majlisgugurgunung:: Sesungguhnya, meskipun dikatakan 5 perkara ini ditujukan bagi pria Jawa. Ternyata setelah dikupas, tak ada satupun yang menunjuk jenis kelamin.
- WISMO
Cumawis lan Momot
Seorang pria, belum disebut pria sejati jika belum memiliki Rumah/Wisma. Namun Wisma yang dimaksud adalah kondisi mental seseorang yang mampu menjadi tempat persinggahan bagi oranglain. Mau dan mampu menerima. Semakin seseorang ini memiliki kondisi mental yang matang untuk mampu menerima oranglain maka kehadirannya bagai rumah bagi banyak orang yang ingin ikut singgah. Oranglain tidak memandang kehadirannya sebagai pihak asing, melainkan pihak yang seperti sudah dikenalnya sebagai tempat aman untuk berteduh. Semakin besar ‘rumah’ seseorang, semakin banyak orang merasa terlibat sebagai penghuninya.
Syarat utama bagi seseorang yang memiliki Wismo, dirinya senantiasa tersedia (cumawis) dan menampung (momot). Apa-apa saja yang dituntut secara primer ketersediannya adalah hal-hal yang bersifat rahman. Dan apa2 saja yang dianjurkan kemuatannya adalah hal-hal yang bersifat Rahim. Nah bentuk Rahman dan Rahim disimbolkan dalam susunan sebuah wisma, dimana di situ ada pendopo hingga gandhok.
Pendopo berkarakter Rahman, tempat berkegiatan seni dan budaya, rerembugan, dlsb. Kasih Sayang yang luas. Begitu pula dalam hidup, hal utama yang dikedepankan kepada oranglain sebisa-mungkin tentang gelaran interaksi seni dan kegiatan budaya. Pergaulan yang dilandasi keluasan kasih sayang. Oleh sebab itu, pendopo diletakkan paling depan sebelum ke wilayah private (omah ageng).
Hal-hal yang diutamakan di wilayah ketersediaan (cumawis) adalah ketika menjunjung nilai Rahman. Tersedianya Badan untuk membantu dengan tenaga, bersedia Akal untuk membantu di wilayah pikiran. Hal-hal yang diutamakan di dalam kapasitas memuat (momot). Menampung keaneka-ragaman dengan ketersediaan Nurani untuk mengkontribusi perhatian dan kasih sayang secara mendalam. Bersedia menerima siapa saja dan apa saja asal adil dan bermartabat. Jadi cumawis itu bobot sosial, dan momot adalah bobot spiritual.
- KUKILO
Aku iki lilo
Kukilo berarti burung, satu hal yang paling identik dengan burung ialah suara, dan terbang/sayap. Dalam kukilo, ide ini diletakkan pada burung perkutut (kutut) sebagai simbol. Sebab, Kutut juga bermakna ‘aku tutut’ (aku menurut/taat). Ada dua macam jenis burung, yakni burung yang berkicau (peksi) dan burung yang manggung (kukilo). Meskipun kedua kata ini tidak selalu dipakai untuk membedakan golongan keduanya. Kukilo juga sering dipakai untuk menyebut burung oceh2an, dan peksi juga tidak jarang dipakai untuk menyebut burung yang manggung.
Karena bahasan ini ingin menggapai makna lebih dalam, anggap saja kita sepakat untuk mengelompokkan bahwa kukilo hanya untuk burung yang manggung. Kukilo yang baik adalah burung yang manggungnya baik. Burung kutut dianggap paling memiliki kemampuan manggung yang indah dan berkarakter. Burung dara juga manggung, burung Puter juga manggung, burung Deruk juga manggung. Namun, secara kedalaman dan sentuhan spiritual, Kutut-lah yang dipilih sebagai burung manggung paling berkelas. Dalam kelas Kutut pun masih ada kelas-kelas lagi. Ada Kutut yang manggungnya biasa (lajer) ada juga yang berirama ‘Lar Keteg Gung’. Bagi yang Kutut yang memiliki suara ‘Lar Keteg Gung’ nilainya tinggi. Apalagi jika ‘Gung’-nya terulang sampai 3 kali. Itu semua bermula dari gagasan tentang pengelolaan diri priyo utomo yang ditanamkan untuk mempuni menjalani hidup dengan keteladanan.
