LARAS

Gelaran rutinitas majlis gugurgunung pasca dorman. Pembaharuan niat, langkah menjadi bahasan yang perlu untuk menata segala sesuatunya agar menjadi lebih baik. Hampir serba baru, selain niat baru juga malam tahun baru, karena bertepatan dengan malam pergantian tahun hijriah, malam satu Muharram 1441 H, dan tanggal masehi pada 31 Agustus 2019. Lokasi yang dipilih pun baru, bukan karena baru digunakan gugurgunungan pertama kali, namun memang Musholla ini bangunan baru yang dibangun dari wakaf seorang mulia bernama Mbah Mus, salah seorang warga setempat. Kemudian musholla ini dinamakan: Darussalam, berada di Dusun Gembongan – Lemah abang, Ungaran Kab. Semarang.


Kegiatan dimulai kisaran pukul 21.00 WIB. Langsung saja malam ini memperbarui niat bertepatan pergantian tahun baru Hijriah, Mas Sokhib diminta untuk memimpin doa awal tahun dan akhir tahun ini. Turut didoakan putra Mas Mif yang kebetulan malam itu sedang sakit. Doa tawasul yang indah dan ayem oleh Mas Azam, Munajat Maiyah oleh Mas Tyo yang berpembawaan kalem sehingga suasana makin khidmat. Kemudian doa oleh Mas Ari, dimana satu bagian doa ini merupakan wasiat Mbah Nun yang selalu dibaca sebelum Majlisan. Rangkaian kloso penentraman hati sudah digelar masuklah sesi sinau bareng cangkruk budi doyo maiyah Ungaran ini. Tak perlu menunggu komando mas Kasno segera mengambil peran. Berpijak dari tajuk yang ditulis Mbah Nun, bersama Pak Toto Rahardjo menjadi bahan penulisan untuk mukadimmah yang ditulis oleh Mas Agus, “Selamat bangun kembali dari masa dorman” demikian ungkap Mas Kasno untuk mengawali cangkruk, diskusi sekaligus workshop pada malam hari ini.

Pada momentum Muharram/Haruma, seakan kita dibangunkan oleh Mbah Nun untuk ber-Tajdidun-n-niyaat. Mari bersama-sama mensyukuri momentum ini. Momentum yang satu tahun lalu tepatnya pada Paseban Muharram, telah disepakati, diantaranya adalah, bahwa tiap memasuki bulan Muharram Majlis gugurgunung hendaknya mempunyai tradisi untuk berkumpul atau melakukan Paseban. Menentukan apa-apa saja yang perlu atau tidak perlu untuk dilanjutkan. Atau apa-apa yang perlu atau tidak perlu untuk dilakukan.

“Tajdidu-n-niyaat”, merupakan dhawuh dari Mbah Nun yang merujuk pada Tulisan Pak Kyai Toto tentang “Perjuangan Menemukan Jati Diri”. Hal tersebut kemudian sejenak me-remind beberapa hal dalam tema yang pernah diangkat dalam rutinan Majlis gugurgunung. Diantaranya adalah tema “Tandur Kusuma Jati Wijaya”, momentum yang ditengarai dengan fenomena kegembiraan bersama keluarga gugurgunung nandur kembang Wijaya Kusuma yang dipelopori oleh Mas Yudi Rohmad. Yang kemudian juga mentadaburi istilah (Tandur, Tandzur = merawat, Memperhatikan). Juga istilah kata ( Niat, Nawaitu ), kata yang juga terbentuk dari huruf Alif-Lam-Nun-Wawu-Ya, yaitu huruf yang selalu ada dalam semua surat dalam Al Qur’an, yang apabila dirangkai akan membentuk kata Annawai yang artinya adalah benih.

