Wismo

Majlisgugurgunung:: Malam ini tanggal 28 Januari 2016 yang juga malam terakhir di bulan ini seperti biasa Majlis Gugur Gunung mengadakan pertemuan rutin, yang mana malam ini bertemakan; Wismo (cumawis lan momot). Dimana wismo (bahasa Indonesia : rumah) yang dimaksud disini bukan berwujudkan bangunan secara jasadiah. Namun lebih kepada membangun wismo di dalam wujud rohani dengan metode wirogo, wiromo dan juga wiroso. Bertempat di taman bermain Qomaru Fuady, mBalongsari Ungaran Kab. Semarang. Dimulai pukul 21.40 WIB dengan pembacaan do’a wasilah dan Munajat Maiyah yang dipimpin oleh Mas Tyo hingga membuat suasana semakin khusyuk.

Mas Norman memulai dengan memberikan sebuah prolog,untuk dapat memantik pertanyaan-pertanyaan dari sedulur-sedulur yang hadir. Dimana tema ini muncul pada saat acara songolasan yang bertempat di kediaman Mas Hernowo. Dimana Gugur Gunung disini dapat berfungsi sebagai “rumah” atau wismo tadi. Terdapat tiga poin penting didalamnya, yaitu wirogo, wiromo, dan wiroso yang ada dalam individu masing-masing dengan cara menampung dengan filternya masing-masing untuk mencapai golnya yakni Jannatul Maiyah. Dengan membangun Baiti Jannati maka membat semakin mengenal Allah dan mengerti tentang tamannya taman surga dalam konteks jamak  atau dengan cara minimal membangun tamannya masing-masing untuk nantinya bisa berkebun bersama di Jannatul Maiyah.

Berikutnya Mas Hajir yang baru kali pertama merapat diberikan kesempatan untuk perkenalan dahulu untuk lebih mempererat paseduluran. Karena Mas Hajir pernah melihat sendiri bahwa ada forum-forum sejenis seperti ini namun kurang mengutamakan kebersamaan. Yang ada hanyalah saling mengalahkan, dan hanya mencari kebesaran namanya saja. Dan melupakan hal yang paling penting yakni persaudaraan atau kebersamaan. Usai perkenalan Mas Hajir sedikit menanggapi tentang tema malam ini.  Dimana rumah yang baik bukan hanya dilihat fisiknya yang mewah namun lebih kepada rasa yang menentramkan. Yang menurut Mas Hajir rasa ketentraman ini terdapat pada sosok seorang istri. Sehingga rumah tidak akan terasa rumah tanpa kehadiran seorang istri di dalamnya.

Mas Hajir juga berpendapat bahwa karakter wismolah yang sangat dibutuhkan oleh umat islam juga bangsa dan negara kita.

MGG Januari 2017

Mas Jion memberikan pendapat bahwa sependapat dengan mukadimmah. Dimana wismo memiliki makna yakni cumawis lan momot dengan sangu laku tiga poin tadi yaitu wirogo, wiromo dan wiroso. Wirogo menurutnya pergerakan diri kita untuk menjadi cumawis lan momot, namun pergerakan itu haruslah berirama (wiromo) dan wiroso yakni sebisa mungkin tidak hanya berirama namun juga dengan rasa asyik dan juga menyenangkan.

Pak dokter yang baru saja diwisuda beberapa hari lalu yakni Mas Son juga tak ketinggalan untuk menanggapi tema malam ini. Mas Son juga setuju jika wismo disandarkan pada pribadi masing-masing. Yang jika dijasadiahkan dapat dengan cara bersedia menampung kegelisahan sedulur-sedulur dan juga mampu memberikan nilai-nilai keindahan seseorang dan memberikan hikmah pada orang lain dengan cara memberikan kalimat-kalimat pemantik agar orang lain mampu memetik hikmah pada setiap kejadian. Dan Mas Son melontarkan pertanyaan kepada sedulur-sedulur khususnya Mas Jion atau Wangker Bayu terkait ada tidaknya tokoh pewayangan yang memiliki karakter wismo sehingga bisa diambil hikmahnya. Dan dijawab oleh Mas Jion bahwa semua tokoh pewayangan memiliki karakteristik wismo baik itu dalam konteks baik ataupun buruk. Sedangkan Mas Agus memberikan tokoh pewayangan yakni resi wismo (bismo) sebagai pihak yang wirogo lantip, wiromo landhep dan wiroso yang waskitha.

