MENCARI DEWAN SEPUH

Mencari…….

Kesadaran yang perlu dibangun untuk “mencari”,  salah satunya adalah kesadaran bahwa ada sesuatu yang “hilang” dan semangat yang dibutuhkan dalam sebuah pencarian, adalah semangat untuk menemukan kembali apa yang telah hilang.

Mari kita data, apa apa saja yg mulai hilang dari diri kita, dan lingkungan sekitar kita, baik pada lingkup kecil sampai luas. Mari juga kita teliti, apa apa saja penyebab dari sekian banyak kehilangan tersebut. Upaya mencari di tengah tengah fenomena upaya upaya penghancuran/pengrusakan adalah sesuatu yang berat dan sulit, namun harus terus ditempuh, sebelum segala sesuatunya benar benar hilang.

Dewan Sepuh ….

Berangkat dari meneliti sesuatu yang hilang kemudian beranjak pada fenomena kerusakan dan kehancuran. Maka kini coba kita berangkatkan dengan satu bekal ayat yang meski tidak secara eksplisit berbicara tentang dewan sepuh namun mudah-mudahan bisa menuntun kita memahami tentang apa itu relevansi Dewan Sepuh, bagaimana memilihnya, dst ….

Berikut ayatnya :

  1. 38:28 (Surah Shad)

” Patutkah Kami menganggap orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang orang yang berbuat kerusakan di muka bumi ? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang orang yang berbuat maksiat?

Mari kita tadaburi ayat tersebut dengan pancatan pertanyaan berikut :

Taqwa dan Maksiat, mana yang lebih tua ? Bila kita teliti dari proses penciptaan, Taqwa tercipta lebih dahulu, berarti Taqwa lebih tua. Meskipun sesungguhnya kita tak mampu mengukur tingkat ketaqwaan seseorang, namun kita tetap berada dalam sebuah anjuran untuk memproduksi kemanfaatan sesuai daya jangkau dan nalar yang bisa kita pahami, dimana kemanfaatan tersebut diniatkan untuk menyambung kemesraan kepada Tuhan. Supaya sebagai ciptaan Tuhan, kita sedang mengakui dan membuktikan bahwa Tuhan tak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia.

Bila dikaitkan sama pengertian pada bahasan bulan sebelumnya, salah satu cara nggayuh Taqwa yaitu dengan cara puasa. Nah, puasa yang baik itu yang bagaimana?

Intinya tidak menyia nyiakan. Maka kemudian akan timbul pertanyaan :

  • Bagaimana cara berpuasa waktu ? adalah dengan tidak menyia-nyiakan waktu
  • Bagaimana berpuasa terhadap makan ? adalah dengan tidak menyia-nyiakan makan
  • Bagaimana berpuasa bicara ? adalah tidak menyia-nyiakan bicara
  • dan seterusnya..

Jadi puasa adalah tentang efisiensi, tentang kemanfaatan, tentang kendali. Jika penyia-nyiaan adalah serta-merta merupakan perilaku sia-sia, maka sia-sia adalah batal atau batil. Pada kondisi batal, meskipun seseorang masih bisa meniru gerakan sholat dan berada di tengah jamaah namun sesungguhnya sedang menjalankan perilaku jasad saja dikarenakan tidak memenuhi syarat rukun sesuci.

Sebuah fenomena (saripati)

Dari rabaan dan irisan-irisan di atas, maka sebagai saripati awal tentang Dewan Sepuh adalah sekumpulan orang yang mengedepankan manfaat. Manusia/tokoh yang disebut sepuh adalah manusia yang Taqwa, yang tindak-tanduknya senantiasa mengakurasi kemanfaatan, efektif dan efisien, baik terhadap diri sendiri maupun kepada yang lainnya. Tidak sia-sia, tidak batal apalagi batil.

Orang beradu pendapat tentang batal dan tidak batal, lalu berlanjut menjadi perdebatan atas perlunya wudhu lagi atau tidak, Mbah Nun pernah menyampaikan, kurang lebih :

Wudhu kui solusi, ketika kita sedang bingung batal opo ora, perlu wudhu opo ora, hla mbok yo wudhu wae, wong wudhu kui apik …. Kui solusi, dudu malah diperdebatkan” Wudhu itu solusi, ketika kita sedang bingung batal atau tidak, perlu wudhu atau tidak, hla mbok ya wudhu lagi, kan wudhu itu bagus … itu solusi, bukan malah diperdebatkan.

Manusia/tokoh yang disebut sepuh bukan ditilik semata dari tolak ukur ia lahir lebih dahulu atau belakangan, melainkan karena pada seberapa benderang laku lampahnya untuk tetap ingat dan waspada pada awal/pada pulang. Apabila ada purnama, seterang apapun purnama ia akan sirna kecemerlangannya dengan mendung tebal atau gerhana. Purnama ibarat iman, dan amal saleh, benderang dan dirindukan. Sedangkan mendung tebal ataupun gerhana adalah perilaku yang menghendaki mengedepankan kegelapan dan membelakangkan cahaya. Dewan Sepuh adalah orang-orang yang senantiasa meneruskan tradisi pepadhang dengan menguji, mengajari (patatar), dengan nasehat dan kebijakan, mengingatkan secara telaten (patitir), dan dengan memberi contoh perilaku (patutur). Tentu saja tatar, titir, dan tutur tentang bentuk ketaqwaan kepada Tuhan.

Majlis gugurgunung bulan ini mengajak memikirkan dan menyadari atas suatu aset yang sesungguhnya mulai terbenam, siap tenggelam dan hilang. Salah satunya adalah fenomena masyarakat yang semakin enggan mengakomodir yang sepuh, juga enggan menjadi sepuh, namun tetap berharap dunia mengingat, mengenal, mengikuti dan kelak mengenangnya. Rata-rata menempuhnya dengan jalur sosial maya. Mari terus kita dadar diri guna memenuhi kebutuhan keseimbangan tua-muda dalam peradaban. Silakan hadir di MGG bulan Juli untuk menambah catatan kecil pada mukadimah ini menjadi catatan yang lebih lengkap lagi, sebagai referensi pencarian kita bersama untuk menemukan kembali “Dewan Sepuh” yang bisa jadi tidak harus berada di luar sana.