Mas Kasno juga kemudian teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun, dan mengajak atau menawarkan pada dulur-dulur semua untuk masuk melalui kalimat yang disampaikan beliau tersebut terkait dengan niat. Kurang lebih demikian, “Setiap niat baik, Tuhan sendiri yang akan bertanggung jawab akan hasilnya” Maka pada malam ini, sebagai respon atas dhawuh tersebut, kita mengangkat Tema “LARAS”. Sebuah metode yang akan kita sinauni bareng, dengan membangun semangat Hafidz (Menjaga). Semoga niat yang kita teguhkan ini, senantiasa seLARAS dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Amin…

Mas Agus kemudian diminta untuk memberi preambule untuk memantik diskusi. Ini adalah gugurgunungan pertama usai dorman. Ada yang perlu diperbaharui seperti anjuran Mbah Nun untuk memperbarui niat. Bahwa apa yang menjadi hambatan kemarin, segala sesuatunya sudah selesai. Termasuk beberapa hutang dokumentasi serta reportase. Alhamdulillah Mas Aji yang jauh-jauh dari Prambanan malam ini turut hadir. Kemudian oleh mas Agus, mas Ajik dimintai “oleh-oleh” yang diperoleh ketika kemarin Mocopat Syafaat.

Mas Aji mengungkapkan bahwa di Mocopat Syafaat sama dengan simpul-simpul lain yang memberi respon tentang manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana. Yang perlu digaris-bawahi pembagian tersebut bukan pembagian secara hirarki tetapi lebih kepada sifat bahwa semua ada di dalam diri kita. Dalam pada itu sebenarnyalah manusia merupakan manusia nilai. Dimana pasar dan istana menjadi sub, semacam wahana “bermain”nya saja. Semua masih dalam rangkaian sebab akibat. Bukan hanya dengan menguras tenaga untuk mendapat rejeki, tetapi masih ada seribu jalan lainnya. Ketika di Mocopat Syafaat waktu itu diminta masing-masing 3 orang dari tiap jenis manusia untuk naik ke panggung.

Manusia pasar memang lebih pada urusan transaksi. Pedagang atau penjual, koperasi dll.
Manusia nilai waktu itu diwakili oleh seorang Guru dan Guru TPA, dan manusia istana ialah beberapa mahasiswa. Manusia istana dipilih berdasarkan pengaruhnya terhadap lingkup masyarakat yang lebih luas. Baik itu mahasiswa, kepala bagian, kepala asosiasi dll. Semua hal tersebut masih dalam bingkai kewaspadaan. Salah satu dari 4 tajuk bahwa Mbah Nun khawatir kalau ada tekanan hari-hari yang mana sampai merasa lelah, sakit, marah dll. Tajuk ini berangkat dari empati simbah terhadap jamaah maiyah di lingkungan luar yang serba materialisme, transaksi dll yg dialami tiap hari. Sehingga disana membutuhkan kewaspadaan dan membaca diri agar lebih waspada dalam bersikap. Alat tukar kita dengan Allah SWT adalah ketakwaan.

Menurut tadabbur Mas Aji yang jelas ada fase-fase dimana kita memilih dirimu atau selamat dengan nilai, milih berhala atau Allah, anakmu atau Allah lulus terus. Momentum-momentum tersebut jika dinilai dengan transaksi maka sangat kontekstual terhadap kehidupan. Apakah kita memilih nilai atau memilih di luar itu. Sekali lagi bahwa antara manusia nilai, pasar dan istana maka semua adalah manusia nilai. Sedangkan pasar dan istana hanyalah wahana bermain. Keputusan memilih tersebut ketika terpeleset maka justru menjadi goalnya dimana semestinya hanya sebagai sarana atau alat untuk menuju nilai yang lebih besar.

Mas Agus menambahkan bahwa untuk memegang nilai pasti akan berhadapan dengan arus. Apakah arus tersebut akan membuat kita kalah? Jika alat tukar dengan Allah  SWT adalah takwa. Dimana dalam Al Qur’an Nabi Ibrahim sudah distempel sebagai imamnya umat manusia. Pastilah itu bukan sekedar mitos, legenda, dongeng dll. Itu adalah kenyataan yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim. Tidak bisa kita hanya mengatakan “kan dia itu nabi..”. Kita harus bersyukur bahwa Nabi Ibrahim mencontohkan bahwa dirinya adalah seorang manusia pilih tanding. Yang memang dikabarkan dalam Al Qur’an bahwa ia adalah seorang pembawa berita (nubuah, nabi) dan kita memang tidak akan sanggup menjangkaunya. Dalam beberapa ungkapan Mas Aji di depan, diharap bisa menjadi bahan pertanyaan agar diskusi nanti bisa berkembang.

