MENCARI DEWAN SEPUH

Pertemuan rutin Maiyahan di Majlis Gugurgunung pada bulan Juli jatuh pada tanggal 28 Juli 2018. Sebuah acara yang biasa digelar setiap bulan pada malam minggu terakhir.

Namun ada suasana yang nampak berbeda pada malam itu dengan mempergunakan tempat berkumpul yang baru, yakni di kediaman Mas Mundari (Salah seorang penggiat di Simpul Maiyah Gugurgunung) di daerah Ngempon, Ungaran, Kabupaten Semarang.

Selain itu dibahagiai pula dengan kerelaan dari Master Zain dari Zamatera beserta sejumlah hampir 20an orang Trainer Therapis Zamatera, yang bersedia untuk memberikan terapi Zamatera gratis pada semua sedulur yang hadir pada malam itu. Dimana malam itu dibersamai pula oleh beberapa perwakilan sedulur simpul Maiyah se-nusantara. Tercatat ada sedulur Maiyah dari Majlis Masuisani Bali, Damar Kedhaton Gresik, Majlis Alternatif Jepara, Suluk Surakartan Solo, Penggiat Muda Pertanian dan Peternakan Jogja, Kalijagan Demak, Semak Kudus, Gambang Syafaat Semarang dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu, karena disini bukan tentang perayaan nama namun perayaan cinta.

Waktu telah menunjukkan pukul 19.40 WIB. Sesi pertama diisi langsung oleh Zamatera. Gelaran karpet dalam ruangan telah dikosongkan, hanya disisakan barisan bantal dan guling di bagian tengahnya saja. Para therapis yang sudah siap di posisinya masing-masing mempersilahkan kepada sedulur-sedulur untuk berbaring, dengan letak yang berselang-seling. Satu demi satu gerakan terapi diperagakan, bebarengan pula dengan respon yang berbeda ditunjukkan pada setiap orang. Sedikit tegang sampai meringis menahan sakit mewarnai tampilan ekspresi tersebut. Kisaran 5-10 menit waktu terapi untuk tiap orangnya. Masing-masing bergantian untuk merasakan Zamatera. Segar dan sumringah usai diterapi ditambah pula kopi hangat juga wedang serbat yang disediakan, seakan membawa diri untuk bersiap memasuki sesi kedua yakni sesi diskusi.

Therapi Zamatera kepada perwakilan sedulur simpul Maiyah oleh tim Zamatera

Kisaran pukul 21.30 WIB, Mas Kasno selaku pembawa acara malam hari ini mempersilahkan semua yang hadir untuk menempatkan diri dan segera memulai sesi kedua. Dibuka dengan pembacaan Al-Fatihah bersama-sama, kemudian dilanjutkan oleh Mas Tyo dengan do’a Tawasul dan Wirid Gugurgunung, serta Mas Jion membacakan Munajat Maiyah.

Tema Gugurgunung yang diangkat malam hari ini ialah, Mencari Dewan Sepuh. Mas Kasno sebagai tim dapur tema membacakan mukadimmah untuk disimak bersama.

Selain Mas Kasno, Mas Ali Fatkhan malam hari ini juga diminta untuk menjadi moderator. Sedikit preambule dari Mas Kasno, yakni tema ini muncul dengan landasan sedikit mentadabburi apa yang telah disampaikan oleh Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib beberapa waktu lalu. Meskipun jama’ah Majlis Gugurgunung masih terhitung muda-muda namun mencoba memberanikan diri untuk mentadabburi apa yang disampaikan oleh beliau tersebut.

Mas Ali menambahkan dengan turut meminta dari tiap perwakilan simpul untuk memberikan urun rembug yang kemudian bisa dielaborasi dengan penegasan-penegasan baik oleh Mas Agus, Master Zain, juga Mas Rizky selaku koordinator simpul region 3 (Jawa Tengah).

Pertama dari perwakilan Majlis Alternatif, yakni Mas Kaffi yang mengucapkan terima kasih kepada Pak Zain atas pemberian terapinya, dan semoga bermanfaat banyak terhadap istrinya, kelakar Mas Kaffi sambil tertawa, untuk mencairkan suasana. Menanggapi tema, kemudian diteruskan dengan kisahnya ketika di Maiyah Kalijagan. Dimana waktu itu dihadiri oleh Pak As’ad dari simpul Suluk Surakartan yang kebetulan malam itu masih dalam perjalanan menuju ke gugugunung. Beliau mengatakan bahwa selalu mencurigai atas sebuah kondisi atau peristiwa. Dimana membuat mas Kaffi memikirkan jangan-jangan untuk mencari dewan sepuh barangkali harus dicurigai terlebih dahulu dalam setiap peristiwanya. Satu kata kunci pemantik yang bisa diambil disini ialah mulailah curiga namun bukan dalam pemaknaan negatif.

Mas Kaffi, salah seorang perwakilan dari Majlis Alternatif sedang merespon tema dan suasana

Tua dan Mutu Takwa

Mas Aris Syahbana (salah seorang sedulur dari Kudus) kemudian juga diminta untuk urun rembug. Mas Aris mengatakan bahwa beliau merupakan salah satu penggemar Mbah Nun. Ucapan terima kasih juga Mas Aris haturkan pada Pak Zain, dimana diamati olehnya ada 17 gerakan terapi, dan berpendapat bahwa kenikmatan berawal dari ketegangan.

Kemudian beliau mengingat kisah tentang kisah Raden Mas Panji Sosrokartono, yang juga seorang ahli pengobatan. Dalam pada itu, alangkah baik menurutnya untuk nguri-uri impian Mbah Sosrokartono dan digunakan rajah beliau yakni Sang Alif. Sedikit menceritakan kisah, dahulu Mbah Sosrokartono mengajarkan beberapa hal. Pertama ialah menekankan ketuhanan dengan simbol rajah yang paling utama beliau adalah Alif, bahwasanya Allah Maha Esa. Selain ahli pengobatan, Mbah Sosrokartono juga merupakan seorang akademisi atau seorang yang intelektual. Seorang ahli pengobatan namun kuliahnya awal di bidang bahasa, hingga menguasai sekitar 40 bahasa dan baru dilanjutkan kuliah di dunia medis . Walaupun beliau kuliah di luar negeri namun tidak luntur budaya Jawanya, bahkan berani menantang Ratu Himina (Wilhelmina) , dengan ucapan “Kalau sampai Belanda memperkosa kebudayaan anak bangsa Indonesia, selagi matahari masih bersinar, kami akan menentang keras” dikatakan di hadapan Gubernur dan Jenderal namun tidak dibunuh pada saat itu. Beliau tidak takut karena semangat hidup dan matinya adalah milik Allah.

Pertama ketuhanan, yang kedua ialah kemanusiaan. Sebab beliau memperjuangkan hak-hak warga pribumi. Sekilas tentang pengobatan, bahwasanya beliau memiliki Tirtohusodo dengan teko bergambar Alif. Sebuah air putih yang kala itu diceritakan di era 800-an mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dimana kelebihan tersebut pastinya diperoleh dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Menanggapi tentang tema, ada dua hal yang menarik menurut Mas Aris. Pertama, ialah takwa. Seperti pada orang yang berpuasa, yang mendapatkan takwa. Serta ketakwaan pula yang membuat kita tidak sama di mata Allah. Kedua, ialah maksiat. Dimana yang dapat menguasainya ialah diri pribadi kita. Sebuah ajaran kanjeng Sunan Kalijaga “Tiati ketani dilah purung cumenten nduk purung atiku biercemarangan dhang padhange srengenge jek padhang atiku dhewe”. Menurut Mas Aris, yang dituju ialah pribadi. Kemungkinan Allah akan mengabulkan setiap hajat kita asalkan kita mampu memanajemeni pribadi diri kita. Jika dipersambungkan dengan kata kunci awal, menjadi mencurigai pribadi diri sendiri.

Sesepuh dan Penyembunyian Diri

Kemudian dilanjutkan oleh Mas Madrim yang cukup jauh perjalanan dari Damar Kedhaton Gresik. Mas Madrim datang berdua bersama Mas Yayak dengan menggunakan kereta. Sebuah bentuk kegigihan untuk menyambung paseduluran. Meskipun dalam perjalanannya, ketika baru sampai di daerah Purwodadi harus diturunkan paksa, karena ketahuan merokok di dalam toilet kereta. Sehingga harus menggunakan bus untuk melanjutkan perjalanannya hingga dapat sampai disini. Sedulur yang baru pertama kali melingkar disini, namun betapa kehangatan yang dirasakan membuat posisinya bukan lagi menjadi tamu namun merupakan bagian dari keluarga Gugurgunung itu sendiri.

