Tatanan Desa Turun Temurun

keluarga

Pada pembahasan sebelumnya kita bahas tentang Desa yang beratutan dengan Paradise dan Firdaus. Kini kita mulai untuk memahami kondisi Desa yang sejak awal jaman dibangun hingga untuk diterapkan pada akhir jaman. Perubahan Desa secara fisik pasti terjadi, namun konsep utama desa atau kawasan sebisa mungkin tetap dipertahankan sebagai bagian dari memperjuangkan Sunatullah. Kenapa demikian? Sebab kawasan yang dihuni oleh manusia seyogyanya tidak terlepas apalagi melepaskan diri dari urusan langit.

Sejak mula, desa dibangun dengan konsep pertautan antara langit dan bumi. Sebab konsep kehakikian penciptaan dengan unsur Sukma, Jiwa, dan Jasad telah secara baik dipahami oleh leluhur kita yang memiliki pengetahuan bulat tentang sebuah kediaman atau kawasan yang sempurna bernama Surga. Kembali saya ingatkan untuk jangan terjebak menganggap bahwa kehidupan awal manusia itu primitif, dungu, kagetan, gumunan dan tak tahu apapun kecuali memenuhi urusan perut. Itu salah parah karena sama saja menuduh Nabi Adam AS sebagai yang pertama adalah sosok yang demikian. Justru dari sekian rentang peradaban, jika ada yang paling dungu, kagetan, gumunan, adalah peradaban kita saat ini.

Pengetahuan leluhur yang adiluhung memberangkatkan peradaban dengan keindahan, kebaikan, kebenaran, sebagai konsep dasar ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan segala hal pasti dengan unsur itu ; Baik, Benar, Indah. Unsur ini adalah unsur spiritual. Tidak membosankan dan senantiasa menebar menyalurkan inspirasi. Oleh sebab itu Sandang dirancang dengan konsep spiritual. Papan dibangun dengan konsep spiritual. Pangan dikembangkan dengan mengacu pada tatanan dan paugeran spiritual. Sehingga para leluhur kita seakan tidak mau menyia-nyiakan sejengkal tanahpun tanpa ada Tuhan padanya. Tak ingin mengabaikan peristiwa apapun tanpa ada andil Tuhan di dalamnya. Tak ingin membuang hal sepele apapun tanpa meminta ijin dan mempertimbangkan jauh ke depan sebagai tanggung-jawab perilakunya kepada Tuhan. Leluhur kita disebut luhur bukan karena sudah menjadi ruh-ruh gentayangan. Disebut luhur karena telah meruhani menjadi satu dengan spirit keluhuran akibat dari perilakunya di dunia yang senantiasa menjaga keluhuran.

Konsep Keluhuran inilah yang hendak terus diwariskan kepada anak turun hingga pada jaman kita saat ini. Ada istilah “Wong kang ngalah luhur wekasane” / Orang yang mengalah akan membekaskan keluhuran, “Budi luhur lembah manah andhap asor” / Budi yang luhur, dan rendah hati, “Wong luhur iku awit premono ing Kang Moho Luhur” / Orang luhur itu akibat dari ketelitiannya pada Yang Maha Luhur. Untuk menyusun skema keluhuran ini, dibuatlah beberapa lapis kepemimpinan untuk kemudian saling berpilin berjalinan pada kelompok sosial lebih besar.

Keluarga (Kulowargo)

Inilah pola paling fundamental yang akan memberangkatkan warganya melakukan perjalanan menemukan keluarga-keluarga berikutnya dalam ikatan dan pengalaman lebih luas dan terintegrasi. Oleh sebab itu, sejak bermula dari sini peraturan utama yang ditanamkan adalah kejujuran sebagai representasi sikap luhur. Setelah kejujuran, setiap keluarga akan menanamkan kegembiraan saling berbagi sebagai bekal kehidupannya yang kelak makin harus mengerti bahwa untuk dimengerti dan diperhartikan oleh Tuhan, maka harus mengerti dan memberi perhatian kepada makhluk ciptaanNya.