Membidik point dari Pak Totok tentang Al Qasas  bahwa kita harus menentukan peran kita di dunia. Kebetulan memang jauh sebelum ada tajuk tersebut sudah dibuat tema diskusi malam hari ini yakni Laras. Maka tema ini tetap dipertahankan. Kita ibarat gamelan yang memiliki tone nya sendiri-sendiri. Gamelan ini memiliki keunikan yang perlu distem supaya mapan suaranya. Gamelan memiliki dua ciri ketika bahannya bagus tidak pernah dilaras maka nada akan meninggi. Kalau bahan kurang bagus tidak pernah dilaras atau distem maka nada merendah. Ini perlambang yang sangat indah untuk melihat diri sendiri. Ketika kita manusia tidak bagus, lalu terhasut nilai dalam kehidupan maka merendah mudah patah dll. Kalau bahan kita bagus maka kita meninggi yakni sombong demikian efek jika tidak pernah dilaras. Berikutnya, bagaimana kita menyelaraskan kehidupan kita secara nilai terhadap Al Qur’an. Gamelan akan selesai menjadi tidak perlu dilaras ketika usianya 25 tahun. Sudah mapan, mateng dan tidak perlu dilaras lagi.

Ketika disambungkan dengan hafidz yakni merupakan fenomena memelihara. Laras sangat dekat dengan hafidz. Bahwasanya tidak perlu menyelarasakan dalam seluruh Al Qur’an. Minimal mampu menyelaraskan dengan ayat apa yang bisa kita ambil dan selaraskan untuk kehidupan kita masing-masing. Laras bukan sekedar diingat tetapi juga dilakukan terus menerus. Andaikan usia aqil baligh ialah 15 tahun. Jika dihitung 25 tahun setelahnya maka akan menjadi usia 40 tahun. Itulah usia dimana Rasulullah mendapat wahyu dan diangkat menjadi nabi. Mengapa aqil baligh diletakkan 15 tahun? Menurut Mas Agus bahwa kita diberi bonus hidup manusia sebanyak dua windu awal untuk tidak dihitung. Baik untuk recalling, reminding dan lain-lain yakni sampai pada usia 15 tahun.

Setelah melewati usia 2 windu akan menjadi dihitung, dan harus menjadi laras. Kita sudah memiliki tone tetapi belum final dan harus berproses melaras dengan Al Qur’an. Tidak harus dengan seperangkat gamelan atau 30 juz. Sebab 30 juz merupakan pengembangan dari induk alquran yakni Al Fatihah. Bahkan minimal selaras dengan Bismillah. Minimal pengucapan dalam setiap laku. Pertama hingga bertemu Ba, lalu nanti pada partikel yg lebih kecil bertemu titiknya. Seperti pada tahap belajar salam. Tidak perlu  mengucap salam kepada satu-satu. Asalkan kita tidak mengancam harta, darah, orang lain berarti kita sudah salam. Seperti halnya laras. Ini tadi pembahasan secara mayor. Berikutnya kita nanti akan pada tahap personal.

Jeda sejenak untuk menikmati untaian kata oleh keluarga gugurgunung berupa karya-karya puisi yang apik. Penampilan sebuah puisi oleh Mas Angling, sebuah puisi karyanya sendiri berjudul ‘Sambal’. Puisi sederhana dengan racikan kata nan istimewa. Senantiasa mendapat apresiasi, meskipun oleh Mas Agus sedikit memberi input tentang cara pembacaan. Puisi berikutnya dari Mas Fajar yang juga membawakan puisi karyanya sendiri berjudul “Temanku yang dewasa”. Mas Sokhib tidak ketinggalan untuk memberi suguhan puisi yang indah dan romantis gubahannya sendiri tentang seorang istri, puisi berjudul “Bidadari”. Tak seperti biasa, untaian kata yang terangkai dalam puisi-puisi ini seolah menggugah kegembiraan berkata-kata dengan laras dan bermakna. Bahkan Mbak Dewi yang sudah lama tidak tampil, malam itu membawakan juga sebuah puisi karya mas Angling yang bertema tentang ibu. Puisi demi puisi tersajikan dengan apik dan menambah syahdu suasana.

