BAHTERA DAN SATWA
Nabi Nuh tetap menyayangi anak-anaknya baik yang menentang maupun yang mendukung, namun ada kadar cinta yang kemudian berbeda. Karena Sang Ruhullah adalah utusan Allah, iapun secara otomatis mencintai pihak yang mencintaiNya pula. Ia mengampuni kesalahpahaman anak-anak yang menentangnya. Sebab beliau tahu bahwa tentangan anaknya diakibatkan karena ketidaktahuannya. Tugasnya untuk melanjutkan hal yang lebih besar masih terhampar di depan mata. Sang Nabi tak ingin tugasnya terhambat pada kerikil-kerikil kecil urusan rumah-tangganya sendiri.
Bahwa sesungguhnya tidak ada satupun manusia yang mau tunduk kepada manusia lain. Kecuali orang tersebut memiliki kadar ketuhanan yang baik. Semakin baik kadar ketuhanan seseorang, semakin yang dekat tergerak merunduk yang jauh seakan bersimpuh. Kadar ketuhanan inilah yang menjadi acuan tatanan utama di Jaman Nabi Nuh. Pemimpin luhur adalah pemimpin yang mampu menata dan mengajak masyarakatnya memiliki etos menyempurnakan akhlak. Masing-masing bisa memulainya dengan hal apapun yang menjadi kegemaran dan kegembiraannya dalam melakukan aktifitas. Namun segala kegemaran dan kegembiraan itu tetap dalam acuan untuk menyempurnakan akhlak.
Namun ternyata ada penyelewengan dan penyalahgunaan. Sang pemimpin yang memiliki etos melayani dan mengayomi masyarakat salah menterjemahkannya. Ia menjadi memanjakan dan mengapresiasi apapun kehendak masyarakat tanpa batas. Maka ia kehilangan ‘Noto’ karena tak mampu lagi menata metode yang merangsang perbaikan akhlak. Ia malah termasuk orang yang menyelenggarakan pembiaran dan menjauhkan masyarakat dari rasa kemanusiaan yang berbudi luhur.
Hal ini membuat sang Nabi merasa gelisah dan diliputi rasa bersalah. Hingga sejauh ini tak banyak yang meminati anjurannya. Hanya beberapa orang saja. Padahal jaman sudah mulai menunjukkan tanda-tanda ketidak-seimbangan. Sepertinya waktu begitu cepat memberi tenggat. Ia merasa alam sudah akan segera mengambil sikap jika tidak segera ada perubahan dari manusia. Pilihan sang Nabi adalah prioritas, ia tidak bisa terus menemani orang-orang yang tak lagi mau diingatkan dan diajak pada kebaikan. Semuanya telah berada pada kebenarannya masing-masing yang tak dapat diganggu gugat. Maka Nabi Nuh pun segera mempersiapkan sesuatu untuk menyelamatkan ummatnya jika sesuatu yang sangat dahsyat terjadi. Masyarakat terheran-heran kepada sikap salah seorang teknokratnya yang aneh-aneh ini. Semua orang santai, tidak susah seperti dia, keadaan tidak ada yang salah namun kenapa dia (Nabi Nuh) yang susah malah mau menyadarkan yang baik-baik saja. Mereka makin geli dan yakin bahwa sang Manah ini punya halusinasi ketika ia sangat sibuk membangun sebuah bahtera. Kegelian mereka makin sempurna bahwa bahtera yang dibuat Nabi tidak di pesisir samudra namun di atas sebuah Gunung. Mereka tak habis-habisnya menggunjing dan mentertawakan dengan riang.
Nabi pernah memberikan petisi kepada kaumnya dengan analisis ilmiah sebagai seorang ilmuwan. Namun ternyata popularitasnya sebagai ilmuwan handal sekalipun turun drastis dan tak membuat mereka bergeming malah menuduh sang Manah mengarang cerita untuk menakut-nakuti banyak orang agar kemudian mengikutinya. Petisi itu dianggap sebagai akal-akalan. Nabi benar-benar kehabisan cara selain memang harus menyelamatkan saja ummat yang setia kepada dirinya. Namun ternyata yang mengusik jiwa kemanusiaannya bukan hanya ummatnya saja yang manusia. Ia memikirkan pula keselamatan para binatang jika sesuatu yang mengerikan menimpa mereka.