Mas Tyo juga memiliki pertanyaan tentang tema Majlis Gugur Gunung terdahulu yakni Prio Utomo Jowo terdapat lima hal didalamnya. Wismo, turonggo, kukilo, curigo dan wanito. Jika wismo memiliki tiga poin penting yakni wirogo, wiromo dan wiroso. Maka apakah empat hal lain dalam Prio Utomo Jowo juga terdapat wirogo, wiromo dan wirosonya. Ditanggapi oleh Mas Agus bahwa empat hal selain wismo dalam Prio Utomo Jowo juga memiliki wirogo, wiromo dan wirosonya masing-masing.

Turonggo, (aTURing ONGGO) makin mengasah dirinya untuk mampu mendisplay yang tidak harus meletakkan ucapan menjadi atur yang utama. Ucapan diproduksi untuk diri sendiri bukan untuk orang lain, karena perilaku lah yang akan berbicara.

Kukilo, (aKU iKI liLO). Di Jawa ada dua jenis burung yakni peksi (ocehan) dan kukilo (manggung). Burung yang manggung biasanya adalah kutut (aKU ngeTUT) yang mampu menyampaikan sesuatu (lar keteg gung). Dimana performanya dirinya disaksikan oleh sesuatu yang agung bukan hanya sekedar panggung. Sehingga memiliki kesadaran manggung yakni kejujuran bukan kesempurnaan.

Curigo (manCURing IGO). Dimana igo menopang bagian-bagian yang vital dalam tubuh yakni jantung dan paru-paru. Dimana didalamnya terdapat catatan-catatan dari proses nafas dan detak, apakah memancurkan keburukan atau keutamaan. Curigo bisa juga disebut keris, dimana keris memiliki pamor yang bersifat sepuh (tua, baik dari besi tua ataupun meteor tua), utuh (tidak gompel atau cacat, sehingga utuh tidak hanya berbentuk bulat) dan tangguh.

Wanito (WANI ditoTO dan WANI noTO). Jika sudah merasa bisa, maka haruslah bisa menata. Supaya bisa menata, haruslah mau untuk ditata terlebih dahulu.

Usai tidak ada lagi sedulur yang menanggapi, giliran Mas Agus yang memberikan tanggapan. Mengenai prolog yang diberikan oleh Mas Norman sebenarnya sudah sangat cukup untuk dilakukan pengembangan pada masing-masing pihak. Uraian dari Mas Hajir juga sangat bagus, karena wismo didalamnya terdapat rasa kasih sayang yang terdapat dalam sosok istri dimana juga dikenal Asah Asih Asuh yang sangat identik melekat pada sosok ibu atau istri yang juga menjadi tempat belajarnya keluarga karena istri akan lebih sering berada dirumah. Meskipun juga ibu sebagai asah asih dan asuh juga bisa pada laki-laki sebagai fungsi bukan jasadiah.  Menanggapi uraian dari Mas Jion dengan bergeraknya secara bebas seorang anak, maka akan lebih dihadapkan keadaan wiromo. Dengan adanya ibu yang memantau seorang anak yang bebas bergerak, maka otomatis akan menjadi pembimbing. Sehingga ada keutamaan memberikan kebebasan wiromo namun juga memiliki paugeran. Menanggapi pemikiran dari Mas Son , bahwa wismo bukan hanya memiliki fisik yang besar hingga banyak ruangan-ruangan atau kamar-kamar karena jaman dahulu juga awalnya adalah berbentuk selasar bukan kamar-kamar, sehingga dilihat secara jasadiah besar dan mampu memuat lebih banyak. Kita dilahirkan juga diciptakan sahabat karib untuk kita, sekalipun orang yang sulit berkomunikasi. Karib yang dimaksud disini ialah jika pihak yang berada diluar sudah bukan pihak luar namun menjadi pihak dalam. Karena semakin kita menerima dan menampung maka akan semakin lebar bukan malah menjadi semakin sempit.