Berlanjut lagi ke diskusi. Mas Sokhib merespon tentang tema dengan sebuah pertanyaan, tentang manusia nilai bahwa kita sebenarnya adalah manusia nilai. Sejak dulu TK hingga bekerja selalu terdengar kata nilai. Apapun yg dilakukan selalu berfokus seputar nilai termasuk kegiatan bermasyarakat. Maksudnya nilai seperti apa? Mas Anjar tak ketinggalan untuk mengembangkan sayap diskusi dengan sebuah pertanyaan tentang pencarian jatidiri apakah terkait dengan janma? Bagaimana jika menjalani tidak sesuai titah apakah akan tidak sesuai pula dengan jatidiri.

Mas Agus, merespon tentang manusia nilai maka memerlukan beberapa piranti. Nilai adalah value atau bobot bukan sekedar angka. Dimana jika kita tarik lagi dalam etimologi bahwa bobot juga tersambung dengan bibit. Benih inti disebut culture. Nilai juga dikonfirmasi pada bobot bukan sekedar angka-angka. Apakah kemudian kita mampu meletakkannya pada letak abdi dan khalifah. Apakah kita membangun kesemestaan dalam kehidupan kita sendiri dalam bobot kehidupan. Apakah Allah SWT ridho atau tidak terletak di sana. Bahwa sekarang terjadi fenomena penilaian, di maiyah kerap didengar bahwa sesama murid tidak boleh mengisi rapor murid lainnya. Indikator-indikator pencapaian yang lebih pada bobot ialah sejauh mana kita bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana kita membangun proses dengan grafik yang menaik bukan malah menurun.

Letak value disini ialah kita menjalankan sebuah perilaku sesuai dengan kehendak Tuhan kepada kita bukan dari atasan, guru dll. Kita tetap bisa menjalankan kehendak guru atau atasan ketika tidak melenceng dari koridor yang diletakkan Tuhan. Sebab kita memiliki keterbatasan untuk menyerap informasi dari Tuhan secara langsung.

Mbah Nun ingin mempertahankan sebuah kesemestaan tanpa pretensi atau tanpa motif. Manusia pasar tidak selalu buruk sebab ada anjuran untuk berniaga. Maka tata aturan di islam sangat jelas. Seperti tentang aturan dilarang mengurangi timbangan. Bahkan masa muda rasul pun berniaga tetapi tetap dengan memegang teguh nilai. Baik pasar dan istana (pemimpin) hanyalah sebuah instrumen. Hewan-hewan pun ada yang menjadi pemimpin dengan persyaratan yang cukup banyak pula. Apakah kita sebagai manusia juga melakukan penyeleksian yang sama. Misal ada policy tertentu yang sebenarnya kita enggan. Banyak ketidaksepakatan tetapi kita tidak mempunyai kekuasaan untuk membantah. Sebab kita memilih manusia istana yang tidak sesuai.

Sebenarnya tidak masalah apakah menjadi manusia pasar dan istana. Asalkan masih menjadi manusia nilai. Nilai terbesar ialah kemanusiaan. Jika itu tergadaikan dengan angka maka kemanusiaan akan menjadi rendah. Bukan sekedar angka tetapi pengabdian pada Tuhan. Tidak masalah manusia nilai memasar dan mengistana. Oleh karenanya di Jawa tidak menggunakan kata “aku”, yang dipakai ialah “ingsun”. Ing sajroning pisungsunan dalam sebuah tatanan dimana dalam susunan, Allah menjadi ratunya. Manusia pemimpin pun teta tunduk kepada Allah sebagai Raja atau Ratu yang utama, Malikinnas.

Merespon pertanyaan Mas Anjar. Bahwasannya janma prajurit tidak harus menjadi tentara. Andaipun dia sebagai petani tetapi turut berperan mengamankan maka juga ia seorang janma prajurit. Hasta janma adalah profesi kita dihadapan Tuhan. Gajinya berupa efek sosial. Janma tani mendapat bayaran berupa masyarakat yang ayem tentrem, janma ujam dudukan bayarannya masyarakat yang sehat bagas waras, prajurit gajinya berupa masyarakat yang hidup dalam rasa aman dan seterusnya. Setiap pihak menjadi orkestra yang sudah terintegrasi. Kondisi saat ini petugas-petugas Allah sudah sangat sedikit. Sekarang masih hidup dalam kerukunan, kenyamanan tetapi merupakan sisa gaji dari leluhur. Jika kita tidak pula melakukan hal yang sama hingga menjadi ahli dalam bidangnya masing-masing maka tunggulah kehancurannya. Sebelum hancur maka kita harus segera menemukan peran kita untuk menjadi ahla dimana masing-masing memiliki keahlian untuk saling menopang satu sama lain.

