WUNGU

Pertemuan rutin majlis gugurgunung pada 26 Oktober 2019. Sekaligus menjadi workshop ketiga (terakhir) dari tiga edisi setelah sebelumnya yakni “Laras” dan “Padhang Pranatan”. Bertempat di Mushola Darussalam, Lemahabang, Kab. Semarang. Tema workshop edisi ketiga ini ialah Wungu. Mas Kasno sebagai moderator pada malam hari ini di kisaran pukul 21.25 kegiatan membuka sianu bareng dengan bacaan basmalah.

 

Bismillahirrohmanirrohim…

Workshop ketiga masih dalam rangka merespon dhawuh Mbah Nun. Alhamdulillah malam ini dihadiri juga oleh Mas Aji dari Jogja, serta Pak As’ad dari Solo dan juga Mas Dian dulur gugurgunung yang lama tidak ikut melingkar sebab bekerja di luar pulau selama beberapa bulan. Semoga malam ini mendapat pertalian silaturahmi yang bisa kita pelajari bersama. Kemudian dilanjutkan dengan doa wasilah oleh Mas Sokhib juga Wirid akhir zaman serta Pangkur Kerinduan dari Mas Ari.

 

Sehubungan dengan tema yang hampir diubah menjadi lir-ilir, meskipun memiliki makna yang hampir sama dengan wungu maka Mas Kasno mengajak dulur-dulur untuk mentawasuli Kanjeng Sunan Kalijaga dilanjut nembang Lir-ilir karya Kanjeng Sunan dengan dipimpin oleh Mas Agus. Kompak serempak, lelaki perempuan berpadu merdu, asik bahagia namun tak lepas dari makna. Demikian suasana ketika tembang lir-ilir mengalun. Kemudian Mas Kasno membaca mukadimmah untuk membantu memantik diskusi malam ini. Mas Agus memberi preambule bahwa tema ini memang sempat dianjurkan untuk diganti judulnya. Sebab dirasa terlalu berat dimana diukur dari kapasitas diri Mas Agus pribadi dan dulur-dulur semua. Maka diganti lir-ilir dimana memang sudah harus nglilir untuk menghadapi jaman. Namun sehari setelah itu Mbah Nun mengeluarkan edaran wirid akhir jaman yang juga di dalamnya mengandung kata Wungu. Maka disepakati tema dikembalikan menjadi Wungu.

 

Memang berdialog langsung dengan Mbah Nun sulit untuk kami lakukan, semoga dengan ketersambungan tema seperti ini menjadi kegembiraan tersendiri bagi kami anak cucu beliau. Mas Agus mencoba mengakurasi ayat Allah dalam QS Al Ikhlas. Merupakan salah satu dari dua surah yang tidak menyebutkan kata dari judul surahnya selain Al Fatihah. Ditadabburi bahwa yang tahu makna sesungguhnya hanya Allah. Salah satu cara untuk memahami maknanya yakni dengan ngambrukke roso wegah (merubuhkan rasa enggan), melawan rasa takut. Salah satu simulasi yang paling sederhana dengan memasuki alas/ hutan dalam kondisi sendiri dan gelap dengan niat tiada modal lain selain Al Ikhlas. Begitu hendak memasuki hutan maka seketika qul huwallohu ahad. Ketika dalam kondisi yang gelap maka mulai terombang-ambing maka alat apa lagi yang akan digunakan selain pertolongan Allah. Yakni memasuki ayat kedua Allohushshomad. Suasana menjadi enak namun pikiran muncul reridu berupa ketakutan. Jika kita tunduk pada reridu maka menuhankan ketakutan. Lalu dilanjutkanlah dengan ayat ke-3 yakni lam yalid wa lam yuulad. Maka berhembuslah angin besar. Memang tiada yang lebih diatas Allah. Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad. Hal ini merupakan metodologi atau pengalaman pribadi yang bisa diterapkan pada laku hidup. Temuan ini didapati mas Agus pada saat benar-benar memasuki hutan pada suatu waktu. Tentunya bukan arti dari Al Ikhlas itu sendiri, ini hanya merupakan salah satu alat untuk mencoba memahaminya. Mudah-mudahan dengan metode menabrak hantu-hantu ketakutan yang muncul dari pikiran sendiri, ataupun seolah sunyi tanpa kehidupan, juga seolah terpencil namun justru banyak kejujuran di dalamnya. Pohon satu dengan pohon lain tak saling mencederai, andaikanpun ada ternyata masih tetap dalam rangka menjunjung keseimbangan. Binatang senantiasa beristiqomah sesuai dengan aturan yang Allah tetapkan. Jangkrik beristiqomah dengan keriknya, belalang juga beristiqomah sesuai fitrahnya, juga binatang-binatang lain. Hal yang dijauhi oleh sebagian orang justru menyimpan kandungan keselamatan dan keamanan. Sangat berbeda dengan kondisi yang kita kira aman. Dengan terang benderangnya, dengan ramainya, juga dengan gemerlapnya namun tidak menjamin kondisi bahwa akan terbangun keamanan, keselamatan satu dengan yang lain. Dengan kondisi demikian maka kita harus melek kahanan, mesti kita buka selimut agar tidak senantiasa tertidur.

