Mempuisikan puasa kehidupan

 

Hidup penuh hidangan, tidak semua yang bergizi tampil dengan menarik justru yang tidak bergizi sering tampil menarik. Ilmu puasa diperlukan untuk memilih dan memilah. Sehingga tiap-tiap waktu adalah pengendalian, kewaspadaan memilih, kecermatan memilah, maka konsep puasa telah diterapkan.

 

Berpuasa itu bukan fenomena kekurangan namun mengurangi. Bukan fenomena kemiskinan namun mencukupkan. Bukan fenomena menahan diri tapi mengenal porsi. Puasa juga mau memilih hal-hal tidak menarik sebab tahu bahwa itu bergizi. Pilihan tersebut menguntai. Betapa indahnya sehingga melantun sebagai bait-bait syair yang penuh makna dan pendalaman.

 

Romadhon adalah puasa wajib namun kewajiban berpuasa bisa diberlakukan selain romadhon. Sebagaimana kita selalu mengidamkan hidup dalam keseimbangan dan terkendali tidak hanya dalam satu bulan, melainkan sepanjang tahun bahkan sepanjang kehidupan.

 

Mari kita berpuisi di tengah bulan puasa ini, dimana bait-baitnya adalah perilaku, syairnya adalah cinta, lekuk dan pekikannya adalah jelmaan keindahan yang ngejawantah dalam kata dan saling menjaga. Sebab waktu berkata, angin berkata, laut berkata, langit berkata, mata kita berkata, lapar kita berkata, nikmat kita berkata, sedih kita berkata. Bahasanya berbeda, tapi caranya sama saja: bersyair.

 

Keluarga gugurgunung kembali menghelat Sinau Bareng bulan inin, berkenan menghadiri?
Monggo sugeng rawuh sugeng piranak.

TIRAKAT IV : FITRAH

FITRAH - 25 Juni 2017TIRAKAT IV : FITRAH

Setiap insan dihadirkan ke dunia dalam keadaan kudus dan fitri. Bayi adalah perwujudan cahaya, senyumnya menyenangkan, tidurnya mengundang cinta kasih, tangisnya menghibakan, ketidakberdayannya melatihkan daya tahan. Segalanya menjadi positif, tercahayai. Bayi itu tunduk pasrah, tenaganya mungil dan segala ungkapan-ungkapannya diwakilkan lewat tangisan, tapi semua orang menyayangi. Tangisannya itu seakan tidak sedang ditujukan pada manusia, ia ditujukan kepada Tuhan. Kemudian ayah bundanya atau siapapun di sekitar lingkungannya merasa iba dan perlu mengambil peran sebagai kesempatan mengabdi kepada Tuhan. Seakan menaruh kasih mendalam dan ikut merasakan derita sang bayi yang tengah memanggil Tuhan tanpa sahutan. Ternyata, Tuhan menyahutnya. Ternyata Tuhan mendengarkan dan mengulurkan ‘tanganNya’ kepada si jabang bayi. Dengan cara menggerakkan hatinya orang yang bertuhan untuk menggunakan telinga, mata, hati, dan tangan kakinya menjawab keperluan si bayi.

Jabang bayi itu, jangankan senyum dan keriangannya, pipis dan eeknya saja tak membuat petaka meskipun ia lakukan ditempat yang (bagi yang lebih dewasa) tidak pada tempatnya. Bayi tetap mendapat pelayanan yang penuh welas asih. Inilah bayi yang kita semua pernah mengalami masanya. Kemanakah kiranya pancaran pesona si jabang bayi itu kini? Ada yang terjaga namun tidak sedikit pula yang terhempas tergeser selera dan pesona dunia. Puasa adalah momentum untuk sedikit terlepas dari jeratan selera agar kita punya kesempatan pula untuk menengok sudah sejauh apa kita tinggalkan si jabang bayi yang bercahaya itu.

