Mempuisikan Puasa Kehidupan

Back Story:

 

Gagasan tema Mempuisikan Puisi Kehidupan digulirkan di pawon gugur gunung pada 20 April. Persiapan gelaran dicicil sejak 21 April. Tema ini sebagai bentuk kecintaan kami kepada Mbah Umbu, yang laku kehidupannya adalah “Puasa”, yang kami anak cucunya pada lingkaran simpul Majlis Gugur Gunung juga mengenalnya sebagai “Puisi”.

 

Masing masing penggiat menunjuk diri atas potensi perannya. Mukadimah, poster, dan persiapan teknis lain segera diolah. Sehingga sebelum hari H kelar dan siap disajikan.

 

Pun kegiatan berkebun, yang sejak pandemi menjadi satu kesatuan rangkaian kegiatan dengan rutinan sinau bareng, juga kelar dirapel. Sehingga hari H, diharapkan bisa focus pada persiapan acara. Oh iya, sebagai informasi, kebun kami sedang kita tanami Semangka dan Melon, sebagai kelanjutan dari sinau Lombok, Kangkung, Bayam, Tomat, Pare, Terong, dan Kacang Panjang. Demikian ilustrasi progress terkini kegiatannya :

 

 

Magical Moment

 

Kegembiraan menyertai kami pada saat waktu berbuka puasa. Lewat group kami saling berkabar tentang persiapan acara, juga kabar lainnya, diantaranya berupa kabar gembira atas termuatnya 2 tulisan keluwarga gugur gunung pada “Wisdom Of Maiyah”. Yang juga kami sepakati sebagai wadah interaksi kami dengan Mbah Nun. 2 tulisan dengan nomor 117 (Pray, Bless, and Sanctuary), dan nomor 118 (Buah Pencarian). Sungguh hadiah yang indah. Kahanan kian meruang puitik.

 

 

Kami datang di lokasi acara hampir bersamaan. Paras Rembulan yang hampir bulat, taburan bintang gemintang pada bentangan langit Ramadhan, suara suara binatang malam, serta kesiur angin dari puncak Gunung Munggut yang beraroma hutan khas musim kemarau, seolah mengkonfirmasi kehadiran. Kelasa digelar, jajanan ditata, kopi diseduh, alam alaman sebentar, lalu acara dimulai. Acara dibuka oleh mas Kasno, Tawasulan oleh Mas Agus, Wirid Munajat Sholawat oleh Pak Tri, dilantunkan bersama segenap yang hadir. Pak Tri mandeg tak berkata kata saat mahalul qiyam, memberi kode dengan gerakan tangan dan kerdipan mripat. Ya sudah langsung disawut oleh mas Kasno, terjadi salah nada di sana-sini. Gayeng dan mengharukan. Berlanjut khusuk, khidmat, dan hangat, hingga akhir.

 

Mukadimah dibacakan dan disimak bareng bareng. Lalu direspon oleh semua yang hadir. Diskusi khas gugur-gunungan, seluruh yang hadir dipersilahkan memberikan pandangan terhadap tema. Masing masing secara bergantian berkisah tentang perjalanan hidup. Mengalir, asik, dinamis, dan sangat menarik. Dari perjalanan hidup tersebut banyak ditemukan momentum puasa, baik pada polaritas susah-senang, baik buruk, suka duka, dan seterusnya. Masing masing menemukan keindahan kisah yang jangkep, yang kemudian kami sepakati sebagai Puisi.

 

Oh iya, rutinan kali ini juga dihadiri oleh seorang pemuda dari Jakarta. Mas Ezra namanya. Mahasiswa semester akhir yang sengaja ke Semarang untuk merampungkan skripsi. Salah satu tempat yang disinggahinya untuk beberapa waktu adalah rumah Mas Agus, Ungaran. Langsung gandrung sama suasana pegunungan dan perkebunan yang sedang digarap dulur dulur gugur gunung. Seperti menemukan angin yang mungkin tidak seperti ” angin di Jakarta”. Padanya, dalam sinau bareng tersebut, pemandu diskusi mencoba menanyakan tentang Puasa pada ajaran Nasrani, yaitu ajaran yang dianutnya. Dan responnya :  “Mana ada kehidupan yang tidak ada puasa di dalamnya”. Sungguh jawaban yang sangat santika, sangat universal, dan clear. (Semoga Mas Ezra adalah Nasrani yang Nasrullah, doaku).

 

Jadi ingat tulisan Mbah Nun, ” Bahkan Tuhan pun berpuasa”.

 

Jam 00:30. Batas yang juga harus kami pahami untuk memungkasi acara, meskipun gairah masih terus ingin. Dan kesemuanya pun sepakat. Acara dipungkasi dengan Doa, atau tepatnya dengan Puisi Mbah Umbu yang berjudul “Doa”, yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri, dengan teknik membuka rekaman Audio Puisi tersebut dengan disalurkan ke pengeras suara. Kami menyimak dengan hening, lalu mengamininya. Kemudian kami bersama sama berdo’a secara khusus untuk Mbah Umbu. Al Faatihah…

 

 

Reportase Lengkap

 

Pada Sabtu terakhir di bulan April tepatnya 25 April 2021. Merupakan Sinau Bareng yang dilakukan kedua kalinya di tahun 2021 ini oleh Majlis Gugurgunung. Walaupun isu pandemi semakin di naikkan lagi karena mendekati lebaran pada tahun ini, namun itu semua tidak mengurangi keteguhan kami untuk mengadakan acara pada malam hari itu yang bertepatan pada bulan puasa tahun ini yang sudah menginjak hampir setengah bulan pelaksanaan ibadah puasa. Tidak lupa kami selalu mengutamakan dan selalu mematuhi protokol kesehatan yang ada.

 

Bismillahirohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan suka cita dan mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan Sinau Bareng untuk kedua kalinya dan puji syukur bahwasannya kami masih diberi kesempatan untuk mengadakan perhelatan ini lagi di tempat yang sama seperti Sinau Bareng bulan lalu tepatnya bertempat di komplek makan Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari. Tema workshop malam hari ini adalah “Mempuisikan Puasa Kehidupan”. Alhamdullilah pada malam hari ini dihadiri oleh mas Padma yang sebelumnya tidak dapat hadir dan dihadiri pula oleh Mas Ezra yang datang jauh dari Jakarta. Kemudian acara dimulai dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

 

 

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 21.00 dengan bacaan Basmallah kemudian pembacaan Mukadimah tepat acara kami dibersamai oleh rintik hujan yang semakin menambah hawa kesejukan pada malam hari itu serta rahmat dan syukur. Sebelum memulai sesi tanggapan Mas Agus memberikan kesempatan pada sedulur untuk memberikan waktu pada tembakau untuk berkata-kata terlebih dahulu maka disulutlah api pada sebatang lintingan yang begitu semerbak nikmatnya sambil menunggu para sedulur untuk menggali soal tanggapan terhadap topik Sinau Bareng pada malam hari itu.

 

 

SESI 1-

Sebagai pemantik Mas Agus membuka diskusi itu dengan meng-kloso-ni bahwasanya kita itu menjajaki tahapan-tahapan bait, dimana bait itu utuhnya diawali dari sejak kita lahir hingga kita pulang di sisi-Nya itulah kumpulan bait dalam sebuah puisi. Jadi tidak berhenti hanya menjadi satu fase, tetapi semua kehidupan yang telah kita jalani dari sejak lahir hingga mati adalah satu bait puisi. Puisi itu tak harus panjang tetapi makna dari puisi tersebut dapat menjelma sebagai buku tebal apabila diurai secara meluas dan mendalam, sebagaimana hidup yang pendek. Tak harus panjang, namun apakah pada yang pendek itu puisi kita penuh arti atau hanya deretan bait kata tanpa makna. Hidup di dunia sebenarnya singkat tetapi semua terasa lama karena adanya ilusi waktu. Kita bebas torehkan pada yang singkat itu sebagai puisi, atau sebagai tulisan lain, karena kita adalah pena penulis kehidupan. Setiap pilihan masing masing orang berbeda mau menulis novel, prosa, puisi, cerpen atau bahkan hanya sekedar status medsos itu terserah pada pribadinya sendiri. Tetapi kita harus menyadari seberapa jangkauan kita, kalau kita mampu untuk berpuisi namun hanya gemar menulis celotehan konyol maka disitulah letak degradasi. Sebab kita hidup berkeluarga dengan syair, terkepung puisi dan sastra. Alam, tumbuhan, tanah dsb mereka juga berpuisi. Salah satu nilai plus pada suatu karya puisi itu, bilamana di dalamnya terdapat banyak lipatan-lipatan atau polemic. Sama halnya seperti pada Keris yang berkeluk, ada seninya. Halnya dengan hidup kita, bila hanya cuma lajur lurus saja maka hidup kita akan terasa membosankan atau datar. Hidup berada dalam satu garis, pada garis itu ada kala diatas kadang juga dibawah. Tetapi titik hubung dari awal dan titik akhir tak berubah koordinatnya. Tetap fokus sehingga gelombang naik turun itu keluk lekuk kehidupan yang nyeni. Hidup akan runyam jika titik akhir berubah-ubah. Bentuk garis hidup menjadi tidak jelas. Batal menjadi keris sebab malah melingkar-lingkar seperti per tapi bukan per. Maka kita harus memiliki tujuan fokus itu kepada siapakah kelas kita akan persembahkan puisi itu, hanyalah kepada-Nya.