Malam ini akan coba kita urai selimut-selimut apa saja yang melekat pada diri. Selimut yang bukan memberi kenikmatan namun justru memasung dan memenjarakan. Selimut yang memberi impian bukan dengan kenyataan. Selimut-selimut ini jika tidak disibak maka akan memerosotkan derajat kemanusiaan kita sendiri. Padahal dari tema kita lalu yakni “Laras” didapat bahwa manusia harus menjadi kaum yang sebaik-baiknya kaum, yakni ahsani takwim. Di dalamnya berisi manusia-manusia yang ahsan. Manusia yang memegang teguh amanat dan tanggung jawab, jikalau hal tersebut tak disadari maka akan menjadi kaum asfala safilin. Dari pihak yang memiliki derajat yang tinggi akan direndahkan. Pola yang kita jalankan dari workshop 1,2 dan 3 tidak pernah kita rencanakan. Dari tema gelinding saja bermodalkan niat. Asal tidak merasa kuat, hebat, sangar, namun bermodal jelas yakni ringkih, dhuafa, fakir karena yang kita hadapi adalah Allah sendiri. Maka dengan seperti itu maka kita akan memiliki wadah yang kosong, sehingga Allah akan mengisi dengan hal yang murni dan kita butuhkan dalam kehidupan kita. Semoga dengan ini kita mampu membuka selimut-selimut yang membuat kita “nyaman” selama ini. Nantinya jika kita menyadari bahwa selimut tersebut sesungguhnya ialah penjara barulah kita akan bangkit. Karena pada hakikatnya manusia menginginkan kemerdekaan bukan dipenjarakan. Kalaupun menjadi hamba, hanyalah kepada Allah kita menghamba. Jika Allah tuan rumah dan Nabi penjaga pintu dan kita batur (hamba sahaya) bukan berarti akan tersiksa dengan perbudakan malahan justru diberi kenikmatan. Makanan dan minuman serta hawa dan kahanan yang dirasakan Kanjeng Nabi pun kita juga akan merasakan hal yang sama.

 

PENGENALAN DIRI

Mas Aji memahami bahwa salah satu pintu menuju wungu terletak pada pengenalan diri. Kalau boleh dibilang sedari lahir sampai saat ini, pikiran kita menyerap apa yang kita dengar, lihat dan rasakan, hingga kita mengidentifikasi bahwa serapan tersebut sebagai diri kita. Terkadang kita melihat diri kita ada hal yang kita rasa baik dan sukai, namun tak sedikit pula terdapat hal yang kita rasa buruk dan tidak kita sukai. Dengan menyadari hal ini sedikit demi sedikit akan membuka penjara itu tadi. Semua yang kita pelajari tadi hanya sebagai penghantar saja untuk melihat diri sendiri. Identifikasi terhadap diri yang telah melekat dari lahir sampai mengenal diri kita lalu mesti dikembalikan lagi pada peran dalam kehidupan sehari-hari namun tetap dengan kesadaran untuk menempatkan diri. Masih menurut Mas Aji dengan demikian maka akan dapat membuka selimut yang paling tebal dari diri yakni ‘diri’ itu sendiri. Segala hal yang dipelajari menjadi penghantar menuju pengenalan diri namun juga di sisi lain juga menjadi selimut untuk mengenali diri. Beberapa pintu pantikan dari Mas Aji yang menarik sekali untuk lebih memperdalam diskusi malam ini.

PETANI DAN KESEIMBANGAN

Malam makin larut, diskusi terus berlanjut. Untuk memperdalam bahasan, Pak As’ad pun diminta untuk turut. Sebelum memasuki tema, tak lupa salam dari keluarga dan juga dulur-dulur Suluk Surakartan disampaikannya. Wungu menjadi terbuka ketika berbincang dengan Mas Agus. Wungu merupakan sintesa dari warna biru dan merah. Merah merupakan angkoro, biru menep. Wungu adalah sebuah proses puncak dari dualitas yang harus ditarik mundur. Pak As’ad mencoba menarik ke masa lampau. Beliau menceritakan tentang Nabi yang sedang menggembala. Lalu diuji oleh malaikat untuk mengambil susunya, sebab majikannya tidak akan tahu. Namun dijawab oleh Nabi bahwa Allah pasti akan mengetahuinya. Menurut Pak As’ad ini merupakan salah satu prinsip manajemen aset. Masih seputar tiga tipe manusia (manusia pasar, nilai, dan istana) memiliki lambaran dasar yakni harus memiliki manajemen resiko. Ali dikatakan sebagai seorang pewaris Nabi. Seorang pemimpin di China dulu pernah menyampaikan bahwa, umat Islam tidak perlu kemana-mana hanya cukup mempelajari Ali.