Menanggapi soal tema, merasa bingung sebab dirinya dianggap bukan salah seorang dewan sepuh. Namun Mas Madrim membagikan tentang sebuah kisah. Ketika dirinya sedang berada di daerah Tuban, siang hari kala itu melihat sebuah petilasan seperti sebuah gapura dari Mbah Madrim. Namun ketika dicari informasi tentang itu selama lebih kurang 7 (tujuh) tahun tidak ada yang mengetahuinya. Sampai kepada Hari Raya kemarin ketika sedang pulang di Tuban, bersama dengan saudaranya menuju ke sebuah lokasi. Hingga tiba di sebuah lokasi yang juga merupakan sebuah petilasan. Terlihat disana seperti bambu yang digulung dengan kain lengkap dengan sesajennya. Disana Mas Madrim sempat membaca Al-Fatihah juga sholawat. Ketika pulang, sesampai di rumah Mas Madrim diberi tahu oleh kerabatnya, bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang biasa digunakan beberapa orang untuk pesugihan dan disebut dengan Mbah Candi. Berujung respon kaget juga heran yang menghinggapinya. Dugaan Mas Madrim ialah, petilasan Mbah Madrim disamarkan menjadi Mbah Candi.

Ketika dipersambungkan dengan tema dewan sepuh ini, kecurigaan yang muncul ialah jangan-jangan leluhur sepuh kita ahli dalam menyembunyikan. Hingga muncul dugaan bahwa dewan sepuh itu memiliki sesuatu yang disembunyikan.

Waskita dan Kemawasan Diri

Untuk berikutnya Mas Ali meminta Mas Andi dari Maiyah Masuisani, Bali memberikan urun rembugnya. Namun sebelum Mas Andi berbagi pendapatnya, sedikit diceritakan oleh Mas Kasno bahwasanya keluarga Gugurgunung selalu menjumpai Fenomena Kerinduan yang berhubungan dengan Mbah Nun. Kerinduan keluarga Gugurgunung dengan Mbah Eko Tunas, dihadiahi dengan rawuhnya beliau di Majlis Gugurgunung edisi April 2018. Ada satu lagi kerinduan yang kami keluarga Gugurgunung menganggapnya sulit, yakni kerinduan terhadap Mbah Umbu. Namun pada malam hari ini, keluarga Gugurgunung dihadiahi atas kerawuhan sedulur Maiyah Masuisani, Bali yang diasuh langsung oleh Mbah Umbu. Hingga diminta untuk menceritakan sedikit kisah tentang Mbah Umbu, sekedar untuk mengobati kerinduan kami dengan beliau.

Mas Andi, pertama mengucap syukur bisa dihadirkan dalam Majlis Gugurgunung disini juga untuk menyambung tali silaturahim dari beberapa simpul Maiyah lain, dimana selama ini hanya dapat diikuti melalui Youtube atau sosmed lainnya. Bernama lengkap Andi Priyo Cahyono, lahir di Magetan dan sudah di menetap di Bali semenjak tahun 1999.

Sedia berbagi kisah, bukan maksud untuk menilai Mbah Umbu. Tak bisa pula secara keseluruhan namun hanya sebatas sudut kacamata yang dilihat oleh Mas Andi bahwa Mbah Umbu adalah orang yang keras juga lembut. Keras pada prinsipnya, namun lembut dalam menyampaikan sesuatu serta bijak dalam menyikapi suasana yang terjadi. Pertemuan di Masuisani baru 5 kali pada tanggal 30 Juli 2018. Pertemuan pertama Mbah Umbu tidak enak badan dan baru datang di pertemuan kedua, tiga, empat dan insya allah lima kali pada pertemuan 30 Juli 2018. Dianggap oleh Mas Andi, Mbah Umbu adalah seorang guru, sesepuh dan panutan. Seolah yang ada di otak, Mbah Umbu ialah orang yang sangat “wah” Namun seiring perjalanan dengan beliau, secara personality beliau adalah orang biasa, dan apa adanya. Menyikapi, menyampaikan, dan menginginkan sesuatu secara apa adanya. Namun itulah kehebatan beliau dalam menjalani keseharian. Jarak 4 – 5 km, setiap hari, selama puluhan tahun ditempuh untuk selalu berjalan tanpa kenal lelah. Menjalankan kehidupan secara natural , namun justru sisi kenaturalan dan kejujuran beliau terhadap hidupnya itu yang membuatnya kuat dan senantiasa mawas diri menghadapi kenyataan. Sesuatu yang di pikiran kita anggap “wah” ternyata justru adalah sebuah kenaturalan itu sendiri. Misalkan Mbah Umbu sedang sakit, disikapinya dengan menikmati rasa sakit tersebut hingga seakan mengalahkan rasa sakitnya.

Namun selain itu, kuatnya beliau juga terdapat dalam tulisan-tulisan beliau seperti dalam menulis puisi. Sering dikatakan juga bahwa Mbah Umbu kagum terhadap Mbah Nun yang dipanggilnya dengan sebutan “M”. Dalam sebuah puisi Mbah Umbu dapat menulis sebuah kalimat yang dapat memiliki banyak makna, hampir kebalikan dari kita yang menulis beberapa kalimat namun belum tentu bisa menjelaskan sesuatu.

Menanggapi soal tema, Mas Andi berpendapat justru bukan berawal dari sebuah kecurigaan sebab akan berbuah panyono, sehingga memiliki konotasi negatif. Sebaiknya melatih diri kita agar waskitha terhadap suatu hal sehingga berbuah kemawasan diri.

Resonansi Maiyah

Kemudian Mas Rizky dari Koordinator Simpul Region 3 juga diminta untuk urun rembug. Dimana malam ini merupakan malam pertama Mas Rizky melingkar juga di Majlis Gugurgunung. Sebuah apresiasi disampaikan atas acara yang cukup meriah ini sehingga kegiatan ini dapat memberikan inspirasi untuk simpul-simpul yang lain sejumlah 58 simpul Nusantara dan 1 simpul di Korea. Kegiatan ini disebut penumbuhan diri penggiat sebab acara ini dikhususkan untuk penggiat dari simpul Maiyah meskipun belum semuanya bisa hadir. Kegiatan serupa oleh Kenduri Cinta pernah dilakukan dalam bentuk workshop penulisan, story telling dan desain visual. Selain simpul Maiyah, Mbah Nun juga menyebut ada resonansi Maiyah, dalam pada itu ialah orang-orang yang memiliki ikatan batin yang kuat terhadap Mbah Nun namun bukan dalam bentuk ikatan formal.

Zamatera ini memiliki kekayaan sosial kapital, dimana tidak harus memiliki banyak upaya tetapi bisa bertemu dengan sebuah produk kemanfaatan yang sangat besar. Resonansi Maiyah ini wajib bagi semua simpul untuk menguri-urinya.

Menanggapi tema tentang dewan sepuh, pernah Mbah Nun menyebutnya namun bukan dewan tetapi adalah diwan dari bahasa arab yang diserap oleh bahasa Indonesia menjadi dipan. Sekarang dipan diartikan menjadi tempat tidur, namun dahulu digunakan sebagai tempat yang lebih tinggi dan digunakan duduk untuk para sesepuh. Hal ini pernah disampaikan Mbah Nun kisaran tahun 2015 di Kadipiro yang kala itu ada seorang putra mahkota dari Kadipaten Purbalingga yang jika diurut mendapatkan gelar Adipati Purbalingga yang ke-8. Namun sejak tahun 1950, sistem ini sudah tidak digunakan dan berakhir di Adipati ke-5, sebab Undang-undang daerah yang digunakan telah berubah menjadi Pilkada yang kita kenal seperti hari ini. Perihal untuk menjadi Adipati atau bukan, tidak untuk diperebutkan namun bagi seseorang yang memiliki trah ke nenek moyang yang dulunya adalah penguasa yang natural terpilih oleh alam baiknya berposisi sebagai dewan sesepuh. Secara operatif dimaknai oleh Mas Rizky seperti Tim Gubernur Untuk Percepatan Undang-undang di Gubernuran. Dewan sesepuh ini bagai advisor, tetapi dalam tataran level yang lebih tinggi seperti filosofi pembangunan. Namun tentu ada skup dewan sepuh yang lebih sempit yang perlu kita curigai dan waskitakan bersama-sama.

Selain sebagai moderator, Mas Ali Fatkhan juga diminta urun rembug oleh Mas Ronny melalui SMS, untuk mewakili Gambang Syafaat. Pertanyaan pertama, mengapa harus dicari dewan sepuh itu? Apakah ada? Atau mungkin sudah ada, namun belum diketemukan?

Jika belum ada, maka seharusnya diadakan. Namun jika belum ketemu, mengapa bisa belum ketemu? Berarti kita harus menyadarinya dengan sebuah kecurigaan dan kewaskitaan tadi.

Mas Ali pribadi tertarik pada kata dewan, berarti banyak dan diartikannya parsial. Bebeda dengan orang sepuh. Jika orang sepuh maka dia ahli dalam suatu hal namun bukan dalam hal yang lain. Ada sebuah nilai yang dimiliki oleh orang sepuh, yakni ketakwaan.

