DJD Keluarga Majlis gugurgunung

“Bahwa apa yang akan kita mulai malam ini merupakan upaya penetapan diri untuk menjadi pihak yang senatiasa berlindung dan menjaga amanat dari Allah swt. Mungkin sejak mulai besok ada banyak hal yang terus menerus berusaha memojokkan dan mencoreng-moreng muka martabat amanat kita dengan berbagai macam metode dan dukungan-dukungan kekuatan. Kekuatan jaringan, dana, media, bahkan kekuatan militer. Seolah jika ingin aman justru apabila kita menjadi pihak yang oportunis,menjadi pihak yang hura-hura, generasi eiya-eiya, cengengesan, demen pamer, gemar bersolek dan jika perlu menjadi peserta penyimpangan kodrat. Pilihan itu mungkin bukan hanya akan aman namun juga akan dibela atas nama kemanusiaan. Lain halnya yang sedang berusaha menjaga amanat Tuhan yang berusaha menjalin perilaku yang terus bersambung dalam gelombang kenabian, yang memilih amanat, tabligh, sidiq, fathonah, justru bisa saja akan banyak dicerca dengan berbagai ungkapan yang menghasut, penuh fitnah, dan manipulatif”, demikian prakata malam tadi yang menjadi sedikit ungkapan pembuka sebelum dimulainya pelaksnaaan dhawuh Mbah Nun yang termaktub dalam Tajuk DJD.

Tentunya ini menakutkan apabila dibayangkan. Namun, tampaknya kondisi ini tak ubahnya sebagaimana Firman Allah swt yang akan menguji kepada yang mengaku beriman dengan hantu-hantu yang seolah siap mencengkram dalam suasana ketakutan dan tiada pertolongan. Diberikan ketakutan dari sisi lahir, dari sisi pikir, dan juga dari sisi bathin. Oleh sebab demikian perlu kiranya ketakutan ini segera disambungkan dengan suasana bathin yang dialami oleh Nabi Ismail AS. Apabila hantu-hantu dalam pikiran itu lebih dominan dan sehingga gentar dan lari maka tidak akan ada momentum aqrob, quroba, yakni kedekatan hamba dengan Tuhan secara karib. Nabi Ismail menjadi teladan yang mampu menghadapi fitnah karena keyakinannya yang besar kepada kepada Allah dan rasul-Nya, maka martabat Nabi Ismail AS sama sekali bukan binatang ternak atau domba yang digembalakan, melainkan penggembala dan berkedudukan sebagai manusia yang beriman karena sanggup menghadapi ujian yang seolah siap merenggut jiwanya.

Jamaah Maiyah Ungaran, Majlis gugurgunung sudah sejak 10 Muharram melakukan upaya pemindaian diri dan penetapan langkah mengingat telah memasuki tahun hijriah yang baru. Yang hijrah atau tahun perpindahan yang baru. Pada 22 Muharram 1441 H, ada semacam ‘paksaan’ untuk segera melaksanakan peristiwa berlatih menghadapi ketakutan itu dengan cara yang bisa dibilang cukup aneh dan tidak populer di kalangan umum, yakni memberanikan diri memasuki hutan yang sepi dan sendirian dengan hanya bermodal kepasrahan diri atas segala pengamatan dan perlindungan Allah swt.

Hawa takut masih menyelimuti namun untuk lari rasanya malu hati. Hawa was-was sesekali menghinggapi namun untuk takut rasanya tidak lagi memberi kemanfaatan diri. Suasana tentram dalam sunyi dan gelap, menjadi perumpaan pikiran buruk diri yang selama ini keliru memburuk-sangkai bahwa dalam gelap dan sepi itu adalah ngeri yang patut dijauhi bahkan dihindari. Padahal suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata bukan produksi pikiran yang menghasut untuk ngeri dan kalau perlu lari menjauh kembali mendekat bersama keramaian yang disangka lebih memberikan jaminan kemananan danmanfaat. Suasana tentram dan khidmat didapat apabila yang nyata adalah ketidak-berdayaan diri namun juga sekaligus keperwiraan untuk berusaha berjuang mendekatkan diri lahir dan bathin, maka yang nyata kemudian adalah perlindungan, pengawasan, dan segala aspek pertolongan yang dicurahkan Allah dengan besar melalui lahir, pikir, dan bathin pula.

Wirid Akhir Zaman pun pada akhirnya dibacakan pertama kali dengan memilih di tengah hutan. Kali ini bersama-sama, saling menjaga dan mengawasi. Rasa takut itu mungkin berasal dari naluri Dholuman Jahula, yang merasa mampu dan berani menyangga firman Tuhan dengan gagah berani. Padahal semakin merasa gagah justru akan semakin gelisah, semakin merasa berani justru semakin ringkih hati. Tampaknya kepasrahan dan keperwiraan tetap harus bertahan bersamaan. Agar tidak merasa hebat namun juga tidak lantas melarikan diri karena takut secara ironis di tengah suasana menjalani ujian untuk semakin dekat. Wirid Akhir Zaman mengandung do’a berisi kepasrahan dan keperwiraan, Pasrah atas segala kehendak dan karunia kekuatan dari Allah, bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disebut sebagai Tuhan, permohonan Maghfrah dan Kasih Sayang Allah sebagai sebaik-baik Pemberi Rahmat, tentang ketidak-berdayaan apapun dan siapapun tatkala berhadapan dengan firman Allah, hingga pertolongan Allah yang akan mengkaruniakan Kebun yang lebih baik dari kebun-kebun lain yang dipupuk dengan mempersekutukan Allah swt.

Sehingga segala proses hingga dhawuh Sahan melalui Tajuk DJD seolah menjadi penegasan dan penetapan agar semua pihak yang akan merawat kebun baru ini tidak perlu memperpanjang ilusi dengan hantu-hantu peristiwa yang seolah menjadi alasan untuk mundur. Tidak untuk merasa kuat, tidak untuk merasa hebat, tak pula untuk merasa sangar. Semua tidak ada gunanya di hadapan Allah yang memiliki ketentuan. Jika ada penolong maka itu memang benar-benar dari Tuhan bukan dari hantu yang karena ditakuti lantas dianggap sebagai tuhan. Lebur dan pecah dulu diri gunung-gunung diri agar tak menghantui kepasrahan kita kepada Tuhan yang sudah memberikan amanat kebun-kebun Maiyah yang tumbuh dengan keberserahan diri, yang tak mempersekutukan-Nya, yang saling bertalian kasih sayang karena Allah swt. Yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Dimana amanat Tuhan ini disanggupi oleh manusia yang bodoh dan jahul, yang berpotensi berkhianat atas amanat tersebut. Oleh sebab demikian maka amanat Tuhan tak akan mampu disandang oleh seorang manusia pun, kecuali manusia telah mentransformasi dirinya lebur menjadi ayat Allah sendiri, menjadi Firman Allah sendiri. Yakni manusia yang sadar akan potensi dholim dan jahul-nya sehingga sanggup menjadi nol untuk manunggal dalam kehendak Tuhan Yang Maha Suci dan Tiada Ingkar Janji. Dholuman Jahula ‘Dhedhel’, apabila dholuman jahula itu dianggap tidak konstruktif maka harus dhedhel (lepas) agar menjadi konstruktif. Atau jika justru dengan dholuman jahula itu manusia menjadi konstruktif maka tentunya sudah ada formula konversi (converter) agar potensi bahaya yang bisa merubah amanat menjadi produk khianat kelak terhindarkan. Amanatnya adalah menata dan mempercantik, bukan merusak dan mencederai. Wirid Akhir Zaman perlu dihayati dan dirasuk dalam diri, siapa tahu bahwa itulah converter-nya.

DJD, bisa apa saja kepanjangannta dengan pendekatan othak-athik gathuk. Bisa ‘Do’a Jaman Dajjal’ bisa ‘Do’a Jamaah Dunia’, menurut kami sebagai anak-putu Miayah sejak beberapa bulan terakhir sudah diberikan hadiah-hadiah susul menyusul yang sangat indah dan begitu berguna, baik dari Mbah Nun, Marja’ Maiyah, Pak Toto, dan suplemen-suplemen berkelas yang tak cuma lahir namun juga bathin. Betapa teramat sangat kami syukuri. Tadinya tulisan ini berniat merespon tawaran hadiah dengan mengungkapkan atau menterjemahkan kepanjangan DJD. Namun betapa itu menjadi batal dan cukup menjadi tulisan bekti sebagai respon semata. Sebab DJD akan tidak punya kepanjangan apa-apa tanpa dilanjutkan dalam perilaku, sebaliknya maka akan terus ada kepanjangannya yang tiada bertepi jika Jamaah Maiyah senantiasa mempertautkan diri dengan Welas Asih Tuhan dengan saling menopang menjaga amanat dari-Nya.