DITUNTUN REMBULAN

Oleh : Ihda Ahmad Soduwuh

Masih ingat saat HTI ramai-ramai dirundung warga senegeri? Mbah Nun atau yang oleh Mas Agus dipanggil Sahan, waktu itu merangkul pelarian politik itu. Puncaknya adalah seorang dutanya yang mualaf-provokatif mendatangi forum maiyahan dan terharu pada fenomena sosial ini. Setelah reportasenya viral, maiyah ikut kena jatah lemparan celaan sebab dicap berpihak pada pengusung gagasan khilafah ini.

Kala itu secara spontan kuajak kopdar seorang kawan aktifis senior organisasi tersebut di Majlis Gugurgunung. Kebetulan rumahnya berdekatan dengan lokasi. Kawan karib semenjak pakai seragam putih abu-abu ini antusias saja sebab lama kami tak bersua. Anomali kemesraan karena di grup-grup Whats App kami saling gasak soal ide. Di dunia nyata atau japri tetap ada keakraban dan kesadaran bahwa yang diperjuangkan sama juga.

Pertama kali datang ke Majlis Gugurgunung yang berlokasi di rumah seorang jamaah itu kami merasa sangat disambut hangat. Kebetulan jarak saya ke lokasi yang agak jauh, diperjalankan agak telat. Si pejuang khilafah sudah sampai dan ngopi duluan meski baru di teras. Buletin maiyah ia pegang sembari menunggu saya. Di dalam rumah rentetan acara pembuka maiyah sudah dimulai.

Mungkin karena lingkarannya di angka puluhan orang, suasana kekeluargaan begitu terasa di Simpul Maiyah Ungaran ini. Satu sama lain penggiat maupun jamaah saling menyambut dengan tangan terbuka dan senyuman ramah. Bahkan ada kesempatan mikrofon bergilir di mana tiap yang hadir berhak menyampaikan apa saja. Mulai dari curhatan, pertanyaan, sampai gugatan, boleh dilayangkan ke tengah forum. Sebuah wujud demokrasi tanpa babibu, selama ada kemauan, silakan ajukan.

Forum ini terdengar sampai telinga saya karena direkomendasikan beberapa pihak. Saya dapat dari Gus Aniq yang mengampu RKSS dan Om Budi Maryono yang narasumber tetap di SulukSastra. Keduanya yang juga pembicara di Gambang Syafaat seringkali menyatakan padaku bahwa kalau ingin belajar tentang Jawa dan tradisi, datang dan timbalah di Majlis Gugurgunung. Ditujukan sebagai laboratorium keJawa-an, sudah sangat terasa saat duduk di tengah lingkaran ini.

Uniknya, setelah setahun absen datang, kali ini Gusti Allah memperjalankan rutin hadir di tengah maiyahan ini. Melalui seorang kawan yang dipertemukan maiyah, seringkali ingatkan acara ini di hari H. A-ndil-Allah, selalu malam purnama atau mendekati bulat sempurna. Dua kali datang pertama dihadirkan di outdoor, pelataran sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Di seberang masjid besar itulah saya menikmati kesyahduan alam. Tadabbur alam yang sudah sangat lama saya tinggalkan seiring masa berkeluarga tiba.

Kapan lagi bisa duduk menyesap atmosfer berbintang, bulan, angin pegunungan, mistis, tanpa perlu merasa asing? Apalagi kopi yang selalu panas tinggal ambil tanpa sungkan. Sungguh lengkap Majlis Gugurgunung ini. Betul-betul Njawani, tanpa sekat, egaliter, menguliti konsep warisan leluhur dengan rendah hati dan hati-hati. Saling timpal pendapat usai pemaparan tema menandakan kehangatan persaudaraan berwasilah maiyah. Bahkan gasak-gasakan antar penggiat dan jamaah sesekali mencuat, membuat suasana terus saja cair dan hangat menyelingi kepadatan bahasan.

Mas Kasno bahkan pernah berkata bahwa kehadiranku yang kurasa diperjalankan ini sebagai jawaban atas doa-doa di awal memulai Majlis Gugurgunung. Sebuah ajakan untuk kehadiran sedulur-sedulur yang butuhkan. Ini terasa sekali saat momen mengundang Master Zaen Sang Ahli Terapi Tulang Punggung. Tak dinyana kemunculanku sangat pas, hanya karena ingin memandang rembulan lantas dapat temukan solusi yang selama ini mustahil kudapat. Alhamdulillah manjur, bisa bermaiyah dalam jangka lama tanpa harus bergantung pada sandaran. Sebuah sunnah Kanjeng Nabi yang akhirnya bisa kutempuh tanpa kesakitan.

Suatu saat Om Eko Tunas, kawan lama Mbah Nun, hadir di Gugurgunung bawakan monolog beliau. Di momen itu kebetulan ada sedulur-sedulur datang dari desa sekitar dan Simpul Maiyah Salatiga. Setelah acara resmi selesai, mikrofon dimatikan, nasi jagung berikut lauk-pauk dibagikan. Inilah keunikan lain dari simpul maiyah ini. Selalu ada tanda syukur sederhana khas pegunungan. Menu yang kujumpai hanya di satu tempat ini.

Pas menyantap makan itulah perbincangan basa-basi hadir di antara jamaah. Saya dan kawan langsung akrab dengan lingkaran kecil yang terbentuk. Di situlah kami cari persamaan antar jamaah. Rupanya ada kemiripan dalam kejadian-kejadian pertanda kehadiran Tuhan. Sesepele bisa bernegosiasi soal turunnya hujan. Kawan-kawan ini sudah buktikan bahwa Gusti Allah memang bisa disapa meski ibadah bolong-bolong.

Kini sudah kubulatkan tekad untuk rutin hadir ke simpul ini. Menimba ilmu Jawa secara mendalam sebagai niat awalan. Semoga senantiasa diperjalankan Tuhan. Berbekal paseduluran memperkaya pengetahuan dan mengasah pengalaman.

 

DOLANAN ING NJABA

Pertemuan rutin Majlis gugurgunung pada bulan Juni jatuh pada tanggal 30 Juni 2018, bertempat di Balai Desa Klepu, Ungaran, Kab. Semarang. Bertemakan “Dolanan ing njaba” diskusi dimulai sekitar pukul 20.30 WIB, dengan masih suasana padhang bulan (terang bulan) memancar di langit yang gelap.

Untuk mengawali acara, dimulailah pembacaan doa tawasul oleh Mas Ari, dan dilanjutkan Munajat Maiyah dipimpin oleh Mas Jion.