Suara :
Seorang priyo utomo setelah memiliki kecerdasan bebrayan dengan membuka diri dengan prinsip wismo. Selanjutnya ditingkatkan kualitas bebrayannya dengan mengambil pilihan kata yang baik. Kata yang terdeliveri melalui suara hendaknya memancarkan kandungan spiritualitas bagi dirinya sendiri maupun bagi pendengarnya.
Kata-kata auditif ini dianjurkan untuk menjelma menjadi bentuk ketaatan. Yang keluar dari mulut tak menguap tanpa makna, namun terbang menembus ruang keagungan (Lar : terbang/sayap, keteg : sampai, Gung : Yang Agung). Maka dengan demikian Sami’na wa Atho’na diaplikasikan dalam Kukilo. Mendengar dan Mentaati, terkadang posisi mengatakan sesuatu juga perlu menjunjung posisi sebagai pendengar. Apa sekira yang ingin didengar oleh pendengar, apa sekira yang tak ingin didengar oleh pendengar. Dengan ‘tepak sariro’, pihak yang menyuarakan sesuatu menempatkan diri dengan perasaan si pendengar. Tentunya akan sulit mengetahui apa yang ingin dan tak ingin didengar oleh lawan bicara. Maka bukan dalam selera yang dikejar, melainkan ketaatan pada ‘suara’ baik Gusti Allah yang hendaknya diperdengarkan. Tentunya akan sulit mengetahui apa yang ingin dan tak ingin didengar oleh lawan bicara. Maka bukan dalam selera yang dikejar, melainkan ketaatan pada ‘suara’ baik Gusti Allah yang hendaknya diperdengarkan.
Sayap :
Di atas sudah disinggung tentang hubungan ‘Lar Keteg Gung’ dengan sayap. Seperti kita ketahui bersama, tidak setiap sayap bisa digunakan untuk terbang, dan tidak setiap selalu sesuatu yang terbang dipersyarati dengan sayap. Ataupun bisa juga bahwa setiap penerbangan selalu dengan sayap, sayap yang bukan sebagai kata benda, melainkan sebagai kata sifat. Ikan terbang menggunakan siripnya sebagai sayap. Tapi ketika berenang di dalam laut, tidak lazim disebut bahwa ikan terbang sedang menggunakan sayapnya sebagai sirip.
Ketika sayap dimaknai sebagai kata sifat, maka bukan hanya ikan terbang yang masih diperangkati tool jasad bernama sirip. Ada benda2 lain yang sama sekali tak punya sayap namun tetap bisa terbang, seperti daun kering hingga debu.
Ada lagi sesuatu yang tak terbang namun disebut bersayap. Misal ungkapan “kata-kata di dalam lagu-lagu Letto sarat makna dan bersayap”. Atau dengan maksud senada “Ayat Al-Qur’an itu memiliki pilihan kata yang bersayap”. Jadi, begitu pula dengan kalimat-kalimat, untaian kata-kata yang keluar menjadi suara. Ketika merujuk pada cara Gusti Allah menyampaikan sesuatu melalui Al-Qur’an, berarti cara paling baik ialah menyesuaikan kapasitas penerima suara namun tidak bermakna satu hal saja. Kata-kata sederhana berguna untuk dicerna pihak-pihak yang berfikir sederhana, namun kata-kata sederhana tersebut makin ditemukan perkembangan keluasannya ketika dicerna lebih dalam. Ibarat sayap yang makin mengembang makin tampak bulu-bulunya.
Dalam masyarakat Jawa, soal sayap makna ini terangkup dalam ilmu purwakanthi (di majalah Sabana pernah sedikit disinggung dalam tulisan berjudul ‘pemuda dalam perspektif wayang Jawa’).