KATA ANGIN KEPADA NAFAS

Kau ibarat bayi, maka ketika menjumpaimu hanya rasa sayang yang muncul. Andaikanpun, aku terluka atau tersayat olehmu maka rasanya segera terguyur permaafan karena cintaku kepadamu lebih mencengkeram. Karena aku sayang, maka aku cemburu, karena aku cemburu maka aku rindu, karena aku merasa paling merindukanmu maka aku merasa kau kepunyaanku dan disaat sadar kau tak memerlukan kerinduanku, aku terkulai malu. Aku ingin menimangmu tapi kau bukan bayi, kau telah mendewasa. Maka aku timang kehormatanmu dengan tidak merendahkanmu. Aku ingin menciumimu, tapi kau bukan pula si mungil yang imut meski kau pun menggemaskan tapi menciummu adalah keliru, maka aku mengendus aroma keinginan dan kebencianmu, selera dan antipatimu, kesenangan dan kesedihanmu, kegembiraan dan kekecewaanmu, ketenangan dan kekeruhanmu. Aku pilah dan bagi dengan perhatian besar agar kemudian dariku untukmu hanya kau hirup yang terbaik seperti keinginanmu, yang men-selerakan-mu, yang menyenangkanmu, yang menggembirakanmu, yang mana itulah kesempatanku terhirup mengaromai hasrat dan gairah hidupmu. Hingga kemudian hidupmu penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, caramu menghirupku semakin memburu, semakin seakan kau terburu waktu. Aromamu semakin sangit dan makin tak kutemukan bayimu. Kau pun akan padam ketika aku tak lagi mau mengampirimu.

Telah sampai pada seri ke 30, juga merupakan tirakatan ke 30. Semoga gunung-gunung kedirian tergugur, keangkuhan terkikis, kesombongan tertunduk.

Setiap tulisan yang saya buat sesungguhnya sama sekali bukan untuk oranglain, karena terutamanya adalah saya sendiri yg memerlukan membaca, mempelajari, dan melanjutkannya menjadi “tulisan” laku dalam hidup. Sedangkan dalam hidup, susunan aksara dan kalimatNya saja yg berlaku, bukan aksaraku ataupun kau, mealainkan aku dan kau manunggal menjadi aksara dalam kalimatNya.

Kita kembali menjadi manusia yang jujur seperti sejak semula Tuhan menciptakan. Kita sesungguhnya hanya memerlukan bersikap jujur dalam hidup. Kita tidak butuh kedirian, yang membutuhkan adalah ‘ketakutan kita’ yang khawatir tidak terlihat karena merasa hidup di antara gunung yang menjulang dan besar. Kita tak membutuhkan ‘keangkuhan’, yang membutuhkannya adalah ‘kekhawatiran kita’ yang takut tak dianggap ada, karena kita menyangka hidup bersama berhala yang tak punya indra dan penghayatan. Kita tak memerlukan kesombongan, yang membutuhkannya adalah ‘kekerdilan kita’ yang menyangka bisa setara dengan Tuhan. Selanjutnya mari kita jadikan jimat puasa ini sebagai bekal pengendalian diri hingga 11 bulan berikutnya. Selamat kembali ke Fitrah. Kembali ke Jabang bayi yang Suci, Sudi, Sujana. Mohon Maaf lahir dan Bathin.

Wa billahi taufiq wal hidayah wassalamu ‘alaikum warah matullahi wa barakatuhu.

Romadhon 1438 H / 1 Syawal 1438 H

Agus Wibowo

TIRAKAT III : BHARATAYUDHA

BHARATAYUDHA - 24 Juni 2017TIRAKAT III : BHARATAYUDHA

Disebut Pandawa adalah karena anak turun Pandu, sedangkan untuk Kurawa adalah karena anak turun Kurupati. Namun jauh sebelum Kurupati atau Destarata, tersebut pula seorang raja yang sangat berbudi pekerti luhur yang rela mengorbankan dirinya. Dialah Sang Kuru adalah raja yang kemudian menurunkan baik Pandawa maupun Kurawa. Maka yang disebut sebagai Pandawa pun sesungguhnya adalah Kurawa jika menarik sebagai anak turun dari Kuru. Namun dalam pewayangan yang dikenal sebagai Kurawa adalah putra Harya Kurupati yakni Destarata. Maka untuk Kuru yang menurunkan Pandawa dan Kurawa sebut saja Kuru Sepuh. Sedangkan Kuru (Harya Kurupati) yang hanya melahirkan Kuwara sebut saja Kuru Anom. Semua tokoh ini ada di dalam diri, mari kita memindainya. Kuru adalah ungkapan untuk menyebut ‘Kurus’, ‘Kurang’, ‘Kere’, ‘Kering’, sesuatu yang tidak genap, ganjil, mengandung kekurangan.