Konsep Tunggal, adalah pendampingan keluarga kepada anak usia dengan nomina angka Tunggal 1 – 9 tahun. Konsep yang diberikan adalah memahami anak bahwa karena usianya tunggal maka anak perlu diakomodir semestanya yang merasa menjadi ‘pusat semesta’, menjadi pihak yang harus mendapat predikat terbaik, memperoleh hadiah dan pujian terbaik, mendapat perhatian utama, dan mendapat pengakuan dari lingkungannya. Inilah yang perlu dipahami orangtua kepada anaknya pada fase usia tunggal. Selain itu, orangtua perlu membuat pagar-pagar (paugeran) agar dengan karakternya yang seperti itu, anak tetap bisa belajar tentang berbagi. Konsep ini akan terus berangkat ke fase usia berikutnya, yakni usia las-lasan usia belas kasih (kawelasan). Pada ‘pemerintahan’ keluarga. Bapak, atau BOPO, adalah sebagai ‘kepala negaranya’. Disebut Bopo karena Ubo lan Upo, Ubo itu ubet, obah, bergerak untuk memenuhi fasilitas keluarga. Upo adalah adalah Nasi, simbol pangan, Upo juga merupakan Upoyo, dimana Nasi yang didapatkan harus dengan usaha dan upaya yang baik, benar, serta indah, agar menjadi hidangan yang memberikan vibrasi dan kadar cahaya berkah yang besar bagi keluarganya.

Konsep Kawelasan, yakni untuk fase usia 11 – 19 tahun. Di usian ini anak sudah menemukan keluarga yang lebih besar. Demikan dahulu, ke depan kita lanjutkan pembahasan tentang Konsep Kawelasan dan ke atasnya.

TIM GUGURGUNUNG

04 Juli 2017

Desa – Paradesa – Paradise

Bodean – Ungaran, 7 Syawal 1438 H – 01 Juli 2017

Sebagai awal rangkaian tulisan tentang desa, maka ‘Desa’ adalah tema yang sangat tepat menurut saya untuk dikupas dan diurai. Namun sebelumnya saya mohon maaf jika atas keterbatasan pengetahuan, tema tentang desa yang saya ingin ajukan ini merujuk pada konsep Desa dalam khazanah leluhur Jawa. Selain Jawa, saya hendak menggunakan operator uraian dengan terminologi Islam sebagai bahan lain yang sama-sama akrab bagi semesta pemikiran saya. Ini bisa jadi akan tidak memuaskan bagi sedulur-sedulur yang bukan Jawa namun mudah-mudahan tidak sama sekali sia-sia sebab khazanah leluhur ini dalam hemat saya membawa nilai universalitas yang relevan bagi manusia manapun dan dari suku bangsa apapun di belahan bumi ini.

Apalagi dalam tema per tema ini diam-diam saya juga ingin menyampaikan bahwa para pendahulu kita adalah sekaligus pendahulu bangsa-bangsa di seluruh dunia. Pendapat ini bukan tanpa alasan. Ada 3 alasan untuk menengarai hal ini. Yang pertama pendekatan linguistik (Bahasa), kedua bukti arkeologis, dan ketiga kualitas manusia atau genekologi.

Pendekatan Linguistik (Rekaman Peradaban)

Pendekatan Linguistik atau penelusuran sejarah melalui fenomena Bahasa sebagai alat rekam peradaban. Perlu diketahui bahwasanya Bangsa kita menyebut diri sebagai Bangsa Kawi dengan Bahasa Kawi sebagai alat komunikasinya. Bahasa Kawi disebut demikian karena Bangsa ini merupakan Bangsa Kawitan (awal). Bangsa wiwitan (yang memulai peradaban), dimana Wiwitan ini kemudian juga menjadi Wetan, nama arah tempat mula matahari terbit yakni Timur. Jika Anda pernah mendengar istilah ‘Peradaban dimulai dari timur’ maka di sinilah Timur itu. Negeri Kawitan, Bangsa avant garde (wiwitan), dengan manusia-manusia Kawi sebagai penghuninya.

Apakah manusia Kawi itu? Kawi dalam Bahasa Kawi maupun Bahasa Sangsekerta memiliki banyak arti, antara lain : Pujangga, Penyair, Syair, Penembang, Cerdas, Cerdik, Pandai, Bijaksana, Matahari, Intelektual, yang diberi karunia, yang memiliki pengetahuan, tercahayai dan lain sebagainya yang pada intinya membawa ciri keunggulan, keindahan, dan kelebihan. Dengan arti yang sebegitu agung, tentunya tidak akan sembarang bangsa berani menamakan diri sebagai bangsa kawi jika hanya sebagai bangsa peniru apalagi pengekor. Justru Bahasa Kawi yang ketika itu hanya bisa dipahami dan digunakan oleh orang-orang Kawi menjadi kontributor besar untuk Bahasa Sangsekerta. Sebab, Bahasa Kawi ini kemudian digodok, dimasak, siap saji dengan yang kemudian lahir sebagai Bahasa Sanskrit/Sansekerta/Sangsekerta. Padahal Bahasa Sangsekerta itu sendiri menurut pada ahli sejarah sudah merupakan Bahasa paling tua yang usianya hampir seusia bahasa itu sendiri. Penjelasan ini memberi bahan konsiderasi, jangan terus beranggapan bahwa bahasa Sansekerta adalah bahasanya orang India dan kita terpengaruh olehnya. Buatlah kemungkinan lain tentang asal-usul yang kemungkinan justru sebaliknya, kitalah yang menginfluensi dan menginspirasi bahasa, tata nilai, dan lain sebagainya kepada bangsa-bangsa lain. Sedikit intermeso, boleh percaya boleh tidak : jika ingin mengetahui berapa banyak bangsa di seluruh muka bumi ini terpengaruh dari peradaban kita, lihatlah apakah bangsa itu mengenal permainan catur, jika iya maka pengaruh leluhur kita telah sampai disana. Kembali ke pendekatan linguistik.