Moderator malam ini ialah Mas Dian, menanggapi sedikit tentang tema, dalam dolanan jadilah orang yang paham arti dolanan. Dalam sepakbola dicontohkannya, bahwa itu sesungguhnya hanyalah permainan namun dijadikan sebagai kompetisi. Kiper liverpool yang membuat blunder pada saat final liga champion pasti akan dikenang sebagai pemain yang buruk penyebab kekalahan hingga generasi anak turun, dimana sebenarnya itu hanyalah bermain.

Kemudian oleh Mas Dian, Mas Kasno selaku tim tema diminta untuk memberikan preambule terkait tema, serta pembacaan mukadimah. Namun, sebelum itu Mas Kasno meminta pada sedulur-sedulur untuk menghadiahkan Al Fatihah untuk pencipta tembang dolanan “Padhang Bulan” yakni R.C. Hardjasoebrata.

Sedikit cerita dari pengalaman Mas Kasno tentang lagu ini, yakni lagu ini pernah dibawakannya dalam lomba sewaktu SMP kelas 3 dan mendapat juara ketiga. Kebetulan juga malam ini dihadiri oleh teman Mas Kasno sewaktu SMP yakni Mas Hendra. Seorang kawan yang hampir tidak pernah mengobrol sewaktu SMP dulu justru dipertemukan di cangkrukan malam hari ini.

Kemudian, sesi perkenalan untuk beberapa sedulur yang baru pertama kali melingkar yakni Mas Hendra dan Mas Edi. Hadir juga malam ini, Mas Hermanto, yang sudah cukup lama tidak ikut melingkar. Alhamdulillah, kabar gembira juga dibawakan oleh Mas Hermanto bahwa istrinya mengandung 7 bulan.

 

Bermain keluar kotak (out of box)

Kemudian, Mas Ari juga diminta menanggapi tentang tema, bahwa “dolanan” diartikan seperti piala dunia sekarang, dimana perlu persiapan bertahun-tahun untuk melakukan pertandingan yang hanya 2 kali 45 menit itu. Dan kata yang kedua adalah “neng njobo” diartikannya seperti out of box, jadi dalam hal-hal tertentu kita berani keluar dari kotak untuk melakukan sebuah permainan di mana arahnya adalah untuk mentadaburi misalnya seperti yang diungkapkan oleh Mas Kasno. Dalam mentadaburi ini, tafsir-tafsir yang lama bukan berarti kita tinggalkan tapi sedikit memulai mencoba untuk mengetahui tafsir yang baru tentang Al Qur’an. Begitu juga dengan perilaku kita sehari-hari terhadap jiwa semisal Mas Ari secara pribadi terus terang kalau di lingkungan kampung itu lebih tertutup karena memang sudah menjadi satu anggapan negatif di masyarakat dimana Mas Ari dianggap sesat karena sering membakar menyan dirumahnya dan dibiarkannya tanpa meluruskan apapun. Dolanan ini seharusnya difungsikan untuk mencari teman.

 

Permainan Suka dan Duka

Berikutnya Pak Hasan yang berkeseharian sebagai guru turut menanggapi tema, lagu yang sudah dinyanyikan bersama-sama tadi dicoba dipetakan dengan keterbatasan yang ada pada diri kita. Pak Hasan mempertanyakan tentang latar belakang apa pengarang lagu itu sampai memunculkan sebuah ide lagu dolanan seperti itu. Pada suasana kebatinan yang seperti apa? dan apa maksud yang diharapkan dari pengarang dengan adanya lagu itu? Sebab itu menjadi bekal sebuah pemetaan kita. Karena Pak Hasan yakin seorang pengarang atau penggagas itu memunculkan sebuah ide tersebut atas dasar suatu maksud dan tujuan tertentu. Harus kita ketahui sisi suasana kebatinan munculnya lagu yang perlu kita gali dan dalami. Kemudian setelah kita dalami latar belakangnya baru kita lihat realita setelah lagu tersebut ada, sebab efek lagu bagi anak-anak tentang pemahaman lagu untuk anak-anak di suasana riang, suasana ceria dan kemudian diikat dengan sebuah tali yang disebut dolanan bareng-bareng.

Pertanyaan dalam benak Pak Hasan, mengapa lagu itu dikaitkan dengan Padang Bulan jadi seolah-olah pengarang lagu itu punya maksud dolan neng njobo tapi dikaitkannya dengan malam justru tidak ada dikaitakannya dengan siang sebagai waktu bermain seperti sekarang pada umumnya. Pada anak-anak versi dulu dengan sekarang sudah jauh beda kalau zaman dulu, nenek moyang kita suka melek pada malam hari. Namun generasi sekarang jarang ada yang seneng melek. Kemudian, Bagaimana jadinya antara dolanan Neng Wayah awan dengan dolanan ing Wayah bengi, itu apakah sama?

Lanjut Pak Hasan, Allah berfirman “wa-annahu huwa adhaka wa-abkaa” bahwa Allah menciptakan manusia dengan paket yang indah yakni dengan senyum juga dengan sedih, mungkin Tuhan pun juga tidak ingin hambanya itu stres atau depresi.

 

Pengembaraan Diri

Dilanjutkan oleh Mas Dian, bahwa Islam masuk kesini pun kebanyakan juga dengan metode dolanan. Wayang, gamelan, serta permainan-permainan tradisional yang dianggap sederhana dan remeh namun justru menjadi siasat yang paling ampuh.

Kemudian Mas Hendra juga diminta untuk merespon terkait tema. Dimana dolanan ini biasanya dilakukan oleh anak-anak yang didalamnya tanpa batasan-batasan suku, agama, warna kulit dll namun bertujuan untuk bersenang-senang. Sehingga dolanan ning njobo ini, menghindarkan diri dari pengkotak-kotakan yang kini kerap terjadi, dikatakan juga untuk pencarian jatidiri sebab anak-anak keluar dari zona nyamannya dia di rumah untuk bebas berekspresi serta mengajarkan pula tentang pengembaraan. Ditekankan pada malam hari sebab dalam kegelapan itu kita jangan takut dan khawatir. Dalam masyarakat Jawa meyakini beberapa malam yang dianggap spesial meskipun setiap malam itu baik. Dalam lagu ini diajarkan pula bahwa malam ialah waktu yang baik untuk bermain, karena dianggap dapat bersinergi dengan alam, rembulan dll yang mestinya lebih luas daripada sekotak handphone yang kini digunakan pada era digital.