China memiliki situs jual beli yang cukup besar pun menggunakan nama alibaba.com. Pada situs berbasis marketplace ini tersedia harga yang sangat murah, bebas biaya pengiriman, pelayanan yang baik dan cepat serta barang yang diterima juga sangat mirip dengan yang dipesan. Pikiran Pak As’ad tersambung kepada; mengapa sebagian besar nabi menggeluti dunia perdagangan. Sebab disanalah seorang diuji apakah yang diperdagangkan atau dikatakan sesuai dengan yang diterima oleh orang lain atau tidak. Jika di China tidak mungkin menggunakan Muhammad.com maka digunakanlah Alibaba.com, maka di maiyah tidak bisa muncul “maiyah.com” sebab maiyah adalah nilai tapi alangkah baiknya jika muncul misalkan “Kasno.com”, atau “aji com” dll. Maksudnya ialah setiap khasanah yang dimiliki oleh masyarakat maiyah bisa diterapkan dalam perilaku keseharian. Maka kita harus bisa memanajemen resiko. Segala yang kita peroleh dari bermaiyah ataupun dari Mbah Nun harus terus diinternalisasi pada kehidupan sehari-hari. Bertahun-tahun bermaiyah mestinya mampu mengakumulasi ketegangan bagi dirinya untuk berbuat sesuatu.

 

Wungu dalam keseharian bagai baterai atau powerbank, yang mendampingkan positif dan negatif. Baterai dengan ketegangan dari positif dan negatif yang cukup maka bermanfaat untuk melakukan sesuatu. Demikian juga seharusnya kita dengan memiliki ketegangan positif dan negatif yang cukup untuk bermanfaat dalam ranah harian. Menyeimbangkan tegangan positif dan negatif dilakukan dengan cara mengenali diri. Bahwa setiap manusia mampu melakukan distruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Begitupun manusia mampu melakukan konstruksi yang luar biasa sesuai bidangnya. Walaa tansa nashiibaka minad dun-yaa. Setiap orang memiliki nasib yang tidak bisa diubah. Meskipun nasibnya adalah seorang karyawan, jadilah karyawan yang baik, maka pasti akan memiliki kelebihan dibanding karyawan yang lainnya. Manusia yang tidak mempergunakan keseimbangan tegangan positif dan negatif dalam dirinya sama halnya dengan powerbank yang tidak pernah digunakan maka akan lebih cepat rusak dibandingkan dengan yang sering digunakan dengan baik.

 

Mbah Nun ibarat seorang yang tebar bibit atau matahari. Maka bukan tugas Mbah Nun untuk menatanya. Ibarat dalam kebun, matahari tidak pilih kasih. Bukan hanya tanaman yang tumbuh tetapi juga akan ada gulma yang turut tumbuh. Tanaman yang belum diketahui manfaatnya turut tumbuh.

Maka disana dibutuhkan petani. Yang menata tanaman satu dengan yang lain, yang memilah dengan menanamnya di tanah, di pot, atau polybag.

Satu pertanyaan yang belum terjawab. “DIMANAKAH PETANINYA??”

Semua tanaman sudah tumbuh namun bisa menjadi berbahaya bila tak ada yang mendistribusikan dengan baik. Satu dengan yang lain bisa saling merusak karena kurang adanya “petani” yang bisa menatanya. Demikian menjadi pe-er bagi kita semua.

 

‘AIN DAN KIFAYAH

Mas Kasno meminta Mas Yoga Lemahabang untuk mem”bangun”kan dulur-dulur dengan pembacaan puisinya. Sebuah puisi berjudul “Pertemuan yang dinanti” karya Mas Sokhib. Penampilan Mas Yoga yang jujur berbuah keindahan dalam puisi  sarat makna. Tak hanya menuliskan puisi. Mas Sokhib juga menyampaikan sebuah pertanyaan. Beberapa waktu lalu Mas Sokhib sempat bertanya pada Mas Agus tentang wungu.

Di dalam wungu terdapat 4 hal yakni :

  1. Cinta
  2. Irodah
  3. Ikhtiar
  4. Tawakal

Di depan tadi diungkapkan selimut yang harus disibak agar menjadi kondisi wungu. Lalu selimut apa sajakah yang dimaksud? Mas Agus langsung merespon pertanyaan yang sangat baik dari Mas Sokhib tersebut.

 

Masih tersambung pada tema dalam workshop sebelumnya yakni Laras atau penyelarasan diri.  Sebaik-baik manusia ialah yang selaras dengan Allah. Jika belum bisa maka selaraslah dengan Malaikat Allah. Jika masih belum bisa maka selaraslah dengan para Nabi dan Rasul. Jika masih belum bisa juga, selaraslah dengan kitab-kitabnya. Jika masih belum bisa juga maka selaraslah dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa akan ada hari akhir. Sebab dengan kepercayaan tentang hari akhir akan membuat seseorang untuk berpikir bahwa jika ada hari akhir maka ada hari awal, dimana jika kondisi hari hari akhir tidak bisa dipastikan hasilnya, paling tidak sejak awal sudah bisa ia pilih secara memastikan niat awalnya. Jika itu juga masih belum bisa selaras, maka selaraslah dengan qodo dan qodar. Bahwa segala keinginan kita tidak selalu tercapai. Setiap manusia hanya ada kandungan probabilitas bukan absoluditas. Sebab kita hanya sebatas bersifat rancangan, yang absolut hanya Allah SWT. Agar kita tetap terjaga keselarasan, maka jangan tergoda rencana. Sebab manusia hanya akan optimal pada area rancangan bukan pada rencana. Manusia bisa merancang namun Rencana hanya milik Allah SWT. Apakah perilaku selaras hanya dimiliki oleh ulama, auliya dll atau pihak yang dianggap suci. Ya. Tapi harus ingat bahwa kita semua diperkenankan terlahir di dunia karena masing-masing kita ini memiliki eksklusifnya. Hanya saja ada yang memoles keekslusifan dirinya sehingga muncul, dan ada yang mendiamkannya sehingga hanya tertimbun. Bagaikan intan yang terpoles maka akan menampilkan keindahan, sedangkan yang terpendam sering merasa bahwa dia bukanlah intan. Ciri intan ialah bening, dalam diri kita apa yang harus bening? ialah akal. Intan bersifat padat, ialah tekad. Maka kita perlu memperluas wawasan, ilmu agar tanah yang menimbun kita semakin terkikis, terkuak. Tanah yang dimaksud ialah kepentingan-kepentingan. Sering tanpa kita sadari justru memberi “makan” kepentingan tersebut tanpa memberi kesempatan intan untuk keluar, mencuat.