MGG Januari 2017

Wirogo dijelaskan sebagai obah atau bergerak dan wiromo dijelaskan Mas Agus sebagai paugeran, toto kromo, solah bowo (posisi membawa diri) dan juga patrap. Wiromo terlihat pada gamelan atau musik yang menggunakan paugeran, toto kromo, solah bowo, serta patrap sebagai dasarnya. Sedangkan wiroso tidak bisa untuk dijelaskan karena hanya bisa dirasakan. Misalkan rasa pedas, sangat tidak mungkin memberikan penjelasan tentangnya. Namun wiroso dapat dipelajari melalui pancatan jasad, misalkan rasa asin dapat kita pelajari dari garam dll. Dan ketika wirogo, wiromo hilang atau luruh maka akan menjadi kulino (aKU laLI yen oNO). Sedikit tambahan Mas Agus tentang rasa manis yang berlebihan maka justru akan menjadi pahit. Berarti pahit merupakan manis yang diimplementasikan secara berbeda. Dan juga berarti jika kita mampu untuk menerima kepahitan maka pasti bisa menerima manis, namun belum tentu kita bisa menerima kepahitan ketika kita hanya bisa merasakan manis saja. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk aqobah, yakni mendaki jalan yang terjal dan pahit. Dimana pendakian yang terjal dan pahit tersebut merupakan kenikmatan yang belum bisa kita rasakan atau kita kenali. Dengan adanya kesulitan maka justru akan mempermudah urusan-urusan kita. Di Jawa ada jamu yang pahit dan juga makanan-makanan yang manis.

Kita memiliki satu rumah yang sama, yakni selain atap dari tempurung kepala namun juga masih ada atap diatasnya lagi yang lebih besar. Di dunia ini diciptakan adanya baik dan buruk, disitulah kita dapat menampungnya lalu memindainya secara rohani melalui proses panca indera. Misalkan sebuah peristiwa, kita sedang berada di Mal yang mewah hiasannya megah interiornya lalu ketika keluar dari Mal tersebut kita melihat selokan/peceren . disitulah kita bisa melihat adanya ketimpangan yang terjadi. sebuah pemetaan hanya bisa didekati ketika kita mampu mengakomodir roso, bagaimana caranya menyesuaikan rotasi supaya tidak false. Dengan mengakomodir roso baik dan buruk dengan cara memahami Allah bahwa kita tidak seimbang. Dengan adanya wiromo maka akan memberikan sebuah titik temu di rumah besar nanti atau pada shohibul baiti.

Kemudian Mas Kasno berpendapat bahwa wismo ada di dalam diri kita. Bilamana dijasadkan dalam bentuk bangunan terdapat tiga bagian penting yakni pondasi, dinding dan atap. Pondasi bagaikan wirogo yang harus memiliki kekuatan untuk menopang namun akan terlihat aneh jika hal ini dipertontonkan. Lalu dinding dan atap dapat dikatakan sebagai wiromo, misalkan dalam suatu ruangan merasa kegerahan, maka dapat diatur dengan ventilasi atau lubang-lubang yang ada. Mengerti kapan waktunya dibuka dan mengerti kapan waktunya untuk ditutup. Lalu ketika merasa nyaman di dalam ruangan atau bangunan tersebut disitulah kita memahami tentang wiroso.

