cahaya maka harus kita syukuri. Sedih dan susah itu tetap ada karena itu adalah karunia. Terhimpit itu boleh namun bukan untuk menjadi sebuah keputus asaan, inferior, tidak percaya diri sehingga seakan takut untuk menjalani kehidupan yang sudah diberi karunia oleh Allah. Karena kita sadar bahwa itu semua adalah butiran kehidupan agar hasta kita menjadi hasta brata. Brata berarti besar, keagungan. Hasta brata, berarti kesungguhan kita adalah kesungguhan yang agung karena dalam kehidupan kita dipertemukan dengan fenomena yang ditampilkan Alllah kepada kita bukan fenomena kekerdilan, kerendahan, kedangkalan dlsb. Segala yang ditampilkan oleh Allah pastilah diberikan untuk kita agar mengenal kebesaran dan keagungan Allah. Setelah mengenal, apakah kita tak ingin merunduk dan ngaku alit, mengaku kecil?
Hal ini bukanlah hal baru untuk manusia Jawa, namun sudah banyak yang melupakannya. Kromosom-kromosom kita sebenarnya sudah mencatatnya jadi ketika menerima hal seperti ini bukanlah materi yang sufistik, dll. Mengapa harus ada kita? Walaupun hanya ada Allah saja kehidupan itu sudah baik, damai, tentram. Sekecil apapun iman manusia, pasti akan diperhitungkan oleh Allah bahkan sebiji zarah pun. Indikator besar dan kecil salah satunya ialah dapat dihitung. Semilyar, setrilyun masih kecil karena masih dapat dihitung. Lalu, bagaimana cara kita menghitung karunia Allah yang sudah diberikan kepada kita, sehingga kita tidak diwajibkan untuk menghitungnya karena kita tidak mampu.
Kita semua disini adalah makhluk yang lemah, ringkih maka kita perlu untuk saling mendo’akan satu sama lain. Seperti yang diungkap oleh Mas Hajir di depan. Umar bin Khatab merupakan orang yang cerdas serta berprinsip, namun atas do’a dari rasulullah maka aliran beliau dari jahiliyah menjadi aliran Islam. Sebab pada masanya, beliau (Umar bin Khatab) bukan bergerak di bidang keburukan dan kejahatan, beliau hanya tidak menginginkan terjadinya ketidakseimbangan sosial, perang antar kabilah. Namun itu hanyalah versinya sebelum mendapat hidayah. Kita tahu bahwa Rasulullah tidak bisa membuka hati Umar bin Khatab, dan hanya Allah yang bisa, tetapi Allah harus memiliki alasan. Do’a dapat menjadi sebuah alasan. Oleh karena itu disini kita melingkar sambil saling mendo’akan agar masing-masing dari diri kita dijaga, dihimpun dan dikuatkan oleh Allah.
Sebuah pertanyaan dari Mas Tyo, apakah siklus windhu ini adalah sebuah PR untuk manusia?
Direspon oleh Mas Agus, bahwa lebih baik dianggap sebagai sebuah kurikulum yang berfungsi untuk mempermudah untuk memindai diri. Apakah lebih banyak di kakawin atau lebih banyak pada reridhu. Ketika lebih banyak pada reridhu maka perbanyak kakawin, ketika banyak kakawin maka dijaga.
Diskusi terus berjalan hingga pukul 01.00 WIB. Diskusi ditutup dengan do’a penutup oleh Mas Tyo. Usai ditutup kegiatan diskusi sudah tersedia nasi jagung lengkap dengan sayur dan lauknya. Makan dan merapat dalam lingkaran-lingkaran yang lebih kecil diringi tawa serta dengan bahasan-bahasan ringan.
Sekian reportase kali ini, semoga lebih bermanfaat dalam usaha kita meningkatkan pengetahuan dan mempermudah dalam melakukan pemindaian diri untuk evaluasi menjadi lebih baik. Amin.
Redaksi Gugurgunung – Andhika Hendryawan