 

Mengidentifikasi diri dapat diketahui dari apa yang dilihat oleh orang lain, dan kita dapat mengambil kesimpulan oranglain atas diri kita sebagai identitas baku yang ada di luar diri kita. Apabila demikian menjadi pola, maka tidak akan menghantarkan pada keprigelan mengenali diri kita sendiri. Jika orang lain lebih mengenali diri kita maka kita akan malas mencari diri sendiri. Pandangan orang lain baiknya hanya menjadi tambahan koordinat. Pada wilayah apakah letak kita berdiri? Dimana maqom kita? Kalau kita tak mengerti maqom kita sendiri, bagaimana mau qum (bangun), qiyam (bangkit) hingga bersama-sama qiyamah (menjunjung kebangkitan). Qiyamah disini diartikan sebagai bangkit, tumbuh; bukan rubuh.

 

Koordinat satu dengan yang lain harus saling melengkapi. Koordinat-koordinat ini jika dikaitkan dengan bahasa Pak Toto yang menggunakan QS Al Qasas. Mas Agus memilih koordinat ‘ain dan kifayah. ‘Ain ialah fardhu yang setiap muslim wajib menjalankan.

 

Kifayah juga fardhu namun akan menjadi tidak wajib jikalau sudah dilaksanakan oleh orang lain. Contohnya ialah sholat jenazah. Dalam sholat jenazah juga terdapat salam namun tidak ada rukuk dan sujudnya. Artinya jika ada seorang yang sudah meletakkan maqom-nya, terbaring, maka yang lain harus tetap qiyam (berdiri) untuk menjaga maqom yang baru saja kehilangan salah satu petugasnya tersebut.‘Ain dalam kehidupan ialah mengabdi pada Allah. Bahwasanya tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT.

 

Ada yang disebut pekerjaan profesi dan peran. Dalam mengerjakan profesi belum tentu sesuai dengan pos ‘ain kita. Kita harus mengenali pos ‘ain diri terlebih dahulu agar kita tahu bahwa ada sektor yang lebih harus kita prioritaskan sebab mengerti pilahan primer dan sekundernya.

 

SELIMUT DIRI

Sebagai gambarannya adalah orang yang duduk bersila. Simbol ini dipilih sebab men-diri-kan pengabdian tak selalu dilambangkan dengan tegak dan bertumpuan dua kaki. Janin di alam rohim pun berbentuk seperti hijaiyah ‘wau’, bukan posisi ber-diri, namun janin jelas tengah mendirikan pengabdiannya. Ternyata dalam alam rohim kita pernah mengalami fase sen-diri-an dan kita mampu menunaikannya dengan roso bungah. Dalam pada itu kita dilahirkan untuk menjalani kehidupan di dunia seperti halnya dalam alam kasih sayang. Namun justru setelah manusia benar-benar mampu bertumpu pada dua kaki, menjadi jarang yang mau bersusila, bersila (shilah, seakar kata dengan sholat). Shilah ini berarti terhubung pada Allah SWT. Dalam Islam ada syariatnya yakni dalam gerakan-gerakan sholat. Dimana kita berpijak, dan kemana kita menuju harus mustaqim. Namun untuk menuju kesana akan ada hambatan-hambatan, maka kita selalu meminta selalu petunjuk Tuhan yang tersampaikan pada ihdinasshirathal mustaqim. Hambatan tersebut berupa selimut yang membuat diri semakin kabur dalam melihat keadaan. Seolah jalan tidak tampak, maka patutlah kita memohon petunjuk pada Allah SWT. Jika kita tidak menyadari hambatan yang menyelimuti tersebut, kita tidak tahu bahwa jalan sudah berbelok. Kita punya mata dan telinga namun hanya kita gunakan untuk melihat dan mendengar apa yang kita mau saja. Perlu kita ketahui perjalanan pen-diri-an kita apakah berada di jalur yang biru (baik) atau merah (buruk). Kita perlu memindai, bahwa setiap manusia memiliki perannya. Setiap peran dalam manusia memiliki martabat, dimana semakin martabat itu diakomodir oleh manusia-manusia yang lain maka manusia tersebut akan menjadi semakin bermanfaat. Maka haq bahwa untuk memperjelas peran-peran kita tersebut harus bermuara pengabdian kepada Allah SWT.

