PADHANG PRANATAN

Kegiatan Majlis gugurgunung kali ini mengangkat tema yang berjudul “PADHANG PRANATAN”. Rutinan yang juga masih merupakan rentetan workshop ini menjadi edisi kedua, digelar pada 28 September 2019 bertempat di Musholla Darussalam, Lemahabang Kab.Semarang. Sebagai moderator oleh Mas Kasno dengan pengantarnya yang menjelaskan tentang kronologi awal munculnya tema ini. Ialah adanya fenomena dalam majlis gugurgunung yaitu fenomena tandur, kemudian mencoba ditaddaburi dengan surah Al-Balad. Kemudian tersambung dengan tulisan Mbah Nun juga bertema tentang Balad (negeri). Peradaban Kawi yang ada dalam surah Al-Balad, salah satunya ialah orang-orangnya senang berpantun dan berpuisi.

 

Usai Mas Kasno memberi sedikit kalimat pembuka tentang tema, lalu diteruskan dengan tawassul yang dipimpin oleh Mas Azam dan Sholawat yang dipimpin oleh Mas Ari. Sholawat selesai dilantunkan, langsung dibuka sesi tanya jawab untuk mengembangkan sayap diskusi. Penanya pertama yakni Mas Shohib. Mas Sokhib menanyakan tentang perumpamaan negeri dalam surah Al-Balad adalah negeri Mekkah, sebenarnya apa yang melatarbelakangi itu dan bagaimana gambaran kemakmurannya. Pertanyaan tersebut mendapat respon dari Mas Agus dengan menjelaskan dari keluarga sebagai piranti membangun suasana aman, dalam keluarga tersebut kita membutuhkan asupan “sembako” untuk jasad dan jiwa kita. Adapun sembako untuk jasad antara lain beras, minyak, telur, jagung, gula, minyak tanah, susu, garam, daging dll. Sedangkan untuk jiwa kita membutuhkan wiraga, wirasa, wirama, tetandur, tetulung, tetular, asah, asih dan asuh.

 

Wiraga masa dimana banyak bertingkah laku yang kemudian menjadi wirama yang tingkah laku tersebut berirama dan sudah bertanggung jawab ketika sudah berirama kita akan merasakan irama sehingga masuk dalam irama tersebut (wirasa). Kita juga diajari untuk tetandur (menanam) sebagai simbol untuk melanjutkan hidup karena kita hidup memang dijamin rezekinya oleh Allah swt tapi juga harus berusaha untuk bisa melanjutkan hidup, ketika tetandur ada panen bisa kita membagi sedikit hasil tandur dan tetulung (mengulurkan bantuan) kepada orang sekitar, setelah kita tetulung tersebut maka bisa tetular (berbagi) kepada yang lain untuk melakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan.

Asah adalah tugas orang tua mengembangkan potensi anak yang disertai asih dengan memberi kasih sayang yang lebih maka akan terbentuk asuh yang akan terlatih pada suasana pengasuhan. Asah asih asuh akan berpengaruh sampai kita dewasa, bahkan harta berlimpahpun tidak bisa menggantikan nilai dari asah asih dan asuh itu sendiri.

 

 

Balad Al-Amin

 

Peradaban bisa disatukan dengan tawa dan tangis. Tawa dan tangis itu sebagai indikator Allah memberi adegan mempersatukan kita. Tugas seorang manusia ialah saling mengamankan satu sama lain. Untuk tercapainya hal itu membutuhkan piranti berupa iman. Jika seorang manusia tidak ada potensi untuk mengamankan maka itu termasuk benih yang mandul.

 

Balad al amin tidak bisa terlepas dari level keluarga sebagai level terkecil dalam sebuah negeri. Negeri Mekkah (Al-Balad) terdapat Masjidil Haram, air zam zam, Hijr Ismail, dan Makam Ibrahim. Kemudian Mas Agus memberi pertanyaan apakah negeri Mekkah dalam surah Al-Balad hanya ada di negara Mekkah itu sendiri atau bisa di negara selain itu? Jawabanya ialah tidak harus. Dengan alasan beberapa penjabaran sebagai berikut: dalam pembahasan tema “laras” kemarin disebutkan bahwa Hijr Ismail dan makam Ibrahim akan berlanjut di masa nabi Muhammad sebagai kiblat. Nabi Muhammad berasal dari Arab tapi risalahnya tidak untuk negara Arab saja (Rahmatan lil Alamin). Kemanapun engkau berada hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram maksudnya adalah anjuran menghadirkan Masjidil Haram dalam diri untuk hamparan bersujud dan tercegah dari perbuatan ingkar.