Mas Jion pun malam hari ini diminta turut merespon tentang tema, dimana malam hari ini meskipun tidak dalam jumlah yang besar namun terasa dalam kebahagiaan yang berlimpah karena kita semua disini mau berkumpul untuk keluar dari rumah. Itu pun juga disebut sebagai dolan, dan pulang membawa sesuatu dalam rangka membawa diri diluar rumah.

 

Waspada

Tema dolanan ing njaba, mengingatkan Mas Jion pada sebuah kidung Asmarandana, “ojo turu sore kaki”. Ada kesamaan didalamnya yakni suasana malam hari, dan dengan bersabar dan tawakal semoga mendapat limpahan berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Kemudian tiba Mas Agus yang merespon tema. Mas Agus merasa sangat senang bahwa tema malam hari ini menjadi kaya akan sudut pandang, serta masing-masing pendapat yang saling berkaitan satu sama lain dan sulam menyulam. Berangkat dengan gelas kosong sehingga lebih mudah terisi pada malam hari ini.

 

Bermain di alam Dhahir

Dolanan ing njaba, dalam bahasa krama yakni “dolanan wonten njawi” yang setelah dibahasa Indoensiakan bisa berarti “Dolanan di Jawa”. Mengapa Jawa? Sebab sejak jaman dahulu kita sudah menjadi bangsa yang dikenal bahkan sampai Yunani. Oleh Yunani kita disebut sebagai Zabaje, Saba, Zabadio, Taopo, dll. Namun pihak luar dengan gigih mendoktrin generasi muda Jawa untuk meyakini bahwa kita adalah bangsa yang muda, atau diistilahkan lahir wingi sore dan tidak berkaitan dalam perguliran peradaban hingga saat ini.

Sebelum dolanan ning njaba (bermain di luar) berarti kita pernah dolanan ning njero (bermain di dalam). Dimana? Yakni ketika di alam rahim atau kandungan. Namun saat bermain di dalam itu pasti beres sebab belum ada jarak dengan kondisi kedirian kita sebagai manusia. Di sana kita masih yakin bahwa kita adalah abdi gusti Allah. Sehingga tidak mungkin sampai membikin ormas, parpol di dalam perut ibu. Bermain di dalam ini bertujuan untuk mengenali asma, serta sifat-sifat Allah yang menjadi bekal ketika besok dilahirkan.

Uniknya, ketika bermain di dalam ini kita seperti sedang merekonstruksi kehidupan nabi Adam di alam firdaus, lalu di goda dengan keasikan-keasikan dunia, digoda dengan hawane ndyuno (hawa dunia). Hawa ini juga bisa diartikan sebagai hembusan keindahan di luar. Ketika ibu sudah merasa tidak nyaman dengan kandungannya yang makin besar, bayi seakan ingin keluar seolah tidak jadi. Peristiwa tersebut sebagai simbol terjadi keragu-raguan di dalamnya. Apakah ingin terus di alam rahim atau ingin segera lahir. Kejadian itu seakan-akan mengulang peristiwa ketika Nabi Adam AS merasa ragu-ragu ketika dibujuk oleh Siti Hawa.

Adegan berikutnya ialah lahir, dhahir, metu, mijil, keluar. Mana yang lebih baik keluar atau tetap di alam rahim? Karena kodrat kita keluar dari alam rahim maka dikatakan Mas Agus yang terbaik adalah keluar ke alam dhahir. Konsep bermain, ada dalam firman Allah yakni kehidupan di dunia itu hanya sendau gurau belaka. Meskipun ketika ditagih hutang serius juga, kelakar Mas Agus sambil tertawa.

Bermain di dunia berarti harus ada konsekuensi keduniaan, selain kiper yang diceritakan oleh Mas Dian, hal serupa pernah terjadi dulu di piala dunia Brazil yang bernama Barbosa yang disalahkan ketika Brazil kalah dalam final. Mengapa tidak ada piala akhirat? Padahal lebih asik jika ada, sebab piala akhirat tidak perlu ada istilah-istilah top scorer, underdog, prestige dll yang menghambat kita untuk mendapatkan kegembiraan dalam dolanan. Dimana seolah pengkotak-kotakan itu sedang intens menjalari sisi kehidupan.

Misalkan dunia ardla ini adalah sebuah rumah besar. Di dalamnya terdapat pelajar yang harus menemukan cara untuk bebrayan yang paling asik dan indah sebatas yang bisa dicapai oleh tiap-tiap siswanya. Ada yang menggunakan metode untuk mencapai kebahagiaan harus dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, ada yang menggunakan metode aturan atau syariat, ada yang menggunakan metode kesenian, ada yang menggunakan metode kebudayaan, tetapi kebanyakan masing-masing pelajar ini belum benar-benar siap untuk bermain di luar. Sehingga ketika keluar maka langsung pasang kuda-kuda untuk memastikan bahwa lawannya berada dalam barisan yang sama atau tidak. Kawan atau lawan. Sehingga para pelajar itu tidak segera bermain melainkan saling menaruh curiga. Tiba-tiba seorang ibu yang mengawasi anak-anak bermain berkata dari beranda rumah. Ia berkata kepada anak-anak tentang : “anggapan yang menurutnya benar harus digenggam di dalam diri dan harus ditunjukkan dengan cara yang paling baik dan utama dengan tiap-tiap cara yang dibawa masing-masing cara untuk bebrayan dolanan bersama. Tidak ada gunanya memiliki ilmu pengetahuan tapi tidak memiliki pengetahuan untuk mekanisme kerjasama. Tidak ada gunanya memahami syariah tapi tidak mengerti tata cara untuk bersambung dan bertaut. Tidak ada gunanya mengerti seni tapi tidak mengetahui indahnya jalinan dan aneka warna yang terhampar. Tidak berguna pula mengerti kebudayaan tapi tidak menunjukkan budaya yang paling mendasar dalam kehidupan yakni sikap budi luhur dan andhap asor. Ketika semua merasa baik dan benar, jangan adu kebenaran tapi ujilah kebenaranmu dengan menunjukkan kebaikan. Yakni dengan cara tidak menyakiti, mencederai yang lainnya. Bermainlah dengan menunjukkan kebaikan pada hal apa yang kamu yakini. Cara menunjukkannya juga bukan dengan omongan tapi dengan berlomba dalam perilaku utama bukan berkompetisi dan adu mulut”. Jika kita kembalikan pada kehidupan kita sehari-hari, maka sangat senang ketika mengatakan diri kita yang paling benar dan indah, tapi belum karuan baik dalam hal bebrayan.