 

Selimut terbagi menjadi 3 :

  • Raga
  • Jiwa
  • Sukma (ruh)

 

SELIMUT RAGA

Raga sendiri sebenarnya sudah merupakan selimut. Selimut raga ialah menggemari zona nyaman. Jika ini dijadikan ageman (pegangan), maka laksana sampah yang dibiarkan di dalam diri dan membusuk. Zona nyaman seperti kondisi yang tidak terlalu dingin atau terlalu panas. Maka yang diolah sebagai ‘ain ialah rosonya, agar tak selalu berkutat pada hal-hal jasmaniah. Manusia yang terlarut zona nyaman biasanya selalu hiperbola, tidak memiliki produk dan kurang bersyukur. Musuh untuk merubuhkan kemanusiaannya ialah ketakutan. Dengan demikian maka kita masih meletakkan Allah SWT sebagai angan belaka. Serta tidak meyakini janji cintanya. Kita perlu nggaya sebagai manusia ahsani takwim bukan untuk menegakkan diri akan tetapi menghormati bahwa kita diciptakan sebagai makhluk yang mulia.

 

SELIMUT JIWA

Takut salah, takut dianggap aneh, lebih senang berbicara di belakang, malas menambah wawasan, apatis dlsb merupakan bentuk selimut jiwa. Manusia yang berselimut ini minor quality namun secara quantity sangat mayor. Jumlahnya banyak namun belum tergerak untuk menumbuhkan kualitas.

Mbah Nun sebenarnya pernah menyampaikan bahwa benih-benih yang tersebar sebenarnya sudah mulai tumbuh dan menampakkan kuncup bunga nya. Maka perlu disingkirkan gulma-gulmanya dan justru jangan sampai hanya menjadi peradaban gulma. Peradaban sekarang sudah tidak ada yang dominan. Jika dahulu ada negara adi kuasa, namun sekarang nampaknya sudah mulai jarang didengungkan. Justru yang sering didengungkan adalah islam teroris. Padahal sebenarnya tidak ada islam teroris. Yang ada yaitu islam dan teroris. Islam merupakan kedamaian dan teroris sebaliknya yakni benci kedamaian. Untuk menjadi wungu maka harus bisa meramut keduanya. Bukan mempertandingkan keduanya. Bahwasanya ada garis merah dan biru yang harus kita sandingkan untuk menjadi wungu. Seperti di dalam surat At Taubah ayat 111. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk melantunkannya.

Pengabdian yang sungguh-sungguh menjadi modal bagi diri kita untuk “berjualan” dan Allah SWT sendiri yang menjadi “pembeli”nya. Segala jiwa dan pemikiran kita jihadkan, untuk kita pertahankan syahadat menjadi alat pengabdian bagi Allah SWT.

 

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

 

Diskusi masih terus berlanjut, hingga lewat tengah malam. Untaian-untaian pertanyaan yang tersimpan atau tersampaikan terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yang tentunya diharap bermanfaat bagi masing-masing sedulur yang hadir; untuk dibawa pulang; untuk dijadikan bekal menyibak sedikit-demi sedikit selimut bagi raga, jiwa dan ruh. Saling berusaha mengenali diri hingga kelak, semoga kita semua menjadi manusia-manusia yang tak lelah mempertahankan konsep Allah atas diri bahwa pribadi dan pendirian kita benar-benar dalam bingkai ahsani takwim. Sebagai sabaik-baik bentuk, menjadi ciptaanNya yang mulia, menjadi manusia yang wungu. Tumbuh; bukan rubuh. Sekian reportase kali ini semoga bermanfaat.

 

___

Andhika Hendryawan

Link video terkait, klik disini

MENCARI DEWAN SEPUH

Pertemuan rutin Maiyahan di Majlis Gugurgunung pada bulan Juli jatuh pada tanggal 28 Juli 2018. Sebuah acara yang biasa digelar setiap bulan pada malam minggu terakhir.

Namun ada suasana yang nampak berbeda pada malam itu dengan mempergunakan tempat berkumpul yang baru, yakni di kediaman Mas Mundari (Salah seorang penggiat di Simpul Maiyah Gugurgunung) di daerah Ngempon, Ungaran, Kabupaten Semarang.

Selain itu dibahagiai pula dengan kerelaan dari Master Zain dari Zamatera beserta sejumlah hampir 20an orang Trainer Therapis Zamatera, yang bersedia untuk memberikan terapi Zamatera gratis pada semua sedulur yang hadir pada malam itu. Dimana malam itu dibersamai pula oleh beberapa perwakilan sedulur simpul Maiyah se-nusantara. Tercatat ada sedulur Maiyah dari Majlis Masuisani Bali, Damar Kedhaton Gresik, Majlis Alternatif Jepara, Suluk Surakartan Solo, Penggiat Muda Pertanian dan Peternakan Jogja, Kalijagan Demak, Semak Kudus, Gambang Syafaat Semarang dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu, karena disini bukan tentang perayaan nama namun perayaan cinta.