Kalimat bersayap tidak harus njlimet dan membingungkan orang. Saya ingin mengambil contoh satu ayat di dalam Al-Qur’an “apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?”. Atau “Sudahkah sampai kepadamu kisah Musa?”. Di kedua ayat di atas (mengacu pada terjemah, blm akar kata Arabnya) bisa mengembang
menjadi sekian rentang bulu2 makna. Dengan kalimat tanya di atas bukankah bisa menjadi :
“Sudahkah sampai pesan Kalimullah kepadamu?”
“Apakah Kalimat Allah telah sampai kepadamu?”
“Apakah Allah telah menyampaikan perkataanNya kepadamu?”
“Apakah sudah kamu dengar kalimat Allah untukmu?”
… Dan lain sebagainya. Dalam bulu-bulu permaknaan itu pun masing-masing memiliki penekanan yang berbeda-beda. Dengan merentangkan makna ayat di atas, ketika kalimat sederhana bisa menjadi sayap yang rentangannya luas.
Untuk tafsir dari kedua ayat di atas perlu lebih bersabar karena sangat penting mempertimbangkan kandungan akar kata dan sejarahnya. Kembali ke sub tema Sayap. Siapapun, bagaimanapun caranya, dengan kalimat dan susunan bahasa apapun, memiliki posisi untuk menyampaikan kebaikan dan menerbangkan kalimatnya menjadi pasangan keagungan. Bukan pada susunan kalimatnya, susastranya, ornamen dan kembang2nya, yang disebut bersayap, namun apakah kalimat2 itu terbang atau menguap, menuju keAgungan atau kerendahan? Mencapai kemaslahatan atau kemudharatan?.
Manggung.
Ada pada diri masing-masing orang untuk berkecenderungan tampak oleh oranglain. Lebih hebat lagi tak hanya tampak namun juga terkenal. Tak hanya terkenal namun menjadi pusat perhatian banyak orang. Tak hanya pusat perhatian banyak orang tapi diikuti oleh semua orang. Apa sesungguhnya spirit yang melatarbelakangi kecenderungan ini? Sesungguhnya manusia secara bawah sadar telah mengakui bahwa gerak-gerik dan tingkah lakunya ada yang memperhatikan. Ada yang mengawasi. Ada yang menyaksikan. Semakin seseorang mencoba mencari siapa yang mengawasinya dengan ukuran-ukuran kasat mata, semakin seseorang menjauh dari hakekat pengawasan. Semakin seseorang menyingkir dari kesaksian makin dirinya tak menyadari siapakah yang mengikuti dan setia menyaksikannya.
Itulah yang terjadi sekarang ini, berbondong-bondong orang mencari cara untuk mendapatkan ruang untuk disaksikan, dikenal, dan dipuja-puji sebanyak-banyak orang. Setiap orang rindu mengenali panggungnya untuk bisa berekspresi. Ini juga yang sejak semula coba dipagari oleh termin kukilo. Dalam hal manggung, seseorang dianjurkan menjaga sikapnya, lidahnya, melatih perasaan dan hatinya ; “ajining rogo dumunung ono ing busono, ajining diri dumunung ono ing lathi, ajining jalmo dumunung ono ing panggraito”
Jadi, meskipun tidak di mimbar, tidak di atas pentas, seseorang tak kehilangan panggungnya. Dirinya masih tetap manggung dengan menjaga sikapnya dan segala sesuatunya seakan seluruh manusia mengawasi dan menyaksikannya perform di atas panggung.Pada keadaan tertentu, makin seseorang mencapai tingkat matang dalam mengimplementasi “aku iki lilo” makin jelas panggung tempat dirinya menampilkan diri. Ketika kontrol sikap seseorang secara bulat tertambat pada kualitas shahadahnya, kesadarannya akan kesaksian kepada Gusti Allah dan Rasul Muhammad sebagai utusanNya. Kesadaran bersaksi ini menjadi syarat mutlak untuk mengakurasi kesaksia Gusti Allah kepada dirinya. Semakin pandai seseorang bersaksi, semakin besar pula Kesaksian Allah kepada dirinya dan seluruh tindak tanduk lahir bathinnya.