 

Keluarga Majlis gugurgunung, 21 Oktober 2019

Padhang Pranatan

PADHANG PRANATAN

Tema kali ini diangkat dalam rangka merespon banyak hal. Merespon tentang dhawuh Mbah Nun yang setiap simpul diharapkan membuat workshop dalam rentang Agustus – Oktober. Merespon tentang persambungan dan perkembangan tema Majlis gugurgunung yang semenjak mengangkat tema “Masyarakat Lebah Me-madu” pada bulan-bulan berikutnya seolah tidak terputus dan berkesinambungan sebagai seolah bahasan berseri. Setelah pada bulan kemarin MGG mengupas tema “Laras” yang di dalam bahasannya mencoba mengingat kembali amanat utama kita di dalam hidup dan gol utama dalam hidup dengan merunut jauh zaman per zaman, peradaban demi peradaban sejak sebelum era risalah kanjeng Nabi Muhammad SAW hingga terus di ujung mula peradaban Nabi Adam AS.

 

Tidak hanya itu, runutan itu juga mempertautkannya dengan sejarah sejak sebelum Nabi Adam belum diturunkan ke muka bumi bahkan racikan-racikan peristiwa yang melatarinya. Pada bulan kemarin masyarakat maiyah Ungaran yang tergandeng dalam keluarga Majlis gugurgunung mencoba membuat penegasan bahwa hidup di dunia ini sangat kompleks dan serius, dan kehadiran para utusan itu untuk membuat yang kompleks itu tertata dan membenderangi keadaan. Maka, betapa perlunya menyambungkan diri secara laras posisi diri kita sekarang dengan sejarah panjang dan serius alasan kita diciptakan.

 

Berikutnya, yakni pada bulan ini. Majlis gugurgunung mencoba mengupas makna Negeri. Apakah negeri itu adalah teritori kecil? suatu bangsa yang didiami oleh sedikit keragaman? atau sebuah kawasan nilai yang dipenduduki manusia-manusia yang menjaga nilai? Sebab, apabila sebelumnya paham tentang sejarah penciptaan kita maka selanjutnya perlu memahami tugas dan peran yang perlu dirintis dijalankan dan dibangun dengan semangat menggapai suatu penataan yang berpendar cahaya Rahmat Allah swt. Dengan demikian bulan Sepetember 2019 ini ditemukanlah tema tentang penataan, yakni: PADHANG PRANATAN.

 

Secara Bahasa, Padhang mengandung arti : Terbentang Cerah, Terang, Bersih. Sedangkan Pranatan mengandung arti : sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat; institusi. Pranatan juga mempunyai arti lain, yaitu: Pemikiran, Jiwa, Ideologi. Inti struktur pranatan adalah, menjelitakan alam semesta yang telah cantik, memayu hayuning bawana.

 

Menghubungkan masa silam dengan masa sekarang untuk masa yang akan datang adalah metodologi penyusuran silah yang kami yakini. Amsalnya demikian, bijih suatu tumbuhan menampung dan merekam segala rentetan peristiwa tumbuh kembang yg dialami induknya. Menyimpan seluruh karakter dan identitas dominan dari tumbuhan induknya. Sehingga untuk siklus atau proses kehidupan selanjutnya, bijih yang dijadikan sebagai benih tersebut ketika ditanam akan tumbuh sebagaimana induknya tumbuh. Akar, batang, daun, bunga, buah, wanginya bunga, manisnya buah, dan seterusnya dan seterusnya sampai ke bijih lagi akan mempunyai karakter yang relatif sama. Kecuali ada unsur lain dari luar yang sengaja memutus rantai siklus, misalnya dengan cara mencemari nutrisi asupannya, mencemari media tanamnya, dan lain-lain yang kemudian benih menjadi rusak, sehingga tidak dapat meneruskan karakter Induknya pada siklus kehidupan selanjutnya. Manusia  merupakan komponen penting atas terbentuknya sebuah pranatan. Mari mengembarai diri melalui salah satu pintu ini,

 

“Jangan melakukan apapun diluar jalur kenabian,”. Sebuah dhawuh dari Mbah Nun yang disampaikan pada gelaran sinau bareng di Kudus pada awal bulan September 2019 ini. Sefrekwensi dengan Diagram Pemetaan Dasar Peradaban, yang telah diangkat menjadi materi Workshop sinau bareng gugurgunungan bulan Agustus lalu. Yang didalamnya menggambarkan runtutan peradaban Manusia yang padanya mempunyai dua fenomena jalur pengembaraan yaitu Jalur Ahsani Takwim dan Jalur Asfala Safilin. Jalur-jalur peradaban sejak peradaban Nabi Adam AS sampai dengan Nabi Muhammad SAW, atau sejak Peradaban At Tin – Peradaban Zaitun – Peradaban Sinai – Sampai ke Peradaban Al Balad Al Amiin.

 

Selanjutnya membangun kesadaran untuk kian memahami pranatan yang sejak awal dibangun untuk diterapkan hingga akhir zaman. Perubahan pranatan secara fisik memang pasti terjadi, namun konsep utamanya harus terus dipertahankan, sebagai bagian dari memperjuangkan Sunatullah. Pengetahuan leluhur yang adilihung memberangkatkan peradaban dengan keindahan, kabaikan, dan kebenaran, sebagai konsep Dasar ciptaan Tuhan. Konsep Dasar sebagai unsur spiritual. Sandang, pangan, papan senantiasa diupayakan dan dibangun dengan mengacu pada tatanan paugeran spiritual.

 

Pintu selanjutnya adalah,

Beberapa pertanyaan Mbah Nun yang tertulis dalam seri tulisan RAHMATAN LIL-BILAD. Demikian,

  1. Apakah Rahmatan Lil’alamin dengan sendirinya sama dan sebangun dengan perjuangan nasional keIndonesiaan? Apakah skala dan hak serta kewajiban Nasionalisme Indonesia otomatis adalah skala dan hak dan kewajiban Rahmatan Lil’alamin?
  2. Eksistensi dan perjuangan hidup sebagai warganegara Indonesia apakah merupakan perwujudan langsung dari tugas penciptaan Rahmatan Lil’alamin?
  3. Kalau prinsip dan praktek NKRI sendiri tidak berangkat dari prinsip Rahmatan Lil’alamin, maka bagaimana memaknai posisi Jamaah Maiyah antara Khalifah Allah dengan warganegara Indonesia?
  4. Jamaah Maiyah Sinau Bareng terus apakah Rahmatan Lil’alamin identik dengan Rahmatan Lil Bilad, Lil Balad, Lil Buldan atau Lil Baldah?

 

Kemudian, Pertanyaan ini mengantarkan kami pada tadabur tentang :

 

Ummul Qura, dimana terdapat sosok terpuji yang bergelar Ummi. Pada sebuah padang mulia, saking mulianya pada padang tersebut rumputpun dilarang untuk dicabut, dilarang membunuh, dilarang menganiaya, siapa saja yang berada pada padang mulia tersebut harus dijamin Aman. Juga padang yang menjadi saksi atas perjuangan Kanjeng Nabi yang begitu Terjal. Tentang nila-nilai kemanusiaan yang menganjurkan untuk mengasihi anak yatim dan orang-orang lapar serta fakir-miskin, memerdekaan/membebaskan budak, perjuangan manusia yang susah-payah, saling nasihat menasihati dalam hal kesabaran dan kasih sayang.

 

Allah SAW berfirman, QS. Al Balad ayat 1

 

 

 

Aku bersumpah dengan Negeri ini

 

Selanjutnya, mari melingkar, bareng bareng mentadaburi QS. Al Balad. Untuk menemukan jawaban-jawaban atau bahkan rumusan-rumusan untuk menuju kembali pada Al Balad Al Aamiin, selaras dengan perkenan Allah SWT. Aamiin

LARAS

Gelaran rutinitas majlis gugurgunung pasca dorman. Pembaharuan niat, langkah menjadi bahasan yang perlu untuk menata segala sesuatunya agar menjadi lebih baik. Hampir serba baru, selain niat baru juga malam tahun baru, karena bertepatan dengan malam pergantian tahun hijriah, malam satu Muharram 1441 H, dan tanggal masehi pada 31 Agustus 2019. Lokasi yang dipilih pun baru, bukan karena baru digunakan gugurgunungan pertama kali, namun memang Musholla ini bangunan baru yang dibangun dari wakaf seorang mulia bernama Mbah Mus, salah seorang warga setempat. Kemudian musholla ini dinamakan: Darussalam, berada di Dusun Gembongan – Lemah abang, Ungaran Kab. Semarang.