 

 

Tak lama kemudian Mas Nardi merespon pantikan tersebut, dia mencoba untuk menerjemahkan judl tema Sinau Bareng edisi April 2021 ini. Ada tiga kata: “mempuisikan” ,”puisi, “kehidupan”, semua itu saling terikat dan menjadi satu makna, untuk “mempuisikan” sendiri adalah kata kerja, “puisi” tersebut adalah kata makna yang dirangkum menjadi indah, membuat makna lebih tajam, puasa sendiri itu sebenarnya kita bisa atau mampu untuk makan dan minum, tapi kita harus menundanya hingga batas waktu itu selesai atau menggantinya dengan hal yang telah ditetapkan, memperindah keindahan yang ada di kehidupan dunia, seperti contoh kita itu puasa saja sudah indah apalagi kita meluangkan waktu dengan sedikit kebaikan maka itu akan semakin memperindah puasa itu. Segala sesuatu yang bersifat duniawi kita pending dahulu lantas menggantinya dengan hal lain yang dapat semakin memperindah bersifat ukhrowi. Meskipun yang bersifat duniawi ataupun ukhrowi ini sama-sama dilakukan dengan perbuatan dunia, namun orientasi, tujuan, kegairahan, serta sikap bathin yang disiapkan sangat berbeda. Mas Kasno merespon pengamatan dan pendapat mas Nardi sebagai suguhan bait yang memperkaya makna Mempuisikan Puasa Kehidupan. Mas Kasno sangat mengapresiasi pandangan mas Nardi ini, salah satu yang digaris-bawahi adalah tentang kemampuan menunggu ‘buka’ pada saat yang tepat, meskipun kalau mau buru-buru makan juga bisa sejak pagi atau siang, hanya saja bobot kenikmatan duniawi tak bisa benar-benar menggapai kenikmatan ukhrowi. Sebab yang satu (duniawi) dengan menurutkan keinginan dengan mengabaikan kesabaran, rasa syukur, dan keteguhan hati, sedangkan yang satu (ukhrowi) dengan menguntai sabar, syukur, dan keteguhan.

 

 

Berlanjut kepada mas Fidhoh tentang respon pada topik malam hari ini, di dalam responnya  bahwasannya dahulu ketika masih kecil mendapatkan nasihat oleh mendiang ayahnya “ jangan pernah engkau torehkan tinta merah di lembaran kehidupanmu”, lalu timbulah pertanyaan lalu kalau toh kita sebagai pena penoreh tinta tersebut, apakah kita harus meniadakan keberadaan tinta merah tersebut, memilih untuk tidak menyentuhnya bahkan melupakannya, lantas dalam lukisan saja kita memerlukan warna tersebut, disini Fidhoh mengibaratkan bahwa tinta merah tersebut adalah sebuah keburukan.

 

 

Berlanjut pada tanggapan berikutnya Pak Tri, belia mencoba untuk menceritakan dan mengutarakan yang pernah beliau alami dalam kehidupan dahulu. Perjalanan hidup Pak Tri begitu puitis sekali. Sepanjang dari SD sampai SMA rapor tidak begitu dipedulikan oleh orang tua bila bahkan terdapat tinta merah. Juga ketika mendapat nilai agama yang jelek gara-gara tak mau mengarang kegiatan yang tidak ada di kampungnya. Seperti halnya kultum yang tidak selalu ada, teman-temannya kompak membuat karangan agar kolom tugas terisi. Awalnya dia melakukan hal yang sama, namun pada tahun berikutnya ia berpendapat bahwa kegiatan ramadhan itu seharusnya membuat manusia lebih jujur dan berani bertanggung-jawab. Sehingga ia tak lagi mau mengarang, meskipun dianggap pemalas dan mendapat nilai yang rendah. Lain halnya saya kuliah, pada suatu semester beliau mendapat IP 3.6 dan merasa sangat bangga. Ibunya yang sejak SD nggak pernah menanyakan nilai, kebetulan menanyakan nilai pada hari itu. Tentu saja dengan sumringah dan penuh kebanggaan, Pak Tri menjawab nilai 3.6. Yang terjadi sungguh tak seindah harapan, karena sang ibu merasa tanpak sedih, terpukul dan menangis. Bukan hanya itu, dalam beberapa hari Pak Tri didiamkan, tidak diajak bicara oleh ibunya. Untunglah ada Bapak yang bisa dituju unyuk menjelaskan kronologi kejadian dan sistem penilaian di kampus. Bapak beliau bisa mengerti dan memberi nasehat “bapak tidak bisa memberikan kamu apa-apa, yang bisa bapak upayakan adalah memberikan kamu kesempatan. Jadi selama masih ada kesempatan, gunakanlah sebaik mungkin agar kamu tidak menyesal”. Pak Tri merasa disitulah seninya kehidupan dimana setiap peristiwa mengandung syair-syair puitik. Begitupun saat beliau melaksanakan perhelatan pernikahan, beliau merasa tidak ambil pusing pada persiapan akad nikah itu, beliau pasrahkan segala sesuatunya pada kehendak Tuhan, pada akhirnya semua berlangsung begitu lancar dan indah bilamana kita selalu mempasrahkan semua pada kehendak-Nya, lebih baik kita coba untuk mengukir puisi kehidupan itu dan kita pasrahkan semua pada kehadhirat-Nya agar berkesesuaian dan menimbulkan keindahan, berkah itu juga berasal saat kita tidak mengetahui sesuatu, saat kita tahu banyak kadang disitulah muncul kekhawatiran. Mas Kasno menceritakan bahwasannya kita sering mendengar cerita berulang tentang pernikahan Pak Tri, namun kita tak pernah bosan dan merasa cerita itu amat menarik maka disitulah dapat diambil kesimpulan bahwasannnya puisi adalah kata-kata yang dapat mengalir.

 

 

Berlanjut berikutnya pada tanggapan Mas Ezra, bahwasannya memaknai “mempuisikan puisi kehidupan”, sebenarnya belum pernah mengetahui secara pasti apa makna puisi dalam ranah edukasi, namun di kepala ia berpendapat bahwa puisi ialah ekspresi jiwa yang kuat, ketika jiwa itu berekspresi maka akan mengalami kedinamisan sosial sebagai pengalaman pribadi terhadap obyek yang ada ataupun tidak. Pengalaman tersebut membentuk jiwanya, ketika jiwanya terbentuk dia semakin pandai membawakan diri secara ekspresif sehingga berbentuk puisi. Sebab ia begitu menjiwainya maka timbulah ekspresi yang tidak terbendung dan mengakui betapa indahnya puisi kehidupan ini. Kalau untuk puasa sebenarnya adalah penahanan terhadap segala sesuatu yang tidak pakem, seperti menahan untuk tidak berfikir negatif pada orang lain, menahan untuk melakukan hal yang dianggap menimbulkan kemudharotan dsb. Bagaimana hati itu menahan sementara waktu dan ajaibnya ketika puasa ternyata dalam pengalaman pribadi kita secara dinamis ternyata ada hal yang harus kita tahan serta itu saling bersangkut-paut, dalam pengalaman pribadi tidak ada yang tidak puasa. Mas Kasno langsung merespon tanggapan mas Ezra, bahwasannya mendapat satu list lagi tentang topik malam itu, bahwa puisi adalah ekspresi jiwa dari sebuah perjalanan kehidupan dan saat disampaikan dengan penuh penjiwaan otomatis menjadi bahasa universal, karena yang merespons adalah jiwa sehingga juga tersampaikan kepada jiwa. Selain itu hal menarik lagi adalah puasa dapat ditarik sebuah ke universalan yang menarik yaitu “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa”.