Tahan menghadapi rasa sakit

Kemudian Pak Zain juga diminta untuk mengelaborasi tentang tema dewan sepuh ini. Pertama beliau bersyukur bisa dipertemukan dengan berbagai simpul Maiyah disini serta berterima kasih atas apresiasi yang telah diberikan. Dikatakan “bahwa perwakilan dari Zamatera malam ini bukan sekedar terapisnya, namun adalah trainer terapis nasional. Insya allah juga Zamatera ini akan diajarkan di seluruh pelosok Nusantara melalui Pagar Nusa”.

Menanggapi tentang Maiyah, dimana Pak Zain menganggap dirinya pemuda di Maiyah karena baru 5 kali ikut Maiyahan dan 2 kalinya berada di Gugurgunung, lalu di Simpanglima Semarang, Lapangan Pancasila Salatiga, dan yang ke limanya ialah pada tahun 1990 waktu itu di Masjid Agung Surakarta.

Pak Zain setuju dengan kewaskitaan tadi, sebab biasanya orang-orang sepuh itu menyembunyikan diri. Mengingatkannya pada kisah Mbah Samud, yang setiap hari dianggap sebagai orang gila yang setiap hari berada di Pasar Kendal. Kewaskitaan menurut Pak Zain berbeda dengan kecurigaan, karena justru lebih dekat dengan suudzon padahal kita harus khusnudzon.

Menanggapi sebuah ayat yang terdapat dalam mukadimmah, diman+a ini landasan dari Zamatera yakni tentang ketakwaan. Karena Pak Zain merasa dirinya bukan orang baik, maka ingin memberi kemanfaatan terhadap sesama, dan alhamdulillah Allah menitipkan ilmu Zamatera ini yang berawal dari penghayatan rasa sakit yang luar biasa yakni pada syaraf tulang belakang sekitar tahun 2005. Dalam penghayatan rasa sakit tersebut mengingatkan beliau semasa kecil sering tidur di mushola dan melakukan grebekan dan akhirnya dipraktekannya. Ketika sembuh, ilmu ini dipraktekkannya pada teman-temannya. Juga dipraktekkannya untuk anak-anak SMA yang sakit saat menstruasi. Dari 70 responden, ketika dipantau kembali usai diterapi 67 orang mengatakan tidak sakit lagi tiap bulan selama 6 bulan. Dulu teknik ini dikatakan mirip dengan Yumeiho dari Jepang.

Ketika diundang ke Jepang, Pak Zain dijadikan sebagai Presiden Yumeiho Asia Tenggara. Namun Pak Zain juga harus membayar semacam royalty kepada Yumeiho. Ketika pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Mbah Nun, direspon oleh Mbah Nun bahwa “Indobesia sudah dijajah Belanda 350 tahun, dijajah Jepang 3,5 tahun dengan begitu beratnya, mengapa saat ini masih harus melanjutkannya lagi?” Sambil ditunjuk-tunjuk di muka, sambil Mbah Nun meneruskan, bahwa “Disini lebih tua dari Jepang, bahkan tehnik yang Pak Zain temukan merupakan temuannya sendiri mengapa mau menjadi antek Jepang?” Akhirnya usai dipikir masak-masak, akhirnya Pak Zain memutuskan 100% mengundurkan diri dari Yumeiho, demi rasa Nasionalisme. Bahkan pernah ditawarkan kepada Pak Zain, untuk menjadi terapis di timnas Qatar dengan upah bersih 50 juta perbulan. Namun teringat pesan dari Gurunya “kowe golek duit opo golek berkah uripe?, harus salah satu, tidak bisa dua-duanya uang banyak yang berkah”.

Mengistirahatkan sejenak, sedikit hiburan yakni sebuah guyonan intelektual atau stand up comedy dari Mas Aan Kudus. Dimana berangkat dari tanpa materi, namun meminta waktu untuk menyerap apa-apa saja yang telah disampaikan untuk menjadi sebuah guyonan.

Kemudian ada Mas Galih dari Petani Muda Jogja, merupakan sebuah gerakan yang baru dirintis atas dasar keprihatinan terhadap anak muda sekarang yang kurang menarik karena tidak profitable, intelek dll. Meskipun bukan berasal dari basic petani tetapi dari musik dan entertaintmen, namun sempat berguru di Tangerang yakni tempat Pak Ibnu. Menanggapi soal tema malam ini, dimana dalam mengenal suatu objek atau keadaan harus mengetahui esensinya dimana sekarang jarang diperhatikan oleh sebagian orang. Seperti dalam bertani, jaman sekarang dan dahulu sudah berbeda karena jaman sekarang hanya berorientasi pada profit dan kurang mengenali tanaman. Padahal dengan mengenal, kita bisa memahami korelasi antara sebuah objek terhadap objek yang lain.

Hidup Berdaur agar senantiasa ingat asal-usul

Kemudian tiba Mas Agus untuk mengelaborasi tema malam hari ini. Terima kasih diucapkan atas kerawuhan Mas Zain beserta rekan-rekan therapis, juga pada Mas Mundari beserta keluarga atas tempat yang telah disediakan, juga kepada dulur-dulur Maiyah se-antero Nusantara sehingga dapat menegaskan kembali kasih-sayang dalam bebrayan antar diri kita. Dimana kasih sayang yang ingin kita bangun merupakan kasih sayang yang ingin Allah cipratkan kepada semesta kita dalam menapaki langkah kehidupan.

Kesempatan yang membahagiakan malam ini ialah, lebih membuat kita waskitha dalam mencurigai, mengenal apakah kita hanya sekedar pintasan, ataukah hanya buih kecil namun akan menjadi ombak ketika bersambung dengan buih-buih yang lain sehingga ombak itu memberikan gelombang yang menyapa dan menyambungkan tanah dan air.

Kita disini memiliki ranah potensi ketakwaannya masing-masing. Dimana kadar ketakwaan seseorang tidak dapat diukur. Seperti halnya menimbang kepedasan lombok atau manisnya gula.  Meskipun kita semua sepakat bahwa poin dari lombok adalah pedasnya dan gula adalah pada manisnya.

Sudah saatnya kita kembali pada sebuah konsep menjalankan kehidupan dengan menggunakan metode petunjuk langit melalui jalan yang sudah diresmikan oleh Allah baik itu Malaikat, Nabi, Rasul, Kitab suci dlsb. Dimana setiap manusia, dalam dadanya sudah ditanam Al Qur’an (Petunjuk) melalui malaikat Jibril (Al Baqarah : 97). Sesungguhnya inilah letak dimana kita dapat memberikan sambungan pada kita meskipun kita ini berbeda. Karena memang ketidaksamaan itu untuk menunjukkan keagungan Allah, bahwa dengan perbedaan namun kita percaya bahwa kita mampu menemukan titik temunya. Cita-cita yang sama yakni bersatu pada ranah yang intim. Inilah metode Allah untuk menyampaikan keindahan. Air dan minyak tidak bisa bersatu, namun kesadaran fungsi masing-masing yang dimilikinya terdapat fungsi yang sama yakni kemanfaatan terhadap kehidupan kita. Inilah cara Allah menunjukkan keagungannya bahwa masing-masing pihak memiliki kesepuhan, bobot serta level ketakwaannya sendiri-sendiri. Jika kita berhenti pada level ketakwaan yang kita bayangkan atau imajinasikan saja akan berbahaya sebab kita tidak mampu menggapai sesuatu yang lebih besar.

Kita disini sama-sama dalam rangka dipertemukan oleh Allah, jangan menyangka bahwa kita hanya bertemu dan ber-Maiyahan saja disini. Namun kita disini sama-sama mengakurasi nikmatnya persaudaraan tanpa ada perasaan saling mengintai satu dengan lainnya. Waskita dan curiga dianggap Mas Agus sama, hanya bahasa penyampaiannya yang berbeda. Seperti panggilan lur dan cuk. Kita berbeda namun tetap menjunjung tinggi ranah persaudaraan. Dimana ranah persaudaraan itu sekarang sedang menjadi telur di ujung tanduk. Telur di dalam Maiyah ini semoga telur yang siap menetas, bukan pecah. Mbah Nun sejak sekian kurun waktu lalu senantiasa mengisi tulisan dengan label daur, bahkan sudah dibukukan.