Pendekatan ini menggunakan pendekatan melalui bahasa, yang menimbulkan getaran rohani. Contoh gemericik air yang membawa suasana tentram. Ini soundscape (kita hidup di wilayah / skup suara). Suara yang terjaga dan terus senantiasa memberikan makna. Suara disini dapat di kategorikan suara yang terjasad dan tidak. Dimana suara jasad mampu diterima melalui frekuensi yang mampu diterima oleh jasad (telinga). Namun ada suara yang langsung menembus masuk di wilayah non jasad. Yang dimana peradaban tua mampu memadukan 2 jenis suara ini menjadi sebuah bahasa. Bahasa masyarakat Purwa, masyarakat pembuka, masyarakat peradaba awal. Peradaban tua.

Sebagai peradaban tua yang akan mengawal peradaban berikutnya maka ada syarat yang harus dijunjung yakni menjadi inspiration & prototype. Jadi peradaban tua itu tidak main-main, dia harus menjadi inspirasi untuk peradaban setelahnya dan menjadi prototipe bagi peradaban setelahnya. Untuk membawa itu dia harus menjadi cahaya (LIGHT) yang terdiri dari Love (membawa cinta keindahan, rasa kasih sayang, dll), Inspiration (menginspirasi, mendorong seseorang untuk tumbuh), Greatness (membawa keagungan), Highness (membawa keluhuran), Top (totally, kafah, kavi, puncak) yang dimana kesemua itu berujung atau tersambung ke istilah yang disebut “Kawi”. Our ancestors are a light society. Para leluhur kita adalah masyarakat cahaya.

Makna kawi itu sendiri salah satunya adalah inlightned yang artinya tercahayai. Karena tercahayai maka dia adalah makhluk cahaya/manusia cahaya. Manusia-manusia yang menjadi inspirator dan prototipe peradaban berikutnya adalah yang mencahaya. Jadi kesadaran utama peradaban leluhur kita adalah cahaya, adalah makhluk ruhani yang sedang diperjalankan dengan sangat sementara sebagai makhluk dengan jasad. Untuk itulah maka setiap kebijakan dilandaskan pada pertimbangan ruhani. Cara berpakaian, cara mengatur alam, cara mengemban sesrawungan, cara memperlakukan kejadian baik dan tidak baik, cara bikin rumah, cara mengelola kebutuhan pangan, semua. Bahkan cara bersenang-senang pun tetap dibatasi dengan adab spiritualitas. Semuanya dengan berpihak pada cara pandang ruhani. Termasuk bagaimana membangun kawasan pemukiman atau desa. Dimana ‘desa’ bisa untuk wilayah luas maupun wilayah kecil. Apapun yang berarti kawasan disebut sebagai ‘desa’.

Untuk bukti arkeologis, dan kualitas manusia atau genekologi diperlukan bahasan khusus dalam tulisan terpisah.

Tiga Pilar Utama Desa

– Spiritual

– Pemikiran/Jiwa/Ideologi/Pranatan – Memayu hayuning bawono

– Sandang, Pangan, Papan

Disini kesadaran yang perlu kita bangun adalah teknologi pemikiran, semuanya harus mengacu kepada spiritual. Desa akan dipimpin oleh seseorang yang mumpuni dalam mengawal masyarakat di bidang spiritualitas, yang disebut : Sesepuh, Kamituwo, Pinisepuh, Kabuyutan. Selain itu, juga akan didampingi oleh pemimpin yang mengawal di bidang teknis, ideologis, yang disebut Lurah untuk mengatur secara formal struktural. Pemimpin ini menjalankan dan menjadikan nasehat kabuyutan sebagai acuan kebijakan. Yang ketiga, pemimpin yang mengatur urusan sandang, pangan, papan, pada wilayah sektoral. Pemimpi ini disebut Dukun/Dukuh/Dusun.Ia bertugas mendampingi Lurah yang tidak selalu bisa di lapangan mendampingi masyarakat secara langsung. Kini istilah Dukun/Dukuh/Dusun sudah terdistorsi makna dan penggunaannya. Inti dari struktur pranatan ini adalah : menjelitakan alam semesta yang telah cantik, memayu hayuning bawana.