Kegiatan dimulai kisaran pukul 21.00 WIB. Langsung saja malam ini memperbarui niat bertepatan pergantian tahun baru Hijriah, Mas Sokhib diminta untuk memimpin doa awal tahun dan akhir tahun ini. Turut didoakan putra Mas Mif yang kebetulan malam itu sedang sakit. Doa tawasul yang indah dan ayem oleh Mas Azam, Munajat Maiyah oleh Mas Tyo yang berpembawaan kalem sehingga suasana makin khidmat. Kemudian doa oleh Mas Ari, dimana satu bagian doa ini merupakan wasiat Mbah Nun yang selalu dibaca sebelum Majlisan. Rangkaian kloso penentraman hati sudah digelar masuklah sesi sinau bareng cangkruk budi doyo maiyah Ungaran ini. Tak perlu menunggu komando mas Kasno segera mengambil peran. Berpijak dari tajuk yang ditulis Mbah Nun, bersama Pak Toto Rahardjo menjadi bahan penulisan untuk mukadimmah yang ditulis oleh Mas Agus, “Selamat bangun kembali dari masa dorman” demikian ungkap Mas Kasno untuk mengawali cangkruk, diskusi sekaligus workshop pada malam hari ini.

Pada momentum Muharram/Haruma, seakan kita dibangunkan oleh Mbah Nun untuk ber-Tajdidun-n-niyaat. Mari bersama-sama mensyukuri momentum ini. Momentum yang satu tahun lalu tepatnya pada Paseban Muharram, telah disepakati, diantaranya adalah, bahwa tiap memasuki bulan Muharram Majlis gugurgunung hendaknya mempunyai tradisi untuk berkumpul atau melakukan Paseban. Menentukan apa-apa saja yang perlu atau tidak perlu untuk dilanjutkan. Atau apa-apa yang perlu atau tidak perlu untuk dilakukan.

“Tajdidu-n-niyaat”, merupakan dhawuh dari Mbah Nun yang merujuk pada Tulisan Pak Kyai Toto tentang “Perjuangan Menemukan Jati Diri”. Hal tersebut kemudian sejenak me-remind beberapa hal dalam tema yang pernah diangkat dalam rutinan Majlis gugurgunung. Diantaranya adalah tema “Tandur Kusuma Jati Wijaya”, momentum yang ditengarai dengan fenomena kegembiraan bersama keluarga gugurgunung nandur kembang Wijaya Kusuma yang dipelopori oleh Mas Yudi Rohmad. Yang kemudian juga mentadaburi istilah (Tandur, Tandzur = merawat, Memperhatikan). Juga istilah kata ( Niat, Nawaitu ), kata yang juga terbentuk dari huruf Alif-Lam-Nun-Wawu-Ya, yaitu huruf yang selalu ada dalam semua surat dalam Al Qur’an, yang apabila dirangkai akan membentuk kata Annawai yang artinya adalah benih.

Mas Kasno juga kemudian teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun, dan mengajak atau menawarkan pada dulur-dulur semua untuk masuk melalui kalimat yang disampaikan beliau tersebut terkait dengan niat. Kurang lebih demikian, “Setiap niat baik, Tuhan sendiri yang akan bertanggung jawab akan hasilnya” Maka pada malam ini, sebagai respon atas dhawuh tersebut, kita mengangkat Tema “LARAS”. Sebuah metode yang akan kita sinauni bareng, dengan membangun semangat Hafidz (Menjaga). Semoga niat yang kita teguhkan ini, senantiasa seLARAS dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Amin…

Mas Agus kemudian diminta untuk memberi preambule untuk memantik diskusi. Ini adalah gugurgunungan pertama usai dorman. Ada yang perlu diperbaharui seperti anjuran Mbah Nun untuk memperbarui niat. Bahwa apa yang menjadi hambatan kemarin, segala sesuatunya sudah selesai. Termasuk beberapa hutang dokumentasi serta reportase. Alhamdulillah Mas Aji yang jauh-jauh dari Prambanan malam ini turut hadir. Kemudian oleh mas Agus, mas Ajik dimintai “oleh-oleh” yang diperoleh ketika kemarin Mocopat Syafaat.

Mas Aji mengungkapkan bahwa di Mocopat Syafaat sama dengan simpul-simpul lain yang memberi respon tentang manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana. Yang perlu digaris-bawahi pembagian tersebut bukan pembagian secara hirarki tetapi lebih kepada sifat bahwa semua ada di dalam diri kita. Dalam pada itu sebenarnyalah manusia merupakan manusia nilai. Dimana pasar dan istana menjadi sub, semacam wahana “bermain”nya saja. Semua masih dalam rangkaian sebab akibat. Bukan hanya dengan menguras tenaga untuk mendapat rejeki, tetapi masih ada seribu jalan lainnya. Ketika di Mocopat Syafaat waktu itu diminta masing-masing 3 orang dari tiap jenis manusia untuk naik ke panggung.

Manusia pasar memang lebih pada urusan transaksi. Pedagang atau penjual, koperasi dll.
Manusia nilai waktu itu diwakili oleh seorang Guru dan Guru TPA, dan manusia istana ialah beberapa mahasiswa. Manusia istana dipilih berdasarkan pengaruhnya terhadap lingkup masyarakat yang lebih luas. Baik itu mahasiswa, kepala bagian, kepala asosiasi dll. Semua hal tersebut masih dalam bingkai kewaspadaan. Salah satu dari 4 tajuk bahwa Mbah Nun khawatir kalau ada tekanan hari-hari yang mana sampai merasa lelah, sakit, marah dll. Tajuk ini berangkat dari empati simbah terhadap jamaah maiyah di lingkungan luar yang serba materialisme, transaksi dll yg dialami tiap hari. Sehingga disana membutuhkan kewaspadaan dan membaca diri agar lebih waspada dalam bersikap. Alat tukar kita dengan Allah SWT adalah ketakwaan.

Menurut tadabbur Mas Aji yang jelas ada fase-fase dimana kita memilih dirimu atau selamat dengan nilai, milih berhala atau Allah, anakmu atau Allah lulus terus. Momentum-momentum tersebut jika dinilai dengan transaksi maka sangat kontekstual terhadap kehidupan. Apakah kita memilih nilai atau memilih di luar itu. Sekali lagi bahwa antara manusia nilai, pasar dan istana maka semua adalah manusia nilai. Sedangkan pasar dan istana hanyalah wahana bermain. Keputusan memilih tersebut ketika terpeleset maka justru menjadi goalnya dimana semestinya hanya sebagai sarana atau alat untuk menuju nilai yang lebih besar.

Mas Agus menambahkan bahwa untuk memegang nilai pasti akan berhadapan dengan arus. Apakah arus tersebut akan membuat kita kalah? Jika alat tukar dengan Allah  SWT adalah takwa. Dimana dalam Al Qur’an Nabi Ibrahim sudah distempel sebagai imamnya umat manusia. Pastilah itu bukan sekedar mitos, legenda, dongeng dll. Itu adalah kenyataan yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim. Tidak bisa kita hanya mengatakan “kan dia itu nabi..”. Kita harus bersyukur bahwa Nabi Ibrahim mencontohkan bahwa dirinya adalah seorang manusia pilih tanding. Yang memang dikabarkan dalam Al Qur’an bahwa ia adalah seorang pembawa berita (nubuah, nabi) dan kita memang tidak akan sanggup menjangkaunya. Dalam beberapa ungkapan Mas Aji di depan, diharap bisa menjadi bahan pertanyaan agar diskusi nanti bisa berkembang.

Membidik point dari Pak Totok tentang Al Qasas  bahwa kita harus menentukan peran kita di dunia. Kebetulan memang jauh sebelum ada tajuk tersebut sudah dibuat tema diskusi malam hari ini yakni Laras. Maka tema ini tetap dipertahankan. Kita ibarat gamelan yang memiliki tone nya sendiri-sendiri. Gamelan ini memiliki keunikan yang perlu distem supaya mapan suaranya. Gamelan memiliki dua ciri ketika bahannya bagus tidak pernah dilaras maka nada akan meninggi. Kalau bahan kurang bagus tidak pernah dilaras atau distem maka nada merendah. Ini perlambang yang sangat indah untuk melihat diri sendiri. Ketika kita manusia tidak bagus, lalu terhasut nilai dalam kehidupan maka merendah mudah patah dll. Kalau bahan kita bagus maka kita meninggi yakni sombong demikian efek jika tidak pernah dilaras. Berikutnya, bagaimana kita menyelaraskan kehidupan kita secara nilai terhadap Al Qur’an. Gamelan akan selesai menjadi tidak perlu dilaras ketika usianya 25 tahun. Sudah mapan, mateng dan tidak perlu dilaras lagi.

Ketika disambungkan dengan hafidz yakni merupakan fenomena memelihara. Laras sangat dekat dengan hafidz. Bahwasanya tidak perlu menyelarasakan dalam seluruh Al Qur’an. Minimal mampu menyelaraskan dengan ayat apa yang bisa kita ambil dan selaraskan untuk kehidupan kita masing-masing. Laras bukan sekedar diingat tetapi juga dilakukan terus menerus. Andaikan usia aqil baligh ialah 15 tahun. Jika dihitung 25 tahun setelahnya maka akan menjadi usia 40 tahun. Itulah usia dimana Rasulullah mendapat wahyu dan diangkat menjadi nabi. Mengapa aqil baligh diletakkan 15 tahun? Menurut Mas Agus bahwa kita diberi bonus hidup manusia sebanyak dua windu awal untuk tidak dihitung. Baik untuk recalling, reminding dan lain-lain yakni sampai pada usia 15 tahun.