Kita dalam Maiyah, apa yang ingin kita persambungkan? Berulang kali dalam daur seolah ingin mengatakan bahwa hidup sekarang ini memerlukan belajar yang sungguh-sungguh, kalau ingin membuat paseduluran yang seperti sekarang ini membutuhkan biaya yang besar, dan waktu yang lama. Maka bagaimana hal ini tidak habis dan tenggelam hanya karena kita tidak memiliki figur secara jasadiah. Kita harus mampu menyerap nilai dan spirit dalam diri kita untuk menjadi resonansi Maiyah yang “Kawi” (kawitan, murni, awal, sepuh, tua). Mengapa? Sebab kita mencoba melengkapi sebuah fenomena pohon yang tidak akan terhormat dan bernilai hanya karena bisa berbunga dan berbuah. Tetapi pohon tersebut juga memiliki daun, tangkai, batang yang bernilai. Tetapi pokoknya adalah bagian akar. Dengan persaudaraan kita saat ini seakan sedang panen buah, bagaimanapun dalam simpul yang lain tidak dalam keadaan terancam dan bukan pula menjadi pihak yang harus berbasa basi. Jika ini adalah akibat, maka kita harus mencari penyebabnya. Agar terus menemukan akibat-akibat yang berikutnya. Baiknya kita meneruskan biji-biji tersebut agar semakin banyak bermunculan akibat-akibat tersebut.

Termasuk salah satu kegiatan petani muda Jogja merupakan salah satu bentuk bahwa telur itu memiliki kemungkinan untuk menetas. Pergerakan ini bersambung dengan kegiatan dari sedulur Jepara dengan program Kampus Sawahnya. Bersambung juga pergerakan tersebut di bidang teknologi dengan pergerakan Pak As’ad. Berlanjut juga dengan Pak Ibnu, dimana masih ada ketersambungan dengan Pak Zam. Maka dari itu nampak bahwa kita diberi ilusi perbedaan namun sesungguhnya kita hanya diberi kesempatan untuk menemukan persambungan serta persamaan. Baiknya kita bertukar kontak dan informasi, bukan untuk menemukan dewan sepuh itu namun untuk melanjutkan proses mencari dewan sepuh tersebut bersama-sama. Fungsi dewan sepuh salah satunya ialah ketika anak-anaknya gegeran, congkrah, dll dimana dewan sepuh dapat menempatkan posisi di tengah tanpa memiliki pretensi atau keinginan untuk memiliki salah satu dari apa yang diperebutkan tersebut. Ini yang tidak ada saat ini, dimana kerap kita sangka ada pihak yang menjadi penengah namun justru akan merebut sesuatu yang sedang diperebutkan.

Tentang emergence yang kerap diungkapkan Mas Sabrang, juga dalam Al Qur’an dalam kisah An Naml, An Nahl agar kita dapat mempelajarinya. Tidak apa-apa kita kecil sebagai semut ataupun lebah. Asal kita tahu carfa berdaulat. Bukan sebuah tuntutan untuk kita agar menjadi besar, gagah dan bergading seperti gajah, daripada menjadi gajah menoreh kisah nestapa dalam surat Al Fiil.

Dalam An Nahl, meskipun berukuran sangat kecil namun dianjurkan untuk membuat rumah di gunung-gunung, pohon, dan bangunan yang dibangun manusia. Dianggap Mas Agus bahwa ini merupakan kesempatan kita untuk menjadi An Naml atau An Nahl. Lebah yang memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri. Makhluk yang berukuran kecil namun sesungguhnya kuat.

Dapat kita mulai dengan melakukan hal yang paling sederhana terlebih dahulu, seperti mengkonsumsi tanaman yang kita tanam sendiri. Meskipun salah satu simpul Maiyah yang menanam namun simpul Maiyah yang lain ikut mengkonsumsi masih bisa dihitung sebagai tanaman sendiri. Banyak hal yang hilang karena tidak terakomodir dan kalah oleh salah satu sistem besar. Seperti pembuat tikar pandan, dll.

Banyak bakal tanaman yang mati karena bijinya kita tindas atau injak-injak. Maka dianjurkan bagi kita untuk memiliki hati petani. Hati yang senang tandur, ngerumat, ngeramut hingga lahan yang tandus menjadi ijo royo-royo. Bisa pula diterjemahkan bukan dalam tanaman saja, tetapi kebaikan dalam bentuk apapun termasuk berhati petani seperti halnya Zamatera ini.

Kemudian Pak As’ad dari Suluk Surakartan, yang baru saja tiba sebab salah membaca lokasi yakni Bergas yang dibacanya menjadi Bergota yang berada di Semarang, sehingga harus memutar balik. Menanggapi soal tema, yang memiliki ketersambungan terhadap tema dari Suluk Surakartan kemarin yang diambil dari tulisan tetes dari Mbah Nun. Dari berbagai lapisan masyarakat yang kita kenal memang terjadi krisis paseduluran.

Mungkin akan lebih mudah dengan analogi tiang listrik pusat dengan tegangan tinggi tidak akan efektif dan efisien jika langsung disalurkan ke rumah-rumah. Seperti halnya tidak bisa begitu saja bagi kita untuk menyerap informasi langsung dari pusat. Masyarakat secara personal atau komunal digambarkan dalam sedulur papat limo pancer. Begitu pula di era kenabian kita kenal empat sahabat dengan pancernya ialah kanjeng nabi.

Dengan simbol piramida, dengan unsur Nur Muhammad. Dalam tetes Mbah Nun ditulis dalam “Berdiri di pojokan” seolah-olah menyingkir dari permasalahan yang ada untuk mengamati. Mungkin juga dapat berarti agar menjaga keempat unsur ini agar tidak ada yang dominan. Permasalahan dalam perkumpulan apapun karena keempat unsur ini yang tidak dominan. Belum ada kesadaran bahwa kita harus mengelola keempat unsur tidak lebih tinggi dari yang di tengah. Jika secara komunal, maka yang bisa disebut sebagai dewan sepuh dimana biasanya adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya yang tidak terikat sesuatu yang tidak penting.

Tentang emergence digambarkan oleh Mas sabrang sebagai sebuah intelektualitas yang tidak menempel pada makhluk. Digambarkan dengan semut ataupun rayap yang sangat cerdas dalam mengelola organisasinya. Menggambarkan politik di Indonesia, jika dalam suasana menanam, kita akan mengalami musim yang anomali. Yang tidak mengenal kapan kemarau dan penhujannya. Maka diperlukan dewan sepuh sebagai penyeimbang, katalisator, juga penghubung. Banyak sekali di lingkungan Maiyah yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual namun selain itu juga memerlukan pancernya.

Diskusi terus berlanjut hingga waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB. Mas Jion diminta untuk menembangkan “Pangkur kerinduan”, dilanjutkan dengan “Dhuh Gusti” bersama-sama dengan sedulur-sedulur yang hadir. Dilanjutkan “Shohibu Baiti” bersama-sama yang dipimpin oleh Mas Tyo. Sebagai penutup, makanan khas Gunung yang selalu menjadi tradisi Gugurgunung ialah menu nasi jagung sambil mengobrol ringan dalam bentuk lingkaran-lingkaran yang lebih kecil.

Semoga diri kita dapat mengelaborasi masing-masing bahwa apa yang kita dapatkan disini akan kita bawa pulang dan kita jadikan alat penggembira di dalam memasuki ranah kehidupan berikutnya entah keluarga, lingkungan, masyarakat sekitar kita masing-masing.

Kita bangun secara sungguh-sungguh, kalau itu bisa tergapai insya Allah akan ada pilar-pilar yang tetap mempertahankan daur. Baik soal ketahanan pangan, pertahanan keamanan, sains dan teknologi, serta literasi. Pelan-pelan kita kerjakan untuk generasi anak cucu kita. Untuk diberikan pula pada anak turunnya lagi seperti halnya An Naml dan An Nahl.

Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

Andhika H

MANAJEMEN BHINNEKA TUNGGAL IKA 3

Kemudian Master Zein, pada malam hari ini juga diminta untuk membagikan pengalaman beliau untuk bisa dipelajari bersama. Dimana sebutan Master untuk dirinya yang tertulis di poster merupakan sebuah tamparan untuk beliau. Seperti pada saat beliau merapat di Maiyah Kenduri Cinta, bahwa disana juga sudah dikenal dengan sebutan Master. Sedikit kisah beliau dipanggil dengan sebutan Master. Dahulu beliau adalah seorang penjual kacamata di sebuah optik milik beliau. Namun setelah mengetahui bahwa kacamata diproduksi bukan untuk membantu seseorang menyelesaikan masalah mata namun agar seseorang selalu tergantung pada produsen kacamata. Kemudian beliau berhenti, hingga tiba saatnya menjadi linglung tentang apa yang ingin dikerjakan. Namun guru beliau menganjurkan untuk tetap menekuni di bidang kesehatan, sebab di bidang itulah tetap memberikan manfaat untuk manusia. Akhirnya beliau mempelajari ilmu refleksi, akupunktur, herbalogi. Kemudian menemukan ilmu yang sangat beliau senang yakni ilmu tentang tulang belakang. Akhirnya beliau memutuskan untuk menekuni ilmu tentang tulang belakang, namun era 2005 belum ada universitas yang memberikan fakultas tersebut. Beliau menemukannya di Jerman namun terkendala biaya yang mencapai milyaran rupiah, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk mempelajarinya sendiri. Dimana akhirnya beliau menemukan buku berjudul yumeiho. Tiba pada 2006 hingga 2008 beliau belum menemukan guru yang bisa mengajarkannya. Master Zen mengunjungi penerbit di Jogja. Dari Jogja diberitahu untuk pergi ke Ambarawa, namun orang yang dijumpainya tidak memahami ilmu tersebut karena hanya menghantarkan naskah ke penerbit. Hingga disarankan untuk menemui salah seorang di Surabaya. Sesampai disana bertemu seorang penerjemah buku tersebut dimana buku tersebut sudah dipraktekkannya pada beberapa pasien dan hasilnya luar biasa. Namun orang tersebut ternyata juga hanya menerjemahkannya saja. Hingga disarankan untuk menemui seseorang di Bogor. Sama halnya dengan beberapa orang yang ditemui sebelumnya, namun orang tersebut memberi tahu bahwa dulu ada seminar dari luar yang mengajarkan ilmu tersebut di salah satu RS di Bogor. Kemudian Master Zen menuju ke Rumah sakit tersebut. Disana beliau bertemu dengan seorang dokter gigi yang mengikuti pelatihan tentang ilmu tulang belakang tersebut. Disana Master Zen mengatakan bisa mengobati pasien sakit gigi dan migrain dalam waktu 3 detik. Master Zen diminta untuk mempraktekan pada 7 pasien disana dan semua mengatakan langsung sembuh. Tak disangka justru para dokter disana ingin belajar kepada beliau hingga dipanggilah beliau dengan sebutan Master. Demikian sedikit kisah beliau dalam mencari ilmu, hingga mendapatkan sebutan Master.

