Sore memungkasi diri dan peran pengawal waktu berikutnya diambil alih oleh petang. Petang diserap dari kata ‘peteng’ yang artinya gelap. Belum malam bukan lagi sore namun sudah gelap. Inilah awal waktu perpindahan dari siang menuju malam, dari terang menuju gelap. Kondisi perpindahan ini dianjurkan untuk berada di rumah, memagari hidup. Rumah disini tidak selalu bermakna harafiah sebab, dimana disitu ada fenomena perlindungan, kasih sayang, saling menjaga, saling membantu, saling mengingatkan dan wasiat mewasiati dalam kebaikan dan sabar, maka itulah rumah. Hunilah rumah yang seperti ini dan pagari dari invasi tradisi rumah yang lain, yang senang bersolek, berhias, dan memajang kekayaan, inilah tradisi rumah jahiliyah.
Perbedaan tradisi Jahiliyah dan bukan terletak pada niat dan tujuan akhir. Keduanya sama-sama saling melindungi, saling menyayangi pula, saling mengingatkan juga, namun bukan dalam hal kebaikan dan sabar melainkan dalam hal penguasaan dan membumbungnya pamor di mata manusia. Maka tradisi ini gemar sekali memperlihatkan kehebatan dan sangat berkepentingan membuat oranglain tersingkir, kalah, ataupun tersisih, karena memang tolak ukurnya dari nasib oranglain. Sangat wajar jika kemudian disebut sebagai kegelapan dan kebodohan.
Mawas diri kepada pada petang adalah mempertahankan tradisi keluarga rumah cahaya yang justru mulai makin menyeruak dan bekerja ketika malam mulai datang. Saat petang adalah saat mewaspadai diri, mempersiapkan diri agar tidak melewati malam dengan terhasut untuk menambahi kegelapannya.
PETUAH PETANG KEPADA HATI
Jikalah kau susah sekali menemukan cara
Untuk melihat hatimu
Maka temukanlah pada perempuan
Yang kau anggap layak dicintai
Dimana kau tak peduli jarak dan terjal mendaki
Kau mampu temukan keindahannya
Kepedulianmu hanya satu, tak rela membuatnya kecewa
Tak minat membuatnya terluka
Dan nikmat merasakan derita untuk memastikan ia bahagia
Begitulah hatimu mencintai
Namun ia sering bertengkar dengan syahwat dan logika
Untuk menghitung tinggi rendah dan imbal balik
Jika syahwat yang menang, perempuanmu kau nodai
Jika logika yang menang, cintamu menjadi transaksi
Jika hatimu yang menang, mungkin kamu sedikit menangis
Tapi semua yang kau sayangi tersenyum bahagia dan tentram bersemayam dalam keteduhan
Agus Wibowo