- TURONGGO
Aturing Onggo.
Setelah Kukilo, pijakan bahasan adalah pada anjuran perkataan auditif yang baik dan bermakna sehingga mampu menggapai pada ruang keAgungan(Nya). Maka pada poin Turonggo ini, akan berlanjut pada jenis komunikasi yang tampak (visual).
Pada dasarnya, jenis perkataan di dunia ini hanya ada 2. Yakni perkataan suara (audio) dan perkataan visual. Perkataan visual adalah perbuatan, amalan yang bisa ditangkap indra manusia, entah sebagai teladan atau sebagai gunjingan. Dalam banyak hal, perkataan visual ini lebih indah dan menyenangkan untuk diterima.
Seseorang yang ‘dinasehati’ tidak sedang dituding-tuding atau dikuliahi. Seseorang yang ‘dinasehati’ merasa sedang menasehati dirinya sendiri yang beranjak kesadarannya melihat sebuah peristiwa yang dia amati sendiri dan ditemukan hikmahnya sendiri. Itulah cara bernasehat yang paling diinginkan manusia. Tidak ada paksaan dan tidak pula digurui. Manusia ingin mengalami menggapai sendiri pengetahuan yang bukan hasil tuangan teori oranglain, melainkan ingin menuangkankan diri dalam kehidupan sebagai bagian ayat Gusti Allah yang memperkatakan sesuatu (baik secara audio ataupun visual) secara otentik. Dari sekian banyak yang menghampar untuk menjadi simbol perkataan visual. Kenapa kuda yang dipilih, sepertinya bukan asal-asalan. Bahkan pilihan kata Turonggo untuk menyebut kuda pun bukan tanpa makna.
Turonggo, adalah kendaraan yang disepakati tanpa ada konvensi global untuk menyepakati kuda sebagai alat transportasi. Belahan bumi yang beragam iklim, cuaca, geografi, telah tiba-tiba menyepakati untuk menggunakan kuda sebagai fungsi yang sama. Karena tiap-tiap adalah bacaan, karena tiap-tiap titah itu menyampaikan sesuatu, sebagian besar orang di bumi adalah pihak yang dianjurkan membaca dan mengamalkan kembali bacaannya dalam kehidupan.
Bahwa dalam membaca satu obyek, seseorang yang satu dengan satu orang yang lain yang berada pada jarak yang sangat berjauhan baik jarak ruang maupun jarak waktu, mereka bisa menghasilkan kesimpulan bacaan yang sama atau mirip. Jadi bahasa visual adalah bahasa universal.
Termasuk dalam melihat kuda. Apa yang dibawa kuda ditangkap secara impresif fungsi dan kelebihannya. Kelebihan kuda bukan pada susu, bukan pada daging, namun tenaga yang baik, kecepatan yang baik, estetika bentuk yang baik, dan kegagahan yang mempesona.
Kenapa manusia berkecenderungan kagum pada tenaga atau kekuatan?
Kenapa manusia lebih terdorong untuk menggandrungi kecepatan?
Kenapa manusia berkecenderungan menyukai estetika bentuk yang indah?
Kenapa manusia cenderung terpesona pada kegagahan?
Karena manusia memiliki kecenderungan memilih menjadi yang terbaik. Terbaik adalah kekuatan dlsb.
Karena manusia memiliki getaran bawah sadar bahwa kehidupannya di dunia adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Getaran bawah sadar ini mendorong pada sikap seseorang untuk menjadi yang terbaik. Untuk tampak terbaik harus ada ukuran-ukuran. Untuk diakui sebagai yang terkuat harus ada yang lebih lebih lemah. Untuk diakui sebagai yang tercepat harus ada yang lebih lemah. Untuk menjadi yang tergagah harus ada yang lebih mbiyeyet. Kemudian agar skala itu adil, maka dorongan untuk menjadi yang ‘ter’ ini terukur pada satu fenomena lomba. Lahirlah banyak perlombaan yang terus dikembangkan dengan memakai tolak ukur-tolak ukur tersebut.