 

Air zam-zam mempunyai sejarah bukan sebagai aset kepemilikan melainkan ridho Allah yang dijaga dengan konsep tidak diperjual belikan. Konsep itu yang membuat air zam zam sampai sekarang tidak habis karena jika kemanfaatan yang diutamakan maka Allah akan terus memberi karunia atas penjagaanya. Sebagai simbol jasadiyah dalam surah Al-Balad memang adalah Mekkah tetapi Mekkah bisa dihadirkan di mana saja asal bisa menerapkan Hijr Ismail, Makam Ibrahim,Masjidil Haram,Air zam zam dalam negara tsb. Kemanapun kita melangkah adalah wajah Allah. Mas Agus juga sempat bercerita ada seorang ulama yang melaksanakan haji tapi ia tidak melihat ada malaikat saat ia berhaji,kemudian ia bertanya kemana para malaikat itu? Dijawab oleh sesorang bahwa malaikat itu sedang berada pada orang yang berangkat haji tapi terhenti karena melihat ada seseorang yang memakan bangkai. Setelah ditelusuri ternyata pemakan bangkai tersebut tidak ada yang bisa dimakan selain bangkai itu orang itu kemudian mensodaqohkan harta yang untuk haji tadi kepada orang yang memakan bangkai. Orang tersebut tidak jadi haji tetapi mendapat pahala seperti orang haji karena perbuatannya.

 

Syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji tidak bisa terpisah satu dengan yang lainya karena ketika kita sholat kita juga bersyahadat ketika kita puasa kita juga sholat dan syahadat ketika zakat kita syahadat,sholat puasa dan hajipun kita juga tidak lepas dari syahadat, sholat, puasa dan zakat. Dalam surah Al Fajr, Al Lail, Al Asr, As Syam dan Ad Dhuha, Allah berani bersumpah “demi waktu” dan setiap saat kita harus bersaksi karena Allah selalu ada setiap saat.

 

Sholat merupakan metode menegakkan gelombang dengan kenabian dan keterhubungan untuk menciptakan rasa kemanusiaan (Ahsan). Meskipun kita sholat belum tentu kita menegakkan rasa kemanusiaan jika belum berbuat baik/berbagi kepada anak yatim (surah Al-Ma’un). Kemudian Mas Agus turut mentadabburi surah Al-Balad ayat 2:Dan kau Muhammad bertempat di negeri Mekkah ini. Nabi Muhammad mempunyai spirit terpuji berarti ketika kita terpuji bisa menjadi ahmad dan jika dalam majlis orang-orangnya terpuji maka bisa menjadi majlis Nabi Muhammad. Dan jika kita bersaksi maka Allah dan Nabi Muhammad menyaksikan kita bersaksi dan ada ketika kita bersaksi. Ketika kita berakhlak baik jangan menganggap kita berahlak baik tapi anggaplah itu salah satu keberhasilan Nabi Muhammad untuk membangun manusia berahlak baik dengan mengaplikasikan 4 sifat Allah.

 

Pertanyaan kedua muncul dari Mbak Dewi, yaitu tentang Rahmatan Lil Alamin itu nabi Muhammad, Islamnya atau orangnya? Yang kemudian direspon oleh Mas Agus, tidak ada yang tidak terlibat dalam Rahmatan Lil Alamin entah itu Nabi Muhammad, Islam maupun orangnya karena mereka adalah bagian dari alam. Allah menciptakan sesuatu dengan konsep salam, adapun ciptaan Allah adalah persemayaman ilmuNya dengan kadar titah masing-masing. Untuk menjadi Rahmatan Lil Alamin dengan cara bagaimana mencintai ciptaan Allah agar mau bertauhid. Kita dianjurkan untuk Rahmatan Lil Alamin supaya kita bisa mencintai apa saja ciptaan Allah. Dilanjutkan oleh pertanyaan dari Mas Azam yang bertanya apakah jiwa itu nur yang ditumbuhkan supaya bermanfaat?