Kemudian ada Mas Santoso, seorang manusia pasar yang juga seorang manusia nilai. Ia adalah seorang peternak yang lama tak ikut merapat, dan rindu melingkar di majlisan kali ini. Berbagi kisah dan pengalamannya seputar beternak. Niat bekerja untuk menggugurkan kewajiban dalam berkeluarga. “Obaho sakmampumu, nyambut gawe sak isomu”, demikian sedikit yang menjadi ungkapannya. Ia memulai peternakan karena menurut Mas Santoso merasa hanya bisa melakukan hal itu.  Memulai dari telur ayam kampung lalu ditetaskannya sendiri namun tingkat resiko tidak berbanding lurus dengan keuntungan. Sekarang merambah menuju telur entog, daging entog hingga kalkun.

Waktu sudah lewat tengah malam, kisaran 00.15 WIB Mas Yoga menampilkan perform dua lagu. Sedikit membantu untuk mencairkan suasana dalam diskusi pembahasan yang cukup mendalam. Waktu menunjukkan pukul 00.40 WIB Mas Agus meminta kepada semua yang hadir untuk masuk ke ruangan dalam musholla agar gumpalan energi yang hadir pun menjadi lebih besar. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk membaca surah At-Tin. Dan semua diminta untuk mengirim Al Fatihah untuk beberapa Nabi yang akan nanti dipelajari kisah-kisahnya dan korelasinya dengan diri kita semua dalam workshop yang diagramnya sudah diunggah di website dan akun sosmed gugurgunung. Workshop Laras ini merupakan tahap 1 (satu) yang akan diadakan hingga Oktober ke depan dengan waktu yang dibersamakan pada saat reguler Sinau bareng setiap malam Minggu terakhir.

Sekian reportase edisi Agustus 2019 dengan tema Laras. Semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendryawan
Yoga
Angling tri
Cahya

PASEBAN MUHARRAM

Majlis Gugurgunung pada akhir bulan September ini kembali menggelar rutinan Maiyahan pasca melebur pada edisi bulan Agustus lalu di Gambang Syafa’at. Kegiatan ini dihelat pada tanggal 29 September 2018, bertempat di kediaman Mas Mundari yakni di Ngempon, Ungaran, Kab. Semarang.

“Paseban Muharram” menjadi tema yang dipilih pada diskusi malam hari ini. Berkesesuaian pula dengan bulan ini, yakni bulan Muharram atau Suro di kalender Jawa.

Pembacaan do’a wasilah, Wirid Gugurgunung, tembang Gugurgunung, dan Munajat Maiyah.

Semua yang hadir telah duduk melingkar, hingga dimulailah kegiatan malam itu pada pukul 21.00 WIB. Diawali dengan pembacaan do’a wasilah oleh mas Ari, juga dengan Wirid Gugurgunung dan memimpin tembang Gugurgunung anggitan mbah Narto Sabdo. Lanjut dengan Pembacaan Munajat Maiyah oleh mas Jion.

Diskusi dimulai dengan pembacaan Mukadimmah oleh mas Kasno selaku moderator yang juga dibersamai oleh mas Dian untuk memandu jalannya diskusi. Semua yang hadir menyimak pembacaan mukadimmah dengan seksama. Beberapa yang hadir yakni sedulur dari Majlis Alternatif Jepara, juga sedulur dari Semarang, serta Master Zain Zamatera bersama dua kerabat dari Pagarnusa Salatiga. Namun Master Zain pada kesempatan kali ini menyampaikan permintaan maaf yang sebesarnya karena beberapa hal, baik karena beliau yang meminta maaf atas kedatangannya yang terlambat, lalu meminta do’a untuk Zamatera yang akan mendapatkan surat pengesahan dari Kementerian Kesehatan sebagai Badan Terapist resmi di Indonesia, serta beliau mohon izin untuk pulang lebih awal sebab secara mendadak harus mengejar jadwal pesawat di Surabaya untuk menghadiri kegiatan di Batam esok pagi, dimana sesungguhnya berat pula bagi beliau yang sebenarnya rindu untuk melingkar bersama Majlis Gugurgunung.