Setelah melewati usia 2 windu akan menjadi dihitung, dan harus menjadi laras. Kita sudah memiliki tone tetapi belum final dan harus berproses melaras dengan Al Qur’an. Tidak harus dengan seperangkat gamelan atau 30 juz. Sebab 30 juz merupakan pengembangan dari induk alquran yakni Al Fatihah. Bahkan minimal selaras dengan Bismillah. Minimal pengucapan dalam setiap laku. Pertama hingga bertemu Ba, lalu nanti pada partikel yg lebih kecil bertemu titiknya. Seperti pada tahap belajar salam. Tidak perlu  mengucap salam kepada satu-satu. Asalkan kita tidak mengancam harta, darah, orang lain berarti kita sudah salam. Seperti halnya laras. Ini tadi pembahasan secara mayor. Berikutnya kita nanti akan pada tahap personal.

Jeda sejenak untuk menikmati untaian kata oleh keluarga gugurgunung berupa karya-karya puisi yang apik. Penampilan sebuah puisi oleh Mas Angling, sebuah puisi karyanya sendiri berjudul ‘Sambal’. Puisi sederhana dengan racikan kata nan istimewa. Senantiasa mendapat apresiasi, meskipun oleh Mas Agus sedikit memberi input tentang cara pembacaan. Puisi berikutnya dari Mas Fajar yang juga membawakan puisi karyanya sendiri berjudul “Temanku yang dewasa”. Mas Sokhib tidak ketinggalan untuk memberi suguhan puisi yang indah dan romantis gubahannya sendiri tentang seorang istri, puisi berjudul “Bidadari”. Tak seperti biasa, untaian kata yang terangkai dalam puisi-puisi ini seolah menggugah kegembiraan berkata-kata dengan laras dan bermakna. Bahkan Mbak Dewi yang sudah lama tidak tampil, malam itu membawakan juga sebuah puisi karya mas Angling yang bertema tentang ibu. Puisi demi puisi tersajikan dengan apik dan menambah syahdu suasana.

Berlanjut lagi ke diskusi. Mas Sokhib merespon tentang tema dengan sebuah pertanyaan, tentang manusia nilai bahwa kita sebenarnya adalah manusia nilai. Sejak dulu TK hingga bekerja selalu terdengar kata nilai. Apapun yg dilakukan selalu berfokus seputar nilai termasuk kegiatan bermasyarakat. Maksudnya nilai seperti apa? Mas Anjar tak ketinggalan untuk mengembangkan sayap diskusi dengan sebuah pertanyaan tentang pencarian jatidiri apakah terkait dengan janma? Bagaimana jika menjalani tidak sesuai titah apakah akan tidak sesuai pula dengan jatidiri.

Mas Agus, merespon tentang manusia nilai maka memerlukan beberapa piranti. Nilai adalah value atau bobot bukan sekedar angka. Dimana jika kita tarik lagi dalam etimologi bahwa bobot juga tersambung dengan bibit. Benih inti disebut culture. Nilai juga dikonfirmasi pada bobot bukan sekedar angka-angka. Apakah kemudian kita mampu meletakkannya pada letak abdi dan khalifah. Apakah kita membangun kesemestaan dalam kehidupan kita sendiri dalam bobot kehidupan. Apakah Allah SWT ridho atau tidak terletak di sana. Bahwa sekarang terjadi fenomena penilaian, di maiyah kerap didengar bahwa sesama murid tidak boleh mengisi rapor murid lainnya. Indikator-indikator pencapaian yang lebih pada bobot ialah sejauh mana kita bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana kita membangun proses dengan grafik yang menaik bukan malah menurun.

Letak value disini ialah kita menjalankan sebuah perilaku sesuai dengan kehendak Tuhan kepada kita bukan dari atasan, guru dll. Kita tetap bisa menjalankan kehendak guru atau atasan ketika tidak melenceng dari koridor yang diletakkan Tuhan. Sebab kita memiliki keterbatasan untuk menyerap informasi dari Tuhan secara langsung.

Mbah Nun ingin mempertahankan sebuah kesemestaan tanpa pretensi atau tanpa motif. Manusia pasar tidak selalu buruk sebab ada anjuran untuk berniaga. Maka tata aturan di islam sangat jelas. Seperti tentang aturan dilarang mengurangi timbangan. Bahkan masa muda rasul pun berniaga tetapi tetap dengan memegang teguh nilai. Baik pasar dan istana (pemimpin) hanyalah sebuah instrumen. Hewan-hewan pun ada yang menjadi pemimpin dengan persyaratan yang cukup banyak pula. Apakah kita sebagai manusia juga melakukan penyeleksian yang sama. Misal ada policy tertentu yang sebenarnya kita enggan. Banyak ketidaksepakatan tetapi kita tidak mempunyai kekuasaan untuk membantah. Sebab kita memilih manusia istana yang tidak sesuai.

Sebenarnya tidak masalah apakah menjadi manusia pasar dan istana. Asalkan masih menjadi manusia nilai. Nilai terbesar ialah kemanusiaan. Jika itu tergadaikan dengan angka maka kemanusiaan akan menjadi rendah. Bukan sekedar angka tetapi pengabdian pada Tuhan. Tidak masalah manusia nilai memasar dan mengistana. Oleh karenanya di Jawa tidak menggunakan kata “aku”, yang dipakai ialah “ingsun”. Ing sajroning pisungsunan dalam sebuah tatanan dimana dalam susunan, Allah menjadi ratunya. Manusia pemimpin pun teta tunduk kepada Allah sebagai Raja atau Ratu yang utama, Malikinnas.

Merespon pertanyaan Mas Anjar. Bahwasannya janma prajurit tidak harus menjadi tentara. Andaipun dia sebagai petani tetapi turut berperan mengamankan maka juga ia seorang janma prajurit. Hasta janma adalah profesi kita dihadapan Tuhan. Gajinya berupa efek sosial. Janma tani mendapat bayaran berupa masyarakat yang ayem tentrem, janma ujam dudukan bayarannya masyarakat yang sehat bagas waras, prajurit gajinya berupa masyarakat yang hidup dalam rasa aman dan seterusnya. Setiap pihak menjadi orkestra yang sudah terintegrasi. Kondisi saat ini petugas-petugas Allah sudah sangat sedikit. Sekarang masih hidup dalam kerukunan, kenyamanan tetapi merupakan sisa gaji dari leluhur. Jika kita tidak pula melakukan hal yang sama hingga menjadi ahli dalam bidangnya masing-masing maka tunggulah kehancurannya. Sebelum hancur maka kita harus segera menemukan peran kita untuk menjadi ahla dimana masing-masing memiliki keahlian untuk saling menopang satu sama lain.

Kemudian ada Mas Santoso, seorang manusia pasar yang juga seorang manusia nilai. Ia adalah seorang peternak yang lama tak ikut merapat, dan rindu melingkar di majlisan kali ini. Berbagi kisah dan pengalamannya seputar beternak. Niat bekerja untuk menggugurkan kewajiban dalam berkeluarga. “Obaho sakmampumu, nyambut gawe sak isomu”, demikian sedikit yang menjadi ungkapannya. Ia memulai peternakan karena menurut Mas Santoso merasa hanya bisa melakukan hal itu.  Memulai dari telur ayam kampung lalu ditetaskannya sendiri namun tingkat resiko tidak berbanding lurus dengan keuntungan. Sekarang merambah menuju telur entog, daging entog hingga kalkun.

Waktu sudah lewat tengah malam, kisaran 00.15 WIB Mas Yoga menampilkan perform dua lagu. Sedikit membantu untuk mencairkan suasana dalam diskusi pembahasan yang cukup mendalam. Waktu menunjukkan pukul 00.40 WIB Mas Agus meminta kepada semua yang hadir untuk masuk ke ruangan dalam musholla agar gumpalan energi yang hadir pun menjadi lebih besar. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk membaca surah At-Tin. Dan semua diminta untuk mengirim Al Fatihah untuk beberapa Nabi yang akan nanti dipelajari kisah-kisahnya dan korelasinya dengan diri kita semua dalam workshop yang diagramnya sudah diunggah di website dan akun sosmed gugurgunung. Workshop Laras ini merupakan tahap 1 (satu) yang akan diadakan hingga Oktober ke depan dengan waktu yang dibersamakan pada saat reguler Sinau bareng setiap malam Minggu terakhir.