Sejenak kita kembalikan pada awal mula berdirinya Majlis Gugurgunung. Ketika Al Qur’an diturunkan di muka bumi, tidak ada satupun yang berani untuk menerimanya termasuk gunung-gunung, langit dll, dan hanya manusia yang berani. Ada lagi kalimat yang mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu gelap dan bodoh. Gelap dan bodoh ini adalah landasan utama kita ber-gugurgunung, istilah yang sudah jarang digunakan disini yakni jama’ah assiltu (anus). Maka diam-diam jika kita rela menjadi dubur maka kita pun sanggup untuk menjadi muka, tangan, kaki dll. Kembali pada gelap dan bodoh itu, patut dicurigai bahwa jangan-jangan firman Allah turun kepada kita ketika kita merasa diri kita ini gelap dan bodoh.

 

Tembang Dolanan Padhang Mbulan

Dalam hal lagu dolanan di atas, gelap dan bodoh itu terepresentasi cukup indah, berikut diuraikan oleh Mas Agus.

“Yo prokonco dolanan ing njaba”, ayo teman-teman kita bermain yang pantas (njobo/njowo). Jawa disini bukan sebagai kata benda namun sebagai kata sifat atau karakter sehingga orang yang tidak bersuku Jawa pun, jika mampu menunjukkan sikap diri dalam sifat-sifat kebaikan maka sering disebut njowo, njawani. Bermain yang pantas sebab memahami tata cara yang utama.

“Padhang bulan, padhange kaya rina”, Syarat utamanya harus ada malam. Gelap, yang segala hal menjadi tampak pendek, sempit, dan dangkal. Dalam malam juga ada rembulan yang bisa juga disebut condro. Siang ada matahari, suryo. Maka ada istilah pasuryan dan panyondro. Pasuryan terletak di muka sebagai karakter eksternal, sedangkan panyondro terletak di dalam hati, sebagai karakter internal. Berarti cara bermain yang njowo itu ialah, bermain yang menggunakan hati. Maka berhati-hati pula dalam bermain, bergembira bersama dalam bermain. Padhange kaya rina, (terangnya bagai siang) ialah ketika menggunakan hati yang baik maka gelap akan tersibak. Hati yang baik tanpa penyakit seolah adalah manusia paripurna, pergaulan dan cara bergaulnya penuh cahaya. Manusia yang sudah purna berkumpul. Disana tidak akan melihat kesalahan orang lain saja namun juga membaca kesalahan orang lain untuk melihat kesalahan diri sendiri. Apa yang terlihat diluar itu sebenarnya adalah pasuryan diri kita sendiri. Manusia purna ini diibaratkan dalam purna-ma (purnanya manusia). Purnama hanya sebulan sekali, namun konsep ini bisa kita pakai dengan meletakkan malam sebagai konsep pemahaman yang lebih luas. Malam, menyebabkan jarak pandang pendek, serta daya kita memetakan sesuatu menjadi tidak luas, bisa jadi hal ini dikarenakan kita tidak menpercayai adanya rembulan dalam hati masing-masing yang bisa menjadi cara menyaksikan keluasan dan kedalaman secara benderang bagaikan ketika siang. Jadi ketika Allah memerintahkan untuk mengingat(dzikir) berarti kita tahu rule of game nya adalah bahwa kita ini pelupa. Apa yang kita pahami dalam alam rahim seperti apa pun kita sudah lupa, bahkan berkedip dalam sehari pun kita lupa jumlahnya. Maka dianjurkan pada kita untuk memahami asal-usul atau sangkan paran. Jangan sampai sangkan paraning dumadi ini terselimuti oleh kegelapan.

“Rembulane sing ngawe-awe”, dapat kita sambungkan pada utusan Allah yakni nabi dan rasul. Kita kenal istilah wahyu, ndaru dll semua itu adalah cahaya. Wahyu berasal dari kata WAHananing (Kendaraan atau sarana) HYU (hayu atau indah). Kendaraan untuk memperindah yakni dengan cahaya. Maka nabi dan rasul pun dibersamai dengan wahyu atau cahaya. Nabi besar kita Muhammad Rasulullahu ‘Alaihi wassalam mendapat julukan shobi’in yang jangan-jangan bertautan dari kata shoba, yang secar pengucapan mirip dengan Saba (nama lain peradaban Jawa lama). Mengapa disebut demikian? karena, Nabi dianggap meninggalkan ajaran lama yang populer di jazirah Arab dan sekitarnya untuk menuju ajaran baru dengan sarana pewahyuan. Dengan kehadiran Nabi Muhammad, Allah sedang mengirimkan cahya terang benderan bagi ummat yang gulita dan sang cahaya tersebut dengan penuh kelembutan mengundang (ngawe-awe) untuk bersama berkerumun dalam cahaya.

“Ngelingake ojo podho turu sore”, bahwa sang utusan dengan penuh kasih sayang senantiasa mengingatkan kita untuk tidak terhanyut kegelapan, tertipu kesempitan, terjebak kedangkalan, sehingga mudah putus asa bagai orang yang belum waktunya tidur namun sudah tidur terlalu dini. Utusan ini harus ditarik sejak awal mula peradaban hingga penghujung peradaban.

Nabi pertama yang diakui oleh hampir semua manusia ialah Nabi Adam, masa dimana belum ada Jawa, China, Arab dll. Namun apakah sama Islam yang dibawa oleh Nabi Adam dengan Islam yang sekarang? Untuk sampai disana, maka harus memperluas jarak pandang kita. Agar kita tidak terjebak dalam pemikiran kekinian jaman now, tapi coba merefleksi kejadian pada masa Nabi Adam. Pada jaman tersebut “PR” nya masih sedikit, yakni hanya tentang keakuan. Semisal kisah tentang Qabil dan Habil membawa peristiwa tentang kepemilikan, kedirian, keakuan. Sekarang sangat sulit untuk tidak merasa memiliki, terutama tentang hidup. Namun Nabi Ismail telah memberi pelajaran pula untuk menyerahkan hidup hanya untuk Allah. Mudah mengatakan Nabi Ibrahim adalah penyabar, bertawakal namun pasti sangat berat jika kita bayangkan bahwa peristiwa perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismalil dijalani oleh seorang bapak kepada anak yang sangat disayanginya. Sementara Nabi Ibrahim adalah seorang yang cerdas, pemikir yang logis, researcher, bukan orang yang terjangkit halusinasi. Peristiwa cinta dan kepemilikan mengalami pendewasaan, dan bentuk cinta yang solid ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam peristiwa yang diabadikan sebagai hari Idhul Adha.