Lanjut Master Zen tentang tulang belakang, yang disambungkan dengan kebhinekaan. Bahwa di dalam yang lembut ada yang keras, dan di dalam yang keras ada yang lembut dimana itu saling sinergi dan saling menjaga. Sejumlah 33 ruas, yang masing-masing memiliki sistem sendiri dan hal itu mengendalikan seluruh organ dan sendi tulang tubuh manusia yang berjumlah 360. Ilmu yang paling tinggi ialah ilmu nol. Seperti halnya 360 yakni kembali ke nol. Oleh karena itu dari Master Zen sendiri dan diteruskan pada murid-muridnya untuk ditegaskan bahwa kesembuhan bukan dari Zamatera, tetapi karena Allah sudah memberikan kesembuhan melalui cara apapun.

Di dalam Zamatera terdapat 17 gerakan. Disana ada angka 1 dan 7 yang berarti hanya satu yang kita tuju yaitu ahaddun. Bahkan setiap gerakan Zamatera terinspirasi dari gerakan sholat. Jika orang sehat solat secara berurutan ialah berdiri dahulu, lalu rukuk, sujud dst. Namun karena pasien Zamatera adalah orang yang sakit maka gerakan solat tadi diposisikan secara horizontal. Berdiri maka diganti dengan telentang. Kemudian angkat kedua kaki, menyerupai orang ruku. Kemudian menekuk kedua lutut menyerupai orang bersujud.

Kisah beliau menemukan gerakan mengobati sakit gigi dan migrain dalam 3 detik. Master Zen memiliki kebiasaan sholawatan setiap malam jumat. Suatu ketika, ada pasien yang datang pada malam jumat. Dengan sopan ditolak oleh beliau, namun pasien tersebut tetap menunggu. Hingga sepulang sholawatan yakni kisaran jam 12 malam, pasien tersebut masih menunggu Master Zen. Ditanya oleh Master Zen, tentang penyakitnya. Pasien tersebut mengatakan sudah sakit gigi selama 3bulan. Masih hangat di ingatan beliau saat tadi beliau sholawatan, beliau bermimpi berada di sebuah bioskop dan dipertontonkan gerakan mengobati orang sakit gigi dan migrain. Langsung dipraktekkan oleh Master Zen gerakan yang di ingatannya tersebut. Usai diterapi ternyata sembuh, namun pasien tersebut justru marah-marah. Jika pengobatannya hanya secepat itu mengapa tidak ditangani sebelum pergi tadi hingga tidak menunggu selama ini. Namun tanpa diketahui oleh pasien tersebut bahwa gerakan tersebut baru saja didapatkan beliau dari mimpinya di sela sholawatannya tadi. Terkait angka 17 tadi, Master Zen juga menyampaikan pemaknaan beliau tentang innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Dikatakan beliau rojiun disini diartikan dalam bentuk jamak, bukan tunggal. Maka dari diri yang terbagi ini nantinya dapat menjadi kembali dalam keadaan utuh.

Mas Agus kemudian memberikan sedikit tambahan informasi bahwa, dari pengalaman Master Zein didapatkan informasi yang sangat indah andaikan setiap manusia memposisikan diri seperti Master Zen berarti sama saja dengan Allah sendiri yang memberikan terapi pada setiap orang. Ada yang dengan persentuhan langsung ada pula yang tidak langsung disentuh. Yang langsung disentuh ialah tatkala si sakit mendapat sentuhan dari pihak yang meng-nol-kan dirinya, yang berkualitas pengabdian seperti halnya Mas Zein, bukan kualitas kedaulatan profesi. Sehingga meskipun seolah-olah tangan Mas Zaen yang bergerak, sesungguhnya Allah yang menggerakkan tanganNya melalui tangan Mas Zein. Jika kita mengelaborasi pengetahuan tersebut secara luas bahwa ternyata bukankah Allah juga mengobati, memberi makan, minum, berarti diri kita ini tidak pernah disia-siakanNya bahkan tanpa disadari setiap hari diberikan pengobatan gratis oleh Allah. Sebab antara sehat dan sakit lebih banyak kesempatan untuk sehat sementara sangat bisa untuk Allah memberikan kita sakit, tetapi justru kesehatan yang lebih banyak dilimpahkan untuk diri kita. Berarti Allah memberi pengobatan gratis secara terus menerus.

Sesi pertanyaan dari Mas Kiki perwakilan Karang taruna tentang seringnya berdebat masalah agama dengan temannya. Satu menggunakan pengetahuan umum, lainnya menggunakan pengetahuan agama. Direspon oleh Gus Aniq bahwa, inilah yang sering terjadi di masyarakat kita. Kerap kali mendikotomikan antara agama dan umum dimana hal tersebut sebenarnya adalah satu dan saling melengkapi. Seperti halnya orang berdagang, hal tersebut juga menggunakan pengetahuan umum juga termasuk dalam salah satu ibadah. Tidak perlu mendebatkan kebenaran, masih teringat pesan dari guru kita yakni Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib tentang kebenaran. Bahwasanya kebenaran itu letaknya di dapur, bukan yang disuguhkan di warung. Umum juga agama, agama juga adalah umum, semua itu adalah ibadah sebab kita semua adalah abdun.

Keterbatasan ruang dan waktu kali ini bukan berarti menjadi halangan untuk pertemuan di ruang dan waktu yang lain. Tema besar tahun ini di Majlis gugurgunung ialah Kasantikan, dengan sub tema malam hari ini ialah Manajemen Bhineka Tunggal Ika, meruwat dan merawat keanekaan. Dari segala perbedaan dapat kita harmoniskan dengan bahasa universal. Majlis dipungkasi dengan ditutup dengan pembacaan doa oleh Mas Aniq tepat pukul 12 malam. Sekian reportase kali ini, semoga apa yang tersampaikan di lokasi, apa yang tertuliskan disini dapat kita ambil manfaatnya untuk kita perankan sesuai peran yang sangat beragam asalkan kita memiliki satu tujuan yang sama.

 

 

Andhika Hendryawan

MANAJEMEN BHINNEKA TUNGGAL IKA 2

PADA DASARNYA MANUSIA ITU LEMBUT

Tibalah kemudian Gus Aniq untuk membagikan paparan ilmu yang juga masih terkait dengan tema malam hari ini. Sedulur yang hadir diminta oleh Gs Aniq untuk membaca Al Fatihah bersama-sama agar pembelajaran hari ini diberikan berkah oleh Allah SWT. Amin.

Gus Aniq mencoba untuk mentadabur, memaknai melalui tema dan gambar. Dimana dari 33 ruas tulang belakang masih dibagi menjadi lima bagian. Ada yang berada di bagian atas hingga ke bawah sampai tulang ekor. Ada wilayah kebumen, ada pula wilayah langitan. Maka ada kecenderungan untuk hablum minan nas, ada pula kecenderungan hablum minallah.

