SEWINDU GUGUR GUNUNG

Windu memang erat kaitannya dengan putaran waktu. Namun Sewindu yang melekat pada sebuah perjalanan tidak serta merta secara sederhn bisa kita maknai sebagai berapa lama perjalanan itu di tempuh. Gugur Gunung telah melalui perjalanan itu dengan melewati begitu banyak rangkaian peristiwa demi peristiwa. Ibarat dalam khasanah thariqah Gugur Gunung telah melakukan “Suluk” seperti halnya para salikin yang telah memilih jalan untuk memulai sebuah perjalanan panjang.

 

Dengan penuh kesadaran sudah mempersiapkan segala perbekalan, Jasadiah, batiniah bahkan mungkin ruhiah dengan segala konskwensinya. Singkat atau lamanya rentang waktupun tidak berbanding lurus begitu saja dengan butiran – butiran makna yang didapatkan. Bahkan titik – titik pemberhentian yang ada dalam rute perjalanan, menyimpan beraneka makna. Ada kalanya perjalanan tidak begitu lama namun berlimpah makna, Pun demikian juga ada kalanya perjalanan sudah sangat lama namun hampa akan makna. Ada empat titik dalam perjalanan. Titik diam, disinilah awal niat di letakkan. Titik berangkat, disinilah awal kaki melangkah dengan segala perbekalan. Titik jalan, disinilah irama laku dengan segala dinamika peristiwa. Titik henti, disinilah akhir dari sebuah perjalanan degan segala maknanya.

 

Gugur Gunung dengan segala apa adanya, penuh kesadaran, keistiqamahan yang waktu demi waktu berjibaku dengan asa dan rasa senntiasa terus menjaga irama perjalanan, Tentu bukan sesuatu yang sederhana. Peristiwa demi peristiwa mendewasakan “diri sejati”, menyemai bibit – bibit qanaah dan tawakaltu alallah yang terus tumbuh kuat mengakar melampaui ruang waktu. Eling lan waspada senantiasa menjadi pemandu dalam menempuh perjalanan. Waktu terus berjalan, maka teruslah berjalan.

 

 

 

02 Des 2022

Iwan SEMAK

Keluarga Maiyah, Penggiat Maiyah SEMAK TADABBURAN Kudus.

GUGURGUNUNG
Cangkruk Budidoyo Maiyah Ungaran

Singkat cerita, saya mulai ikut maiyahan Gugurgunung juga tepat pas Tancep Kayon bulan Desember tahun 2015 dengan tema ” Sandal Peradaban ” waktu itu di ajak oleh Arif dan kebetulan diminta tolong untuk membuat desain posternya sebelumnya.

 

Singkat juga yang akan saya sampaikan disini, karena terlalu banyak memori keindahan dan kebaikan yang tidak akan cukup kalau dituliskan disini. Sewindu artinya 8 yang mana angka 8 itu bagi saya angka yang tidak ada putusnya, nyambung terus dan itu juga harapan saya supaya kekeluargaan, silaturahmi, dan berbuat baik selalu terjalin tanpa ada putusnya.

 

Jarak tempuh untuk sinau bareng PP dari rumah saya ke karangjati adalah sekitar 60.000 meter dan 2 jam an perjalanan tetapi semua itu bukan alasan karena Gugurgunung adalah rumah/tempat dimana saya menemukan keluarga, ilmu kebaikan, pengalaman berharga, pelajaran penting dan yang pasti semua itu telah digariskan oleh Allah SWT.

 

( Ngapunten, biasane sagete mung mbatin, mboten saget mengungkapkan bahkan menulis. Tulisan tadi juga mampu terungkap dan tertulis pas di Karangjati 🙏🏻😄 )

 

Koko Nugroho, Janma Pangniarik. Janma Mitro. Janma Tani. Janma Undhagi. Anggota keluarga gugurgunung,

AKAR GALIH

Pertemuan saya dengan keluarga ini dimulai dari ajakan Alm. Pak Imam yang mengajak saya dan Pak Tri untuk berangkat ke Mocopat Syafaat bareng-bareng dengan dulur-dulur penggiat Gambang Syafaat. Diperjalanan itulah pertama kali saya berkenalan dengan Mas Roni, Amri, Jhoni, Wahid, Ibnu, dan lain-lain.