Kuru menjadi kurus kering karena penyerahan dan pengabdian dirinya kepada Tuhan. Kuru sepuh ini sangat pandai berserah diri, ia rela berkorban demi mendapat karunia kasih dari Tuhan untuk dirinya dan semua anak turunnya. Kuru sepuh inilah hati yang fitrah, senantiasa fakir hadapan Tuhan. Tapi perjalanan masih akan berlangsung, Kuru sepuh kelak melahirkan 2 kubu. Kubu pertama berisi 100 kegelapan. Sedangkan kubu kedua berisi 5 cahaya. 100 kegelapan lahir dari Kuru anom. Kuru anom sebagai bentuk distorsi dari Kuru Sepuh, ia tak lagi kurus kering namun memiliki tetap membawa kekurangan, yakni keterbatasannya dalam melihat yang ada disekitarnya. Meskipun ia pendengar yang baik, oleh sebab itu hatinya tetap terjaga. Namun imbas dari kekurangannya dalam mawas diri lahirlah 100 kegelapan. Sedangkan Pandu adalah anak turun Kuru Sepuh yang membawa watak kepemimpinan, menjadi teladan, dan memberi sesuluh bagi yang lain. 20 orang Kurawa seakan baru setanding dengan seorang Pandawa. Satu orang Pandawa perlu mengenali 20 sifat dan 99 Asma untuk menghindarkan diri dari prilaku tidak terpuji dan tetap teguh menjaga amanah. Proses ini adalah proses penyucian diri terus menerus, Bharatayudha di padang Kurusetra, Perang besar di dalam diri sendiri. Esensi dari Bratayudha bukanlah terletak pada menjadi ; siapa tokoh baik dan siapa tokoh jahat, namun pada perjuangan menjunjung nilai baik pada diri sendiri, menjunjung nilai baik bersama orang lain, dan bersama alam semesta.

29 Romadhon 1438 H

Agus Wibowo

TIRAKAT II : PANDU ATAU KURU

TIRAKAT 2 - PANDU ATAU KURUTIRAKAT II : PANDU ATAU KURU

Sebab makanan hanyalah kendaraan untuk menghantarkan cahaya, ia hanya semacam kemasan. Yang terutama di konsumsi bukan wadagnya, bukan kemasannya. Yang dinikmati adalah benih-benih cahaya di dalamnya. Benih ini dipersyarati keberadaaanya pada jenis makanan khusus yakni yang didapatkan dengan cara yang baik, benar, indah. Kenikmatan makanan itu akan terbawa dengan sendirinya dengan kesadaran syukur apapun bentuk kemasannya. Oleh sebab itu, para leluhur mampu menemukan racikan yang kaya, bukan hanya dari bahan-bahan lazim. Para leluhur mengenali cahaya yang dibawa rebung, yang dibawa gadung, yang dibaa Ares, Jantung pisang, yang dibawa Pare, Kapulogo, Brotowali, dlsb. Jika zaman sekarang melihat makanan lebih terkondisikan pada pemahaman nutrisi, karbohidrat, protein, vitamin, dlsb yang bersemayam pada ampas atau jasad makanannya. Para leluhur melihat kandungan cahaya yang bersemayam pada proses panjang sebelum makanan itu terhidang hingga setelah makanan tersantap. Cahaya bersemayam pada cara mendapatkan, cara mengelola, cara menikmati, hingga cara berbagi.

‘Bukti’ juga bertautan dengan ‘Mukti’(sukses mulia), seseorang yang mengincar kemuliaan sering terjebak justru dengan mengkonsumsi prilaku-prilaku kerendahan. Pencitraan dan kepura-puraan ditebalkan, sedang kasunyatan ditinggalkan terkubur dalam gunung kesan dan ketidak-aslian. Namun seseorang yang mengutamakan kemanfaatan bagi lingkungan, ia akan lebih mendapat tempat mulia di hati lingkungannya. Bahwa seseorang sampai memiliki ide untuk mengincar kemuliaan dan justru malah terserimpet kerendahan ini oleh para leluhur diduga dimulai sejak dirinya kurang mampu menghormati makanan, salah memahami apa yang dimakan, salah memaknai pada apa syukur diletakkan. Salah menempatkan makanan, kurang mawas diri pada hakekat makanan dan kurang paham kebutuhan utamanya sendiri.