 

 

Berlanjut kepada Mas Koko, sebenarnya apa yang sudah disampaikan termasuk seperti yang ingin mas Koko sampaikan. Puisi kehidupan adalah lebih ke bahasa yang sering digunakan oleh banyak orang, baik untuk status medsos ataupun caption yaitu “Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan”, dan sepaham dengan tanggapan Mas Ezra “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa” kalau dilihat dari tema ramadhan ini, puasa pasti didefinisikan sebagai menahan lapar dan haus dan juga menahan emosi, tetapi dalam kehidupan itu puasa maknanya lebih luas lagi. Pada saat umur muda bahwa seringkali orang pandai merangkai kata entah merayu lawan jenis atau apalah itu tetapi ketika menginjak usia diatas 25an, lebih suka mengekspresikannya ke dalam sebuah bentuk menata diri pada bukan lagi hanya perkataan saja, melainkan perbuatan. Sehingga dorongannya adalah juga melakukan keindahan sebagaimana kata indah yang dulu gemar ia tulis. Melakukan dengan seindah dan sepuitis jangkauannya menoreh puisi. Mas Kasno merespon bahwasannya puisi itu dinamis seperti perjalanan hidup masing masing manusia yang pernah dialami, seindah apapun kata-kata yang dirangkai kalau kita belum melakukan yang kita sampaikan, mungkin yang menerima juga tidak merasa match atau klop atau cocok.

 

 

Berikutnya tiba giliran mas Padma, untuk memaknai topik malam itu, beliau mencoba bercerita tentang segala sesuatu yang dirasa tidak dapat dilaksanakan selama ini, dengan adanya tema ini sampai tidak ada yang bisa diungkapkan lagi, bahwasannya begitu indahnya bisa membersamai lagi dalam ikatan lingkaran segitiga cinta keluarga Majlis Gugurgunung ini. Mas Kasno merespon apa yang disampaikan Mas Padma bahwasannya kita tidak pernah menolak kedatangan siapapun dan juga tidak pernah menahan kepergian sedulur yang sedang menjalankan titah kegiatanntya yang lain. Sebab otomatis wirid gugurgunung yang selalu dibacakan akan selalu menjadi do’a yang menyertai kepergian sedulur yang sedang dalam proses pengembaraan di tempat lain sehingga kembali kesini membawa oleh-oleh kebaikan dari pengembaraan tersebut.

 

 

SESI 2-

Mas Kas sebagai selaku moderator, memberikan mic kepada Mas Agus untuk menanggapi apa yang sudah disampaikan para sedulur sebelumnya. Bahwasannya apa yang disampaikan para sedulur sudah mencicil apa yang akan disampaikan Mas Agus  dan  ternyata ungkapan dari perespon terakhir adalah Gong dari renteng puisi-puisi indah yang telah disampaikan. Bahwasannya ada sebuah ketulusan dan estetika, pemilihan bahasa Jawa krama halus adalah indikatornya. Meskipun ada salah satu audience kurang mengerti itu, tetapi dia tetap menghadirkan bahasa tersebut dengan alasan keindahan yang mungkin hanya bisa terwakili melalui susunan krama inggil, itu adalah sebuah puisi paling indah, bahasa yang penuh kedinamikaan, penuh kesantunan, penuh dengan pungtuasi dlsb. Itu pula yang disampaikan alam sekitar, ia bersyair dengan bahas yang tak mampu langsung kita pahami. Kita perlu watah pujangga untuk memaknai segala jenis syair, sehingga kita menjadi pihak yang kian terdewasakan melalui perkataan kehidupan yang tulus dan estetis.

 

 

Misal tadi Mas Nardi memberikan sorotan terhadap topik malam hari ini kemudian diuraikan sedemikian rupa, jadi ada satu kesimpulan yang ditarik, yakni mengindahkan pengendalian hidup di dunia, ini adalah tarikan sederhana tetapi jitu sebab dunia itu pasti ada dua kubu, sehingga ada polaritas. Ada tinggi dan rendah, ada kanan dan kiri dlsb, kalau kita memaknai indah hanya pada satu sisi berarti dapat dikatakan belum mencapai keindahan, keindahannya baru separuh. Kita memaknai kenyang saja sebagai rahmat dan melupakan lapar sama saja keindahan masih separuh, yang padahal lapar juga Rahmat Tuhan. Tanpa rasa lapar maka kita tidak akan bisa menikmati makanan itu, sama halnya seperti proses, proses itu sudah merupakan kenikmatan luar biasa, hasil dari proses itu juga kenikmatan yang berlapis ganda. Kita sering mengasumsikan kesempitan adalah hal yang tidak mengenakkan dan keluasan itu adalah kelapangan. Tiap-tiap kita pasti pernah mengalami suasana sempit, sesak, namun kita didera kesempitan itu untuk untuk mendaya gunakan keluasan cinta yang intim dan mesra, jika tak bisa mendayagunakan cinta dalam kesempitan, akankah ada peluang lebih baik jika kita dihadapkan pada keluasan, luapan kegembiraan? malah kita akan cenderung lalai, abai, dan kehilangan kewaspadaan diri.

 

 

Kita itu diberi ungkapan-ungkapan yang memang disembunyikan, persis seperti puisi bahwasannya tidak harafiah, seperti separuh jiwa, separuh hatiku, padahal kalau digambarkan itu tidak akan kelihatan indah malah menjadi menakutkan, itu semua menjadi indah karena kita semua memilik kemampuan berpuisi punya watak pujangga, begitupun Allah melimpahkan bahasa-bahasa pada kita yang seolah mengandung cacat, kadang kurang kadang lebih. Dikurangkan dan dilebihkan pada titik tertentu agar kita bisa berimbang.

 

Tak jarang Tuhan memberi pancingan berupa ujian pada kita untuk memantau apakah serpihan  Asma dan Sifat-Nya masih terjaga pada fitrahnya. Masihkah titipan-Nya berfungsi pada diri seseorang. Diuji dengan kebencian apakah benih Rahman Rahim masih terkandung. Diuji dengan kemarahan apakah masih berfungsi benih Sabar yang dititipkan-Nya. Jika benih-benih masih berfungsi berarti akan ditumbuhkan lagi agar makin intens, agar kita semakin tetap berada dalam ketetapan-Nya. Kalau semua itu masih ada berarti kita masih terkoneksi dengan apa-apa yang berada di luar dari diri kita, semua yang berada di luar itu tetap, seperti tanah tidak akan berjoget seperti api, begitupun api tidak akan meliuk mengalir ke bawah seperti air, mereka berpuisi secara tetap. Karena kita makhluk dinamis, kita membuat ketetapan itu dengan cara dinamis bukan dengan cara statis, yakni tumbuh dan beraktifitas sesuai fitrahnya, sesuai benihnya. Kalau diberi benih lombok maka tumbuhlah lombok jangan tumbuh sebagai pare dlsb, itulah cara kita untuk mengkhidmadi kehidupan. Kalau dikasih benih tomat ya sudah cukup jadi tomat yang bener, nggak perlu tumbuh sebagai tongseng.

 

 

Berlanjut pada pertanyaan Fidhoh soal nasehat mendiang ayahnya sewaktu kecil, soal jangan menorehkan tinta merah pada kehidupan, itu merupakan nasehat yang baik sekali,  soal tinta merah itu buruk atau tidak, di sekolah tinta merah itu melambangkan nilai yang dibawah standart, sehingga maksud nasihat ini agar engkau tidak jemblok di kehidupanmu. Tapi kita memiliki pemahaman yang berkembang untuk memahami makna warna merah, yaitu jalur merah atau Shirothut Talbis (jalur pengelabuan & muslihat) yang jangan kita tempuh. Tetapi jalur merah itu memang harus ada, karena itu unsur yang membantu proses pertumbuhan jiwa manusia menjadi yang lebih dewasa. Kita sendiri dianjurkan oleh para Nabi dan Rasul untuk meniti perjalanan pada jalur biru atau Shirothun Nubuwwah. Kepada jalur merah kita boleh mengenali dan memahami untuk menjadi alat kewaspadaan diri. Sedangkan kepada jalur biru harus dipahami dan ditempuh untuk menjadi jalan mustaqim.