Pada prinsipnya, ide atau gagasan penciptaan semesta didasari atas Allah mencintai pribadiNya sendiri, mencintai Dzat Nya sendiri. Kemudian menciptakan pantulan-pantulan yang disebut dengan cahaya-cahaya. Dijelaskan pula dalam sebuah hadist qudsyi, “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa`aradtu an u’rafa, fakhalaqtul khalqa likay u’raf.” Aku adalah Allah, aku seperti gudang yang tidak tampak, maka aku menghendaki untuk dikenali melalui ciptaan Allah itu sendiri berupa jagad semesta seperti yang sudah kita kenali. Manusia termasuk makhluk ciptaan yang paling akhir. Manusia diciptakan hanya tinggal menempati saja. Telah tersedia air, tanah, langit dll. Maka penciptaan manusia terbuat dari tanah karena tanah sudah diciptakan terlebih dahulu. Maka tadi dijelaskan sulallah, sulalati mintin. Sulal itu berarti perasan dari tanah yang sangat lembut. Maka pada dasarnya manusia itu lembut, sebab diciptakan melalui unsur yang lembut. Kelembutan ini didasari sifat Allah yang patut dipuji yaitu Hamdu. Dimana kemudian hamdu memendar menjadi Amru. Innamâ amruhu idzâ arôda syai`an ay yaqûla lahu kun fayakûn.

Amr itu ialah esensi yang kemudian menjadi substansi, lalu menjadi Al-Kholqu. Menjadi ciptaan yang belum berbentuk fisik. Ibarat aplikasi ialah aplikasi yang sudah siap untuk diinstal. Allah yang bersifat esensi (hamdun) kemudian melahirkan al-amru.

Al-amru merupakan substansi dari suatu hal yang dinamakan getaran. Ini adalah isyarat Allah memberikan getaran suara atau bunyi, dan tidak semua orang yang dilepaskan oleh Allah bisa mendengarkan semua suara itu. Seperti halnya Nabi Muhammad yang hanya sendiri mendengarkan getaran tersebut dalam Gua Hira. Jika bunyi itu dilepas untuk diperlihatkan maka akan menggoncangkan kesemuanya.

Menurut Gus Aniq, dalam khasanah Jawa bunyi kun fayakun seperti bunyi gong. Suara gong itu cukup untuk mewakili suara setiap elemen semesta. Getaran yang memendar menjadi gelombang disebut Al-Kholqu. Al-kholqu memendar lagi menjadi Al Malik dimana itu sudah menjadi fungsi. Kemudian menjadi al-hakam dimana itu sudah menjadi materi. Manusia dititipi ke semua ini. Seperti lima bagian tulang punggung, hal ini juga dibagi lima mulai dari hamdun, amru, kholqun, malik dan hakam atau hukum. Manusia juga termasuk ciptaan Allah yang paling rumit. Ada unsur tin, ada unsur turob, ada unsur sholshol, hamâ`in masnûn, dimana dalam unsur fisika disebut C, H, O, N. Ada unsur tanah, air, udara dan api.

Hal ini menjadi pondasi dasar kita untuk menaknai manusia, sebab jaman sekarang sedang krisis manusia memanusiakan manusia. Pembacaan alam semesta diawali dari pembacaan manusia ke manusia. Iqro` bismi robbikal ladzi kholaq, bacalah atas nama tuhanmu yang menciptakan. Apa yang dibaca, ciptaan apa yang dibaca? Namun kemudian diberikan objeknya dalam sebuah pemahaman utuh. Kholaqol insâna, bacalah atas nama Tuhan yang menciptakan manusia. Manusia dibaca dari mananya?, yakni min ‘alaqin. Dari sesuatu yakni zigot. Alaqin diartikan yakni menggantung. Seperti halnya zigot yang nampak menempel di dinding rahim namun sebenarnya menggantung. Alaqoh, ialah darah yang menggumpal atau zigot.

Oleh karena itu penting sekali kesadaran untuk membaca manusia. Tidak mungkin membaca semua ciptaanNya Allah tanpa membaca manusia. Maka tidak bisa kita remehkan anjuran untuk membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil sejumlah 33 kali. Dimana agaknya manusia secara fisik dipengaruhi oleh tulang punggung, bayangkan saja manusia tanpa tulang punggung. Tetapi punggung itu sendiri memiliki sifat lentur atau tidak kaku. Maka menjadi manusia itu lentur, bisa ditegakkan bisa membungkuk dlsb.

Manusia sudah sedemikian rupa diatur oleh Allah, kalau tidak memiliki dasar demikian maka kacau menjadi manusia. Dimana kita tidak mengingat bahwa diri kita terbentuk dari unsur air, api, tanah, udara. Apinya juga berbeda yang digunakan untuk menciptakan iblis.

Kholaqol insana min alaq. Mengapa disebut insan? Bukan kholaqonnas? Bukan kholaqol ins? Tetapi justru insanun. Didasarkan pada kitab mu’jizatul qur`an, bahwa “insan” diartikan sebagai “harmoni”, atau “kumpulan dari beberapa hal” atau bisa juga disebut keanekaan.

Oleh karena itu bersyukurlah kita diciptakan sebagai manusia, dimana rasa syukur itu diwujudkan dengan memiliki kesadaran untuk membaca manusia. Laulaka laulaka ma kholaqtul aflak. Kalau bukan karenamu (Muhammad) aku tidak akan menciptakan sesuatu. Jadi selain Allah mencintai DzatNya, kita juga berasal dari Muhammad itu sendiri yakni Nur Muhammad yang memendar. Secara bahasa ialah Ahmad, Ahmad, Ahmad, Ahmad…. dst hingga sampai Muhammad. Muhammad ini sebagai punjernya yang mewakili antara kebumen dan langitan. Dalam bahasa langit, Muhammad dinamakan Ahmad. Seperti halnya semua nabi pun juga memiliki gelar ahmad. Namun sebagai penutup dan pelengkap ke semuanya yakni Muhammad itu sendiri. Sebagai pelengkap yang dimiliki oleh Muhammad ialah Al-Akhlaq, atau Al-Kholqu tadi yang digunakan untuk menyempurnakan. Ada fungsi ada juga materi yang jika dinaikkan menjadi hamdun. Masing-masing manusia ialah materi, namun yang disampaikan oleh Muhammad ialah apa fungsi dari materi tersebut. Ternyata manusia harus memahami substansi hingga nanti sampai pada esensi.

Maka dari itu Al-Quran sebagai penutup, dimana keseharian Gus Aniq dirumah sering membolak balik Al-Quran hingga bertemu dengan lafadz dho’. Dimana lafadz dho’ ini diakhiri pada surah Al-Insyiroh. Alladzi anqodho zhohrok, yang memberatkan punggung. Dimana dho’ ini terakhir membahas tentang punggung yang sangat membebani. Namun bagaimana agar tidak menjadi beban? Dalam ayat berikutnya diterangkan warofa’na laka dzikrok, harus eling/dzikir. Kemudian dilanjutkan fainna ma’al ‘usri yusro. Dimana bersama dengan kesulitan ada kemudahan, bukan setelah kesulitan ada kemudahan. Ma’a itu adalah bersama, atau gandeng terus menerus. Oleh karena itu jika ada masalah yang sangat berat maka dinaikkan ke langitan yakni dalam proses dzikrok tadi maka akan menjadi ringan.

MANAJEMEN BHINNEKA TUNGGAL IKA

Pertemuan rutin Majlis Gugurgunung edisi bulan Mei jatuh pada tanggal 26 Mei 2018. Bertempat di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in Bodean Pringapus, Kabupaten Semarang. Alhamdulillah dirawuhi juga oleh Gus Aniq yakni pengasuh Ponpes RKSS serta Master Zein Zamatera. Selain itu turut hadir pula perwakilan dari aparat desa yakni kepala RW setempat.

Kegiatan dimulai pada pukul 21.00 WIB, dengan moderator pada malam hari ini yakni Mas Kasno. Diawali dengan do’a wasilah serta wirid oleh Mas Tyo, dilanjutkan dengan Munajat Maiyah oleh Mas Jion.

Mas Kasno selain sebagai moderator juga merupakan perwakilan dari Tim Tema yang juga turut memberikan preambule tentang tema serta pembacaan mukadimah. Telah disediakan pula 33 lembar print out mukadimah yang dapat disimak pula oleh sedulur-sedulur yang hadir.

Mas Kasno memberikan preambule tentang tema serta pembacaan mukadimah

Tema pada malam hari ini ialah “Manajemen Bhineka Tunggal Ika – meruwat dan merawat keanekaan”. Poster dengan gambar tulang belakang manusia itu, dimaknai oleh Mas Kasno erat kaitannya dengan manajemen keanekaan. Selain itu tema ini juga saran dari Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib, untuk mengimplementasikan tema Manajemen Bhineka Tunggal Ika.

Bhineka Tunggal Ika sejak SD setahu Mas Kasno ialah walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Dihubungkan oleh Mas Kasno, bahwa tulang belakang merupakan salah satu yang terbentuk pada saat awal tercipta manusia. Kemudian Mas Kasno melanjutkan dengan membacakan Mukadimah.

