SYAHID JIHAD
Syahid, seakar kata dengan syahadah; Bersaksi dari sejak dilahirkan hingga dimatikan. Berperang mempertahankan kesaksian tidak mudah, ia butuh perjuangan. Siapa saja yg berjuang mempertahankan kesaksiannya adalah seorang Mujahid, ketika mati dengan kondisi istiqomah berjuang menjunjung kesaksian ia mati syahid dlm jihad. Ia dihitung terus berperang dimanapun tempatnya, sebab musuh utama adalah dirinya sendiri yang senantiasa dikuasai nafsu mengalahkan dan memenangkan atas oranglain.
Mungkin ini baru berlaku di maiyah, kalau pun belum menyeluruh paling tidak lebih berpotensi untuk terjadi. Yakni : jika kau temui sesuatu yang tak membuatmu sepakat 100 % ada hal-hal yang mengganjal bahkan kontradiktif sebaiknya jgn membahas kedangkalannya, hormati dan serap ketinggiannya kemudian pada kedangkalan itu mungkin tugasmu untuk menambah kedalamannya. Ingat selalu pesan Sahan, ada perbedaan ikhtilafiah dan ada perbedaan khilafiah.
Sebab pada ketinggian, bisa terjadi sebab Ia Al A’la yang berkenan menitipkan ketinggianNya. Sedangkan pada kedangkalan adalah sebab manusia yang membawanya. Setiap insan diperkenankan mencicipi ketinggian dalam ukuran masing-masing yang berbeda, pada ukuran ini terkadang yang diberi ketinggian lebih menterjemahkan ketinggian yang lain sebagai kedangkalan. Maka, jika setiap orang menyadari kebodohan, kedangkalannya, setiap orang pula bersedia menggali lebih dalam agar kedangkalan menjadi kedalaman dan tergenangi air pengertian lebih tinggi. Tidak ada kalah menang dalam urusan mengemban amanat Tuhan. Semuanya berjuang dan menambah kesaksian dari deret pengalamannya bersamaan dengan kegigihannya menjalankan tugas kemanusiaan sebagai amanat dari Tuhan.
Perhatikan ilustrasi berikut :
Ada dua orang yang sama-sama mengerjakan suatu pekerjaan bersama. Mereka berdua menggali sumur. Yang satu berada di atas dan yang satu berada di bawah. Yang dibawah mengerjakan perkejaannya di bawah, dan yang dia atas menariknya. Yang di bawah berposisi sering minta dilayani untuk mengambilkan beberapa alat dan peranti untuk mempermudah pekerjannya di bawah sana. Sedangkan yang di atas tetep setia dan menuruti apa-apa yang diinginkan oleh yang di bawah. Maka pekerjaan mereka cepat selesai. Mereka semua menjunjung ketinggian, yang di atas memuliakan yang di bawah dan yang di bawah memuliakan yang di atas.
Bayangkan jika kekerdilan dan kedangkalan yang menghinggapi benak mereka, mereka terus memperbandingakan fungsi dan kedudukannya padahal tak ada yang lebih baik dari keduanya soal kedudukan, mereka ribut membela diri kelebihan masing-masing di bawah versus kelebihan di atas. Mereka yang sesungguhnya sedang dalam kedudukan membawa amanat yang sama menjadi tak merampungkan pekerjannya karena sibut mempertengkarkan hal yang sia-sia.
Tugas Kemanusiaan
Pertama, jangan menghitung kualitas lombok pada beratnya tapi pada pedasnya, artinya jangan menyangka semakin banyak lombok = pasti makin pedas. Apalagi jika lombok yang ditimbang lombok-lombok muda yang seharusnya masih berproses, artinya banyaknya model ‘ini’ dan ‘itu’ sesungguhnya masih dalam proses pendewasaan dan pematangan sehingga makin presisi dan makin “pedes”.
Kedua, tugas kemanusiaan itu bukan tugas yayasan atau departemen, melainkan tugas manusia. Selama masih menjadi manusia perlu menjalankan tugas kemanusiaan dengan ukuran sewajarnya. Bahwa salah satu caranya ada yang bikin yayasan dan lain sebagainya, biarkan saja nggak apa-apa. Setiap orang tidak lantas kehilangan tugas kemanusiaannya secara pribadi.