Waktu telah menunjukkan pukul 19.40 WIB. Sesi pertama diisi langsung oleh Zamatera. Gelaran karpet dalam ruangan telah dikosongkan, hanya disisakan barisan bantal dan guling di bagian tengahnya saja. Para therapis yang sudah siap di posisinya masing-masing mempersilahkan kepada sedulur-sedulur untuk berbaring, dengan letak yang berselang-seling. Satu demi satu gerakan terapi diperagakan, bebarengan pula dengan respon yang berbeda ditunjukkan pada setiap orang. Sedikit tegang sampai meringis menahan sakit mewarnai tampilan ekspresi tersebut. Kisaran 5-10 menit waktu terapi untuk tiap orangnya. Masing-masing bergantian untuk merasakan Zamatera. Segar dan sumringah usai diterapi ditambah pula kopi hangat juga wedang serbat yang disediakan, seakan membawa diri untuk bersiap memasuki sesi kedua yakni sesi diskusi.

Therapi Zamatera kepada perwakilan sedulur simpul Maiyah oleh tim Zamatera

Kisaran pukul 21.30 WIB, Mas Kasno selaku pembawa acara malam hari ini mempersilahkan semua yang hadir untuk menempatkan diri dan segera memulai sesi kedua. Dibuka dengan pembacaan Al-Fatihah bersama-sama, kemudian dilanjutkan oleh Mas Tyo dengan do’a Tawasul dan Wirid Gugurgunung, serta Mas Jion membacakan Munajat Maiyah.

Tema Gugurgunung yang diangkat malam hari ini ialah, Mencari Dewan Sepuh. Mas Kasno sebagai tim dapur tema membacakan mukadimmah untuk disimak bersama.

Selain Mas Kasno, Mas Ali Fatkhan malam hari ini juga diminta untuk menjadi moderator. Sedikit preambule dari Mas Kasno, yakni tema ini muncul dengan landasan sedikit mentadabburi apa yang telah disampaikan oleh Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib beberapa waktu lalu. Meskipun jama’ah Majlis Gugurgunung masih terhitung muda-muda namun mencoba memberanikan diri untuk mentadabburi apa yang disampaikan oleh beliau tersebut.

Mas Ali menambahkan dengan turut meminta dari tiap perwakilan simpul untuk memberikan urun rembug yang kemudian bisa dielaborasi dengan penegasan-penegasan baik oleh Mas Agus, Master Zain, juga Mas Rizky selaku koordinator simpul region 3 (Jawa Tengah).

Pertama dari perwakilan Majlis Alternatif, yakni Mas Kaffi yang mengucapkan terima kasih kepada Pak Zain atas pemberian terapinya, dan semoga bermanfaat banyak terhadap istrinya, kelakar Mas Kaffi sambil tertawa, untuk mencairkan suasana. Menanggapi tema, kemudian diteruskan dengan kisahnya ketika di Maiyah Kalijagan. Dimana waktu itu dihadiri oleh Pak As’ad dari simpul Suluk Surakartan yang kebetulan malam itu masih dalam perjalanan menuju ke gugugunung. Beliau mengatakan bahwa selalu mencurigai atas sebuah kondisi atau peristiwa. Dimana membuat mas Kaffi memikirkan jangan-jangan untuk mencari dewan sepuh barangkali harus dicurigai terlebih dahulu dalam setiap peristiwanya. Satu kata kunci pemantik yang bisa diambil disini ialah mulailah curiga namun bukan dalam pemaknaan negatif.

Mas Kaffi, salah seorang perwakilan dari Majlis Alternatif sedang merespon tema dan suasana

Tua dan Mutu Takwa

Mas Aris Syahbana (salah seorang sedulur dari Kudus) kemudian juga diminta untuk urun rembug. Mas Aris mengatakan bahwa beliau merupakan salah satu penggemar Mbah Nun. Ucapan terima kasih juga Mas Aris haturkan pada Pak Zain, dimana diamati olehnya ada 17 gerakan terapi, dan berpendapat bahwa kenikmatan berawal dari ketegangan.

Kemudian beliau mengingat kisah tentang kisah Raden Mas Panji Sosrokartono, yang juga seorang ahli pengobatan. Dalam pada itu, alangkah baik menurutnya untuk nguri-uri impian Mbah Sosrokartono dan digunakan rajah beliau yakni Sang Alif. Sedikit menceritakan kisah, dahulu Mbah Sosrokartono mengajarkan beberapa hal. Pertama ialah menekankan ketuhanan dengan simbol rajah yang paling utama beliau adalah Alif, bahwasanya Allah Maha Esa. Selain ahli pengobatan, Mbah Sosrokartono juga merupakan seorang akademisi atau seorang yang intelektual. Seorang ahli pengobatan namun kuliahnya awal di bidang bahasa, hingga menguasai sekitar 40 bahasa dan baru dilanjutkan kuliah di dunia medis . Walaupun beliau kuliah di luar negeri namun tidak luntur budaya Jawanya, bahkan berani menantang Ratu Himina (Wilhelmina) , dengan ucapan “Kalau sampai Belanda memperkosa kebudayaan anak bangsa Indonesia, selagi matahari masih bersinar, kami akan menentang keras” dikatakan di hadapan Gubernur dan Jenderal namun tidak dibunuh pada saat itu. Beliau tidak takut karena semangat hidup dan matinya adalah milik Allah.

