Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Nisfu Sya’ban & Jimat Tolak Balak

Pada bulan Maret ini kulawarga Gugurgunung mencoba merekonstruksi lagi beberapa komponen penting bangunan “rumah”nya. Dari beberapa personil yang masih aktif, menopang kembali peran-peran penting atau mengaktifkan kembali peran-peran yang sempat kurang optimal. Salah satu referensi pola yang teranyam adalah Sya’ban atau Ruwah. Yakni bulan penting yang sejak 2018 disepakati sebagai momentum “Tunas”.

 

Pawon kini kembali menyala, memasak bahan-bahan oleh tangan-tangan terampil berdasar potensi masing-masing, dengan dasar ilmu Candra (panyandra). Ringkasnya yaitu, setiap personal kulawarga Gugurgunung menjalankan perannya masing-masing sebagai upaya memberikan konstribusi “cahaya rembulannya”. untuk terkumpul sebagai himpunan cahaya yang “Purnama”.

 

Dasar pijakan lainnya adalah sikap utama kulawarga gugurgunung yakni, “menggugurkan diri”. Sebisa mungkin menghindari umuk dan sombong. Tak minat pada pameran kesaktian, kepandaian, kekayaan, kepopuleran, dslb. Terus teguh tak peduli dan kagum pada hal-hal tersebut, yang seringkali hanya untuk meningkatkan mutu kesombongan seseorang secara laten. Memilih sikap lebih tegas kepada potensi-potensi meremehkan, baik ke dalam maupun ke luar.

 

 

قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim).

 

Mengutip hadist di atas, tentulah kita sudah tidak asing dengan salah satu bentuk ungkapan nafsu, yakni sifat sombong. Tak seorang pun yang membaca ini termasuk yang sedang menulis ingin menjadi pihak yang masuk dalam golongan orang-orang sombong. Namun dalam kenyataan hidup, apa yang tidak kita maui terkadang bebas hinggap dalam diri seperti ketombe atau jamur kulit.

 

Sadar atau tidak sadar kita semua pasti pernah atau bahkan sedang melakukan perilaku sombong tersebut. Apakah kesombongan hanya sebatas bangga atas apa yang dia punya dengan meremehkan hal lain di luar dirinya dengan jumawa? atau barangkali ada varian lainnya? Bagaimana pula setitik kesombongan mampu menghambat seorang hamba memasuki surga? Mengapa setitik ini menjadi begitu serius? Bagaimana pula cara mengelola sifat sombong tersebut? atau bahkan barangkali ada jimat  tolak balak (menolak efek destruksi) yang timbul akibat kesombongan.

 

Monggo silakan melingkar bertikar bersama kami jika berkenan bergabung dalam kebersahajaan silaturahmi. Kami menyambut baik setiap kebaikan dan tak punya cukup kecakapan untuk menyambut kebaikan secara sempurna, baik dari sisi tempat, suguhan hiburan, dan hal lain. Namun, kami tetap berusaha menyambut secara patut. Katuran pinarak, melingkar, meluruhkan diri dalam rindu, saling membahagiakan satu dengan yang lain untuk sinau bareng di malam menjelang Nisfu Sya’ban yang penuh makna.

 

Bismillah, terpinta dengan tengadah. Gusti Allah dan Kanjeng Nabi membersamai kita Aamiin.

 

 

 

-Tim Pawon Sinau Bareng MGG-

DITUNTUN REMBULAN

Oleh : Ihda Ahmad Soduwuh

Masih ingat saat HTI ramai-ramai dirundung warga senegeri? Mbah Nun atau yang oleh Mas Agus dipanggil Sahan, waktu itu merangkul pelarian politik itu. Puncaknya adalah seorang dutanya yang mualaf-provokatif mendatangi forum maiyahan dan terharu pada fenomena sosial ini. Setelah reportasenya viral, maiyah ikut kena jatah lemparan celaan sebab dicap berpihak pada pengusung gagasan khilafah ini.

Kala itu secara spontan kuajak kopdar seorang kawan aktifis senior organisasi tersebut di Majlis Gugurgunung. Kebetulan rumahnya berdekatan dengan lokasi. Kawan karib semenjak pakai seragam putih abu-abu ini antusias saja sebab lama kami tak bersua. Anomali kemesraan karena di grup-grup Whats App kami saling gasak soal ide. Di dunia nyata atau japri tetap ada keakraban dan kesadaran bahwa yang diperjuangkan sama juga.

Pertama kali datang ke Majlis Gugurgunung yang berlokasi di rumah seorang jamaah itu kami merasa sangat disambut hangat. Kebetulan jarak saya ke lokasi yang agak jauh, diperjalankan agak telat. Si pejuang khilafah sudah sampai dan ngopi duluan meski baru di teras. Buletin maiyah ia pegang sembari menunggu saya. Di dalam rumah rentetan acara pembuka maiyah sudah dimulai.