Sekian reportase edisi Agustus 2019 dengan tema Laras. Semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendryawan
Yoga
Angling tri
Cahya

Laras

LARAS
Tajdiidu-n-niyaat

Dorman

Bulan lalu, Juli 2019 Majlis Gugurgunung men-Dorman-kan diri. Momentum yang disepakati bersama sebagai intropeksi, evaluasi, perenungan, pembenahan, dan seterusnya dan seterusnya, terhadap beberapa hal yang terjadi secara personal maupun dalam lingkup keluarga gugurgunung.

Deskripisi umum  tentang Dorman bila dianalogikan terhadap tumbuhan demikian:  dor·man berkenaan dengan terhambatnya pertumbuhan (perkembangan) untuk sementara waktu meskipun keadaan lingkungannya sebenarnya bersifat menunjang (air dan cahaya cukup serta suhu naik)

 

Tajdiidunniyaat

(Pembaharuan Niat)

Merupakan dhawuh dari Mbah Nun ke pada seluruh simpul Maiyah, untuk mengangkat hal tersebut menjadi tema besar pada rutinan  tiap tiap simpul pada bulan Agustus 2019.

Pijakan tema besar tersebut salah satunya adalah Tajuk yang dirilis oleh Yai Toto Raharjo; Kembali ke Spirit. Mentadaburi Surat Al – Qoshos ayat 77; Walaa tansa nashiibaka mina-d- dunyaa, bahwa perjuangan manusia sesungguhnya adalah menemukan jati dirinya, siapa dirinya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Pijakan lain berupa panduan dari Mbah Nun mengenai “Jam’iyah Pengusaha Sorga”. Serta  4 Tajuk dari Mbah Nun, (1.Ihtimal; 2. Empat  Amniyat Bergembira dan Menikmati; 3. Air Kawah di Akhir Zaman; 4. Yang Percaya, Percayalah. Yang Ingkar, Ingkarlah). Yang garis besarnya adalah tentang “Manusia Nilai, Manusia Pasar, Manusia Istana/Kuasa”.

Seperti menemukan momentum. Saatnya majlis gugurgunung bangun dari masa dorman. Kembali me-remind beberapa proses sinau bareng gugurgunungan yang secara alamiah selaras dengan beberapa dhawuh tersebut. Kemudian segera melanjutkan rakaat-rakaat selanjutnya.

Momentum unik lainnya adalah Muharram. Bulan dimana satu tahun lalu majlis gugurgunung mengangkat tema “Paseban Muharram”, yang kita niatkan sebagai upaya membangun pondasi peradaban. Yang bahasan utamanya antaralain:

  • Manusia sebagai Khalifah Fil Ardh dan Ahsani Takwim dengan dibekali aset utama yaitu rasa kamanungsan;
  • Kesabaran adalah salah satu teknologi mutakhir.

Yang kemudian point tersebut mencoba diaplikasikan dalam laku srawung, dan menjalankan rintisan bidang-bidang usaha, serta beberapa hal lain.

Paseban Muharram ini juga disepakati sebagai tradisi keluarga gugurgunung, dimana tiap memasuki bulan Muharram, sebaiknya memiliki paugeran tentang hal apakah yang perlu kita lanjutkan/tidak lanjutkan. Atau hal apakah yang perlu untuk mulai diberlakukan dan tidak diberlakukan.

 

LARAS

Sebuah metode yang mencoba diangkat sebagai bahan kajian sinau bareng yang kemudian bisa diaplikasikan secara bersama sama untuk mencapai keselarasan terhadap Firman, atau mencapai laku diri sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Kesadaran yang terus dibangun adalah, semua proses terbaik justru harus dirintis setahap demi setahap. Seperti yang digambarkan Allah SWT melalui tanaman, melalui perpindahan siang malam, melalui tetesan yang menggenang, melalui masaknya buah, dan banyak hal lagi dimana hasil dari kesabaran memberikan kenikmatan yang tak akan dicapai oleh hasil yang didapat dari keterburu-buruan. Bahkan apabila dipersambungkan dengan hadist “sampaikanlah meskipun satu ayat”, maka bisa jadi setiap orang berpotensi sebagai hafiz meskipun hanya memelihara satu ayat yang ia suarakan dalam kehidupannya. Bukan hanya disuarakan dengan suara namun juga disuarakan dengan terjaga dalam setiap perilakunya. Sehingga jika diibaratkan, keseluruhan ayat dalam Al Qur’an adalah seperangkat alat musik orkestra atau seperangkat gamelan. Dimana setiap bilah atau instrumen adalah ayat yang memiliki suaranya masing- masing. Apabila suara itu bersama dengan indah dan tertata maka akan tercipta harmoni yang indah baik di telinga maupun di hati. Selayaknya gamelan, setiap instrumen perlu dipelihara dengan tetap dimainkan. Cara memelihara gamelan agar tetap terjaga kondisinya, tetap baik, tidak fals, dan terawat adalah dengan metode bernama: “LARAS”. Laras adalah memainkan gamelan tersebut secara rutin meskipun sedang tidak di panggung. Tone tiap gamelan akan terpelihara dan bisa menyuarakan dengan nada yang ‘dihafal’nya.

 

Perjuangan Manusia Sesungguhnya adalah menemukan jati dirinya

Tadabburnya demikian: perjuangan manusia bisa kita pelajari lewat sejarah manusia. Manusia mempunyai dua potensi yaitu, Ahsani Taqwim dan Asfala Safilin. Atau dengan kata lain, manusia itu dibedakan menjadi dua, bukan laki-laki atau perempuan, melainkan adalah manusia yang tunduk pada perintah Allah (Ahsani Taqwim) dan manusia yang tunduk pada perintah iblis (Asfala Safilin).

Setelah di bumi, versi ahsani taqwim kemudian bekerja dengan membangun strategi dan pertahanan. Namun demikian pula yang menganut versi asfala safilin. Sama-sama turun ke bumi dan juga membuat strategi untuk menggempur perjuangan manusia yang mengabdi.

Nabi Adam AS turun dan mulai membangun peradaban di Bumi. Proses ini diawali dengan perasaan perih dan merasa nestapa. Tapi Nabi Adam berbaik-sangka kepada Allah SWT senantiasa. Sehingga tak lelah memohon ampunan dan selalu membangun perbaikan di wilayah garapannya (bumi). Dibangunlah bumi dengan merujuk-pada tempat sebelumnya beliau tinggal, yakni taman eden atau firdaus, atau paradesa. Peradaban ini juga bisa disebut peradaban Timur karena dimulai dari timur, atau bisa juga digolongkan pada fase peradaban buah Tin (Lo) buah yang keluar langsung dari pohonnya.

Peradaban Nabi Adam juga adalah peradaban perintis, maka rintisan untuk membuka peradaban adalah fitratullah dan khalifatullah. Bahwa nabi Adam meletakkan dasar peradaban dengan konsep pengabdian (ngabekti, ngawulo) dan menjadi pengatur sesuai kehendak-Nya(memayu hayuning  bawana.

Berikutnya adalah peradaban ke dua, yakni peradaban Nabi Nuh AS, pada fase ini kemajuan teknologi di segala bidang sudah banyak dicapai. Era ini sangat maju dan canggih. Sehingga masyarakat ketika itu banyak yang menyangka mereka telah berada pada puncak peradaban sempurna, penuh keberkahan dan kebahagiaan. Layak ketika datang utusan kepada mereka, dianggaplah utusan ini sebagai pihak yang membawa kekisruhan dan dilabeli tidak tahu adat. Namun demikian pekerjaan dan membangun strategi penggembosandari pihak penganut Asfala safilin tidak tinggal diam dengan perjuangan para utusan Allah ini. Pihak yang berada pada jalur merah ini menciptkaanu upaya yang dibangun dengan cara yang lembut dan menjebak. Bagaimana strategi yang dibuat? Mudah-mudahan bisa kita jadikan bahan pasinaon bareng pada malam minggu terakhir ini.

31 Agustus 2019, Mari bersama sama memasuki ruang “Muharram, Harruma”, melingkar dan bertemu untuk saling menemukan. Bersama sama kembali memperbaharui “Niat”. Membangun semangat perjuangan untuk senantiasa “Merawat dan Menjaga”. Semoga senantiasa se-Laras dengan kehendak Allah SWT.

 

…… Aamiin.

MASYARAKAT LEBAH ME-MADU
– HUKUM KERUMUNAN, HUKUM TUHAN –

Mas Kasno kemudian mengajukan pertanyaan kepada Mas Sabrang. Jika sedang melingkar dapat diartikan sebagai kerumunan lebah, lalu bagaimana maksud melingkar ke dalam dan melingkar keluar seperti yang pernah diucapkan Mas Sabrang ketika workshop di Semarang yang kala itu dipanitiai oleh Mas Yunan dkk yang kebetulan juga hadir malam ini. Kemudian akan dijawab oleh Mas Sabrang namun tidak langsung kesana. Sebab menurut beliau ada sesuatu yang krusial untuk direspon, sebab tadabbur Mas Sabrang tak dikira sampai ke pembahasan ini namun karena “pintu”nya masuk kesana jadi alangkah lebih baik untuk direspon dahulu. Secara analogi paralel, apa yang diajarkan oleh sistem lebah justru lebih mendekat ke arah “komunisme”. Tetapi ada juga perbedaannya.