Pertama ketuhanan, yang kedua ialah kemanusiaan. Sebab beliau memperjuangkan hak-hak warga pribumi. Sekilas tentang pengobatan, bahwasanya beliau memiliki Tirtohusodo dengan teko bergambar Alif. Sebuah air putih yang kala itu diceritakan di era 800-an mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dimana kelebihan tersebut pastinya diperoleh dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Menanggapi tentang tema, ada dua hal yang menarik menurut Mas Aris. Pertama, ialah takwa. Seperti pada orang yang berpuasa, yang mendapatkan takwa. Serta ketakwaan pula yang membuat kita tidak sama di mata Allah. Kedua, ialah maksiat. Dimana yang dapat menguasainya ialah diri pribadi kita. Sebuah ajaran kanjeng Sunan Kalijaga “Tiati ketani dilah purung cumenten nduk purung atiku biercemarangan dhang padhange srengenge jek padhang atiku dhewe”. Menurut Mas Aris, yang dituju ialah pribadi. Kemungkinan Allah akan mengabulkan setiap hajat kita asalkan kita mampu memanajemeni pribadi diri kita. Jika dipersambungkan dengan kata kunci awal, menjadi mencurigai pribadi diri sendiri.

Sesepuh dan Penyembunyian Diri

Kemudian dilanjutkan oleh Mas Madrim yang cukup jauh perjalanan dari Damar Kedhaton Gresik. Mas Madrim datang berdua bersama Mas Yayak dengan menggunakan kereta. Sebuah bentuk kegigihan untuk menyambung paseduluran. Meskipun dalam perjalanannya, ketika baru sampai di daerah Purwodadi harus diturunkan paksa, karena ketahuan merokok di dalam toilet kereta. Sehingga harus menggunakan bus untuk melanjutkan perjalanannya hingga dapat sampai disini. Sedulur yang baru pertama kali melingkar disini, namun betapa kehangatan yang dirasakan membuat posisinya bukan lagi menjadi tamu namun merupakan bagian dari keluarga Gugurgunung itu sendiri.

Menanggapi soal tema, merasa bingung sebab dirinya dianggap bukan salah seorang dewan sepuh. Namun Mas Madrim membagikan tentang sebuah kisah. Ketika dirinya sedang berada di daerah Tuban, siang hari kala itu melihat sebuah petilasan seperti sebuah gapura dari Mbah Madrim. Namun ketika dicari informasi tentang itu selama lebih kurang 7 (tujuh) tahun tidak ada yang mengetahuinya. Sampai kepada Hari Raya kemarin ketika sedang pulang di Tuban, bersama dengan saudaranya menuju ke sebuah lokasi. Hingga tiba di sebuah lokasi yang juga merupakan sebuah petilasan. Terlihat disana seperti bambu yang digulung dengan kain lengkap dengan sesajennya. Disana Mas Madrim sempat membaca Al-Fatihah juga sholawat. Ketika pulang, sesampai di rumah Mas Madrim diberi tahu oleh kerabatnya, bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang biasa digunakan beberapa orang untuk pesugihan dan disebut dengan Mbah Candi. Berujung respon kaget juga heran yang menghinggapinya. Dugaan Mas Madrim ialah, petilasan Mbah Madrim disamarkan menjadi Mbah Candi.

Ketika dipersambungkan dengan tema dewan sepuh ini, kecurigaan yang muncul ialah jangan-jangan leluhur sepuh kita ahli dalam menyembunyikan. Hingga muncul dugaan bahwa dewan sepuh itu memiliki sesuatu yang disembunyikan.

Waskita dan Kemawasan Diri

Untuk berikutnya Mas Ali meminta Mas Andi dari Maiyah Masuisani, Bali memberikan urun rembugnya. Namun sebelum Mas Andi berbagi pendapatnya, sedikit diceritakan oleh Mas Kasno bahwasanya keluarga Gugurgunung selalu menjumpai Fenomena Kerinduan yang berhubungan dengan Mbah Nun. Kerinduan keluarga Gugurgunung dengan Mbah Eko Tunas, dihadiahi dengan rawuhnya beliau di Majlis Gugurgunung edisi April 2018. Ada satu lagi kerinduan yang kami keluarga Gugurgunung menganggapnya sulit, yakni kerinduan terhadap Mbah Umbu. Namun pada malam hari ini, keluarga Gugurgunung dihadiahi atas kerawuhan sedulur Maiyah Masuisani, Bali yang diasuh langsung oleh Mbah Umbu. Hingga diminta untuk menceritakan sedikit kisah tentang Mbah Umbu, sekedar untuk mengobati kerinduan kami dengan beliau.

Mas Andi, pertama mengucap syukur bisa dihadirkan dalam Majlis Gugurgunung disini juga untuk menyambung tali silaturahim dari beberapa simpul Maiyah lain, dimana selama ini hanya dapat diikuti melalui Youtube atau sosmed lainnya. Bernama lengkap Andi Priyo Cahyono, lahir di Magetan dan sudah di menetap di Bali semenjak tahun 1999.