Mungkin karena lingkarannya di angka puluhan orang, suasana kekeluargaan begitu terasa di Simpul Maiyah Ungaran ini. Satu sama lain penggiat maupun jamaah saling menyambut dengan tangan terbuka dan senyuman ramah. Bahkan ada kesempatan mikrofon bergilir di mana tiap yang hadir berhak menyampaikan apa saja. Mulai dari curhatan, pertanyaan, sampai gugatan, boleh dilayangkan ke tengah forum. Sebuah wujud demokrasi tanpa babibu, selama ada kemauan, silakan ajukan.

Forum ini terdengar sampai telinga saya karena direkomendasikan beberapa pihak. Saya dapat dari Gus Aniq yang mengampu RKSS dan Om Budi Maryono yang narasumber tetap di SulukSastra. Keduanya yang juga pembicara di Gambang Syafaat seringkali menyatakan padaku bahwa kalau ingin belajar tentang Jawa dan tradisi, datang dan timbalah di Majlis Gugurgunung. Ditujukan sebagai laboratorium keJawa-an, sudah sangat terasa saat duduk di tengah lingkaran ini.

Uniknya, setelah setahun absen datang, kali ini Gusti Allah memperjalankan rutin hadir di tengah maiyahan ini. Melalui seorang kawan yang dipertemukan maiyah, seringkali ingatkan acara ini di hari H. A-ndil-Allah, selalu malam purnama atau mendekati bulat sempurna. Dua kali datang pertama dihadirkan di outdoor, pelataran sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Di seberang masjid besar itulah saya menikmati kesyahduan alam. Tadabbur alam yang sudah sangat lama saya tinggalkan seiring masa berkeluarga tiba.

Kapan lagi bisa duduk menyesap atmosfer berbintang, bulan, angin pegunungan, mistis, tanpa perlu merasa asing? Apalagi kopi yang selalu panas tinggal ambil tanpa sungkan. Sungguh lengkap Majlis Gugurgunung ini. Betul-betul Njawani, tanpa sekat, egaliter, menguliti konsep warisan leluhur dengan rendah hati dan hati-hati. Saling timpal pendapat usai pemaparan tema menandakan kehangatan persaudaraan berwasilah maiyah. Bahkan gasak-gasakan antar penggiat dan jamaah sesekali mencuat, membuat suasana terus saja cair dan hangat menyelingi kepadatan bahasan.

Mas Kasno bahkan pernah berkata bahwa kehadiranku yang kurasa diperjalankan ini sebagai jawaban atas doa-doa di awal memulai Majlis Gugurgunung. Sebuah ajakan untuk kehadiran sedulur-sedulur yang butuhkan. Ini terasa sekali saat momen mengundang Master Zaen Sang Ahli Terapi Tulang Punggung. Tak dinyana kemunculanku sangat pas, hanya karena ingin memandang rembulan lantas dapat temukan solusi yang selama ini mustahil kudapat. Alhamdulillah manjur, bisa bermaiyah dalam jangka lama tanpa harus bergantung pada sandaran. Sebuah sunnah Kanjeng Nabi yang akhirnya bisa kutempuh tanpa kesakitan.

Suatu saat Om Eko Tunas, kawan lama Mbah Nun, hadir di Gugurgunung bawakan monolog beliau. Di momen itu kebetulan ada sedulur-sedulur datang dari desa sekitar dan Simpul Maiyah Salatiga. Setelah acara resmi selesai, mikrofon dimatikan, nasi jagung berikut lauk-pauk dibagikan. Inilah keunikan lain dari simpul maiyah ini. Selalu ada tanda syukur sederhana khas pegunungan. Menu yang kujumpai hanya di satu tempat ini.

Pas menyantap makan itulah perbincangan basa-basi hadir di antara jamaah. Saya dan kawan langsung akrab dengan lingkaran kecil yang terbentuk. Di situlah kami cari persamaan antar jamaah. Rupanya ada kemiripan dalam kejadian-kejadian pertanda kehadiran Tuhan. Sesepele bisa bernegosiasi soal turunnya hujan. Kawan-kawan ini sudah buktikan bahwa Gusti Allah memang bisa disapa meski ibadah bolong-bolong.

Kini sudah kubulatkan tekad untuk rutin hadir ke simpul ini. Menimba ilmu Jawa secara mendalam sebagai niat awalan. Semoga senantiasa diperjalankan Tuhan. Berbekal paseduluran memperkaya pengetahuan dan mengasah pengalaman.