 

 

Berlanjut kepada Pak Tri, dari semua pengalaman hidup dan kelucuan-kelucuan yang pernah dialami, itulah tanda bahwa adegan itu bisa akan terjadi dengan sempurna tanpa kita membikin skenarionya, kita tinggal melakukannya, sudah ada yang membuat skenarionya itu semua, dan kadang kita akan terperangah sendiri karena tak menyangka bahwa semua adegan berlangsung seindah itu. Yang dapat kita tarik, puisi itu akan menjadi indah ketika kita mau mengikuti alurnya Tuhan, kalau kita masih merasa pandai dan merada mampu memikirkan alur hanya sesuai pikiran kita sendiri, maka puisi itu akan menjadi kurang indah, karena ada unsur yang kita paksakan untuk ada, ada unsur yang kita hilangkan yang justru seharusnya ada. Puisi hidup kita berkata dengan masygul, menjadi kurang indah, karena kita masih belum ridho untuk pasrah sehingga merasa patur mengintervensi puisinya Allah atas hidup kita. Maka dari itu sebelum memaknai cara untuk memurnikan kembali rohani jiwa dlsb, memang diperlukan kemampuan memilih dan memilah, memang diperlukan kemampuan untuk mengenali porsi, memang kita harus mampu memahami pola-pola itu dari pengalaman-pengalaman kita alami sendiri.

 

 

Kemudian bersambung ke Mas Koko dimana rangkaian dari yang telah apa yang disampaikan itu adalah hadiah-hadiah, hidangan-hidangan, keindahan-keindahan, ada irama, tekanan, pekikan dslb, itu semua menjadi hadiah yang begitu indah, karena kedewasaanlah yang akan mengatakan bahwa semua itu adalah kenikmatan, kita tak serta merta memahami semua itu sebagai keindahan karena kita harus melalui tahap atau tingkatan-tingkatan dahulu, semua itu karena adanya ekspresi jiwa, ekspresinya jiwa itu tidak tunduk pada ekspresinya jasad, ekspresi jasad itu berupa panca indera, tetapi dengan adanya ekspresi jiwa maka akan menlengkapi panca indera itu untuk menjadi kembang-kembang yang lebih matang di dalam kehidupan, sehingga dari kembang berkembang menjadi buah, soalnya kalau hanya berhenti sampai kembang maka puncaknya hanya layu. Melalui buah-lah yang lebih memungkinkan terjadinya keberlangsungan kehidupan lagi melalui biji di dalam buah. Kenikmatan bertingkat dan berlapis seperti ini hanya akan  bisa kita kenali jika jiwa kita selalu membuka diri untuk senantiasa berekspresi, ini juga berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Ezra bahwa tidak ada satupun di kehidupan ini yang tidak berpuasa, semua berpuasa, karena kalau tanpa berpuasa, sesungguhnya manusialah yang tidak kebagian tempat. Manusia akan lantak dan rantas berhadapan dengan air, angin, tanah, dan api, yang mereka pernah menampilkan kedasyatannya untuk menggulung kepongahan manusia.

 

 

Berlanjut akhirnya pada Mas Kas sebagai moderator juga menanggapi topik malam hari ini, bahwa puasa itu pasangan nya adalah idul fitri yang berasal dari kata fitrah (fathoro), kalau kita sudah berhasil menjalani puasa satu bulan penuh maka kita kembali ke fitrah, wah hanya sebulan saja kita bisa kembali lagi, enak sekali. Tapi Wallahua’lam, sebab diamati ada hal yang menarik sebelum menuju ke perhelatan tema ini. Beberapa hari sebelumnya, mas Kasno mendapat mimpi dan diberi nasehat tentang makna berpuasa. Dimana dalam mimpinya dikatakan bahwa guna puasa itu untuk agar mempertajam kembali sensitivitas panca indera. Nyatanya memang demikia, yang kemarin es teh biasa saja kopi yg hanya begitu saja sekarang menjadi begitu enak, bahkan aromanya saja hadir lebih wangi dari biasanya bahwasannya ternyata puasa bisa mereset kita kembali ke keadaan semula, bukan hanya jasmani tetapi rohani juga.

 

 

Akhirnya tepat jam 00.03 batas yang juga kami pahami untuk memungkasi acara meskipun, gairah masih terus ingin berlanjut dan kesemuanya pun sepakat, acara dipungkasi dengan Doa , atau tepatnya dengan puisi Mbah Umbu yang berjudul Doa yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri dengan teknik membuka rekaman audio puisi tersebut disalurkan ke pengeras suara, kami menyimak dengan hening lalu mengamininya. Kemudian kami berdoa secara khusus untuk Mbah Umbu. Alfatihah….

 

 

 

Reported by Kasno, Fidhoh Akmal

 

Mempuisikan puasa kehidupan

 

Hidup penuh hidangan, tidak semua yang bergizi tampil dengan menarik justru yang tidak bergizi sering tampil menarik. Ilmu puasa diperlukan untuk memilih dan memilah. Sehingga tiap-tiap waktu adalah pengendalian, kewaspadaan memilih, kecermatan memilah, maka konsep puasa telah diterapkan.

 

Berpuasa itu bukan fenomena kekurangan namun mengurangi. Bukan fenomena kemiskinan namun mencukupkan. Bukan fenomena menahan diri tapi mengenal porsi. Puasa juga mau memilih hal-hal tidak menarik sebab tahu bahwa itu bergizi. Pilihan tersebut menguntai. Betapa indahnya sehingga melantun sebagai bait-bait syair yang penuh makna dan pendalaman.

 

Romadhon adalah puasa wajib namun kewajiban berpuasa bisa diberlakukan selain romadhon. Sebagaimana kita selalu mengidamkan hidup dalam keseimbangan dan terkendali tidak hanya dalam satu bulan, melainkan sepanjang tahun bahkan sepanjang kehidupan.

 

Mari kita berpuisi di tengah bulan puasa ini, dimana bait-baitnya adalah perilaku, syairnya adalah cinta, lekuk dan pekikannya adalah jelmaan keindahan yang ngejawantah dalam kata dan saling menjaga. Sebab waktu berkata, angin berkata, laut berkata, langit berkata, mata kita berkata, lapar kita berkata, nikmat kita berkata, sedih kita berkata. Bahasanya berbeda, tapi caranya sama saja: bersyair.

 

Keluarga gugurgunung kembali menghelat Sinau Bareng bulan inin, berkenan menghadiri?
Monggo sugeng rawuh sugeng piranak.

MENCARI DEWAN SEPUH

Pertemuan rutin Maiyahan di Majlis Gugurgunung pada bulan Juli jatuh pada tanggal 28 Juli 2018. Sebuah acara yang biasa digelar setiap bulan pada malam minggu terakhir.

Namun ada suasana yang nampak berbeda pada malam itu dengan mempergunakan tempat berkumpul yang baru, yakni di kediaman Mas Mundari (Salah seorang penggiat di Simpul Maiyah Gugurgunung) di daerah Ngempon, Ungaran, Kabupaten Semarang.

Selain itu dibahagiai pula dengan kerelaan dari Master Zain dari Zamatera beserta sejumlah hampir 20an orang Trainer Therapis Zamatera, yang bersedia untuk memberikan terapi Zamatera gratis pada semua sedulur yang hadir pada malam itu. Dimana malam itu dibersamai pula oleh beberapa perwakilan sedulur simpul Maiyah se-nusantara. Tercatat ada sedulur Maiyah dari Majlis Masuisani Bali, Damar Kedhaton Gresik, Majlis Alternatif Jepara, Suluk Surakartan Solo, Penggiat Muda Pertanian dan Peternakan Jogja, Kalijagan Demak, Semak Kudus, Gambang Syafaat Semarang dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu, karena disini bukan tentang perayaan nama namun perayaan cinta.

Waktu telah menunjukkan pukul 19.40 WIB. Sesi pertama diisi langsung oleh Zamatera. Gelaran karpet dalam ruangan telah dikosongkan, hanya disisakan barisan bantal dan guling di bagian tengahnya saja. Para therapis yang sudah siap di posisinya masing-masing mempersilahkan kepada sedulur-sedulur untuk berbaring, dengan letak yang berselang-seling. Satu demi satu gerakan terapi diperagakan, bebarengan pula dengan respon yang berbeda ditunjukkan pada setiap orang. Sedikit tegang sampai meringis menahan sakit mewarnai tampilan ekspresi tersebut. Kisaran 5-10 menit waktu terapi untuk tiap orangnya. Masing-masing bergantian untuk merasakan Zamatera. Segar dan sumringah usai diterapi ditambah pula kopi hangat juga wedang serbat yang disediakan, seakan membawa diri untuk bersiap memasuki sesi kedua yakni sesi diskusi.