Kemudian Dusun Bodean juga memberi sambutan, serta menyampaikan maaf dari Kepala Desa yang sebenarnya juga diundang malam hari ini namun tidak bisa untuk hadir. Menanggapi soal tema, Pak RW menghubungkannya dengan masyarakat sekitar serta di Indonesia yang dianggapnya tidak memiliki permasalahan terhadap toleransi terutama keagamaan. Selain itu juga menegaskan berulang kali bahwa kegiatan ini harus diakhiri pada pukul 12 malam, yang menurut beliau di bulan yang suci ini agar ibadah tidak terganggu bagi yang menjalankan. Usai memberikan paparan, beliau segera mohon izin, minta maaf dan berpamitan untuk meninggalkan kegiatan dikarenakan ada kegiatan lagi di lain tempat.

 

BHINNEKA DIRI SEBAGAI CONTOH MANUNGGAL IKA

Mas Agus juga sedikit memberikan paparan untuk memperdalam diskusi malam hari ini, bahwa malam hari ini bukan hanya peristiwa bermajlis namun juga bersambung terhadap pihak yang lebih luas. Ditengarai dengan hadirnya Pak RW. Terima kasih serta apresiasi juga disampaikan kepada Karang Taruna setempat yang turut membantu dalam perhelatan malam hari ini terutama perihal perijinan.

Mas Agus sedikit me-remind bahwa disini merupakan maiyahan khusus sehingga paling larut ialah jam 12 malam, namun dengan harapan tidak mengurangi satu hal apapun juga harus disyukuri dan dibahagiai. Sebelum tema malam hari ini, memang sempat ada gagasan untuk menggarap tema tentang ruwat. Tidak banyak pijakannya, bahwa ruwat itu dihubungkan dengan berpuasa di bulan ramadhan. Bulan ini menurut Mas Agus ialah proses ruwat yang evolusioner bukan revolusioner, namun apabila direntang dalam sebuah laku kehidupan maka ruwat termasuk proses yang revolusioner. Sebab dahulu proses ruwat dengan menggunakan Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu. Manusia diberi karunia oleh Allah dengan berbagai macam simbol. Sendi tulang manusia seluruhnya berjumlah 360 ditadaburi sebagaimana derajad dalam sebuah lingkaran, seperti halnya tawaf juga dalam sebuah lingkaran. Proses belajar kali ini disambungkan antara langit dan bumi, agar tidak terlalu langitan serta masih menggunakan pijakan bumi. Bahwa di dalam tubuh kita itu kita memiliki amtsal alat untuk dzikir, untuk kembali mengingat / eling.

Jika kita melihat dari gambar pada poster, yakni tulang belakang diimajinasikan sebagai alif dalam hijaiyah, namun ketika membungkuk seperti huruf wawu. Jaman dahulu saat mengaji menggunakan metode A I U. Alif fathah a, Alif kasroh I, Alif dhomah U, A-I-U, begitu seterusnya. Hal tersebut sebenarnya tidak sesederhana itu, bukan hanya tentang vokal tetapi juga tentang urutan. Mulai mengenal A, terus I, hingga menjadi U. Dari larah menjadi lirih supaya bisa luruh.

Bukan hanya menanggalkan, tapi juga meninggalkan untuk kemudian manunggal. Hal tersebut ialah proses yang dijumpai manusia sehari-hari. Kadang manusia menjadi alif, juga terkadang menjadi wawu. Terkadang harus tegak, terkadang juga harus merunduk. Ketika tegak, maka tidak boleh tegak untuk dihadapan kepada manusia lain, baiknya ialah Wawu, yakni sikap lembah manah andhap asor. Baru kemudian untuk diri kita sendiri yakni hal yang berkaitan dengan tekad, keperkasaan, kegagahan, dalam menjaga Tauhid maka diawali dengan Alif. Ketika sudah diawali dengan niat yang Alif maka nanti bekerja dengan cara wawu, bukan ngelarAh namun ngelurUh.

Berkaitan dengan pengelolaan tulang belulang ada yang lembut menopang yang keras dan sebaliknya yang keras menopang yang lembut. Ketika kita kembali kepada Allah maka bukan dengan keperkasaan dan kegagahan, sebab nanti akan bertanding dengan keperkasaanNya Allah yang Maha Perkasa. Begitu pula jika kembali pada Allah dengan kegagahan maka akan bertanding, sebab kembali kepada yang memiliki kegagahan itu sendiri. Begitu pula dengan yang lembut, misalkan rahman rahim, itupun harus bertanding karena pengasih dan penyayang hanya milik Allah itu sendiri. Oleh karena itu coba kita menarik pada peristiwa Azazil yakni malaikat yang pernah menjadi imamnya para malaikat dimana pada waktu kemudian, dia diburuk rupakan oleh Allah karena dianggap memiliki kesombongan hingga kemudian diturunkan menjadi iblis. Memiliki kesombongan akan dianggap mencederai Allah, sebab sifat sombong hanya Allah yang boleh memiliki. Namun iblis memakainya sehingga dia dilaknat oleh Allah. Sekarang coba kita bayangkan jika itu adalah sebuah proses kedewasaan, dimana imam para malaikat yang hanya memakai satu jubah saja langsung diturunkan menjadi iblis. Tetapi kita seorang manusia yang mungkin belum memiliki fase kedewasaan, maka kita memakai jubah Allah sejumlah 99 itu tidak masalah. Rahman, Rahim, Qahar, Jabar, dll disangka itu adalah milik kita, namun bagaimana caranya dari 99 itu kita mampu untuk menemukan sebuah titik tunggal untuk tidak mencapai titik yang ke-100 yakni kesombongan, dengan demikian berarti kita mengingkari Allah. Sebisa mungkin hal apapun yang membuat kita sombong, harus kita cegah terlebih dahulu. Maka bagaimana kita bisa “bermain” di 99 itu tanpa harus dilaknat oleh Allah, yakni dengan mengenalinya. Sebab di dunia ini kita memang diharuskan untuk belajar. Tidak akan kita mengenal asin apabila Allah tidak menciptakan garam, tidak pula kita mengenal pedas jika Allah tidak menciptakan lombok dan sebagainya. Kita dikenalkan dengan bentuk-bentuk jasadiah itu bukan untuk menegaskan ke-aku-an. Lombok, garam dlsb itu mengabdi kepada Allah dengan istiqoamah mengantarkan rasa yang dititahkan Allah kepada mereka. Jika rasa asin atau pedas ini lewat manusia, bias jadi manusia malah ngaku sebagai yan punya rasa tersebut. Manusia dilahirkan dengan akal maka merasa mampu untuk mengklaimnya. Kita merasa sudah mengasihi dan menyayangi seseorang namun merasa tidak mendapatkan kasih sayang balik, sehingga rasa cinta itu mendai terluka lalu menjadi benci. Itu tanda bahw akita berarti kita tidak sabar. Lanjut dikatakan, “sabar itu ada batasnya” padahal Sabar itu milik Allah (Ash Shobr) itu tidak ada batasnya. Kita sebagai manusia merasa segala halnya selalu ada batasnya karena memang manusia dilahirkan dengan batasan-batasan. Tujuan diberikan batasan ialah agar manusia tidak “mblarah” dan terus-terusan liar, rakus dlsb.

Dalam khasanah Jawa ada satu istilah homofon tentang lapar, yakni luwih (lapar atau kekurangan) dan luwih (berlebihan). Juga ada istilah Ngelih (memindah) dan ngelih (lapar). Pada saat makan, seseorang bisa menjadi rakus karena menuruti rasa lapar sehingga yang berada di meja makan dipindah ke dalam perut. Cara demikian adalah cara Ngelih (lapar/memindah). Ada pula yang berposisi terkendali, yakni pada saat makan meskipun memang lapar namun hanya mengambil seperlunya saja. Cara yang demikian ini adalah cara Luwih(lapar/ lebih). Pelakunya menjadi linuwih (memiliki kelebihan). Dengan cara luwih maka makan digunakan hanya untuk mengganjal tulang punggung. Agar makanan tidak berhenti tertahan di weteng (perut), kalau hanya untuk urusan tertimbun di perut disindir dengan istilah ‘meteng’ (menuju gelap/orang hamil) meskipun sedang tidak hamil. Lain halnya dengan “madhang“. Madhang kata dasarnya adalah padhang (terang), meteng kata dasarnya ialah peteng (gelap).

Semua hal di atas ialah simbol, yang baiknya kita elaborasi menjadi sebuah bentuk peringatan agar kita mampu belajar dalam fenomena yang kita jumpai sehari-hari. Seperti pesan yang selalu disampaikan Mas Agus saat bulan Ramadhan, “selamat memasuki ujian untuk tidak mencret di saat lebaran”. Sebab hal itu merupakan indikator bahwa ketika terjadi mencret maka bersamaan itu pula ada fenomena balas dendam pada puasanya. Berbeda ceritanya apabila ada proses pengendalian maka tidak akan menggiring kita pada fenomena tersebut. Luwih (lapar) berbeda dengan kaliren (kelaparan). Lapar itu baik, menyiksa diri hingga kelaparan itu tidak baik.