Tak ketinggalan juga Mas Leo memberikan sebuah teori bahwa kita manusia yang berada di densitas (dimensi) tiga terlahir secara terpisah (separation) namun dengan adanya keluarga atau anak maka akan mengikis distorsi perpisahan tersebut, hal ini menyambung dari uraian Mas Hajir di awal. Dan situasi tidak terpisah tadilah yang bisa dikenal sebagai wirogo, dan ketika memiliki keluarga yang sebanyak-banyaknya sehingga distorsi perpisahan semakin terkikis itulah wiromo, dan ketika kita mampu positioning rasa itulah yang bisa dikenali sebagai wiroso. Memang sangat sulit mencintai orang lain yang pernah melukai kita namun akan lebih sulit ketika mencintai sambil memaafkan.

Kisah Syekh Joha

Pada jaman dahulu ada tiga pekerja di kebun kurma. Pekerja pertama memiliki perawakan yang tinggi, besar dan gagah sehingga memiliki tenaga yang besar pula. Pekerja kedua memiliki perawakan sedang dan tenaga yang sedang-sedang pula. Pekerja ketiga memiliki perawakan tubuh yang kecil dengan tenaganya yang kecil pula. Lalu ketika musim panen tiba, mereka bekerja sama untuk memanen dengan mengumpulkan kurma yang telah masak. Namun ketika tiba waktu pembagian hasil, mereka kebingungan untuk menentukan jatah siapa yang lebih banyak dan lebih sedikit. Karena masing-masing pihak bersikeras mengatakan bahwa dirinya lah yang bekerja lebih keras sehingga merasa dirinya yang harus mendapatkan jatah yang lebih banyak ketimbang lainnya. Pekerja pertama dengan tenaganya yang besar merasa mengumpulkan paling banyak. Pekerja kedua dengan kecermatannya sehingga tidak ada kurma yang tercecer. Pekerja ketiga dengan kegesitannya mengumpulkan juga merasa mengumpulkan lebih cepat sehingga lebih banyak dibanding dua pekerja lain. Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Syekh Joha lewat dan dipanggil oleh ketiga pekerja tersebut untuk membantu dalam pembagian hasil. Dengan penuh pertimbangan Syekh Joha lalu menanyakan kepada ketiga pekerja tersebut.

“Apakah kalian menginginkan pembagian dengan caraku atau cara gusti Allah?” kata Syekh Joha.

Serempak ketiga pekerja tersebut menjawab , “dengan cara Gusti Allah”

Lalu Syekh Joha membagi hasil panen tiga bagian tanpa pertimbangan, dan asal-asalan jika dilihat sekilas. Saat pembagian selesai justru pekerja pertama mendapatkan jatah yang lebih sedikit, dan protes. Ketika pekerja tersebut sedang menanyakan sebabnya kepada Syekh Joha. Namun Syekh Joha sudah pergi meninggalkan mereka bertiga. Tiba-tiba pekerja ketiga yang mendapatkan jatah paling banyak merasa tidak enak hati kepada temannya. Akhirnya memberikan sebagian jatahnya kepada pekerja yang pertama tadi. Pekerja kedua yang masih mendapat jatah lebih banyak juga merasa kasihan kepada pekerja pertama lalu memberikan beberapa bagiannya juga kepada pekerja pertama. Lalu pekerja pertama sekarang justru mendapat jatah yang paling banyak, dan dikembalikan beberapa lagi bagian yang diberikan oleh teman-temannya. Singkat cerita justru jatah panen yang didapatkan sama rata dan tidak ada lagi yang merasa harus mendapat jatah lebih banyak dibandingkan yang lainnya.

Diskusi dengan tema wismo dipungkasi tepat pukul 00.30 dengan dilantunkannya kidung Bang Bang Wetan yang dilantunkan oleh salah satu dalang dari komunitas Wangker Bayu Yakni Dwi Dian. Namun seperti biasa masih berlanjut dengan lingkaran-lingkaran diskusi yang klimaks dipungkasi pada pukul 03.00.

Andhika Hendryawan

Facebooktwitteryoutubetumblrinstagram
Posted in reportase.