Therapi Zamatera kepada perwakilan sedulur simpul Maiyah oleh tim Zamatera

Kisaran pukul 21.30 WIB, Mas Kasno selaku pembawa acara malam hari ini mempersilahkan semua yang hadir untuk menempatkan diri dan segera memulai sesi kedua. Dibuka dengan pembacaan Al-Fatihah bersama-sama, kemudian dilanjutkan oleh Mas Tyo dengan do’a Tawasul dan Wirid Gugurgunung, serta Mas Jion membacakan Munajat Maiyah.

Tema Gugurgunung yang diangkat malam hari ini ialah, Mencari Dewan Sepuh. Mas Kasno sebagai tim dapur tema membacakan mukadimmah untuk disimak bersama.

Selain Mas Kasno, Mas Ali Fatkhan malam hari ini juga diminta untuk menjadi moderator. Sedikit preambule dari Mas Kasno, yakni tema ini muncul dengan landasan sedikit mentadabburi apa yang telah disampaikan oleh Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib beberapa waktu lalu. Meskipun jama’ah Majlis Gugurgunung masih terhitung muda-muda namun mencoba memberanikan diri untuk mentadabburi apa yang disampaikan oleh beliau tersebut.

Mas Ali menambahkan dengan turut meminta dari tiap perwakilan simpul untuk memberikan urun rembug yang kemudian bisa dielaborasi dengan penegasan-penegasan baik oleh Mas Agus, Master Zain, juga Mas Rizky selaku koordinator simpul region 3 (Jawa Tengah).

Pertama dari perwakilan Majlis Alternatif, yakni Mas Kaffi yang mengucapkan terima kasih kepada Pak Zain atas pemberian terapinya, dan semoga bermanfaat banyak terhadap istrinya, kelakar Mas Kaffi sambil tertawa, untuk mencairkan suasana. Menanggapi tema, kemudian diteruskan dengan kisahnya ketika di Maiyah Kalijagan. Dimana waktu itu dihadiri oleh Pak As’ad dari simpul Suluk Surakartan yang kebetulan malam itu masih dalam perjalanan menuju ke gugugunung. Beliau mengatakan bahwa selalu mencurigai atas sebuah kondisi atau peristiwa. Dimana membuat mas Kaffi memikirkan jangan-jangan untuk mencari dewan sepuh barangkali harus dicurigai terlebih dahulu dalam setiap peristiwanya. Satu kata kunci pemantik yang bisa diambil disini ialah mulailah curiga namun bukan dalam pemaknaan negatif.

Mas Kaffi, salah seorang perwakilan dari Majlis Alternatif sedang merespon tema dan suasana

Tua dan Mutu Takwa

Mas Aris Syahbana (salah seorang sedulur dari Kudus) kemudian juga diminta untuk urun rembug. Mas Aris mengatakan bahwa beliau merupakan salah satu penggemar Mbah Nun. Ucapan terima kasih juga Mas Aris haturkan pada Pak Zain, dimana diamati olehnya ada 17 gerakan terapi, dan berpendapat bahwa kenikmatan berawal dari ketegangan.

Kemudian beliau mengingat kisah tentang kisah Raden Mas Panji Sosrokartono, yang juga seorang ahli pengobatan. Dalam pada itu, alangkah baik menurutnya untuk nguri-uri impian Mbah Sosrokartono dan digunakan rajah beliau yakni Sang Alif. Sedikit menceritakan kisah, dahulu Mbah Sosrokartono mengajarkan beberapa hal. Pertama ialah menekankan ketuhanan dengan simbol rajah yang paling utama beliau adalah Alif, bahwasanya Allah Maha Esa. Selain ahli pengobatan, Mbah Sosrokartono juga merupakan seorang akademisi atau seorang yang intelektual. Seorang ahli pengobatan namun kuliahnya awal di bidang bahasa, hingga menguasai sekitar 40 bahasa dan baru dilanjutkan kuliah di dunia medis . Walaupun beliau kuliah di luar negeri namun tidak luntur budaya Jawanya, bahkan berani menantang Ratu Himina (Wilhelmina) , dengan ucapan “Kalau sampai Belanda memperkosa kebudayaan anak bangsa Indonesia, selagi matahari masih bersinar, kami akan menentang keras” dikatakan di hadapan Gubernur dan Jenderal namun tidak dibunuh pada saat itu. Beliau tidak takut karena semangat hidup dan matinya adalah milik Allah.

Pertama ketuhanan, yang kedua ialah kemanusiaan. Sebab beliau memperjuangkan hak-hak warga pribumi. Sekilas tentang pengobatan, bahwasanya beliau memiliki Tirtohusodo dengan teko bergambar Alif. Sebuah air putih yang kala itu diceritakan di era 800-an mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dimana kelebihan tersebut pastinya diperoleh dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Menanggapi tentang tema, ada dua hal yang menarik menurut Mas Aris. Pertama, ialah takwa. Seperti pada orang yang berpuasa, yang mendapatkan takwa. Serta ketakwaan pula yang membuat kita tidak sama di mata Allah. Kedua, ialah maksiat. Dimana yang dapat menguasainya ialah diri pribadi kita. Sebuah ajaran kanjeng Sunan Kalijaga “Tiati ketani dilah purung cumenten nduk purung atiku biercemarangan dhang padhange srengenge jek padhang atiku dhewe”. Menurut Mas Aris, yang dituju ialah pribadi. Kemungkinan Allah akan mengabulkan setiap hajat kita asalkan kita mampu memanajemeni pribadi diri kita. Jika dipersambungkan dengan kata kunci awal, menjadi mencurigai pribadi diri sendiri.

Sesepuh dan Penyembunyian Diri

Kemudian dilanjutkan oleh Mas Madrim yang cukup jauh perjalanan dari Damar Kedhaton Gresik. Mas Madrim datang berdua bersama Mas Yayak dengan menggunakan kereta. Sebuah bentuk kegigihan untuk menyambung paseduluran. Meskipun dalam perjalanannya, ketika baru sampai di daerah Purwodadi harus diturunkan paksa, karena ketahuan merokok di dalam toilet kereta. Sehingga harus menggunakan bus untuk melanjutkan perjalanannya hingga dapat sampai disini. Sedulur yang baru pertama kali melingkar disini, namun betapa kehangatan yang dirasakan membuat posisinya bukan lagi menjadi tamu namun merupakan bagian dari keluarga Gugurgunung itu sendiri.

Menanggapi soal tema, merasa bingung sebab dirinya dianggap bukan salah seorang dewan sepuh. Namun Mas Madrim membagikan tentang sebuah kisah. Ketika dirinya sedang berada di daerah Tuban, siang hari kala itu melihat sebuah petilasan seperti sebuah gapura dari Mbah Madrim. Namun ketika dicari informasi tentang itu selama lebih kurang 7 (tujuh) tahun tidak ada yang mengetahuinya. Sampai kepada Hari Raya kemarin ketika sedang pulang di Tuban, bersama dengan saudaranya menuju ke sebuah lokasi. Hingga tiba di sebuah lokasi yang juga merupakan sebuah petilasan. Terlihat disana seperti bambu yang digulung dengan kain lengkap dengan sesajennya. Disana Mas Madrim sempat membaca Al-Fatihah juga sholawat. Ketika pulang, sesampai di rumah Mas Madrim diberi tahu oleh kerabatnya, bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang biasa digunakan beberapa orang untuk pesugihan dan disebut dengan Mbah Candi. Berujung respon kaget juga heran yang menghinggapinya. Dugaan Mas Madrim ialah, petilasan Mbah Madrim disamarkan menjadi Mbah Candi.

Ketika dipersambungkan dengan tema dewan sepuh ini, kecurigaan yang muncul ialah jangan-jangan leluhur sepuh kita ahli dalam menyembunyikan. Hingga muncul dugaan bahwa dewan sepuh itu memiliki sesuatu yang disembunyikan.

Waskita dan Kemawasan Diri

Untuk berikutnya Mas Ali meminta Mas Andi dari Maiyah Masuisani, Bali memberikan urun rembugnya. Namun sebelum Mas Andi berbagi pendapatnya, sedikit diceritakan oleh Mas Kasno bahwasanya keluarga Gugurgunung selalu menjumpai Fenomena Kerinduan yang berhubungan dengan Mbah Nun. Kerinduan keluarga Gugurgunung dengan Mbah Eko Tunas, dihadiahi dengan rawuhnya beliau di Majlis Gugurgunung edisi April 2018. Ada satu lagi kerinduan yang kami keluarga Gugurgunung menganggapnya sulit, yakni kerinduan terhadap Mbah Umbu. Namun pada malam hari ini, keluarga Gugurgunung dihadiahi atas kerawuhan sedulur Maiyah Masuisani, Bali yang diasuh langsung oleh Mbah Umbu. Hingga diminta untuk menceritakan sedikit kisah tentang Mbah Umbu, sekedar untuk mengobati kerinduan kami dengan beliau.