Usai sepatah dua patah kalimat disampaikan oleh Master Zain, tiba waktunya untuk mas Yoga membawakan sebuah lagu untuk menghibur sedulur yang hadir. Sebuah puisi karya Chairil Anwar berjudul “Sia-Sia” yang diaransemenkan menjadi sebuah lagu mendapatkan apresiasi yang cukup baik. Kemudian mas Dian selaku moderator kembali membuka sesi diskusi. Mas Ajik menjadi yang pertama ditunjuk olehnya untuk memantik bahasan diskusi yang dapat dikembangkan lebih luas dan dalam.

Mas Ajik menjadi yang pertama ditunjuk oleh moderator untuk memantik bahasan diskusi

Tentang kata pada tema ini, yakni Paseban dimana diartikan sebagai pertemuan. Setiap hari kita mengalami proses pertemuan-pertemuan. Baik dengan alam, yakni bertemu dengan pagi ataupun malam. Juga pertemuan dengan manusia-manusia lain. Sedari bangun tidur hingga menuju kembali tidur, sebenarnya sangat banyak pertemuan yang terjadi. Namun itu semua juga tergantung pada kesadaran kita. Apakah diri kita ini menyadarinya atau tidak. Ketika dihadapkan pada sebuah pertemuan, banyak kemungkinan pada pikiran kita yang terseret ke belakang yakni masa lalu seperti sedang ada masalah hutang dlsb. Atau bahkan pikiran melompat ke depan dimana hal itu masih belum jelas, seperti besok makan apa? dlsb.

Kemudian pak Zam juga melanjutkan pembahasan. Terkait mukadimmah, muncul sebuah pertanyaan. Tercantum dalam mukadimmah bahwa, terkait pula tema ini dengan terjadinya salah musim. Manusia berperan penting dalam pengrusakan alam hingga berujung musim yang sering tidak jelas. Namun, ketika alam nanti semakin rusak hingga ujung kerusakan apakah justru akan menemukan keasliannya?

Salah seorang sedulur dari Jepara, yakni mas Anang. Juga memiliki sebuah pertanyaan untuk memantik diskusi. Bahwa alam yang baik sudah dirusak oleh manusia, sehingga alam seakan memberontak ataupun marah. Namun bagaimana cara agar alam dapat kembali sesrawungan dengan kita manusia?

Hampir senada, mas Ari juga memiliki pertanyaan. Terjadinya salah mongso dikaitkan dengan manusia sekarang yang juga sudah salah mongso. Atau salah buruan / salah yang dimakan. Manusia sekarang justru lebih memburu dunia. Namun bagaimana agar tidak terjadi “salah makan” seperti ini?

Mas Jion merespon tentang soal pranata mangsa. Dimana bumi akan menurut dengan segala cara manusia mengkhalifahinya. Sebuah kata luhur yakni Memayu Hayuning Bawana, mungkin bisa menjadi salah satu alternatif cara untuk kita sesrawungan dengan alam kembali.

Mas Agus turut merespon dari beberapa pantikan diatas. Paseban, seba diartikan sebagai sowan, mangkat, bertemu. Paseban Muharram berangkat dari bekal yang kita himpun dari setahun yang telah jalani sebelumnya. Dalam sekian rentang waktu dari lahir, senantiasa dalam rangka seba. Namun bagaimanakah seba yang baik yang perlu kita telaah lebih dalam.