 

Diperjalanan menuju Mocopat syafaat ini kami mengobrol banyak hal. Salah satunya Wahid dan Amri yang bercerita kepada saya bahwa setiap malam minggu terakhir mereka melingkar di Ungaran.

 

Diperjumpaan kedua dengan Mas Amri, di warung wedang jahe geprek, sambil “nyrutup” wedang jahe Mas Amri kembali menceritakan tentang Majlis Gugurgunung, dan mengajak saya jika mau besok malam minggu di “ampiri” kerumah untuk berangkat bersama-sama.

 

Malam minggu itu tiba, Mas Amri dan Mas Ibnu “ngampiri” kerumah untuk bersama-sama melingkar sinau bareng ke ungaran. Sebatang rokok kami nyalakan dulu sebelum berangkat.

 

Sekitar 1 jam perjalanan kami tempuh. Sampailah kami di Taman bermain Qomaru Fuadi. Tempat yang baru bagi saya pribadi. Dari halaman tampak sepi. Amri dan Ibnu nampak santai, tapi saya clingak clinguk mencari dimana siau barengnya?

 

Tidak lama keluar seorang laki-laki yang nampak ramah. Amri dan Ibnu pun langsung menjabat tangan beliau, saya pun turut menjabatnya. Laki-laki itu tak lain dan tak bukan adalah Mas Agus Wibowo. Salah satu yang kami tuakan di keluarga ini. Beliau mempersilahkan kami masuk. Dan kami pun masuk. Dan benar saja di dalam sudah ada beberapa orang. Ada Mas Padmo, Pak Arifin, dan kami. Hehehe

 

Sinau bareng malam itu terkesan spesial, karena jamaah yang hadir kurang dari 10 orang. Rasanya seperti dirumah sendiri. Dekat, aman, nyaman, dan tenteram. Sekilas saya berkenalan, dan sinau bareng langsung dimulai dengan tawasulan dan pembacaan mukadimah, kemudian dilanjutkan diskusi.

 

Tak terasa keluarga ini sudah memasuki usia 1 windu (8 tahun). Harusnya banyak sekali pula yang saya tuliskan dalam tulisan ini. Tapi ternyata saya belum cukup mampu untuk itu. Yang pasti di sini saya banyak belajar bagaimana berpuasa dan bersodaqoh, yang ternyata 2 ayat tersebut penerapannya amat sangat luas untuk menjalani kehidupan ini.

 

”Lak yo wes podo anteng nang guo to? Podo tetep anteng nang guo-guo yo?”. Kurang lebih demikian pesan Mbah Nun kepada kami ketika kami salim kepada beliau dibelakang panggung Gambang Syafaat edisi bulan Mei 2017.

Nyuwun pangapunten, maturnuwun 🙏🙏

 

Arip Wibowo, Janma Undhagi Mayaloka Kawimudho. Anggota keluarga gugurgunung,

SEWINDU MAJLIS GUGURGUNUNG

Nderek nyumbang tulisan mas.

 

Delapan tahun atau sewindu perjalanan Majlis Gugurgunung. Tuhan memperjalankan saya merapat melingkar di Majlis Gugurgunung baru kisaran di tahun kedua.

 

Begadang, ngopi memang sudah menjadi kebiasaan lama sebelum mengenal Majlis Gugurgunung. Namun terasa ada yang berbeda ketika pertama kali ngopi dan membahas tentang maiyah di majlisan ini. Masih teringat ketika pertama kali merapat di teras rumah Mas Agus bersama rombongan Bangetayu. Sudah nampak beberapa orang duduk melingkar disana yang baru saya kenal. Ungaran yang notabene daerah dingin jadi terasa hangat, karena melihat guyub pasedulurannya, serta mendengar isi dari obrolan-obrolannya.