Komunisme juga merupakan salah satu hasil tadabburnya manusia. Kemudian Mas Sabrang mengajak untuk menganalisa terlebih dahulu. Untuk menjadi bermanfaat maka syarat pertama ialah surplus komoditi dan akan menghasilkan manfaat. Bagaimanakah untuk menjadi surplus? ialah kerja sama yang tertata rapi. Untuk mencapai kerja sama yang tertata maka paling mudah ialah dengan dipaksa dan kedua ialah sukarela.

Antara manusia dan hewan menurut Mas Sabrang bahwa hewan mereaksi sebuah kejadian sedangkan manusia mestinya merespon kejadian bukan bereaksi. Kemudian Mas Sabrang memaparkan perbedaan antara reaksi dan respon. Reaksi dilakukan secara langsung tanpa berpikir, sedangkan respon dilakukan dengan cara diserap dan dipelajari terlebih dahulu.

Di awal dikatakan oleh Mas Sabrang bahwa lebah menerima wahyu. Sebab tidak mungkin menata lebah sedemikian rupa dengan menggunakan konsep ketakutan. Lebah pekerja berangkat pagi dan pulang sore, jika tak dilakukannya maka tidak ada pula yang menghukumnya. Lalu sebenarnya apakah yang membuat mereka berbuat demikian. Sebab lebah mereaksi, maka harus ditanamkan pada dirinya tentang apa yang mesti dilakukan.

Mas Sabrang memang tidak mempelajari lebah, yang dipelajarinya adalah semut. Tapi ada satu persamaannya yakni kerumunan, sebab dengan adanya kerumunan maka akan menghasilkan surplus. Semut juga hampir sama. Tidak ada menteri tenaga kerja disana, namun semua mengerjakan sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Mereka hanya menjalankan peraturan sederhana yang kemudian menghasilkan kepandaian yang lebih tinggi. Menurut pengalaman Mas Sabrang, di semut ada beberapa peraturan sederhana. Pertama yakni mau bersilaturahmi terbukti setiap semut bertemu pasti bersalaman dan yang kedua ialah berani untuk menjadi. Setiap bersalaman maka semut akan mendapat data. Misalkan sudah bersalaman sejumlah berapa kali kok tidak bertemu semut tentara maka ia akan menjadi semut tentara. Atau sudah bersalaman berkali-kali kok tidak bertemu semut pekerja maka ia akan menjadi semut pekerja.

Hanya dua hal yang dijalankan namun menjadi kerumunan dengan sistem yang sangat rapi, sebab mereka hanya bereaksi. Mesin reaksi ditanamkan dalam sistem biologi. Demikian halnya dengan lebah, meskipun pada lebah terjadi sistem yang lebih kompleks lagi. Mereka bisa menemukan lokasi bunga berjarak 100 meter tanpa berbicara, tanpa internet apalagi sosmed. Cara tersebut sudah mereka miliki sejak lahir, meskipun dalam sebuah penelitian disebut dengan sebuah tarian untuk menunjukkan jalan menuju sebuah lokasi. Jika hanya berhenti pada sistem tersebut maka akan menjadi sistem komunis. Agar tidak berhenti pada komunis, maka sistem penataan tersebut bukan berdasar pada paksaan namun pada kerumunan yang menyadari perannya.

Membicarakan tentang peran merupakan hal yang abadi pada setiap kumpulan. Peran akan mengikuti zaman. Dalam kumpulan yang kecil maka pecahan perannya pun akan lebih sederhana demikian sebaliknya. Dalam dunia internet saat ini muncul lebih banyak lagi jenis-jenis peran atau pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya seperti programmer. Tidak mungkin akan muncul pekerjaan tersebut pada tahun 1945. Peran akan terus berkembang meskipun core atau intinya sama klasifikasinya dengan yang diungkapkan Mas Agus.

Pada sebuah contoh fenomena misalkan kita sangat tertarik pada sesuatu hal lalu seketika kita ubah menjadi sesuatu yang lain. Pasti akan sangat sulit. Ada sebuah pertanyaan dalam fenomena tersebut, sebenarnya siapakah yang mengontrol ketertarikan tersebut? Sebuah tadabbur Mas Sabrang terkait hal tersebut. Pada intinya setiap manusia memiliki akal dan kompleksitas yang melebihi orang lain. Setiap manusia sebenarnya ingin menjadi diri sendiri sebagaimana sejatinya yang telah diciptakan oleh Tuhan. Tetapi setiap manusia tidak paham sebab belum memiliki ilmu. Maka kita diberi ketertarikan, dengan demikian kita akan mempelajari ketertarikan tersebut hingga kita memiliki kesempatan menggali ilmu. Sebuah ilmu diperlukan untuk mempelajari dan membuka diri kita yang sejati. Demikianlah cara mengajari diri sendiri tanpa disadari untuk menemukan peran.

Namun sebuah ketertarikan masih terikat dengan nafsu dan amarah. Maka kita diajarkan untuk berpuasa. Dari puasa ada yang dipelajari oleh Mas Sabrang yakni ketika belum waktunya berbuka maka menginginkan untuk memakan banyak hal. Tetapi apa yang terjadi ketika sudah waktunya berbuka? Apakah dimakan semua atau hanya sekian persen saja dari keinginan tersebut? Berarti mimpi yang datangnya dari nafsu ternyata menipu. Keinginan datang dari ketidakmampuan atau ketidakbolehan tadi. Ketika nafsu ditahan maka menjadi nesu-nesu atau amarah yang keluar. Ketika nafsu dan amarah ditahan maka menjadi malas untuk berbuat sesuatu hingga ingin tidur saja ketika berpuasa. Ternyata mesin bergerak kita selama ini hanyalah nafsu dan amarah. Namun melihat gojek yang tetep rajin narik, ada yang bekerja lain tetep rajin pula. Berarti ternyata ada mesin yang lain juga yakni mesin tanggung jawab. Sebuah mesin yang bertanggung jawab untuk memenuhi perannya. Dan menggali ilmu dari kesalahan sebuah tanggung jawab akan menjadi tahap kedewasaan berikutnya.

Sebuah kumpulan akan berjalan baik ketika menjalankan peran tersebut berdasar pada kerelaan dirinya dan kesadaran tanggung jawab bukan atas dasar paksaan. Hal ini yang ingin didorong oleh Allah meskipun harus dicontohkan melalui sebuah reaksi pada lebah dengan outputnya adalah madu dan ketertataan yang sangat baik. Dengan sistem kerajaan atau seperti China, dlsb maka segala keputusan akan diambil dengan cepat. Berbeda dengan sistem demokrasi. Namun bukan pula sistem tersebut buruk, sebab merupakan sebuah proses pendewasaan. Memang segala keputusan diambil lebih lambat namun kita semakin belajar untuk melibatkan kerumunan banyak orang dalam pengambilan sebuah keputusan. Jika raja yang mengambil keputusan, maka pada peta yang lebih besar akan menjadi tanggung jawab yang lebih berat pula. Demokrasi juga merupakan satu-satunya cara menata kerumunan dimana memungkinkan untuk melakukan pemindahan kekuasaan tanpa adanya pertumpahan darah. Ini adalah proses menuju menjadi society seperti lebah namun dengan kesadaran masing-masing bukan dengan paksaan.

Setahu Mas Sabrang pula tidak ada satupun nabi yang meninggalkan sistem kepemimpinan. Semua nabi adalah bagaimana membangunkan pribadi masing-masing. Jika kepribadian sudah terbangun maka kepatuhan akan terbangun pula bukan atas paksaan. Contoh kepatuhan yang bisa dilihat ialah malaikat. Malaikat patuh bukan karena sekedar diciptakan menjadi patuh, justru karena pengetahuan dan kesadaran yang tinggi. Hingga akhirnya mereka menjadi patuh dan “menyerah” atau pasrah pada keadaan. Bahkan ada pula yang mendefinisikan bahwa Islam adalah bagaimana seseorang “menyerah” pada hukum Tuhan.

Sebuah kerumunan jika bekerja sama maka akan menjadi makhluk yang baru lagi. Contoh sederhana ialah sel dalam tubuh memiliki pengetahuan dan independensinya. Setiap sel bekerja tanpa kita perintah, tetapi di dalam sistem yang lebih besar yakni sistem manusia maka mereka patuh terhadap akal. Ada yang disebut swarm inteligence atau kecerdasan dari sebuah kerumunan. Apa yang dilakukan oleh kecerdasan masing-masing maka akan terlihat apa yang menjadi kecerdasan suatu kerumunan. Ke depan akan menjadi apa, tergantung pada sebab akibat didalamnya.