Muharram, berasal dari kata Haruma, yakni tercegah. Setiap memasuki bulan Muharram harus memiliki paugeran tentang hal apakah yang perlu untuk dilanjutkan, dan apakah yang tidak perlu untuk dilanjutkan pada tahun berikutnya. Selain itu juga perlu dipilah tentang hal apakah yang perlu untuk mulai diberlakukan dan tidak lagi diberlakukan. Meskipun diluar diri kita masih ada yang masih memberlakukannya. Sebagai contoh ialah, penggunaan pupuk kimia pada tanaman baik sayuran maupun buah-buahan. Meskipun kita sedikit sesak merasakannya, sedangkan hal tersebut terus berlanjut secara kontinue. Tetapi kesadaran yang harus dimiliki ialah bumi sudah bersusah untuk menghasilkannya. Baiknya, kita memformat diri menjadi pihak yang tidak terlibat oleh sistem nafsu. Sebab ada sistem yang dibangun oleh akal. Sistem tersebut dapat dipakai hingga level kenegaraan. Ada dua negara yang disebut oleh Mbah Nun yakni China dan Iran, dimana negara tersebut sangat memikirkan rakyatnya hingga level terkecil. Meskipun hal tersebut tidak terjadi di Indonesia, apakah kita menolak Indonesia? Tentu tidak, biarkan saja hal tersebut berlanjut. Sebab manusia terkadang perlu pembuktian.

Ada beberapa hal yang terkadang bisa tertangkap oleh Akal, ada yang terserap oleh pikiran, ada pula yang harus dibaca melalui kejadian. Contoh simulasinya, ialah ketika negara memiliki regulasi khusus tentang pupuk dan biji-bijian. Ketika hanya mampu dikonsumsi dan dimainkan oleh pihak besar dan hanya menguntungkan salah satu pihak saja, dan pihak tersebut bukanlah petani.

Apakah perlu kita melakukan kudeta? Jelas tidak. Sebab itu bukanlah pilihan yang baik. Solusi yang paling berkemungkinan baik ialah memberikannya contoh, seperti yang dilakukan oleh sedulur Majlis Alternatif di Jepara dan Petani Muda di Jogja yang menggunakan pupuk organik.

Andai, selama tujuh tahun ke depan akan terjadi kesengsaraan. Bagaimana kita menghadapinya? Apakah akan kita mengkonversikannya menjadi kekebalan ataukah justru kebebalan?

Jika terjadi kerusakan secara masif, yang itu dapat menjadi pembelajaran empiris namun sebenarnya tidak perlu terjadi jika disentuh oleh akal dan pikiran. Qiyamah, juga memiliki arti kebangkitan. Ada yang dibangkitkan berarti ada pula yang ditumbangkan. Tinggal pihak mana yang akan kita pilih, pihak yang akan dibangkitkan ataupun pihak yang akan ditumbangkan.

Dari beberapa uraian tersebut, jangan pula menganggap diri kita bukan sebagai faktor dalam perusakan-perusakan. Namun tergantung perusakan mana yang kita pilih. Petani mencangkul pun juga terlihat merusak tanah, namun menghasilkan nilai fungsi yang lebih besar.

Harapan seorang petani sebagian besar ialah, hasil panen bagus, melimpah, dan laku mahal. Namun ketika hal tersebut tidak terjadi, apakah mereka akan berhenti berdo’a? Tidak, sebab dalam pada itu sangat berkemungkinan do’a-do’a tersebut dikumpulkan dan menunggu momentum untuk memanen setiap do’a dan usaha yang sudah dijalaninya. Inilah sikap berserah, Namun tentu saja, momentum tersebut tidak akan tercapai apabila kita pasif, sebab tidak mungkin bisa hanya dengan leyeh-leyeh bisa mengunduh hasil.

Kemudian bahasan diskusi berlanjut pada gambar awan yang terpampang di poster. Bersama kita mentadaburi, bahwa semua adalah pertanda bagi orang yang berpikir. Hal tersebut ialah fenomena yang menjadi trigger akan tema Paseban Muharram kali ini.

Awan tersebut nampak terlihat jelas di puncak gunung Ungaran. Nampak beberapa awan yang hampir sama terlihat di beberapa gunung sekitaran Jawa Tengah, bahkan juga di Gunung Gede Jawa Barat serta Gunung Agung Bali. Pranata mangsa yang kerap kali berubah-ubah, bahkan terbolak balik pada sekian lama ini mungkin akan terdapat perbaikan untuk ke depannya. Sedikit hal yang mendasari ialah ada beberapa pihak yang sudah mau dandan atau memperbaiki diri, serta lingkungan. Dari lahan tandus telah mulai muncul kecambah. Meskipun hanya sebagai bidak dalam permainan catur, namun merupakan salah satu pihak yang memiliki peran utama dalam permainan tersebut sebab memiliki potensi akan harapan yang besar. Ketika satu bidak telah sampai di ujung perjalanan, ia mampu untuk memilih akan menjadi apakah dia. Bebas memilih, asal tidak menjadi “Ratu”.