Mas Andi, pertama mengucap syukur bisa dihadirkan dalam Majlis Gugurgunung disini juga untuk menyambung tali silaturahim dari beberapa simpul Maiyah lain, dimana selama ini hanya dapat diikuti melalui Youtube atau sosmed lainnya. Bernama lengkap Andi Priyo Cahyono, lahir di Magetan dan sudah di menetap di Bali semenjak tahun 1999.

Sedia berbagi kisah, bukan maksud untuk menilai Mbah Umbu. Tak bisa pula secara keseluruhan namun hanya sebatas sudut kacamata yang dilihat oleh Mas Andi bahwa Mbah Umbu adalah orang yang keras juga lembut. Keras pada prinsipnya, namun lembut dalam menyampaikan sesuatu serta bijak dalam menyikapi suasana yang terjadi. Pertemuan di Masuisani baru 5 kali pada tanggal 30 Juli 2018. Pertemuan pertama Mbah Umbu tidak enak badan dan baru datang di pertemuan kedua, tiga, empat dan insya allah lima kali pada pertemuan 30 Juli 2018. Dianggap oleh Mas Andi, Mbah Umbu adalah seorang guru, sesepuh dan panutan. Seolah yang ada di otak, Mbah Umbu ialah orang yang sangat “wah” Namun seiring perjalanan dengan beliau, secara personality beliau adalah orang biasa, dan apa adanya. Menyikapi, menyampaikan, dan menginginkan sesuatu secara apa adanya. Namun itulah kehebatan beliau dalam menjalani keseharian. Jarak 4 – 5 km, setiap hari, selama puluhan tahun ditempuh untuk selalu berjalan tanpa kenal lelah. Menjalankan kehidupan secara natural , namun justru sisi kenaturalan dan kejujuran beliau terhadap hidupnya itu yang membuatnya kuat dan senantiasa mawas diri menghadapi kenyataan. Sesuatu yang di pikiran kita anggap “wah” ternyata justru adalah sebuah kenaturalan itu sendiri. Misalkan Mbah Umbu sedang sakit, disikapinya dengan menikmati rasa sakit tersebut hingga seakan mengalahkan rasa sakitnya.

Namun selain itu, kuatnya beliau juga terdapat dalam tulisan-tulisan beliau seperti dalam menulis puisi. Sering dikatakan juga bahwa Mbah Umbu kagum terhadap Mbah Nun yang dipanggilnya dengan sebutan “M”. Dalam sebuah puisi Mbah Umbu dapat menulis sebuah kalimat yang dapat memiliki banyak makna, hampir kebalikan dari kita yang menulis beberapa kalimat namun belum tentu bisa menjelaskan sesuatu.

Menanggapi soal tema, Mas Andi berpendapat justru bukan berawal dari sebuah kecurigaan sebab akan berbuah panyono, sehingga memiliki konotasi negatif. Sebaiknya melatih diri kita agar waskitha terhadap suatu hal sehingga berbuah kemawasan diri.

Resonansi Maiyah

Kemudian Mas Rizky dari Koordinator Simpul Region 3 juga diminta untuk urun rembug. Dimana malam ini merupakan malam pertama Mas Rizky melingkar juga di Majlis Gugurgunung. Sebuah apresiasi disampaikan atas acara yang cukup meriah ini sehingga kegiatan ini dapat memberikan inspirasi untuk simpul-simpul yang lain sejumlah 58 simpul Nusantara dan 1 simpul di Korea. Kegiatan ini disebut penumbuhan diri penggiat sebab acara ini dikhususkan untuk penggiat dari simpul Maiyah meskipun belum semuanya bisa hadir. Kegiatan serupa oleh Kenduri Cinta pernah dilakukan dalam bentuk workshop penulisan, story telling dan desain visual. Selain simpul Maiyah, Mbah Nun juga menyebut ada resonansi Maiyah, dalam pada itu ialah orang-orang yang memiliki ikatan batin yang kuat terhadap Mbah Nun namun bukan dalam bentuk ikatan formal.

Zamatera ini memiliki kekayaan sosial kapital, dimana tidak harus memiliki banyak upaya tetapi bisa bertemu dengan sebuah produk kemanfaatan yang sangat besar. Resonansi Maiyah ini wajib bagi semua simpul untuk menguri-urinya.

Menanggapi tema tentang dewan sepuh, pernah Mbah Nun menyebutnya namun bukan dewan tetapi adalah diwan dari bahasa arab yang diserap oleh bahasa Indonesia menjadi dipan. Sekarang dipan diartikan menjadi tempat tidur, namun dahulu digunakan sebagai tempat yang lebih tinggi dan digunakan duduk untuk para sesepuh. Hal ini pernah disampaikan Mbah Nun kisaran tahun 2015 di Kadipiro yang kala itu ada seorang putra mahkota dari Kadipaten Purbalingga yang jika diurut mendapatkan gelar Adipati Purbalingga yang ke-8. Namun sejak tahun 1950, sistem ini sudah tidak digunakan dan berakhir di Adipati ke-5, sebab Undang-undang daerah yang digunakan telah berubah menjadi Pilkada yang kita kenal seperti hari ini. Perihal untuk menjadi Adipati atau bukan, tidak untuk diperebutkan namun bagi seseorang yang memiliki trah ke nenek moyang yang dulunya adalah penguasa yang natural terpilih oleh alam baiknya berposisi sebagai dewan sesepuh. Secara operatif dimaknai oleh Mas Rizky seperti Tim Gubernur Untuk Percepatan Undang-undang di Gubernuran. Dewan sesepuh ini bagai advisor, tetapi dalam tataran level yang lebih tinggi seperti filosofi pembangunan. Namun tentu ada skup dewan sepuh yang lebih sempit yang perlu kita curigai dan waskitakan bersama-sama.

Selain sebagai moderator, Mas Ali Fatkhan juga diminta urun rembug oleh Mas Ronny melalui SMS, untuk mewakili Gambang Syafaat. Pertanyaan pertama, mengapa harus dicari dewan sepuh itu? Apakah ada? Atau mungkin sudah ada, namun belum diketemukan?

Jika belum ada, maka seharusnya diadakan. Namun jika belum ketemu, mengapa bisa belum ketemu? Berarti kita harus menyadarinya dengan sebuah kecurigaan dan kewaskitaan tadi.

Mas Ali pribadi tertarik pada kata dewan, berarti banyak dan diartikannya parsial. Bebeda dengan orang sepuh. Jika orang sepuh maka dia ahli dalam suatu hal namun bukan dalam hal yang lain. Ada sebuah nilai yang dimiliki oleh orang sepuh, yakni ketakwaan.

Tahan menghadapi rasa sakit

Kemudian Pak Zain juga diminta untuk mengelaborasi tentang tema dewan sepuh ini. Pertama beliau bersyukur bisa dipertemukan dengan berbagai simpul Maiyah disini serta berterima kasih atas apresiasi yang telah diberikan. Dikatakan “bahwa perwakilan dari Zamatera malam ini bukan sekedar terapisnya, namun adalah trainer terapis nasional. Insya allah juga Zamatera ini akan diajarkan di seluruh pelosok Nusantara melalui Pagar Nusa”.

Menanggapi tentang Maiyah, dimana Pak Zain menganggap dirinya pemuda di Maiyah karena baru 5 kali ikut Maiyahan dan 2 kalinya berada di Gugurgunung, lalu di Simpanglima Semarang, Lapangan Pancasila Salatiga, dan yang ke limanya ialah pada tahun 1990 waktu itu di Masjid Agung Surakarta.

Pak Zain setuju dengan kewaskitaan tadi, sebab biasanya orang-orang sepuh itu menyembunyikan diri. Mengingatkannya pada kisah Mbah Samud, yang setiap hari dianggap sebagai orang gila yang setiap hari berada di Pasar Kendal. Kewaskitaan menurut Pak Zain berbeda dengan kecurigaan, karena justru lebih dekat dengan suudzon padahal kita harus khusnudzon.