Tiga Jalinan/Ukhuwah Desa

– Tuhan – Manusia – Alam

Manusia berada di tengah-tengah dari pendekatan ini, dengan harapan hubungan persentuhan dan perkenalan antar manusia dengan alam ini akan mengacu kepada Tuhan. Makanya di peradaban kita mengenal istilah Begawan dan Prabu. Begawan dan Prabu adalah manusia terpilih yang dianggap representatif terhadap kehendak Tuhan (kalimat, pitutur solah bowo, perilaku) itu selalu terjaga dalam adab spiritual yang suci. Karena dia terjaga, dia menjadi yang dianggap suci. Karena dianggap suci, kesucian itu bukan milik makhluk. Kesucian itu sendiri hanya milik Tuhan bukan milik makhluk. Untuk menghormati kesucian orang tersebut, orang tersebut disebut sebagai Begawan/baghwan atau juga disebut prabhu. Begawan lebih ke uluhiyah nuansanya, sedangkan Prabu lebih ke wilayah rububiyah. Jadi ada Ilah dan ada Robb. Begawan akan mendampingi masyarakat dengan Candi dan Mandira (peribadatan). Prabu mendampingi masyarakat dengan Kotapraja, Singgasana (pemerintahan).

7 Manunggal

Jalinan Tuhan-Manusia-Alam ini menuju untuk menjadi Janma atau insan. Manusia berdiri tanpa Tuhan dan alam bernama jalma (belum lahir). Ketika kita sudah menjalin Tuhan dan alam, yang berlaku di dalam prilakunnya, ini menjadi janma/lahir menjadi insan. Dimana insan ini harus meracik dirinya dari mengelola ego hingga pengabdian. Sangkan paraning dumadi.

Konsep bermula dari ‘ada’ hingga ‘mengabdi’ (7 trap) bisa juga dijumpai pada beberapa sumber. Dalam sudut pandang Islam ada, pada Hindhu pun ada. Ada juga konsep cakra ( I am, I feel, I think, I love, I speak, I see, I understand), Juga bertaut kepada konsep cahaya yang tadinya utuh, tunggal, satu, putih, memecah menjadi 7 : (Mirah, jingga, kuning, hijem, milangit, wulung, wungu). Ketika mampu menjalinkan menjadi satu kembali warna-warna cahaya yang berbeda-beda itu, maka dia akan kembali menjadi utuh (Futuh, Fatih, Fatah, Fatihah, Al Fath). Desa yang utuh adalah desa di atas desa, yakni desa yang bukan hanya subur dan kaya namun juga dihuni oleh masyarakat yang mendapat Pangapuro dari Tuhan karena senantiasa menebarkan kedamaian, kemanfaatan, dan penataan yang tidak menyimpang dari kehendak Tuhan. Inilah Paradesa : Desa di atas Desa yakni desa yang dihuni oleh manusia cahaya, saling mencahayakan, saling memancarkan keindahan, kesejukan, senang berbagi, mirip seperti yang Anda lakukan di grup ‘Kangen Desa – Rindu Kampung‘, masing-masing ingin mengabarkan keindahan dan berbagi ketentraman meskipun baru melalui foto, ini adalah kabar baik sebagai indikator bahwa Anda merupakan pewaris manusia-manusia cahaya yang selalu ingin menyuguhkan keindahan, mempersembahkan kesejukan, mengabarkan ketentraman, menebarkan suasana damai dan penuh berkah. Jika hal seperti itu bisa ditampilkan dalam hidup bermasyarakat niscaya Anda akan merasakan tinggal di Paradesa, dimana ‘Paradesa’ inilah yang dikemudian digunakan oleh bahasa Inggris menjadi paradise yang diartikan : Surga. Bahkan Paradesa ini pun terekam dalam Kitab Suci Al Qur’an[1] dan juga Hadist Nabi dengan sebutan : Firdaus. Firdaus pula yang menjadi acuan Nabi Adam dalam mengkhalifahi kehidupan di dunia. Maka konsep Paradesa merupakan konsep Bumi pada awal peradaban dan resmi bersambung kepada konsep kemasyarakatan Langit sebelum manusia diturunkan ke muka Bumi.

[1] Surah At –Tahrim 66 : 11 Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.

Surah Al Mu’minuun 23 : 8 - 11 Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

Surah Al Kahfi 18 : 107 Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal,

TIM GUGURGUNUNG