Titah ataupun ilmu akan sesuatu yang dahulu mungkin pernah dimiliki leluhur tentu masih akan terjaga. Baik titah maupun ilmu semua berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dimana pasti akan bernaluri kembali kepadaNya. Tubuh manusia mungkin boleh mati, hancur dan terurai. Namun titah maupun ilmu yang dimilikinya tentu akan kembali kepada Sang Maha Pemilik Ilmu dan masih berkemungkinan untuk ditransfer kembali kepada kita entah dengan bentuk mekanisme apapun.

Kisaran waktu pukul 23.30 WIB, mas Khafid diminta untuk membacakan puisi karyanya, dengan diiringi petikan gitar oleh mas Yoga.

Lirik penuh arti serta pembawaan yang mantap pun mendapat apresiasi dari sedulur-sedulur yang hadir.

Usai disela musikalisasi puisi, mas Dian turut mengajukan sebuah pertanyaan yang masih terkait dengan diskusi malam ini. Dimana dalam waktu dekat-dekat ini banyak terjadi bencana alam. Seperti gempa di Lombok serta tsunami yang menerpa saudara kita di Palu dan Donggala. Apakah hal ini juga merupakan sebuah bentuk proses perbaikan alam seperti yang dimaksud tadi? Namun direspon oleh mas Agus bahwa tidak perlu mengkaitkan hal-hal tersebut, sebab prioritas utamanya ialah menjaga kemanusiaan. Tidak mampu untuk memberikan bantuan secara fisik, namun lakukan apa yang bisa kita lakukan bahkan dalam bentuk do’a sekalipun.

Mas Rizal dari Semarang juga menggendong pertanyaan yang masih berkaitan dengan Muharram atau Suro. Jaman dahulu tidak ada yang menikah pada bulan suro, namun era saat ini justru banyak yang melakukannya. Direspon pula oleh mas Agus bahwa, alasan leluhur untuk tidak menikah di bulan Suro ialah bulan ini merupakan bulan berkabung Rasulullah. Dimana cucu kesayangan Rasulullah mengalami fenonena yang menyedihkan yakni dibunuh, dan dipenggal kepalanya. Para leluhur mencoba untuk mendekat dengan Rasul termasuk memahami apa yang membuat rasul bersedih, sehingga agaknya kurang pas di bulan berkabung ini justru digunakan menjadi fenomena untuk berpesta atau berbahagia.

Do’a penutup menjadi pertanda bahwa usai sudah diskusi malam hari ini. Namun cangkrukan masih belum usai, sebab menu khas gunung yang selalu dirindukan senantiasa menjadi penutup dalam tiap acara majlisan Gugurgunung. Lingkaran-lingkaran kecil masih terbentuk, dengan bahasan ringan menjadi suguhan untuk saling ditukar satu sama lain untuk menambah sekelumit informasi tentang kemanusiaan, sebab sebaik-baiknya “menjadi” ialah Menjadi Manusia.

Sekian reportase edisi September 2018 dengan Tema “Paseban Muharram”, semoga bermanfaat.

Andhika Hendriyawan

PASEBAN MUHARRAM

Paseban mempunyai arti “Pertemuan”, menengarai pertemuan dengan Tahun baru 1440 H. Konon, Paseban merupakan tradisi penting yang sering dilaksanakan oleh para Leluhur. Kesempatan tersebut biasanya digunakan untuk membahas hal hal penting yang bersifat Universal. Salah satu diantaranya adalah membahas tentang “Pranata Mangsa”.

Pranata Mangsa

Pranata = Tatanan, aturan, ketentuan

Mangsa = Masa, Musim

merupakan sistem penanggalan atau kalender yang dikaitkan dengan aktivitas khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranata Mangsa ini memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan  atau aktivitas tersebut  di atas maupun persiapan diri menghadapi fenomena (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu. Continue reading