Menanggapi sebuah ayat yang terdapat dalam mukadimmah, diman+a ini landasan dari Zamatera yakni tentang ketakwaan. Karena Pak Zain merasa dirinya bukan orang baik, maka ingin memberi kemanfaatan terhadap sesama, dan alhamdulillah Allah menitipkan ilmu Zamatera ini yang berawal dari penghayatan rasa sakit yang luar biasa yakni pada syaraf tulang belakang sekitar tahun 2005. Dalam penghayatan rasa sakit tersebut mengingatkan beliau semasa kecil sering tidur di mushola dan melakukan grebekan dan akhirnya dipraktekannya. Ketika sembuh, ilmu ini dipraktekkannya pada teman-temannya. Juga dipraktekkannya untuk anak-anak SMA yang sakit saat menstruasi. Dari 70 responden, ketika dipantau kembali usai diterapi 67 orang mengatakan tidak sakit lagi tiap bulan selama 6 bulan. Dulu teknik ini dikatakan mirip dengan Yumeiho dari Jepang.

Ketika diundang ke Jepang, Pak Zain dijadikan sebagai Presiden Yumeiho Asia Tenggara. Namun Pak Zain juga harus membayar semacam royalty kepada Yumeiho. Ketika pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Mbah Nun, direspon oleh Mbah Nun bahwa “Indobesia sudah dijajah Belanda 350 tahun, dijajah Jepang 3,5 tahun dengan begitu beratnya, mengapa saat ini masih harus melanjutkannya lagi?” Sambil ditunjuk-tunjuk di muka, sambil Mbah Nun meneruskan, bahwa “Disini lebih tua dari Jepang, bahkan tehnik yang Pak Zain temukan merupakan temuannya sendiri mengapa mau menjadi antek Jepang?” Akhirnya usai dipikir masak-masak, akhirnya Pak Zain memutuskan 100% mengundurkan diri dari Yumeiho, demi rasa Nasionalisme. Bahkan pernah ditawarkan kepada Pak Zain, untuk menjadi terapis di timnas Qatar dengan upah bersih 50 juta perbulan. Namun teringat pesan dari Gurunya “kowe golek duit opo golek berkah uripe?, harus salah satu, tidak bisa dua-duanya uang banyak yang berkah”.

Mengistirahatkan sejenak, sedikit hiburan yakni sebuah guyonan intelektual atau stand up comedy dari Mas Aan Kudus. Dimana berangkat dari tanpa materi, namun meminta waktu untuk menyerap apa-apa saja yang telah disampaikan untuk menjadi sebuah guyonan.

Kemudian ada Mas Galih dari Petani Muda Jogja, merupakan sebuah gerakan yang baru dirintis atas dasar keprihatinan terhadap anak muda sekarang yang kurang menarik karena tidak profitable, intelek dll. Meskipun bukan berasal dari basic petani tetapi dari musik dan entertaintmen, namun sempat berguru di Tangerang yakni tempat Pak Ibnu. Menanggapi soal tema malam ini, dimana dalam mengenal suatu objek atau keadaan harus mengetahui esensinya dimana sekarang jarang diperhatikan oleh sebagian orang. Seperti dalam bertani, jaman sekarang dan dahulu sudah berbeda karena jaman sekarang hanya berorientasi pada profit dan kurang mengenali tanaman. Padahal dengan mengenal, kita bisa memahami korelasi antara sebuah objek terhadap objek yang lain.

Hidup Berdaur agar senantiasa ingat asal-usul

Kemudian tiba Mas Agus untuk mengelaborasi tema malam hari ini. Terima kasih diucapkan atas kerawuhan Mas Zain beserta rekan-rekan therapis, juga pada Mas Mundari beserta keluarga atas tempat yang telah disediakan, juga kepada dulur-dulur Maiyah se-antero Nusantara sehingga dapat menegaskan kembali kasih-sayang dalam bebrayan antar diri kita. Dimana kasih sayang yang ingin kita bangun merupakan kasih sayang yang ingin Allah cipratkan kepada semesta kita dalam menapaki langkah kehidupan.

Kesempatan yang membahagiakan malam ini ialah, lebih membuat kita waskitha dalam mencurigai, mengenal apakah kita hanya sekedar pintasan, ataukah hanya buih kecil namun akan menjadi ombak ketika bersambung dengan buih-buih yang lain sehingga ombak itu memberikan gelombang yang menyapa dan menyambungkan tanah dan air.

Kita disini memiliki ranah potensi ketakwaannya masing-masing. Dimana kadar ketakwaan seseorang tidak dapat diukur. Seperti halnya menimbang kepedasan lombok atau manisnya gula.  Meskipun kita semua sepakat bahwa poin dari lombok adalah pedasnya dan gula adalah pada manisnya.

Sudah saatnya kita kembali pada sebuah konsep menjalankan kehidupan dengan menggunakan metode petunjuk langit melalui jalan yang sudah diresmikan oleh Allah baik itu Malaikat, Nabi, Rasul, Kitab suci dlsb. Dimana setiap manusia, dalam dadanya sudah ditanam Al Qur’an (Petunjuk) melalui malaikat Jibril (Al Baqarah : 97). Sesungguhnya inilah letak dimana kita dapat memberikan sambungan pada kita meskipun kita ini berbeda. Karena memang ketidaksamaan itu untuk menunjukkan keagungan Allah, bahwa dengan perbedaan namun kita percaya bahwa kita mampu menemukan titik temunya. Cita-cita yang sama yakni bersatu pada ranah yang intim. Inilah metode Allah untuk menyampaikan keindahan. Air dan minyak tidak bisa bersatu, namun kesadaran fungsi masing-masing yang dimilikinya terdapat fungsi yang sama yakni kemanfaatan terhadap kehidupan kita. Inilah cara Allah menunjukkan keagungannya bahwa masing-masing pihak memiliki kesepuhan, bobot serta level ketakwaannya sendiri-sendiri. Jika kita berhenti pada level ketakwaan yang kita bayangkan atau imajinasikan saja akan berbahaya sebab kita tidak mampu menggapai sesuatu yang lebih besar.

Kita disini sama-sama dalam rangka dipertemukan oleh Allah, jangan menyangka bahwa kita hanya bertemu dan ber-Maiyahan saja disini. Namun kita disini sama-sama mengakurasi nikmatnya persaudaraan tanpa ada perasaan saling mengintai satu dengan lainnya. Waskita dan curiga dianggap Mas Agus sama, hanya bahasa penyampaiannya yang berbeda. Seperti panggilan lur dan cuk. Kita berbeda namun tetap menjunjung tinggi ranah persaudaraan. Dimana ranah persaudaraan itu sekarang sedang menjadi telur di ujung tanduk. Telur di dalam Maiyah ini semoga telur yang siap menetas, bukan pecah. Mbah Nun sejak sekian kurun waktu lalu senantiasa mengisi tulisan dengan label daur, bahkan sudah dibukukan.

Kita dalam Maiyah, apa yang ingin kita persambungkan? Berulang kali dalam daur seolah ingin mengatakan bahwa hidup sekarang ini memerlukan belajar yang sungguh-sungguh, kalau ingin membuat paseduluran yang seperti sekarang ini membutuhkan biaya yang besar, dan waktu yang lama. Maka bagaimana hal ini tidak habis dan tenggelam hanya karena kita tidak memiliki figur secara jasadiah. Kita harus mampu menyerap nilai dan spirit dalam diri kita untuk menjadi resonansi Maiyah yang “Kawi” (kawitan, murni, awal, sepuh, tua). Mengapa? Sebab kita mencoba melengkapi sebuah fenomena pohon yang tidak akan terhormat dan bernilai hanya karena bisa berbunga dan berbuah. Tetapi pohon tersebut juga memiliki daun, tangkai, batang yang bernilai. Tetapi pokoknya adalah bagian akar. Dengan persaudaraan kita saat ini seakan sedang panen buah, bagaimanapun dalam simpul yang lain tidak dalam keadaan terancam dan bukan pula menjadi pihak yang harus berbasa basi. Jika ini adalah akibat, maka kita harus mencari penyebabnya. Agar terus menemukan akibat-akibat yang berikutnya. Baiknya kita meneruskan biji-biji tersebut agar semakin banyak bermunculan akibat-akibat tersebut.