 

“Apa itu Maiyah?” Menjadi pertanyaan yang pertama keluar dari mulutku karena memang belum pernah sama sekali mendengarnya. Penjelasan yang singkat dari Mas Agus sudah cukup memberikan gambaran bagi saya pribadi.
Pertanyaan kedua pun masih teringat dengan jelas di kepala, “Di dalam kehidupan ini, bagaimana langkah kita dalam menentukan seorang guru?” Mas Agus kurang lebih menyampaikan seperti ini, bahwa jika berguru dengan manusia yang paling baik kepada siapa? Tentu guru terbaik adalah Nabi Besar junjungan kita Muhammad Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam. Tapi jika secara jasadiah tentu kita sudah tidak mampu menjangkau beliau, lalu apa yang harus kita lakukan?  Seorang guru yang bisa dikatakan baik,  ialah orang yang kita anggap memiliki kandungan nur muhammad yang paling besar.

 

Saya yang bisa dikatakan sangat sedikit memiliki bekal ilmu agama karena memang bukan anak pesantren juga jarang mengikuti pengajian-pengajian kecuali mendengar dari TV saja menjadi cukup impresif. Berarti berguru bisa kepada siapa dan apa saja di alam semesta ini yang semuanya memang merupakan pancaran dari nur muhammad. Karena jika sedikit mengutip dari hadist qudsi, Jika bukan karena engkau (wahai muhammad) Tidaklah diciptakan semua alam semesta ini.

 

Di Maiyah, masih melalui Mas Agus juga dikenalkan tentang konsep tadabbur. Sebuah konsep yang menurut saya sangat luar biasa untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Alqur’an diperkenalkan sebagai sebuah literasi, referensi, dan solusi.
Kebiasaan dulu yang ngopi hanya untuk dolan, guyon, hahahihi tanpa membawa “sesuatu” untuk dibawa pulang kini mulai beralih semenjak mengenal Majlis Gugurgunung. Meskipun beberapa tahun belakangan sangat jarang untuk melingkar namun ilmu, pembelajaran dan pengalaman yang diperoleh senantiasa dibawa menjadi bekal dalam menjalani kehidupan.
WINDU, jika menurut mas Agus ialah Kakawin dan Reridu, maka menurut saya ialah Wismo INdah yang selalu dirinDu.

 

Terima kasih tuhan telah memperjalankan ku untuk melingkar di Majlis Gugurgunung, dengan orang-orang baik di dalamnya yang senantiasa bersama-sama berproses, tumbuh dan mencoba untuk memberikan kemanfaatan entah untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat dan jangkauan lain yang lebih luas.

 

Semarang, 04 Desember 2022

Dhika, Janma Panyarik, Janma Ujam dhudukan majlis gugurgunung

MAJLIS WIJAYA KUSUMA (MGG)

Tepat pada tahun ini 2022 sudah Sewindu katanya….dan iya benar sudah Sewindu maka dengan rasa bingung mencoba untuk menulis apa yang menjadi keharusan dalam sewindu MGG.

 

Saya pribadi dipertemukan dengan MGG pada tahun 2017 tepatnya pada tanggal  30 Desember 2017 pada saat Tancep Kayon dengan mengusung tema “Serat Pamomongan” dimana saat itu saya hanya COD an kembang Wijaya Kusuma (dikasih gratissssss ndaaa..) dengan Mas Yudi Rohmad, saat itu beliau bilang “kurang akeh? Sesok tak gawakke meneh seng akeh ketemu neng Tancep Kayon ya…”  pada saat beliau di Bangetayu.

 

Sebenarnya saya sering mendengar samar – samar tentang MGG dari om Didit dan om Kasno yang kebetulan satu panji bergambar burung hantu yang suka keluar malam, saat waktu kumpul dengan beliau yang sering membicarakan  tentang  MGG dengan suara yang tidak begitu jelas ditelingaku serta tentang Kembang Wijaya kusuma yang sangat jelas sekali karena sering disuara suarakan secara berulang ulang kali yang membuat telingaku menjadi kebanjiran yang akhirnya meluber jatuh tepat di rongga perut kanan atas dan memenuhi sebagian besar ruang di bawah tulang rusukku.