Langsung direspon oleh Mas Agus, bahwa karakter cahaya mencerahkan dan yang bisa mencerah ruh adalah alam jiwa,tetapi nur belum ada jika tidak ada ruh. Kiat menumbuhkan nur dengan cara memahami kegelisahan utama dalam diri kita maka bisa menumbuhkan jiwa dan nur.

Mas kasno juga memberikan responnya terhadap surah Al Balad yaitu Al Balad ayat 5 yang terkait dengan fenomena tandur yang dilakukan oleh dulur kita yaitu Mas Angling dan Mas Fajar, kemudian Mas fajar menceritakan sedikit mengenai susah payah tandur di lahan tandus bekas penggilingan batu yang tanahnya sangat padat. Fenomena itu juga berkaitan dengan tema padang tandur yang ada dalam surah Al Balad ayat 5.

 

Posisi kita dibagian negeri yang mana dan apa yang kita lakukan dengan keadaan kita saat ini? Merupakan salah satu pertanyaan dari Mas Ari malam itu. Mas Agus merespon dengan turut menjawab pertanyaan dari Mbah Nun yang tertulis dalam seri tulisan Rahmatan Lil Alamin yaitu :

 

  1. Apakah Rahmatan Lil’alamin dengan sendirinya sama dan sebangun dengan perjuangan nasional keIndonesiaan? Apakah skala dan hak serta kewajiban Nasionalisme Indonesia otomatis adalah skala dan hak dan kewajiban Rahmatan Lil’alamin?

 

Iya dengan catatan apabila pergerakan Indonesia bagian dari Rasulullah dalam Rahmatan Lil Alamin.

 

  1. Eksistensi dan perjuangan hidup sebagai warganegara Indonesia apakah merupakan perwujudan langsung dari tugas penciptaan Rahmatan Lil’alamin?

 

Bisa iya, tergantung eksistensinya dalam rangka menyebangunkan nilai untuk mengamankan satu dengan yang lain, ataukah perjuangan hidup untuk eksistensi diri dan golongan untuk menguasai aset Indonesia.

 

  1. Kalau prinsip dan praktek NKRI sendiri tidak berangkat dari prinsip Rahmatan Lil’alamin, maka bagaimana memaknai posisi Jamaah Maiyah antara Khalifah Allah dengan warganegara Indonesia?

 

Posisi NKRI untuk negeri aman dan damai, tugas manusia melanjutkan konsep utama Bhineka Tunggal Ika dan berusaha melanjutkan silah Al Balad

 

  1. Jamaah Maiyah Sinau Bareng terus apakah Rahmatan Lil’alamin identik dengan Rahmatan Lil Bilad, Lil Balad, Lil Buldan atau Lil Baldah?

 

karena Rahmatan berbicara tentang alam dan ilmu, dan negeri adalah kumpulan alam dan ilmu dan Rahmatan Lil Alamin lebih luas cakupanya. Balad Al Amin berkonsep pada identitas Ahsani Takwim.sehingga identik sebagai sebaik-baik kaum.

 

Demikianlah reportase mengenai Padhang Pranatan semoga sinau bareng kali ini bisa bermanfaat untuk kita yang senantiasa terus berusaha untuk menjadi bagian dalam Balad Al Amin.

 

 

Andhika Hendryawan & Team Reportase

Padhang Pranatan

PADHANG PRANATAN

Tema kali ini diangkat dalam rangka merespon banyak hal. Merespon tentang dhawuh Mbah Nun yang setiap simpul diharapkan membuat workshop dalam rentang Agustus – Oktober. Merespon tentang persambungan dan perkembangan tema Majlis gugurgunung yang semenjak mengangkat tema “Masyarakat Lebah Me-madu” pada bulan-bulan berikutnya seolah tidak terputus dan berkesinambungan sebagai seolah bahasan berseri. Setelah pada bulan kemarin MGG mengupas tema “Laras” yang di dalam bahasannya mencoba mengingat kembali amanat utama kita di dalam hidup dan gol utama dalam hidup dengan merunut jauh zaman per zaman, peradaban demi peradaban sejak sebelum era risalah kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga terus di ujung mula peradaban Nabi Adam AS.