Fenomena tulang punggung yang ada pada diri manusia memerankan diri sebagai pemersatu segala jenis dan macam tulang belulang manusia. Juga segala macam lembut dan teguh dalam diri manusia. Pemersatu kebhinnekaan. Bisa kemudian kita kembangkan, bagaimana jika sesungguhnya di dalam hidup ini, masing-masing manusia adalah komponen sebagaimana halnya daging tulang dalam tubuh. Sehingga wajar jika manusia ada yang berperangai keras, lugas, tegas, ada pula yang berperangai lembut, puitis, penuh isyarat, dan senang bersembunyi.

Akan berbenturan ketika kita dititahi sifat Qahar (Memaksa) dengan sifat Rahman Rahim (Welas Asih), satu sisi lembah manah, sisi lain harus tegak. Namun ketika kita menyadari bahwa itu berasal dari Allah maka kita juga harus mengetahui titik harmoni agar tidak timpang sebelah. Maka dari itu agar kita tidak terhanyut dalam sebuah sifat yang lembut saja hingga seakan mendewakan kelembutan itu untuk diakui diri kita di hadapan manusia, bukannya mendewasakan diri untuk menjadikan kelembutan itu menjadi sebuah proses pengabdian.

Halal dan haram sendiri juga harus memiliki catatan. Sesuatu yang haram bisa menjadi halal dengan satu catatan. Seperti halnya dalam kehidupan kita juga harus memiliki catatan tersebut. Misalkan dalam suatu fenomena kita harus marah akan sesuatu namun dengan catatan tertentu rasa marah itu mampu kita kelola untuk diubah menjadi mengambil hikmah dari fenomena tersebut. Apakah catatan itu? Yakni catatan ini harus positif dan tersambung kepada Allah dengan harapan untuk mendewasakan kita. Agar di setiap titik kita mampu melihat wajah Allah. Meskipun ketika wajah Allah ditampakkan di bumi sebenarnya banyak ketidaksepakatan muncul dari diri kita. Coba kita tilik pada sebuah Hadist Qudsy, “Aku lapar tidak engkau beri makan, Aku haus tidak engkau beri minum, Aku sakit tidak kau jenguk”. Akal manusia akan menjawabnya dengan mengatakan “bisakah Allah lapar, haus dan sakit?”. Dijawab lagi oleh Allah bahwa lapar yang dirasakan itu diwakilkan pada orang-orang yang terpinggirkan, rasa sakit diwakilkan pada orang-orang yang tidak memiliki biaya berobat, demikian pula rasa hausnya juga diwakilkan pada orang yang tidak memiliki air untuk minum. Untuk dekat dengan Allah maka kita harus berjuang, berkorban, harus kita dekati orang-orang tersebut meski sebagian besar kita merasa enggan melakukannya. Mendekat kepada Allah sudah naluriah kita, namun di dalam hidup memang banyak tantangan dan perjuangan serta harus memiliki sikap untuk mengalahkan diri sendiri hingga mampu mencenderungi untuk membantu orang lain. Disini kita sama-sama belajar dengan mengakomodir kebenaran terus-menerus untuk memprioritaskan kebenaran. Demikian beberapa pemaparan dari mas Agus yang setelah itu ia memberikan kepada Mas Aniq untuk membagi kawruh dan paparan-paparannya kepada para wadyobolo gugurgunung.

THERAPY ZAMATERA DAN UNTUK MASYARAKAT

Malam itu, tepatnya tanggal 14 Mei 2018 diadakan sebuah kegiatan sosial berupa pengobatan massal di Madrasah Hidayatul Mubtadi’in di dusun Bodean, Ungaran Kab. Semarang. Semenjak ba’da Maghrib, di sebuah sudut ruangan telah diramaikan oleh masyarakat Bodean. Pria, wanita mulai dari dewasa hingga usia lanjut yang menunggu digelarnya acara, bahkan anak-anak yang turut meramaikan dengan bermain-main di pelataran gedung madrasah ini.

Kegiatan ini merupakan persembahan Karangtaruna Dusun Bodean sebagai upaya berbakti kepada lingkungan menjelang Bulan Ramadhan. Persiapan yang sudah cukup matang dari para pemuda Karangtaruna Bodean yang diketuai oleh Mas Rifki ini disambut baik oleh masyarakat dan Zamatera sehingga kegiatan ini dapat berjalan. Terapi ini diadakan secara gratis untuk masyarakat atas kerelaan Master Zaen beserta kedua murid beliau yakni Mas Arif dan Mas Oki. Tidak hanya mereka bertiga yang hadir dari Salatiga utuk ikut menemani kegiatan ini, ialah istri Master Zaen, Bu Zaeni yang juga dengan gembira ikut membersamai acara ini. Zamatera ialah singkatan dari Zaeni Manipulation Therapeutic atau biasa disebut Rumah Terapi Zamatera yang berpusat di Salatiga.

Pencetus Zamatera yakni Master Zaen langsung yang merelakan hadir memberikan terapi tanpa memungut biaya sedikitpun yang biasanya bekisar antara Rp. 500.000,- per orang untuk sekitar 15 menit terapi. Tarif tersebut adalah tarif minimal yang ditetapkan oleh Asosiasi Zamatera Internasional kepada Master Zain. Sedangkan untuk terapi yang dilakukan oleh murid-murid Master Zaen sekali terapi minimal Rp. 250.000,- . Proses yang dilalui Master Zaen sehingga mendapat predikat master sudah dimulai sejak puluhan tahun silam hingga kemudian munculah satu teknik yang dirumuskan sendiri oleh Mas Zaen berdasar pengalaman, pengamatan, dan ilham yang beliau terima. Zamatera berdiri secara resmi pada tahun 2016 dan saat ini sudah dianggotai oleh warga lintas negara. Selain Indonesia, juga praktisi Zamatera yang ada di Qatar, Turki, Malaysia, yang menggunakan teknik temuan Master Zaen ini.

 

Kegiatan ini dimulai sekitar pukul 19.00 WIB, usai dibuka oleh pembawa acara dari remaja dan dilanjutkan dengan sambutan oleh pengurus warga setempat. Kemudian tiba giliran Master Zaen yang sedikit memberikan teori-teori tentang kesehatan tubuh, imunisasi, vaksinasi, dimana menurut beliau hendaknya tidak seketika sakit langsung ke dokter atau langsung membeli obat. Sebab sistem kekebalan tubuh mampu merespon berbagai macam penyakit, selain menghemat biaya juga tidak baik ketika tubuh dikondisikan selalu bergantung dengan obat. Sekitar 30 menit dengan sangat apik beliau mempresentasikan beberapa teori tentang kesehatan yang juga disambut baik oleh masyarakat, dimana ditandai dengan adanya komunikasi dua belah pihak. Tanya jawab dan berdiskusi interaktif menjadi akhir pemaparan Mas Zaen untuk kemudian memasuki sesi berikutnya yakni pemberian terapi.

Pada sesi ini Mas Zaen memberikan waktu kepada dua muridnya yang juga sudah mumpuni untuk menangani beberapa masalah kesehatan ringan sementara Mas Zaen hanya menangani beberapa kasus yang dinilai cukup berat saja. Meskipun diluar ruangan sambil ngobrol santai, beralas tikar beliau bersedia pula untuk menangani beberapa kasus yang ringan seperti kepala tengeng dan migrain.

Antusias masyarakat cukup tinggi, hingga jumlah pasien yang pada awalnya dibatasi sepuluh orang menjadi lebih dari dua puluh orang. Sedikit testimoni diambil videonya untuk dapat dipresentasikan di malam minggu terakhir, juga di gedung yang sama dalam kegiatan pertemuan rutin maiyahan Majlis gugurgunung yang insyaallah nanti juga akan dihadiri oleh Master Zaen.

Kegiatan terapi terus berlanjut hingga pukul 23.00 WIB. Keringat mulai bercucuran di muka murid Master Zaen yang nampaknya mulai kelelahan. Hingga pasien terakhir yakni seorang wanita yang mengalami masalah gangguan haid, nyeri perut serta kaki yang panjang sebelah mungkin sekitar 1-2cm. Untuk kali ini Master Zein sendiri yang turun tangan. Beberapa penonton juga turut melihat aksi beliau, hingga memang nampak efek pada kaki yang tadinya nampak panjang sebelah menjadi sama panjang. Selain Mas Zaen memberikan terapi di lokasi, juga memfollow up beberapa pasien yang sekiranya perlu diikuti perkembangannya supaya terapi lebih berjalan maksimal.

Dirasa cukup, pasien pun telah selesai ditangani semua, lalu diakhiri dengan foto bersama. Master Zaen harus segera berpamitan pulang untuk beristirahat sebab esok pagi beliau harus terbang memenuhi undangan di Kuala Lumpur, Malaysia. Meskipun dengan jadwal yang sangat padat namun masih menyediakan waktunya pada malam itu. Alangkah indahnya jalinan yang tersulam malam itu. Semua pihak saling bersinergi dengan serasi dan indah. Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

 

AH-MGG