Peristiwa demi peristiwa Kerasulan adalah khazanah yang memperluas area kesadaran dan pemahaman kita. Ini laksana luasan cahaya yang membuat kita lebuh mudah mendapatkan petunjuk dan pandangan hidup. Maka sangat pantas jika kita harus bersuka cita dan bergembira atas karunia nan luas ini demi menghadapi kondisi yang gelap gulita ini. Jaman sekarang hijab sudah 7 lapis, maka penting untuk mengenali pencahayaan untuk menyibak kegelapan tersebut.

Di jaman setelah Nabi Muhammad, tidak bisa kita mengklaim pribadi-pribadi Muslimin, Mukminin, Mukhlisin, Muttaqin, dlsb hanya ada pada era setelah karasulan rasulullah Muhammad. Namun hal ini sudah ada sejak jaman sebelum Nabi Muhammad bahkan sejak era ummat Nabi Adam. Allah memberikan ilmu, kepada siapapun yang sanggup membeningkan dirinya. Sebab semua ilmu Allah adalah ilmu yang bening.

Baiknya kita coba luaskan pemahaman dolanan ning njaba ini agar menyibakkan kegelapan, serta cahaya yang kita dapatkan mampu kita implementasikan dalam kehidupan bebrayan. Sehingga dalam bersendau gurau kita tidak saling menyakiti satu sama lain.

 

Bergerak dan dinamika universal

Mas Mundari yang alhamdulillah dapat melingkar malam ini juga turut menambahkan bahwa pada malam bulan purnama setiap manusia haruslah bergerak atau mengeluarkan keringat seperti yang digambarkan dalam poster yakni anak-anak bermain diluar rumah dibawah purnama. Seperti halnya setiap bulan purnama, hewan-hewan menjadi lebih aktif bahkan lebih galak. Entah itu hewan peliharaan ataupun hewan liar.

Kemudian dilanjutkan Mas Rizal, yang menceritakan tentang sedulur sikep yang juga menjadi skripsinya. Satu hal yang menjadi tujuan sedulur sikep ialah “mbenekke ati mbecikke ucap” (memperbaiki hati, memperbaiki ucapan). Disana keselarasan alam sangat dibangun, pernah suatu ketika ada yang di wilayahnya merusak alam. Balasan dari alam ialah banjir, hingga mengalami gagal panen 7 (tujuh) kali. Namun mereka tidak marah, atau kecewa namun justru bersyukur karena hanya sawah yang terimbas, bukan ke manusianya yang karam. Sebab bagi masyarakat Sikep ada lagi yang lebih menderita daripada mereka yakni supir-supir truk yang terjebak banjir. Satu langkah untuk meminta maaf kepada alam ditempuh dengan membagikan makanan berupa nasi sekitar 700 (tujuh ratus) bungkus kepada supir-supir truk yang kelaparan sebab terjebak banjir. Mereka menganggap agama mereka adalah agama Adam, satu sama lain sedulur tidak boleh saling menyakiti.

Juga ada Mas Ihda yang diperjalankan lagi kesini dan menemukan arti dalam kehidupan alam rahim, sebab alhamdulillah istrinya juga sedang hamil. Berasal dari surga, melalui alam rahim kita dikeluarkan ke dunia. Bahkan pernah mendengar sebuah kalimat bahwa kita 99% pasti ke surga karena kita berasal dari sana, 1%nya tinggal mau atau tidak saja.

Kembali Mas Agus menambahkan tentang bergerak pada malam purnama. Hal ini berarti tentang motorik, namun selain itu juga psikisnya disentuh. Selain pergerakan fisikal namun juga tentang pergerakan perasaan. Seperti metode permainan di malam bulan pernama, anak-anak yang memiliki memori indah dalam kebersamaan dengan bermain bersama diharapkan akan merasa rindu untuk merasakan kebersamaan terus menerus, jika kerinduan ini dilatih sejak kecil maka akan terbawa terus sampai dewasa.

Syukur alhamdulillah dari Mas Agus atas kehamilan istri dari beberapa sedulur disini, Mas Hermanto, Mas Ihda, Mas Kasno, Mas Hajir, juga Mas Yud. Mas Agus membayangkan bahwa bayi-bayi yang baru lahir sesungguhnya membawa rembulannya masing-masing, namun tak jarang kita justru menjadi awan mendung yang menghalangi cahaya mereka. Kita memaksa anak untuk jadi pohon bayam padahal seharusnya menjadi pohon jati begitupun sebaliknya.

Diskusi dijeda dengan menu khas gunung yakni nasi jagung yang dinikmati bersama-sama sebagai kebiasaan dari Majlis Gugurgunung. Diskusi ditutup sekitar pukul 01.30 WIB. Masing-masing kembali dengan membawa apa yang didapatkannya, dengan harapan meningkatkan kadar cahaya rembulan yang ada di dalam hati masing-masing untuk diaplikasikan sebagai kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, sesuai dengan peran dan dolanannya masing-masing. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

Dhika Hendryawan

DOLANAN ING NJABA

Yo prakanca dolanan ing njaba

padhang mbulan padhangé kaya rina

rembulané kang ngawé-awé

ngélikaké aja turu soré-soré

 

Tembang dolanan di atas mungkin tak asing di telinga generasi yang lahir di tahun 90an ke bawah. Tembang dolanan Padhang Bulan yng ditulis oleh bapak R.C. Hardjasoebrata, adalah salah seorang komposer Karawitan Jawa pada era 1950 sampai 1970. Beliau lahir pada 1 Maret 1905, di Sentolo, Kulonprogo, DIY, dikenal sebagai guru, ahli seni tembang dan seni karawitan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Tembang ini sering dilagukan ketika bermain di luar rumah tatkala bulan purnama dengan riang gembira. Yang tentu dalam bermain tetap dalam naungan pengawasan kedua orang tua. Jika kita lihat dari metode pembelajaran dari tembang di atas. Maka dapat kita ambil satu gambaran pengajaran ke dalam ( internal learning ) dan pengajaran keluar ( eksternal learning ) dengan output perilaku sosial.