 

Tidak hanya itu, runutan itu juga mempertautkannya dengan sejarah sejak sebelum Nabi Adam belum diturunkan ke muka bumi bahkan racikan-racikan peristiwa yang melatarinya. Pada bulan kemarin masyarakat maiyah Ungaran yang tergandeng dalam keluarga Majlis gugurgunung mencoba membuat penegasan bahwa hidup di dunia ini sangat kompleks dan serius, dan kehadiran para utusan itu untuk membuat yang kompleks itu tertata dan membenderangi keadaan. Maka, betapa perlunya menyambungkan diri secara laras posisi diri kita sekarang dengan sejarah panjang dan serius alasan kita diciptakan.

 

Berikutnya, yakni pada bulan ini. Majlis gugurgunung mencoba mengupas makna Negeri. Apakah negeri itu adalah teritori kecil? suatu bangsa yang didiami oleh sedikit keragaman? atau sebuah kawasan nilai yang dipenduduki manusia-manusia yang menjaga nilai? Sebab, apabila sebelumnya paham tentang sejarah penciptaan kita maka selanjutnya perlu memahami tugas dan peran yang perlu dirintis dijalankan dan dibangun dengan semangat menggapai suatu penataan yang berpendar cahaya Rahmat Allah swt. Dengan demikian bulan Sepetember 2019 ini ditemukanlah tema tentang penataan, yakni: PADHANG PRANATAN.

 

Secara Bahasa, Padhang mengandung arti : Terbentang Cerah, Terang, Bersih. Sedangkan Pranatan mengandung arti : sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat; institusi. Pranatan juga mempunyai arti lain, yaitu: Pemikiran, Jiwa, Ideologi. Inti struktur pranatan adalah, menjelitakan alam semesta yang telah cantik, memayu hayuning bawana.

 

Menghubungkan masa silam dengan masa sekarang untuk masa yang akan datang adalah metodologi penyusuran silah yang kami yakini. Amsalnya demikian, bijih suatu tumbuhan menampung dan merekam segala rentetan peristiwa tumbuh kembang yg dialami induknya. Menyimpan seluruh karakter dan identitas dominan dari tumbuhan induknya. Sehingga untuk siklus atau proses kehidupan selanjutnya, bijih yang dijadikan sebagai benih tersebut ketika ditanam akan tumbuh sebagaimana induknya tumbuh. Akar, batang, daun, bunga, buah, wanginya bunga, manisnya buah, dan seterusnya dan seterusnya sampai ke bijih lagi akan mempunyai karakter yang relatif sama. Kecuali ada unsur lain dari luar yang sengaja memutus rantai siklus, misalnya dengan cara mencemari nutrisi asupannya, mencemari media tanamnya, dan lain-lain yang kemudian benih menjadi rusak, sehingga tidak dapat meneruskan karakter Induknya pada siklus kehidupan selanjutnya. Manusia  merupakan komponen penting atas terbentuknya sebuah pranatan. Mari mengembarai diri melalui salah satu pintu ini,

 

“Jangan melakukan apapun diluar jalur kenabian,”. Sebuah dhawuh dari Mbah Nun yang disampaikan pada gelaran sinau bareng di Kudus pada awal bulan September 2019 ini. Sefrekwensi dengan Diagram Pemetaan Dasar Peradaban, yang telah diangkat menjadi materi Workshop sinau bareng gugurgunungan bulan Agustus lalu. Yang didalamnya menggambarkan runtutan peradaban Manusia yang padanya mempunyai dua fenomena jalur pengembaraan yaitu Jalur Ahsani Takwim dan Jalur Asfala Safilin. Jalur-jalur peradaban sejak peradaban Nabi Adam AS sampai dengan Nabi Muhammad SAW, atau sejak Peradaban At Tin – Peradaban Zaitun – Peradaban Sinai – Sampai ke Peradaban Al Balad Al Amiin.