Lakukan saja terus apa yang terbaik menurutmu sendiri, agar menjadi lebih baik. Lebih baik tidak untuk dijadikan perbandingan dengan yang lain tapi jadi perbandingan diri sendiri. Semoga apa yang kamu pilih menjadi pilihan yang tertuntun dan senantiasa membawa berkah. Tidak perlu menyalahkan apapun termasuk diri sendiri, jika menemui kesalahan segera saja diperbaiki tidak perlu meratap dan menyesali, jangan sampai prilaku yang baik malah menjadi prilaku kurang syukur dikarenakan sesal apalagi putus asa. Kita semua masih terus belajar hal yang sama sebab hidup sungguh penuh ilusi. Seakan kita sudah berbuat baik padahal kelak kita justru menjadi sombong dengan kebaikan itu. Inilah guna mawas diri.
Ilusi adalah bungkus dari suatu isi / hakiki. Seseorang tak akan dangkal selamanya dan tak akan benar-benar tinggi. Sempit dan dan dangkal bisa jadi terjebak pada bungkus tidak melihat kedalam. Dihadapkan pada sebuah peristiwa yang menghimpit dan menekan, sedangkan Tuhan yang melapangkan dada manusia, yang menyertakan kemudahan bersama kesulitan. Poin utama dari rasa sempit adalah kita terlanjur merasa hebat dan kuat, sehingga susah untuk mengecil dan pasrah. Hal yang sama terjadi pula pada ilusi ketinggian, seaeorang yang tahu diri, paham peta dan posisi makhluk di hadapan Tuhan, ibarat ia bisa terbang, bisa menggandakan diri, mudah untuk berpindah tempat, itu semua akan diterima sebagai pinjamanNya bukan sebagai pencapaian dan miliknya. Kedua ilusi bernasehat pada proporsi dan rasa pengabdian yang hakiki.
Fenomena keterjebakan pada bungkus itu lumrah, menyadari dan kemudian menambah kesadaran dan ingat adalah karunia berharga, seakan hadiah tunai dari upaya menguak isi di balik kemasan. Dalam Islam dianjurkan berdzikir, supaya tetep terjaga. Coba ditelusur melalui kecenderungan. Apa yg paling menakjubkan dalam hidup. Setiap orang, masing-masing akan punya versi dan kecenderungan tentang ketakjubannya. Misal, takjub pada kesucian, tunduk pada kesucian, memuliakan orang (yang dianggap) suci, lalu menemukan kesucian-kesucian yang tersembunyi dari suatu hal sebelumnya tidak dianggap suci. Dengan cara itu mungkin membantu mengingat kepada Allah Yang Maha Suci ( Al Quddus). Maka dalam hidupnya yang telah secara fitrah berkecenderungan pada fenomena kesucian senantiasa berjuang menemukan hakiki kesucian. Yang sejak ia berjuang menemukan dari level paling padat hingga cair tetap dihitung dalam rangka berjuang menjaga kesaksiannya pada kesucian. Kecenderungan ini akan menggiringnya untuk mendapat perkenan mengenal, mengenal Tuhan Yang Maha Suci. Jika Tuhan sudah mengenalmu yang gigih dan elok menjaga fitrah, hati menjadi tenang, jiwa menjadi tentram, ketidaknyamanan bisa sebera dikonversi, ketidak-indahan bisa segera mekar keindahannya. Ia pun seorang mujahid dengan perjuangannya. Jika seseorang yang dari dilahirkan hingga dimatikan tetap menjaga kecenderunganya untuk mengabdi dan bersaksi kepada Al Quddus, maka ia seorang yang mati dalam keadaan bersaksi, bersyahadah, syahid. Suci (Al Quddus) bisa diganti dengan, Adil (Al Adlu), Ilmu (Al Alim), Sabar (As shobar), Bijaksana (Al Hakiim), Perkasa (Al Jabbar), Raja (Al Malik), dlsb.
Agus Wibowo