Dolanan = bermain dan bersanda gurau (kehidupan dunia)

Ing njobo : di luar. Setelah menempa dolanan internal (puasa) saatnya untuk bermain di luar : dolanan ing njobo. Dolanan, dalam bahasa Indonesia artinya : “Bermain” lalu bertaut dengan kata lainnya, seperti : mainan, main-main, dst. Kata-kata tersebut pada ranah anak-anak masih mempunyai kesamaan makna, yakni bersenda-gurau dan berinteraksi dengan riang. Fenomena bermain pada orang dewasa, justru mengalami distorsi makna sebab mulai dimasuki konsep baru seperti: kompetisi, tata aturan, manipulasi, taruhan, target, winner, loser, top scorer, best player, prestise, underdog, dan banyak lagi istilah-istilah yang makin membuat permainan terasa rumit dan njelimet.

Ketika terang bulan, anak-anak yang bermain terhimpun dalam satu nuansa kegembiraan, lahan lapang atau ruang yang relatif luas dipilih karena melibatkan banyak personal, dengan bermacam-macam karakter, dan macam-macam keunikannya. Keragaman yang sedemikian itu bisa tetap gembira bersama sebab mampu bersepakat dengan aturan main dari dolanan tersebut. Sebuah indikator, “ada nilai kasantikan” di situ, karena terbukti universal.

 

Puasa adalah Madrasah

Jika Puasa adalah lingkup pendidikan, maka pada buku-buku filsafat pendidikan, perkembangan peserta didik, dan buku buku lain yg banyak digunakan sebagai referensi pendidikan kita, secara umum mengenal istilah konsep “Taksonomi Bloom” yang ditulis oleh Benyamin Bloom, kurang lebih demikian; “Perkembangan Pendidikan pada peserta didik itu dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu : Aspek Kognitif, Aspek Afektif, Aspek Psikomotorik. Apa yang diuraikan bloom ini jauh-jauh hari telah diisyaratkan secara lebih kemperehensif di dalam Al Qur’an.

Salah satu Marja’ maiyah yakni Bapak Ahmad Fuad Effendi mengatakan dalam salah satu tulisannya yang berjudul ‘Ramadhan adalah Madrasah’ : “Tujuan pendidikan adalah terjadinya perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku sebagai produk dari pendidikan puasa itu dalam bahasa Al-Qur`an (Al-Baqarah: 183) dirumuskan dan dipadatkan dalam satu kata tattaqun (kalian bertakwa). Digunakannya verba tattaqun dan bukan nomina muttaqun menunjukkan bahwa takwa adalah sebuah proses yang dinamis dan tidak pernah berhenti sepanjang hidup. Ijazah lulusan madrasah Ramadhan tidak diberikan oleh lembaga apapun dalam secarik kertas atau gelar, tapi diberikan oleh masyarakat setelah melihat sikap dan tingkah lakunya”.

QS.Al-Baqarah: 183 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa“.

Masih dari Al Quran, ketiga aspek di atas bisa kita temukan pula dalam kalimat sbb:

QS.Al-Mulk: 23 Katakanlah: “Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati“. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.

Ataupun seperti kalimat : ‘tadzakaruun’, ‘tasykuruun’ sebagai aspek afektif. Kalimat : ‘tafakaruun’, ‘ta’qiluun’, sebagai aspek kognitif. Dan konsep bergerak  sebagai aspek psikomotorik yang temaktub dalam beberapa kalimat seperti :

QS.Ali-Imran: 137 “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.

Ada lagi kalimat yang sering kita dengar sebagai berikut : QS.Ar-Ra’d: 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri, dan masih banyak lagi.

Mari sejenak kita luangkan untuk keluar dari bilik penempaan kita masing-masing untuk bersama melingkar mengasyiki dolanan ing njaba. Silakan hadir di majlis gugurgunung dengan perasaan gembira, penuh sukacita, kita unduh bersama karunia waktu dan kesempatan dengan suasana riang untuk siap mengunduh bersama kucuran berkah yang Maha memberikan Pengajaran dan Hikmah.

MANAJEMEN BHINNEKA TUNGGAL IKA 3

Kemudian Master Zein, pada malam hari ini juga diminta untuk membagikan pengalaman beliau untuk bisa dipelajari bersama. Dimana sebutan Master untuk dirinya yang tertulis di poster merupakan sebuah tamparan untuk beliau. Seperti pada saat beliau merapat di Maiyah Kenduri Cinta, bahwa disana juga sudah dikenal dengan sebutan Master. Sedikit kisah beliau dipanggil dengan sebutan Master. Dahulu beliau adalah seorang penjual kacamata di sebuah optik milik beliau. Namun setelah mengetahui bahwa kacamata diproduksi bukan untuk membantu seseorang menyelesaikan masalah mata namun agar seseorang selalu tergantung pada produsen kacamata. Kemudian beliau berhenti, hingga tiba saatnya menjadi linglung tentang apa yang ingin dikerjakan. Namun guru beliau menganjurkan untuk tetap menekuni di bidang kesehatan, sebab di bidang itulah tetap memberikan manfaat untuk manusia. Akhirnya beliau mempelajari ilmu refleksi, akupunktur, herbalogi. Kemudian menemukan ilmu yang sangat beliau senang yakni ilmu tentang tulang belakang. Akhirnya beliau memutuskan untuk menekuni ilmu tentang tulang belakang, namun era 2005 belum ada universitas yang memberikan fakultas tersebut. Beliau menemukannya di Jerman namun terkendala biaya yang mencapai milyaran rupiah, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk mempelajarinya sendiri. Dimana akhirnya beliau menemukan buku berjudul yumeiho. Tiba pada 2006 hingga 2008 beliau belum menemukan guru yang bisa mengajarkannya. Master Zen mengunjungi penerbit di Jogja. Dari Jogja diberitahu untuk pergi ke Ambarawa, namun orang yang dijumpainya tidak memahami ilmu tersebut karena hanya menghantarkan naskah ke penerbit. Hingga disarankan untuk menemui salah seorang di Surabaya. Sesampai disana bertemu seorang penerjemah buku tersebut dimana buku tersebut sudah dipraktekkannya pada beberapa pasien dan hasilnya luar biasa. Namun orang tersebut ternyata juga hanya menerjemahkannya saja. Hingga disarankan untuk menemui seseorang di Bogor. Sama halnya dengan beberapa orang yang ditemui sebelumnya, namun orang tersebut memberi tahu bahwa dulu ada seminar dari luar yang mengajarkan ilmu tersebut di salah satu RS di Bogor. Kemudian Master Zen menuju ke Rumah sakit tersebut. Disana beliau bertemu dengan seorang dokter gigi yang mengikuti pelatihan tentang ilmu tulang belakang tersebut. Disana Master Zen mengatakan bisa mengobati pasien sakit gigi dan migrain dalam waktu 3 detik. Master Zen diminta untuk mempraktekan pada 7 pasien disana dan semua mengatakan langsung sembuh. Tak disangka justru para dokter disana ingin belajar kepada beliau hingga dipanggilah beliau dengan sebutan Master. Demikian sedikit kisah beliau dalam mencari ilmu, hingga mendapatkan sebutan Master.