 

Selanjutnya membangun kesadaran untuk kian memahami pranatan yang sejak awal dibangun untuk diterapkan hingga akhir zaman. Perubahan pranatan secara fisik memang pasti terjadi, namun konsep utamanya harus terus dipertahankan, sebagai bagian dari memperjuangkan Sunatullah. Pengetahuan leluhur yang adilihung memberangkatkan peradaban dengan keindahan, kabaikan, dan kebenaran, sebagai konsep Dasar ciptaan Tuhan. Konsep Dasar sebagai unsur spiritual. Sandang, pangan, papan senantiasa diupayakan dan dibangun dengan mengacu pada tatanan paugeran spiritual.

 

Pintu selanjutnya adalah,

Beberapa pertanyaan Mbah Nun yang tertulis dalam seri tulisan RAHMATAN LIL-BILAD. Demikian,

  1. Apakah Rahmatan Lil’alamin dengan sendirinya sama dan sebangun dengan perjuangan nasional keIndonesiaan? Apakah skala dan hak serta kewajiban Nasionalisme Indonesia otomatis adalah skala dan hak dan kewajiban Rahmatan Lil’alamin?
  2. Eksistensi dan perjuangan hidup sebagai warganegara Indonesia apakah merupakan perwujudan langsung dari tugas penciptaan Rahmatan Lil’alamin?
  3. Kalau prinsip dan praktek NKRI sendiri tidak berangkat dari prinsip Rahmatan Lil’alamin, maka bagaimana memaknai posisi Jamaah Maiyah antara Khalifah Allah dengan warganegara Indonesia?
  4. Jamaah Maiyah Sinau Bareng terus apakah Rahmatan Lil’alamin identik dengan Rahmatan Lil Bilad, Lil Balad, Lil Buldan atau Lil Baldah?

 

Kemudian, Pertanyaan ini mengantarkan kami pada tadabur tentang :

 

Ummul Qura, dimana terdapat sosok terpuji yang bergelar Ummi. Pada sebuah padang mulia, saking mulianya pada padang tersebut rumputpun dilarang untuk dicabut, dilarang membunuh, dilarang menganiaya, siapa saja yang berada pada padang mulia tersebut harus dijamin Aman. Juga padang yang menjadi saksi atas perjuangan Kanjeng Nabi yang begitu Terjal. Tentang nila-nilai kemanusiaan yang menganjurkan untuk mengasihi anak yatim dan orang-orang lapar serta fakir-miskin, memerdekaan/membebaskan budak, perjuangan manusia yang susah-payah, saling nasihat menasihati dalam hal kesabaran dan kasih sayang.

 

Allah SAW berfirman, QS. Al Balad ayat 1

 

 

 

Aku bersumpah dengan Negeri ini

 

Selanjutnya, mari melingkar, bareng bareng mentadaburi QS. Al Balad. Untuk menemukan jawaban-jawaban atau bahkan rumusan-rumusan untuk menuju kembali pada Al Balad Al Aamiin, selaras dengan perkenan Allah SWT. Aamiin

Jajah Deso Milangkori

NAWATARA

Jajah Deso Milangkori adalah kegiatan yang memiliki banyak fungsi. Jajah artinya menjelajah, Deso adalah kawasan, Milang artinya memilah, menyibak, menyeleksi, Kori dari kata Kor dengan imbuhan -i. ‘Kor’ artinya telur Tumo(kutu rambut) yang biasa ikut nangkring di kepala. Jadi, ‘jajah deso milang kori’adalah kegiatan penjelajahan dari satu kawasan ke kawasan berikutnya untuk memunguti “kor kor (telur-telur tumo)” untuk diletakkan pada tempat yang semestinya dan tidak mengganggu keseimbangan. Pilihan kata ‘Kor’ sebagai perumpamaan bukan tanpa alasan, Kor yang merupakan telur kecil dan tersembunyi ini perlu ketelatenan dan ketelitian dalam menyibak dan menelusurinya.Continue reading

Tatanan Desa Turun Temurun II

Masih melanjutkan pijakan dalam mendampingi pertumbuhan di tingkat keluarga dan antar keluarga. Bab yang kemarin sudah dibahas tentang pendampingan kepada anak usia tunggal, Konsep Tunggal. Kini berlanjut ke Konsep Kawelasan.