Hukum kerumunan.

Kita semua berlaku pada hukum. Lalu sebenarnya apakah hukum itu? Hukum ialah rel dari sebab akibat. Ada rentang hukum yang paling dasar yakni hukum alam. Tanpa kita sadari kita pun sebenarnya mempercayai hukum alam berdasarkan sebab akibat. Karena kita percaya hukum alam maka dalam buang hajat misalkan, kita percaya bahwa kotoran tersebut akan jatuh ke bawah bukan malah naik mengenai badan. Itulah hukum alam yang kita percayai secara bawah sadar yakni gravitasi. Semua makhluk di bumi ini akan mempercayai hukum alam tanpa sadar. Mau tidak mau tak akan lepas dari sunatullah itu tadi.

Di ujung atau sisi yang lain ada hukum manusia. Itu adalah hukum sebab akibat. Mencuri, membunuh, merampok dll ya hukumnya dipenjara namun ini bukan hukum alam. Hukum manusia hanya menjadi pagar bukan menjadi pengatur dalam sebuah kerumunan. Karena hanya akan berlaku jika dilanggar. Karena hanya berfungsi sebagai pagar maka resolusinya rendah. Sehingga hanya berakhir pada sebatas mencuri maka dipenjara, tidak bisa dikejar sampai mengapa seseorang tersebut mencuri. Bagaimana jika mencuri karena lapar? Sementara di sekitarnya ialah orang-orang yang mampu, maka siapa yang turut salah juga sebenarnya?

Hukum manusia tidak pula salah, namun kita hidup hampir selalu berada di tengah-tengah hukum manusia dan hukum alam. Tersebutlah hukum istiadat, hukum sopan-santun dst. Seperti yang diceritakan oleh Mas Agus tadi misalkan ada orang yang membawa motornya ke cucian motor. Selesai dicucikan langsung dikencingi motor tersebut oleh yang punya dan minta untuk dicucikan lagi. Apakah orang tersebut melanggar hukum?

Menurut Mas Sabrang orang yang paling fitri ialah orang yang paling dekat berada di garis hukum alam. Sebab ia dekat dengan hukum Tuhan.

Lebah hanya bisa patuh pada hukum alam dan tidak bisa membuat hukumnya sendiri. Segala yang dilakukannya tidak bisa lepas dari hukum Tuhan. Baik hukum alam pada dirinya sampai pada hukum alam pada DNA-nya. Sementara manusia memiliki rentang dari hukum manusia sampai hukum alam. Sehingga lebih banyak pula peluang untuk mendapat kesalahan. Memang ada sisi negatif namun juga ada sisi positifnya. Yaitu hanya yang memiliki rentang demikian yang bisa untuk menjadi seorang khalifah. Yaitu hanya pihak yang bisa merespon sesuatu dan bukan sekedar reaktif yang berpotensi untuk menjadi khalifah.

Lagi-lagi Mas Sabrang mentadabburi bahwa tidak semua orang terlahir otomatis menjadi khalifah. Ia harus membuktikannya sebagai abdi terlebih dahulu. Yaitu abdi kepada hukum alam pada dirinya, jujur pada dirinya sendiri. Sebab itulah yang akan menjadi kompas untuk menuju hukum lain yang lebih “tinggi”.

Memang betul kita dapat belajar kepada penataan yang sudah jadi yakni yang disebut lebah, ia menghasilkan surplus, manfaat dll tetapi pada kepenataan itu kita harus mengintegrasi komponen yang kita miliki dan tidak dimiliki oleh lebah. Adalah Freewill, kebebasan dalam berpikir, bereaksi, melakukan sesuatu.

Hal tersebut harus kita integrasi seperti lebah bukan untuk menjadi lebah. Karena Tuhan ciptakan manusia tertata seperti lebah, tetapi menjadi lebah karena kesadaran manusia dengan ini akan menjadi khalifah yang sebenarnya. Dalam level kenegaraan mungkin tidak akan bisa pada umur kita, namun dalam sisa umur kita saat ini alangkah baiknya jika kita terus move forward lebih menjadi lebah yang sadar responsif bukan sekedar reaktif.

Sesi Tanya Jawab

Pertama ada Mas Wibisono dari Purworejo yang menanyakan wedharan dari kata bhineka tunggal ika. Kedua ada Mas Zidni dari Brebes yang menanyakan hal-hal apa sajakah yang dapat membantu untuk menemukan jati diri. Ketiga Mas Joko Sriyono dari Ungaran yang menpertanyakan tentang pencarian nafkah, bagaimanakah tentang bekerja yang tawakal namun pada akhirnya menyerah karena berkali-kali gagal.

Respon pertama dari Mas Agus yang telah di-remind oleh Mas Kasno tentang bahasan tema beberapa edisi lalu tentang Manajemen Kebhinekaan. Disini Mas Agus mencoba merespon sesuai dengan apa yang telah didiskusikan pada beberapa bulan lalu tersebut, meskipun hal ini juga kurang matching dengan apa yang kita pahami di sekolahan. Tetapi karena kalimat Bhineka Tunggal Ika sudah ada semenjak belum ada sekolahan maka Mas Agus mencoba mengulik makna lain dibalik kalimat tersebut. Bhineka berarti beraneka, Tunggal adalah satu dan Ika bisa berarti satu namun bisa juga diartikan sebagai kalimat untuk menunjuk. Dalam Jawa bisa dibaca dengan iko. Sehingga menjadi berarti “beraneka tapi yo siji kae”.

Tan Hana Dharma Mangrwa. Sebab tidak ada perilaku atau attitude yang mendua. Semuanya ingin mengemukakan hal yang sama yakni kebaikan, kebenaran dan keindahan dengan caranya masing-masing. Tidak harus manis berarti baik, pahit pun bisa jadi baik seperti halnya pare. Atau pedas pun baik seperti cabai, dan asin pun baik seperti halnya garam. Semuanya memiliki fungsinya sendiri-sendiri asalkan masing-masing pihak mengerti bahwa satu dengan yang lain mampu mengelaborasikan dharmanya menjadi satu yang tunggal. Makanya kita memerlukan satu pancer tunggal yang menjadi alat kontrol kesadaran kita untuk berperilaku di dalam kehidupan.

Pak As’ad di depan telah memberikan pola berpikir yang bisa mendorong kita untuk berperilaku secara lebih proporsional dalam hidup yang tertata dan beragama. Memang dicontohkan China, juga oleh Mas Sabrang dengan penjelasan sistem “komunisme”nya. Namun ini baru sistem Malik, dan belum menyentuh pada Robb dan Illah. Namun bagaimana jika penerapan bhineka tunggal ika dari lebah ternyata menggunakan sistem malik, robb dan illah sekaligus?

Penyikapan malik terkadang bisa dipergunakan. Misalkan dalam khitan, maka harus menggunakan pola radikal dengan sekali potong dan selesai. Pola illah ialah bagaimana kita menggelembungkan vibrasi dalam diri kita secara positif untuk mengkaitkan bahwa ada kita, orang lain dan juga Tuhan yang senantiasa harus berputar siklikal di dalam hidup.

Mas Aniq turut merespon tentang pertanyaan seputar jatidiri. Manusia merupakan Makhluk ciptaan Allah. Jika Allah pasti menciptakan manusia dengan dasar logika kerahmatan, maka mengapa manusia tidak menggunakan “logika Tuhan” dimana sebenarnya manusia tercipta untuk menghamba. Hal ini berkaitan dengan sisi nubuah, risalah dan walayah.

Sisi nubuah, ibarat manusia hadir dengan hamba kerahmatan. Bagaimana manusia bisa hadir menghamba dan bisa menampilkan diri sebagai hamba. Yang mana tampilan kehambaan merupakan sesuatu yang penting. Proses penghambaan ini harus didasari cinta atau kerahmatan. Proses manusia untuk menjadi manusia yang menghamba secara individu ialah untuk menjadi pencinta harus mencintai. Minimal diawali dengan mencintai diri sendiri. Bersyukur bahwa diciptakan sebagai seorang manusia.

Nubuah, seakan diri ini menjadi wayangnya Allah. Tetapi bukan pula sampai bermaksud menganggap diri adalah Allah. Jika sudah sampai pada menghamba maka tidak cukup untuk berhenti pada nubuah namun juga berpotensi untuk risalah. Risalah merupakan duta kerahmatan. Hal ini tentang kehidupan sosial, bebrayan, gugur gunungan. Manusia yang mampu menyampaikan cinta. Potensi berikutnya yakni walayah, merupakan manusia yang mampu terus melestarikan cinta dan kerahmatan. Rasulullah selain menghamba, merisalah namun juga mewalayahi. Mewalayahi suatu keadaan, peradaban.