Termasuk salah satu kegiatan petani muda Jogja merupakan salah satu bentuk bahwa telur itu memiliki kemungkinan untuk menetas. Pergerakan ini bersambung dengan kegiatan dari sedulur Jepara dengan program Kampus Sawahnya. Bersambung juga pergerakan tersebut di bidang teknologi dengan pergerakan Pak As’ad. Berlanjut juga dengan Pak Ibnu, dimana masih ada ketersambungan dengan Pak Zam. Maka dari itu nampak bahwa kita diberi ilusi perbedaan namun sesungguhnya kita hanya diberi kesempatan untuk menemukan persambungan serta persamaan. Baiknya kita bertukar kontak dan informasi, bukan untuk menemukan dewan sepuh itu namun untuk melanjutkan proses mencari dewan sepuh tersebut bersama-sama. Fungsi dewan sepuh salah satunya ialah ketika anak-anaknya gegeran, congkrah, dll dimana dewan sepuh dapat menempatkan posisi di tengah tanpa memiliki pretensi atau keinginan untuk memiliki salah satu dari apa yang diperebutkan tersebut. Ini yang tidak ada saat ini, dimana kerap kita sangka ada pihak yang menjadi penengah namun justru akan merebut sesuatu yang sedang diperebutkan.

Tentang emergence yang kerap diungkapkan Mas Sabrang, juga dalam Al Qur’an dalam kisah An Naml, An Nahl agar kita dapat mempelajarinya. Tidak apa-apa kita kecil sebagai semut ataupun lebah. Asal kita tahu carfa berdaulat. Bukan sebuah tuntutan untuk kita agar menjadi besar, gagah dan bergading seperti gajah, daripada menjadi gajah menoreh kisah nestapa dalam surat Al Fiil.

Dalam An Nahl, meskipun berukuran sangat kecil namun dianjurkan untuk membuat rumah di gunung-gunung, pohon, dan bangunan yang dibangun manusia. Dianggap Mas Agus bahwa ini merupakan kesempatan kita untuk menjadi An Naml atau An Nahl. Lebah yang memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri. Makhluk yang berukuran kecil namun sesungguhnya kuat.

Dapat kita mulai dengan melakukan hal yang paling sederhana terlebih dahulu, seperti mengkonsumsi tanaman yang kita tanam sendiri. Meskipun salah satu simpul Maiyah yang menanam namun simpul Maiyah yang lain ikut mengkonsumsi masih bisa dihitung sebagai tanaman sendiri. Banyak hal yang hilang karena tidak terakomodir dan kalah oleh salah satu sistem besar. Seperti pembuat tikar pandan, dll.

Banyak bakal tanaman yang mati karena bijinya kita tindas atau injak-injak. Maka dianjurkan bagi kita untuk memiliki hati petani. Hati yang senang tandur, ngerumat, ngeramut hingga lahan yang tandus menjadi ijo royo-royo. Bisa pula diterjemahkan bukan dalam tanaman saja, tetapi kebaikan dalam bentuk apapun termasuk berhati petani seperti halnya Zamatera ini.

Kemudian Pak As’ad dari Suluk Surakartan, yang baru saja tiba sebab salah membaca lokasi yakni Bergas yang dibacanya menjadi Bergota yang berada di Semarang, sehingga harus memutar balik. Menanggapi soal tema, yang memiliki ketersambungan terhadap tema dari Suluk Surakartan kemarin yang diambil dari tulisan tetes dari Mbah Nun. Dari berbagai lapisan masyarakat yang kita kenal memang terjadi krisis paseduluran.

Mungkin akan lebih mudah dengan analogi tiang listrik pusat dengan tegangan tinggi tidak akan efektif dan efisien jika langsung disalurkan ke rumah-rumah. Seperti halnya tidak bisa begitu saja bagi kita untuk menyerap informasi langsung dari pusat. Masyarakat secara personal atau komunal digambarkan dalam sedulur papat limo pancer. Begitu pula di era kenabian kita kenal empat sahabat dengan pancernya ialah kanjeng nabi.

Dengan simbol piramida, dengan unsur Nur Muhammad. Dalam tetes Mbah Nun ditulis dalam “Berdiri di pojokan” seolah-olah menyingkir dari permasalahan yang ada untuk mengamati. Mungkin juga dapat berarti agar menjaga keempat unsur ini agar tidak ada yang dominan. Permasalahan dalam perkumpulan apapun karena keempat unsur ini yang tidak dominan. Belum ada kesadaran bahwa kita harus mengelola keempat unsur tidak lebih tinggi dari yang di tengah. Jika secara komunal, maka yang bisa disebut sebagai dewan sepuh dimana biasanya adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya yang tidak terikat sesuatu yang tidak penting.

Tentang emergence digambarkan oleh Mas sabrang sebagai sebuah intelektualitas yang tidak menempel pada makhluk. Digambarkan dengan semut ataupun rayap yang sangat cerdas dalam mengelola organisasinya. Menggambarkan politik di Indonesia, jika dalam suasana menanam, kita akan mengalami musim yang anomali. Yang tidak mengenal kapan kemarau dan penhujannya. Maka diperlukan dewan sepuh sebagai penyeimbang, katalisator, juga penghubung. Banyak sekali di lingkungan Maiyah yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual namun selain itu juga memerlukan pancernya.

Diskusi terus berlanjut hingga waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB. Mas Jion diminta untuk menembangkan “Pangkur kerinduan”, dilanjutkan dengan “Dhuh Gusti” bersama-sama dengan sedulur-sedulur yang hadir. Dilanjutkan “Shohibu Baiti” bersama-sama yang dipimpin oleh Mas Tyo. Sebagai penutup, makanan khas Gunung yang selalu menjadi tradisi Gugurgunung ialah menu nasi jagung sambil mengobrol ringan dalam bentuk lingkaran-lingkaran yang lebih kecil.

Semoga diri kita dapat mengelaborasi masing-masing bahwa apa yang kita dapatkan disini akan kita bawa pulang dan kita jadikan alat penggembira di dalam memasuki ranah kehidupan berikutnya entah keluarga, lingkungan, masyarakat sekitar kita masing-masing.

Kita bangun secara sungguh-sungguh, kalau itu bisa tergapai insya Allah akan ada pilar-pilar yang tetap mempertahankan daur. Baik soal ketahanan pangan, pertahanan keamanan, sains dan teknologi, serta literasi. Pelan-pelan kita kerjakan untuk generasi anak cucu kita. Untuk diberikan pula pada anak turunnya lagi seperti halnya An Naml dan An Nahl.

Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

Andhika H

Mendirikan Hidup Sejati (Tandur Kusumo Jati Wijoyo)

Bulan ini adalah pertemuan kembali setelah 2 periode gugurgunung tidak mengadakan majlisan rutin. Yakni bulan Februari dan Maret gugurgunung melebur bertepatan dengan tanggal 25 sebagai kegiatan rutin Gambang Syafaat. Demi memendam kerinduan yang mendalam, tidak tanggung-tanggung bulan ini gugurgunug menerbitkan 3 poster dengan judul dan tema yang sama hasil kreasi keluarga gugurgunung. Ini adalah impresi untuk berkontribusi dari beberapa pihak dengan menyumbangkan kreatifitas seninya untuk majlis. Seolah-olah 3 poster ini sebagai ganti 2 poster pada bulan sebelumnya yang memang tidak terbit.  Klik link berikut untuk melihat Poster mendirikan Hidup Sejati.

Apakah yang dimaksud dengankehidupan yang sejati?Apakahmaksud dari paham akan sejarah kehidupan itu sendiri atau sangkan paran kehidupan?

Ada beberapa komponen yang perlu ada dan dibina sebagai kesadaran antara lain:

  1. Kesadaran tentang siapa diri kita
  2. Kesadaran tentang asal kita (Sangkan/Minallah)
  3. Kesadaran tentang Tujuan kita (Paran/Ilallah)

Manusia yang paham akan asal dan tujuan.Continue reading

Kesemaraan Pembuatan Poster Majlis Gugurgunung April 2017

Bulan ini adalah pertemuan kembali setelah 2 periode gugurgunung tidak mengadakan majlisan rutin. Yakni bulan Februari dan Maret gugurgunung melebur bertepatan dengan tanggal 25 sebagai kegiatan rutin Gambang Syafaat. Demi memendam kerinduan yang mendalam, tidak tanggung-tanggung bulan ini gugurgunug menerbitkan 3 poster dengan judul dan tema yang sama hasil kreasi keluarga gugurgunung. Ini adalah impresi untuk berkontribusi dari beberapa pihak dengan menyumbangkan kreatifitas seninya untuk majlis. Seolah-olah 3 poster ini sebagai ganti 2 poster pada bulan sebelumnya yang memang tidak terbit.

17880690_1783533335298297_462556761067019187_o 17917214_1783532118631752_8108103400667494510_o 17523110_1783534131964884_3440598249998828930_n