Konsep KAWELASAN

Yakni untuk fase usia 11 – 19 tahun. Di usia ini anak sudah menemukan keluarga yang lebih besar. Yakni pertemuannya dengan kombinasi keluarga lain dalam tingkat Dusun (atau Dukuh atau Dukun). Semua keluarga yang ada pada Dusun itu akan membantu anak tumbuh dengan memberikan paugeran dan melatih anak untuk mengerti tentang belas kasih. Anak tidak lagi terus menyangka bahwa ia adalah pusat semesta, ia adalah bagian dari yang lain yang orang lain juga punya keinginan yang sama dalam hal mendapatkan sesuatu yang terindah dan terbaik. Di sini anak-anak biasanya dilatih tepo sariro dan kepeduliannya dengan diberikan kambing, kerbau, atau sapi untuk digembalakan. Agar anak menemukan ilmu Angon langsung dengan pengalaman dan tanggung-jawabnya secara akurat dan empiris.

Konsep KUR-KURAN (pengukuran)

Yakni fase pertumbuhan manusia di usia 21 – 29 tahun. Pada usia ini seseorang telah beranjak makin dewasa, ia harus mendapati pengalaman dalam hal mawas diri, memetakan posisi, mengukur situasi dan pilihan sikap. Di usia ini keluarga yang ia temui bisa lebih luas lagi, sebab ia mulai diijinkan menjelajah pengalaman dengan melakukan perjalanan ke kawasan lain. Ia perlu pandai membawa diri, menjaga sikap secara terukur. Pada usia ini ada fase yang disebut fase ‘kemlawe’ yang berarti tandang, tandhing (mengerjakan, menghadapi). Usia kemlawe terletak di usia Selawe atau 25 tahun. Masyarakat memahami bahwa usia kur-kuran adalah usia seseorang merasa hebat, merasa pandai, paling ahli, brangasan, merasa tak tertandingi. Ada yang merasa hebat dalam hal fisik, ada pula yang merasa hebat dalam hal pemikiran, dan ada pula yang merasa hebat dalam hal peribadatan. Di usia 25 tahun ini, seseorang akan mengalami fase keterbalikan dari rumus ukuran yang sempat ia anggap benar. Ia akan disadarkan bahwa ukuran-ukuran dan persepsinya dalam melihat hidup harus melibatkan Tuhan sebagai perancang utama kehidupan langit dan bumi dan segala semesta alam.

Usia 21 – 24 
Belajar mengukur, analisis, observasi, inspeksi, optimisme, search, research, masa depan, masa lalu, menakar kemampuan, memandang dinamika keadaan, menelisik tujuan.
Ekses minus :  over kalkulatif, percaya ukurannya sebagai standar kebenaran, ambisius, menabrak norma / ukuran umum / paugeran.

Usia 25 (SELAWE)
Sinau kemlawe, tandang, menep
Ekses minus : leyeh-leyeh, lenggang (tinggal glanggang colong playu). Acuh tak acuh, cuek, tak bertanggung jawab.

Usia 26 – 29 
Mengukur dengan lebih cermat ; Mengalikan/memberkalikan kesungguhan. Membagi skala prioritas/ menata. Menambahkan kesadaran/introspeksi. Mengurangi ambisi-ambisi melampaui batas.
Ekses minus : pesimistis, paranoid, over dramatic calculative, takut kepada hitungan sendiri

Konsep LUH-LUHAN (Luluh, Peluruhan)

Yakni fase manusia pada rentang usia 31 – 39 tahun. Pada usia ini seseorang sudah dianggap bagian inti yang produktif bagi pertahanan hidup sebuah Kawasan. Ia bisa menyumbangkan tenaga, pemikiran, dan harta, atau salah satu dari ketiganya untuk melebur menjadi bagian dari hajat bersama dalam sosial kawasan. Di usia ini banyak yang sudah melanjutkan menjadi Bopo atau Biyung, menjadi Yayah atau Wibi. Pelajarannya adalah meluruhkan keinginan dan kepemilikan pribadi untuk pihak lain dengan segenap kasih sayang. Pada fase ini maka, mereka sudah memiliki kulowargo atau keluarga sendiri. Bagi keluarga yang lebih sepuh akan memberikan banyak support kepada pasangan keluarga muda yang masih belum banyak pengalaman dalam menghadapi & menyelesaikan beberapa persolaan. Demikian maka fase ini akan kembali kepada fase tentang Keluarga di awal. Keluarga sebagai turunan Dusun, Dusun sebagai turunan Luhurah.