Nabi Nuh yang memiliki kebeningan hati dan kejernihan berfikir ini tertuntun. Ia merasa terdorong untuk mengheningkan diri dan melanglang buwana dengan kemampuan supra. Kemampuan ini ia abdikan untuk memindai mengumpulkan manikam semua binatang di muka bumi. Pekerjaan yang super rumit dan belum terjangkau oleh manusia jaman sekarang ini dilaksanakan Nabi atas kesadarannya mengabdi kepada Tuhan. Manikam adalah benih inti dari dalam sperma berisi catatan yang akan menjadi bibit pengembangannya kembali. Ini bagian dari ilmu genetika yang sangat ia kuasai pula. Ia menarik manikam dari binatang di muka tanpa peralatan, tanpa membius binatang, tanpa menggiringnya satu per satu, berjumlah jutaan jenis dan dari seluruh pelosok bumi dengan waktu yang tidak lama. Ibarat ini sebuah proyek, ini adalah proyek maha ambisius untuk ukuran kemampuan manusia waktu itu, dan ini adalah proyek maha mustahil untuk ukuran daya pikir manusia modern sekarang. Namun nabi Nuh berhasil sebab sesungguhnya apa yang seakan lahir sebagai gagasan dan keprihatinannya adalah bukti keberhasilan sang Nabi menangkap kehendak Tuhan yang menginginkan hambaNya melakukan hal demikian. Kemudian manikam itu ia kumpulkan ke dalam cupu atau bejana atau tabung dalam sebuah ruang khusus yang sudah disiapkan di dalam bahtera. Lebih baik Anda membayangkan bahtera Nabi itu adalah kapal canggih yang mampu memuat dan memenuhi kebutuhan hidup para awak dan binatang hidup di dalamnya dengan perlengkapan mutakhir. Ada laboratorium, salah satunya berfungsi sebagai penyimpanan cupu. Ada dek khusus binatang. Dek khusus untuk awak manusia. Kamar mandi, tempat ibadah, dan ruang-ruang penting lainnya, seperti ruang navigasi, monitoring cuaca, ruang air bersih yang dilengkapi dengan penyuling air asin menjadi air tawar. Ruang cuci baju dan segala tetek bengek tekstil, ruang logistik dan lain sebagainya. Tidak ada ruang dengan fasilitas kesenangan seperti kapal pesiar model sekarang. Namun yang berada di dalamnya menemukan ketentraman, rasa aman, nyaman, dan mencapai suasana kepasrahan yang indah sebagai makhkluk yang mengabdi dan tunduk kepada Tuhan. Ini adalah kapal termutakhir yang pernah ada. Ini adalah mukjizat. Jangan mengira jaman itu manusia belum mengenal teknologi apalagi masyarakat terbelakang, justru teknologi yang bisa dicapai saat itu belum bisa dicapai oleh manusia modern sekarang, namun Kapal di jaman itu belum pernah mencapai tingkat kerumitan dan fasilitas futurustis seperti bahtera Nabi Nuh. Sebuah bahtera yang luar-biasa istimewa.
Hari yang disyaratkan, Nabi Nuh mengajak seluruh pengikutnya untuk naik ke atas kapal. Nabi terus menyeru pula kepada yang lainnya untuk ikut serta. Sedikit di antara kalangan manusia yang mengikuti ajakan Nabi Nuh, justru berjajar-jajar dan mengantre deretan binatang-binatang yang memiliki ketajaman naluri akan datangnya bahaya berbondong masuk untuk ikut ternaungi keselamatan. Ada yang terbang, ada yang melata, ada yang merangkak, melompat, semuanya makhluk yang ingin masuk ke dalam naungan keselamatan dari Tuhan.
Sebagai Makhluk, manusia sedang krisis Akhlak dan dengan demikian membuat hubungan kepada Khalik tak tersambung baik. Masing-masing makhluk merasa menjadi khalik. Kemampuan supra bagi masyarakat sekarang, adalah kemampuan umum masyarakat pada zaman Nabi Nuh. Orang mampu berbicara dengan oranglain melalui cara Telepati, mampu memindahkan tempat hingga mengkondisikan arah angin dan gelombang samudra dengan kemampuan telekinesis, bahkan mampu berpindah tempat dari koordinat satu ke koordinat yang lain dengan kemampuan teleportasi dalam sekejab. Hal seperti itu wajar saja pada saat itu meskipun tetap berlevel, ada yang sangat mumpuni, ada yang mahir, ada yang biasa, dan ada pula yang sekedarnya.
Bagi pandangan Nabi sang Manah, kejadian seperti itu adalah karunia nyata sangat luar-biasa dari Tuhan kepada manusia. Seharusnya itu semua adalah fasilitas berupa teknologi ruhani untuk membantu mempermudah urusan kekhalifahan yang mereka emban. Namun yang terjadi justru makin mahir seseorang, makin pongah pula kemanusiaannya. Makin hebat seseoang makin tuli pula pendengarannya karena makin tak mampu mendengarkan. Makin supra seseorang makin buta pula karena tak bisa melihat datangnya gelap, kehadiran terang dan abai pada siklus kehidupan. Akhlak tidak dijamin dari kemampuan dan kebisaan seseorang dalam mempertontonkan kehebatan dan keunggulan namun justru pada kemampuan dan kebisaan dalam mengemban ketertundukan.
Bersambung…
Agus Wibowo