Tentang pertanyaan ketiga direspon langsung oleh Mas Sabrang. Menurut Mas Sabrang, tidak wajib bekerja namun karena kita berada di rel sebab-akibat maka ya ada akibatnya. Apa yang wajib dan tidak berada di pilihan kita. Demikian ialah efek samping dari sebuah tanggung jawab. Bekerja tidak wajib, namun efek samping yang harus diambil karena bertanggung jawab terhadap istri dan anak. Jika tadi dalam pertanyaan diceritakan bahwa berusaha terus dan gagal terus maka sebaliknya bagi Mas Sabrang yang merasa tidak pernah gagal. Terkesan kalimat sombong memang namun karena kegagalan dan keberhasilan juga kita sendiri yang berhak menggariskan. Jika gagal terhadap sebuah keuntungan maka berhasil urusan ilmu. Ada yang disebut profit ada pula yang disebut benefit.

Kita mengetahui istilah personality, berasal dari bahasa yunani yakni persona. Persona merupakan istilah yang digunakan dalam teater di yunani. Persona adalah topeng yang dipakai dalam sebuah keadaan tertentu. Namun permasalahannya terkadang kita lupa bahwa kita memakai topeng. Misalkan topeng kejujuran kita anggap sebagai topeng yang baik. Namun misalkan ada orang yang sedang membawa bom, lalu menanyakan di masjid sedang ramai atau tidak, maka apakah kita masih memakai topeng kejujuran ataukah harus kita langgar topeng kita tersebut. Karena kita memiliki pandangan yang lebih besar dibanding persona tersebut. Pemain bola tidak mungkin membawa personanya dalam kehidupan. Tidak mungkin ketika tidak sedang berada di lapangan melakukan sliding-sliding sembarangan.

Dalam bisnis memiliki persona jual beli yang harus untung. Berbeda dengan persona terhadap anak yang tidak bisa kita ambil keuntungannya. Setiap dunia memiliki personanya, jangan lupa untuk melepas dan menggunakan persona yang tepat. Persona bisnis seperti yang diungkap oleh Pak As’ad di depan. Semua bekisar tentang manajemen resiko. Pelajari resiko terlebih dahulu untuk dapat me manage nya. Dalam belanja online misalkan. Selalu yang kita lihat adalah penjual yang memiliki rating bintang lima. Disitu kita hanya mencari pendapat yang menguatkan. Baiknya dilihat dulu yang rating bintang satu untuk melihat resiko pada pengalaman buruk disana.

Pernah suatu ketika Mas Sabrang belajar inti bisnis pada salah seorang kaya di dunia. Dia mengajarkan bahwa setiap bisnis pasti memiliki pesaing. Yang paling menang adalah yang bekerja keras. Sesama pekerja keras yang paling menang adalah yang juga kerja efisien. Sesama pekerja keras dan efisien yang paling menang adalah yang juga bekerja secara inovatif.

Jika sama-sama melakukan tiga hal siapa yang paling menang ialah yang mampu memprediksi apa yang terjadi. Hanya sedikit pengetahuan ke depan tentang bisnis mampu mempengaruhi profit.

Bisnis sama dengan permainan. Yang paling penting ialah belajar peraturannya. Maka ada yang menganalisis secara SWOT: Strength, weakness, opportunity, dan threat. Namun jika sampai permainan itu menghalangi Tuhan maka belum lengkap permainan tersebut. Banyak pebisnis yang tidak bisa memprediksi sebab banyak min haitsu la yahtasib di dalamnya. Tapi kita harus meminimalisir ketidakpastian dengan mengetahui permainan. Untuk mencari Tuhan bukanlah pada tempat yang kita anggap ada Tuhan. Namun bagaimana kita menggunakan mata, telinga dll untuk merasakan Tuhan dalam permainan apapun. Dalam memasuki bisnis, harus total. Namun bukan sekedar gambling. Bahwa nanti ada kegagalan dulu itu pasti.

Seperti halnya ketika senang terhadap wanita. Pelajari dulu bukan asal gambling. Ketahui peraturan permainan yang dia miliki. Dan juga jangan berharap dia berubah ketika nanti sudah menikah. Itulah bhineka tunggal ika. Menjadi satu bukan untuk sama. Namun ada satu entitas tujuan yang kita tuju bersama disitu. Tentang pertanyaan seputar jatidiri turut ditambahi pula oleh Mas Sabrang. Jangan terkecoh dengan persona. Jika kita melihat nabi Ibrahim, jika kita mencari sesuatu yang kita ketahui maka akan mudah mencarinya. Lebih mudah mencari jarum dalam tumpukan jerami, pakai magnet saja kata Mas Sabrang. Namun bagaimana jika kita tidak mengetahui apa yang kita cari? Pasti akan lebih sulit. Dari Nabi Ibrahim kita belajar tentang proses pengeliminasian. Sepertinya ini namun ternyata bukan. Dan seterusnya dan seterusnya. Sampai nanti akhirnya semua tidak kecuali dia. Lailaha ilallah. Maka perjalanan ini memang tidak mudah, karena banyak faktor yang kita harus “tidak-tidak kan” dulu sampai habis. Yang kamu kumpulkan adalah milikmu, namun bukan kamu. Aku bukan lah badanku, aku bukanlah akalku. Lalu yang manakah aku? Inilah pe-er masing-masing untuk mencari kesejatian. Jalani perjalananmu dengan kegembiraan dan jujur terhadap diri sendiri.

Tentang bhineka tunggal ika juga ditambahkan oleh Mas Sabrang. Kesatuan bukanlah pada fisiknya tapi dengan menjadi sebuah kesatuan entitas.

Pak As’ad tak ketinggalan untuk merespon pertanyaan ketiga. Penanya merupakan seorang guru yang menyambi berbisnis. Hematnya dibreakdown ulang terlebih dahulu sebelum melakukan penyambian tersebut. Yang dicari apakah kualitas hidup ataukah kuantitas hidup. Yang diartikan oleh Pak As’ad seperti berikut. Banyak dari kita yang tidak tercukupi kebutuhannya bukan karena pendapatannya kurang tetapi karena cara mengalokasikan dananya terkadang kurang tepat. Amtsal sederhana dari Pak As’ad, jika kita punya uang hanya satu juta lalu hilang 100ribu maka akan menjadi beban. Namun jika ternyata misal lima bulan lagi ketemu yang tersebut maka apakah menjadi bonus atau tidak. Sebenarnya seberapa banyak pengeluaran kita untuk sesuatu yang tidak urgent. Ini berhubungan dengan puasa yang diungkapkan tadi di depan. Bahwa puasa tidak memakan sesuatu yang sebenarnya halal namun tidak prioritas. Kemampuan kita untuk menganalisa kembali pada kesadaran apakah bisa berpikir sampai sana ataukah tidak. Jika tidak bisa maka, atur kembali cara pandang terhadap Tuhanmu seperti dalam QS Ar Ruum.

Menekuni sesuatu pasti akan berhasil meskipun membutuhkan waktu. Namun kesabaran kita tidak dibina dengan baik karena segala macam perhitungan kita yang menginginkan proses instan sehingga terkadang hal itu melemahkan kita untuk mencapai sesuatu. Kembali pada ukuran kesuksesan harus dibreakdown ulang. Keberhasilan nampaknya bukan harus menjadi nomor satu, tetapi kesungguhan.

Pernah ada sebuah pabrik yang melakukan PHK besar-besaran. Ada salah seorang yang terkena efeknya hingga sangat kesusahan dengan pesangon yang tidak seberapa. Hingga ia mencoba untuk bermain kayu dibentuk seperti harley davidson. Suatu ketika ada sebuah pameran yang ia ikuti di sebuah hotel. Kebetulan owner harley davidson menginap di hotel yang sama. Hingga masa berjalan, dan seorang yang terkena PHK tadi sekarang sukses dan merambah ke lainnya. Jika coba diamati, kejadian waktu terkena PHK apakah kejadian yang susah atau senang? Lalu ketika orang tersebut sukses apakah PHK tersebut menjadi kisah yang susah atau senang? Ini bagian dimana susah dan senang adalah sebatas sudut pandang.

Waktu sudah menunjukkan lingsir wengi atau kisaran jam 1 pagi. Sebelum malam ini diakhiri, Mas Sabrang menambahkan kegembiraan dengan menyumbangkan dua buah lagu yakni Ruang Rindu dan Sebelum Cahaya yang masing-masing diiringi oleh Mas Yoga dan Mas Prisa. Meskipun permintaan adalah tiga buah lagu, namun Mas Kasno berharap satu lagu disimpan sebagai sebuah kerinduan untuk pertemuan yang akan datang. Semoga…

Sedikit cuplikan doa dan harapan Mas Sabrang semoga kita semua disini menjadi seperti yang Tuhan contohkan dengan lebah-lebah dan menjadi kumpulan yang memberi madu bukan sekedar mengisap madu. Amin.. amin.. ya robbal alamin.

 

Andhika Hendryawan