Pada titik seperti ini, manusia telah melupakan getaran lembut di dalam hatinya tentang berlomba-lomba dalam kebaikan. Yang terjadi justru berlomba-lomba dalam eksistensi. Terminologi ‘TURONGGO’ bermaksud mengingatkan kembali hubungan fitrah tersebut dalam bentuk prilaku utomo. Kuda yang memiliki kekuatan tak bertanding melawan kekuatan dengan kambing. Kuda yang memiliki kecepatan tidak dipakai untuk bertanding dengan sapi. Kuda yang memiliki kegagahan tidak memperbandingkannya dengan babi. Semua potensi kuda dipersembahkan bagi kehidupan untuk membantu kehidupan berjalan lebih kuat, lebih cepat, lebih gagah dalam kebaikan.
Demikianlah, kita diajarkan oleh kuda yang menyediakan badannya untuk mempermudah urusan orang. Kuda berkata-kata dengan fungsinya, bukan dengan lesannya. Dan perkataan fungsi ini langsung menembus batas bahasa, budaya, bahkan agama. Bahasa yang dimengerti semua kalangan dan latar belakang.
- CURIGO ~ Pusoko ~ Keris
Sepuh Wutuh Tangguh.
Curigo di sini bukan ‘Curiga’ dalam bahasa Indonesia. Curigo adalah sebutan lain kepada Keris. Bagi pria utama Jawa, memiliki pusaka adalah salah satu syarat utama yang harus dipenuhi. Pusaka itu Empuning Saka. Empu itu seseorang yang menempa sesuatu secara lahir dan bathin. Saka itu tegak/cagak/tiang/sangga. Jadi Empuning Saka adalah seseorang yang memiliki keahlian dan kematangan lahir bathin untuk menegakkan pengabdian/menyangga titah/menjunjung peran kekhalifahan.
Prinsip ini disimbolkan pada keris. Seorang pembuat keris disebut empu bukan pande besi atau tukang keris. Karena untuk melahirkan keris memerlukan penyeimbangan kondisi bathin yang baik. Keris sebagai benda hanya produk, tapi keris sebagai pusaka adalah harmonisasi estetika bathin yang mengejawantah pada estetika sebuah keris.
Pada seseorang, Pusakanya adalah Nafasnya. Pancaran nafasnya bisa menyeruakkan pamor keteduhan ataupun pamor ancaman. Nafas adalah kegiatan paru2 pada ruang yang bernama iga. Pada ruang ini ada jantung pula. Maka Curigo juga memiliki jarwa ;Pancuring Igo (pancaran nafas/nafs/diri) yang terefleksi pada pamor seseorang. Yakni akhak sebagai akibat dari tata kelola lahir dan bathinnya.
- WANITO
Wani noto – Wani ditoto
Dalam poin ke lima ini, kecenderungannya sepintas adalah tema gender. Padahal sekali lagi, ‘wanito’ dalam hal ini mengurai banyak pesan dan untuk bisa memahami maksud dari kandungan wedharan tentang Wanito ini, digunakanlah sosok wanito sebagai simbolnya. Lantas mana yang lebih dulu, wanito yang makna dan wanito yang jenis kelamin? Adalah bersama. Meskipun ruhani pasti akan lebih dulu ada daripada jasadnya. Namun jasad dan ruhani ini perlu disatukan oleh sanubari jiwa cinta dan pengasuhan dan pengayoman. Keberanian menata dan berani ditata merupakan rumpun dari anjuran kekhalifahan. Wani itu bukan tentang konfrontasi kepada lawan, namun keteguhan. Bukan soal tidak takut tapi tentang baik sangka kepada alur rancangan Tuhan. Bahwa ketika menjalani alur itu ada ketakutan, kekhawatiran, nanar, jalannya bukan untuk dihindari dan mencari jalan lain, melainkan mengupas dan mengurai betul timbangan keberadaan Tuhan.