Makanan dipahami sebagai asupan gizi, nutrisi, protein yang berada pada wadag atau ampasnya, kondisi utamanya adalah melihat makanan dengan kacamata jasad bukan cahaya. Cara ini akan salah pula dalam melihat keadaan dan proses. Jika syukur diletakkan hanya pada terhidangnya makanan itu, pada aneka warnanya, pada melimpahnya, dlsb. Inilah yang akan menjadi kabar buruk sebab rasa syukur terletak pada kondisi kemelimpahan dan penghamburan. Syukur jenis ini akan berdampak pada ketidak-tepatan dalam menghikmahi kejadian.

Kenapa demikian? Karena cahaya yang ada pada makanan hanya akan menjadi asupan cahaya jika yang memakan memiliki sambungan rasa cahaya. Jika yang menyantap hanya memiliki kesadaran rasa kesenangan dan kuantiti, maka inilah salah satu mula cahaya menjadi ‘kuru’ / kurus. Jika cahaya kurus, ia makin tidak produktif dalam hal mencahaya, makin tak kompatibel sebagai ‘pandhu’ (teladan atau pemimpin). Hidup menjadi bebal dan jika ini turun temurun akan menjadikan manusia sekelas binatang ternak yang prioritas hidupnya sangat sederhana dan ukuran kebutuhan hidupnya hanya pada persoalan perut. Ia tak peduli terhadap nilai, martabat, derajat pengabdian, perjuangan, tak punya nuansa, tak punya bahan warisan kebaikan kepada anak turun untuk tetap menjadi keluarga cahaya.

28 Romadhon 1438 H

Agus Wibowo

TIRAKAT I : MENYANTAP CAHAYA

MENYANTAP CAHAYA - 22 Juni 2017TIRAKAT I : MENYANTAP CAHAYA

Bukan suatu hal asing, diketahui bahwa para leluhur kita memiliki kebudayaan yang agung.

Beberapa hal yang sangat sering kita dengar adalah ; prihatin, tirakat. Puasa adalah cara Islam yang sebaris konsep dengan metode tirakat yang kita uri-uri hingga sekarang. Apalagi telah disebutkan dalam Al-Qur’an pula bahwa “ ..sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Para leluhur kita telah memahami bahwa dalam menjalani kehidupan akan mengalami banyak penimbunan. Sedangkan ketika timbunan itu tidak dibersihkan secara rutin dan terus-menerus akan menyebabkan terjadinya tumpukan yang makin lama makin menggunung. Apakah yang paling rugi ketika timbunan ini terjadi? Yakni cahaya diri sendiri yang makin terpuruk ke dalam karena tak mendapat kesempatan tumbuh. Demikianlah, maka para leluhur memiliki konsep dasar yang menyeluruh bahwa mereka adalah kaum cahaya yang hidangan utamanya pun harus cahaya. Ini tercermin dari istilah yang digunakan untuk urusan konsumsi, Mangan, Madhang, Dhahar, Nedhi, Bukti.

Mangan, ini bahasa kasar dari kata dasar mengo atau terbuka atau menganga, siap untuk memasukkan dan dimasuki. Meskipun ini kasar namun makna utamanya adalah ia (yang sedang makan) tengah memasukkan sesuap demi sesuap hidangan cahaya dari Tuhan untuk melanjutkan aktifitasnya. Madhang dimaksudkan bahwa makan adalah jembatan untuk bisa memberi pepadhang, bukan puncak tujuan. Madhang adalah kata kerja yang artinya bukan ‘makan’ namun ‘memberi padhang/terang’. Dhah Har, (Nadhah kraharjan) dimaksudkan untuk menengadah menerima anugrah dari Tuhan, menengadah memohon tetesan rizky dan berkah. Nedhi, dari kata dasar Tedhi/tedho satu filum dengan tadhah, yang artinya wadah, menadahi, menerima. Bukti, ini juga diartikan ‘makan’ meskipun sudah hampir tidak lagi kita dengar ungkapan ini dalam pergaulan, sebab bukti (Bahasa Melayu) yang sering kita dengar bermakna  ; barang atau dokumen dasar nyata. Namun baik bahasa Melayu maupun bahasa Jawa dulunya berangkat dari induk Bahasa yang sama.

Bukti ; ‘Bhukti’ satu keluarga kata dengan ‘Bhoga’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘makan’, ‘kesenangan’, ‘pemuasan’, ditekankan kepada kelezatannya, yakni seseorang yang gandrung dan menjadikan makanan sebagai wisata dan kesenangan. Perilaku seperti ini meski lazim untuk jaman kita sekarang, adalah prilaku yang dianggap rendah martabatnya bagi para leluhur.

Agus Wibowo