Wilayah Kelurahan

Wilayah ini adalah kawasan yang tergabung dari beberapa Padusunan. Sebuah Kelurahan dipimpin oleh seorang Luhurah yang bertugas merentangkan dan menjulurkan kehidupan, meluhurkan kehidupan. Luhurah adalah sosok yang dianggap pantas memimpin di atas para Dhusun karena kehandalan, kelebihannya dan kematangannya dalam memimpin. Luhur = Tinggi, Mulia. Rah = Rah : Hidup/ Kehidupan/ Putaran kehidupan/ Darah. Luhur Rah = Kehidupan yang mulia / kehidupan yang luhur.

Luhurah kini disingkat menjadi Lurah. Inilah kondisi struktur sosial yang representatif dengan kondisi Paradesa. Maka kawasan di bawah kepemimpinan Lurah ini lebih ditengarai sebagai Desa. Dinamikanya lebih kompleks, namun bisa membina hubungan saling memudahkan dan meringankan satu dengan yang lain. Disini pula lahir tradisi kebersamaan Gotong Royok-Boyong (Gotong Royong) atau Gugur gunung sebagai kegiatan kebersamaan masyarakat yang hidup bareng dalam keluarga besar yang menjunjung keluhuran di wilayah Kelurahan.

Lurah akan saling bersambung dan berjalinan dengan Kelurahan yang lain untuk membangun kawasan terintegrasi secara lebih luas. Kawasan berikutnya ialah Kademangan yang dipimpin oleh seorang Demang. Kademangan akan saling bertaut dan bergabung dengan Kademangan lain dengan kawasan yang disebut sebagai Kadipaten dengan pemimpin yang ditunjuk dengan sebutan Adipati. Kadipaten terintegrasi dengan Kadipaten yang lain dalam kawasan yang disebut sebagai Keratuan dengan pemimpin yang disebut sebagai Ratu atau Sang Noto atau Prabu. Keratuan sering disingkat menjadi Kraton. Maka untuk mendapati kawasan Keratuan yang sayuk rukun, toto titi tentrem kerto raharjo bermula dari kondisi paling mendasar sebagai komponen termungilnya yakni Keluarga yang dipimpin dengan baik untuk mengawal generasi seiring umur dengan pendidikan yang baik. Kemudian masing-masing keluarga diatur di bawah kepemimpinan Dusun yang baik, dan seterusnya. Maka pembinaan pada level keluarga inilah yang sangat fundamental mempengaruhi pengukuhan kedaulatan sebuah kawasan yang berbudi-pekerti luhur.

TIM GUGURGUNUNG

05 JULI 2017.

Tatanan Desa Turun Temurun

keluarga

Pada pembahasan sebelumnya kita bahas tentang Desa yang beratutan dengan Paradise dan Firdaus. Kini kita mulai untuk memahami kondisi Desa yang sejak awal jaman dibangun hingga untuk diterapkan pada akhir jaman. Perubahan Desa secara fisik pasti terjadi, namun konsep utama desa atau kawasan sebisa mungkin tetap dipertahankan sebagai bagian dari memperjuangkan Sunatullah. Kenapa demikian? Sebab kawasan yang dihuni oleh manusia seyogyanya tidak terlepas apalagi melepaskan diri dari urusan langit.

Sejak mula, desa dibangun dengan konsep pertautan antara langit dan bumi. Sebab konsep kehakikian penciptaan dengan unsur Sukma, Jiwa, dan Jasad telah secara baik dipahami oleh leluhur kita yang memiliki pengetahuan bulat tentang sebuah kediaman atau kawasan yang sempurna bernama Surga. Kembali saya ingatkan untuk jangan terjebak menganggap bahwa kehidupan awal manusia itu primitif, dungu, kagetan, gumunan dan tak tahu apapun kecuali memenuhi urusan perut. Itu salah parah karena sama saja menuduh Nabi Adam AS sebagai yang pertama adalah sosok yang demikian. Justru dari sekian rentang peradaban, jika ada yang paling dungu, kagetan, gumunan, adalah peradaban kita saat ini.