 

Dengan bekal kata- kata dari Mas Yudi dan iming-iming kembang Wijaya Kusuma seng wakehhhh secara diam diam kucari daerah mana Tancep Kayon itu, maklum saya belum sempat menanyakan ke mas Yudi langsung karena malu, tanpa pikir panjang kupegang hp lalu kusentuh layarnya dengan menggunakan jari jempol tangan kanan kemudian kusentuh sentuh sampai terangkai kata “Tancep Kayon” kemudian kusentuh gambar simbol kaca pembesar dan Alhamdulillah semua yang berhubungan dengan Tancep Kayon tersaji semua, satu persatu kucari dari atas sampai bawah kemudian kupilih barisan yang paling atas dengan harapan segera tahu dimana tancep kayon berada, barisan paling atas kebetulan tertulis Koran tempo.co dengan judul ‘Tancep Kayon’- Cari angin – Koran TEMPO 29 Nov 2009 yang berwarna biru kusentuh cling…

 

Putu Setia

 

Bagi yang gemar menonton pertunjukan wayang kulit, ada istilah tancep kayon. Arti sebenarnya adalah menancapkan kayon, yaitu wayang yang merupakan simbol gunungan. Makna simbolisnya adalah perpindahan adegan, misalnya, dari kisah para kesatria Pandawa menjadi kisah para Kurawa. Tapi tancep kayon juga bisa bermakna pertunjukan selesai. Penonton pulang dengan kesan masing-masing. Karena wayang adalah gambaran ”bhuwana alit” atau dunia y …..

Silahkan berlangganan untuk menikmati akses penuh artikel eksklusif Tempo sejak tahun 1971

 

Abaikan tulisan yang bercetak tebal di atas jika mengganggu … akhirnya saya putus asa gara-gara tulisan yang bercetak tebal di atas langsung hp kutenggelamkan ke dalam saku celana dan berniat tidak memakai hp lagi, selang beberapa menit hp berbunyi dengan nada tidak asing lagi yaitu nada kiriman pesan dari WA, lagi-lagi niat awalku tidak berjalan lancar niat tidak memakai hp aku langgar… sebentar sebentar niat tidak memakai hp? hp kan bukan baju yang bisa dipakai, Alhamdulillah niatku yang salah, “ngopi yuk mbah…” WA dari om Didit lalu kujawab Siap… tak lama aku sudah sampai di rumah om didit yang memang rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mertuaku kira-kira 500 m lebih  2 KM, tanpa basa basi kutanya “jare ngajak ngopi, ndi kopine?” om Didit “ngko sek banyune durung umup”  kenapa jika aku diajak ngopi om Didit langsung cus tidak lain adalah kopinya mantap, lagi pula di depan rumahnya ada yang jualan tela-tela. Sambil menunggu air mendidih ya biasa kita ngobrol dan sampai akhirnya saya tanya ke beliau “Dit tancep kayon kui daerah endi?” langsung dijawab “sesok tak terke rono” Alhamdulillah jawaban yang selama ini kutanyakan ke mbah google ternyata bisa dijawab dengan mudahnya serta terdengar merdu ditelinga suwun matur suwun.

 

Terima kasih sudah diperkenankan ikut serta dalam belajar bareng di majlis ini dan saya merasa tahu saya ini bukan satria baja hitam yang tinggal bilang berubah maka berubah menjadi satria atau Gatotkaca yang punya otot kawat balung wesi, saya Nardi yang selalu jujur dengan istri saat hari Sabtu terakhir selalu pulang pagi.

 

Majlis Gugur Gunung = Bunga Wijaya Kusuma

 

“Belajar Jujur terhadap diri sendiri,
kita bisa karena orang lain.”

 

Sunardi

“Bukan Satria Baja Hitam apalagi Gatotkaca.”

Penggiat Maiyah gugurgunung. Janma Tani mantri tanem, Janma mitra,