Lanjut Master Zen tentang tulang belakang, yang disambungkan dengan kebhinekaan. Bahwa di dalam yang lembut ada yang keras, dan di dalam yang keras ada yang lembut dimana itu saling sinergi dan saling menjaga. Sejumlah 33 ruas, yang masing-masing memiliki sistem sendiri dan hal itu mengendalikan seluruh organ dan sendi tulang tubuh manusia yang berjumlah 360. Ilmu yang paling tinggi ialah ilmu nol. Seperti halnya 360 yakni kembali ke nol. Oleh karena itu dari Master Zen sendiri dan diteruskan pada murid-muridnya untuk ditegaskan bahwa kesembuhan bukan dari Zamatera, tetapi karena Allah sudah memberikan kesembuhan melalui cara apapun.

Di dalam Zamatera terdapat 17 gerakan. Disana ada angka 1 dan 7 yang berarti hanya satu yang kita tuju yaitu ahaddun. Bahkan setiap gerakan Zamatera terinspirasi dari gerakan sholat. Jika orang sehat solat secara berurutan ialah berdiri dahulu, lalu rukuk, sujud dst. Namun karena pasien Zamatera adalah orang yang sakit maka gerakan solat tadi diposisikan secara horizontal. Berdiri maka diganti dengan telentang. Kemudian angkat kedua kaki, menyerupai orang ruku. Kemudian menekuk kedua lutut menyerupai orang bersujud.

Kisah beliau menemukan gerakan mengobati sakit gigi dan migrain dalam 3 detik. Master Zen memiliki kebiasaan sholawatan setiap malam jumat. Suatu ketika, ada pasien yang datang pada malam jumat. Dengan sopan ditolak oleh beliau, namun pasien tersebut tetap menunggu. Hingga sepulang sholawatan yakni kisaran jam 12 malam, pasien tersebut masih menunggu Master Zen. Ditanya oleh Master Zen, tentang penyakitnya. Pasien tersebut mengatakan sudah sakit gigi selama 3bulan. Masih hangat di ingatan beliau saat tadi beliau sholawatan, beliau bermimpi berada di sebuah bioskop dan dipertontonkan gerakan mengobati orang sakit gigi dan migrain. Langsung dipraktekkan oleh Master Zen gerakan yang di ingatannya tersebut. Usai diterapi ternyata sembuh, namun pasien tersebut justru marah-marah. Jika pengobatannya hanya secepat itu mengapa tidak ditangani sebelum pergi tadi hingga tidak menunggu selama ini. Namun tanpa diketahui oleh pasien tersebut bahwa gerakan tersebut baru saja didapatkan beliau dari mimpinya di sela sholawatannya tadi. Terkait angka 17 tadi, Master Zen juga menyampaikan pemaknaan beliau tentang innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Dikatakan beliau rojiun disini diartikan dalam bentuk jamak, bukan tunggal. Maka dari diri yang terbagi ini nantinya dapat menjadi kembali dalam keadaan utuh.

Mas Agus kemudian memberikan sedikit tambahan informasi bahwa, dari pengalaman Master Zein didapatkan informasi yang sangat indah andaikan setiap manusia memposisikan diri seperti Master Zen berarti sama saja dengan Allah sendiri yang memberikan terapi pada setiap orang. Ada yang dengan persentuhan langsung ada pula yang tidak langsung disentuh. Yang langsung disentuh ialah tatkala si sakit mendapat sentuhan dari pihak yang meng-nol-kan dirinya, yang berkualitas pengabdian seperti halnya Mas Zein, bukan kualitas kedaulatan profesi. Sehingga meskipun seolah-olah tangan Mas Zaen yang bergerak, sesungguhnya Allah yang menggerakkan tanganNya melalui tangan Mas Zein. Jika kita mengelaborasi pengetahuan tersebut secara luas bahwa ternyata bukankah Allah juga mengobati, memberi makan, minum, berarti diri kita ini tidak pernah disia-siakanNya bahkan tanpa disadari setiap hari diberikan pengobatan gratis oleh Allah. Sebab antara sehat dan sakit lebih banyak kesempatan untuk sehat sementara sangat bisa untuk Allah memberikan kita sakit, tetapi justru kesehatan yang lebih banyak dilimpahkan untuk diri kita. Berarti Allah memberi pengobatan gratis secara terus menerus.

Sesi pertanyaan dari Mas Kiki perwakilan Karang taruna tentang seringnya berdebat masalah agama dengan temannya. Satu menggunakan pengetahuan umum, lainnya menggunakan pengetahuan agama. Direspon oleh Gus Aniq bahwa, inilah yang sering terjadi di masyarakat kita. Kerap kali mendikotomikan antara agama dan umum dimana hal tersebut sebenarnya adalah satu dan saling melengkapi. Seperti halnya orang berdagang, hal tersebut juga menggunakan pengetahuan umum juga termasuk dalam salah satu ibadah. Tidak perlu mendebatkan kebenaran, masih teringat pesan dari guru kita yakni Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib tentang kebenaran. Bahwasanya kebenaran itu letaknya di dapur, bukan yang disuguhkan di warung. Umum juga agama, agama juga adalah umum, semua itu adalah ibadah sebab kita semua adalah abdun.

Keterbatasan ruang dan waktu kali ini bukan berarti menjadi halangan untuk pertemuan di ruang dan waktu yang lain. Tema besar tahun ini di Majlis gugurgunung ialah Kasantikan, dengan sub tema malam hari ini ialah Manajemen Bhineka Tunggal Ika, meruwat dan merawat keanekaan. Dari segala perbedaan dapat kita harmoniskan dengan bahasa universal. Majlis dipungkasi dengan ditutup dengan pembacaan doa oleh Mas Aniq tepat pukul 12 malam. Sekian reportase kali ini, semoga apa yang tersampaikan di lokasi, apa yang tertuliskan disini dapat kita ambil manfaatnya untuk kita perankan sesuai peran yang sangat beragam asalkan kita memiliki satu tujuan yang sama.

 

 

Andhika Hendryawan