Pengetahuan leluhur yang adiluhung memberangkatkan peradaban dengan keindahan, kebaikan, kebenaran, sebagai konsep dasar ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan segala hal pasti dengan unsur itu ; Baik, Benar, Indah. Unsur ini adalah unsur spiritual. Tidak membosankan dan senantiasa menebar menyalurkan inspirasi. Oleh sebab itu Sandang dirancang dengan konsep spiritual. Papan dibangun dengan konsep spiritual. Pangan dikembangkan dengan mengacu pada tatanan dan paugeran spiritual. Sehingga para leluhur kita seakan tidak mau menyia-nyiakan sejengkal tanahpun tanpa ada Tuhan padanya. Tak ingin mengabaikan peristiwa apapun tanpa ada andil Tuhan di dalamnya. Tak ingin membuang hal sepele apapun tanpa meminta ijin dan mempertimbangkan jauh ke depan sebagai tanggung-jawab perilakunya kepada Tuhan. Leluhur kita disebut luhur bukan karena sudah menjadi ruh-ruh gentayangan. Disebut luhur karena telah meruhani menjadi satu dengan spirit keluhuran akibat dari perilakunya di dunia yang senantiasa menjaga keluhuran.

Konsep Keluhuran inilah yang hendak terus diwariskan kepada anak turun hingga pada jaman kita saat ini. Ada istilah “Wong kang ngalah luhur wekasane” / Orang yang mengalah akan membekaskan keluhuran, “Budi luhur lembah manah andhap asor” / Budi yang luhur, dan rendah hati, “Wong luhur iku awit premono ing Kang Moho Luhur” / Orang luhur itu akibat dari ketelitiannya pada Yang Maha Luhur. Untuk menyusun skema keluhuran ini, dibuatlah beberapa lapis kepemimpinan untuk kemudian saling berpilin berjalinan pada kelompok sosial lebih besar.

Keluarga (Kulowargo)

Inilah pola paling fundamental yang akan memberangkatkan warganya melakukan perjalanan menemukan keluarga-keluarga berikutnya dalam ikatan dan pengalaman lebih luas dan terintegrasi. Oleh sebab itu, sejak bermula dari sini peraturan utama yang ditanamkan adalah kejujuran sebagai representasi sikap luhur. Setelah kejujuran, setiap keluarga akan menanamkan kegembiraan saling berbagi sebagai bekal kehidupannya yang kelak makin harus mengerti bahwa untuk dimengerti dan diperhartikan oleh Tuhan, maka harus mengerti dan memberi perhatian kepada makhluk ciptaanNya.

Konsep Tunggal, adalah pendampingan keluarga kepada anak usia dengan nomina angka Tunggal 1 – 9 tahun. Konsep yang diberikan adalah memahami anak bahwa karena usianya tunggal maka anak perlu diakomodir semestanya yang merasa menjadi ‘pusat semesta’, menjadi pihak yang harus mendapat predikat terbaik, memperoleh hadiah dan pujian terbaik, mendapat perhatian utama, dan mendapat pengakuan dari lingkungannya. Inilah yang perlu dipahami orangtua kepada anaknya pada fase usia tunggal. Selain itu, orangtua perlu membuat pagar-pagar (paugeran) agar dengan karakternya yang seperti itu, anak tetap bisa belajar tentang berbagi. Konsep ini akan terus berangkat ke fase usia berikutnya, yakni usia las-lasan usia belas kasih (kawelasan). Pada ‘pemerintahan’ keluarga. Bapak, atau BOPO, adalah sebagai ‘kepala negaranya’. Disebut Bopo karena Ubo lan Upo, Ubo itu ubet, obah, bergerak untuk memenuhi fasilitas keluarga. Upo adalah adalah Nasi, simbol pangan, Upo juga merupakan Upoyo, dimana Nasi yang didapatkan harus dengan usaha dan upaya yang baik, benar, serta indah, agar menjadi hidangan yang memberikan vibrasi dan kadar cahaya berkah yang besar bagi keluarganya.

Konsep Kawelasan, yakni untuk fase usia 11 – 19 tahun. Di usian ini anak sudah menemukan keluarga yang lebih besar. Demikan dahulu, ke depan kita lanjutkan pembahasan tentang Konsep Kawelasan dan ke atasnya.

TIM GUGURGUNUNG

04 Juli 2017