Sedia berbagi kisah, bukan maksud untuk menilai Mbah Umbu. Tak bisa pula secara keseluruhan namun hanya sebatas sudut kacamata yang dilihat oleh Mas Andi bahwa Mbah Umbu adalah orang yang keras juga lembut. Keras pada prinsipnya, namun lembut dalam menyampaikan sesuatu serta bijak dalam menyikapi suasana yang terjadi. Pertemuan di Masuisani baru 5 kali pada tanggal 30 Juli 2018. Pertemuan pertama Mbah Umbu tidak enak badan dan baru datang di pertemuan kedua, tiga, empat dan insya allah lima kali pada pertemuan 30 Juli 2018. Dianggap oleh Mas Andi, Mbah Umbu adalah seorang guru, sesepuh dan panutan. Seolah yang ada di otak, Mbah Umbu ialah orang yang sangat “wah” Namun seiring perjalanan dengan beliau, secara personality beliau adalah orang biasa, dan apa adanya. Menyikapi, menyampaikan, dan menginginkan sesuatu secara apa adanya. Namun itulah kehebatan beliau dalam menjalani keseharian. Jarak 4 – 5 km, setiap hari, selama puluhan tahun ditempuh untuk selalu berjalan tanpa kenal lelah. Menjalankan kehidupan secara natural , namun justru sisi kenaturalan dan kejujuran beliau terhadap hidupnya itu yang membuatnya kuat dan senantiasa mawas diri menghadapi kenyataan. Sesuatu yang di pikiran kita anggap “wah” ternyata justru adalah sebuah kenaturalan itu sendiri. Misalkan Mbah Umbu sedang sakit, disikapinya dengan menikmati rasa sakit tersebut hingga seakan mengalahkan rasa sakitnya.

Namun selain itu, kuatnya beliau juga terdapat dalam tulisan-tulisan beliau seperti dalam menulis puisi. Sering dikatakan juga bahwa Mbah Umbu kagum terhadap Mbah Nun yang dipanggilnya dengan sebutan “M”. Dalam sebuah puisi Mbah Umbu dapat menulis sebuah kalimat yang dapat memiliki banyak makna, hampir kebalikan dari kita yang menulis beberapa kalimat namun belum tentu bisa menjelaskan sesuatu.

Menanggapi soal tema, Mas Andi berpendapat justru bukan berawal dari sebuah kecurigaan sebab akan berbuah panyono, sehingga memiliki konotasi negatif. Sebaiknya melatih diri kita agar waskitha terhadap suatu hal sehingga berbuah kemawasan diri.

Resonansi Maiyah

Kemudian Mas Rizky dari Koordinator Simpul Region 3 juga diminta untuk urun rembug. Dimana malam ini merupakan malam pertama Mas Rizky melingkar juga di Majlis Gugurgunung. Sebuah apresiasi disampaikan atas acara yang cukup meriah ini sehingga kegiatan ini dapat memberikan inspirasi untuk simpul-simpul yang lain sejumlah 58 simpul Nusantara dan 1 simpul di Korea. Kegiatan ini disebut penumbuhan diri penggiat sebab acara ini dikhususkan untuk penggiat dari simpul Maiyah meskipun belum semuanya bisa hadir. Kegiatan serupa oleh Kenduri Cinta pernah dilakukan dalam bentuk workshop penulisan, story telling dan desain visual. Selain simpul Maiyah, Mbah Nun juga menyebut ada resonansi Maiyah, dalam pada itu ialah orang-orang yang memiliki ikatan batin yang kuat terhadap Mbah Nun namun bukan dalam bentuk ikatan formal.

Zamatera ini memiliki kekayaan sosial kapital, dimana tidak harus memiliki banyak upaya tetapi bisa bertemu dengan sebuah produk kemanfaatan yang sangat besar. Resonansi Maiyah ini wajib bagi semua simpul untuk menguri-urinya.

Menanggapi tema tentang dewan sepuh, pernah Mbah Nun menyebutnya namun bukan dewan tetapi adalah diwan dari bahasa arab yang diserap oleh bahasa Indonesia menjadi dipan. Sekarang dipan diartikan menjadi tempat tidur, namun dahulu digunakan sebagai tempat yang lebih tinggi dan digunakan duduk untuk para sesepuh. Hal ini pernah disampaikan Mbah Nun kisaran tahun 2015 di Kadipiro yang kala itu ada seorang putra mahkota dari Kadipaten Purbalingga yang jika diurut mendapatkan gelar Adipati Purbalingga yang ke-8. Namun sejak tahun 1950, sistem ini sudah tidak digunakan dan berakhir di Adipati ke-5, sebab Undang-undang daerah yang digunakan telah berubah menjadi Pilkada yang kita kenal seperti hari ini. Perihal untuk menjadi Adipati atau bukan, tidak untuk diperebutkan namun bagi seseorang yang memiliki trah ke nenek moyang yang dulunya adalah penguasa yang natural terpilih oleh alam baiknya berposisi sebagai dewan sesepuh. Secara operatif dimaknai oleh Mas Rizky seperti Tim Gubernur Untuk Percepatan Undang-undang di Gubernuran. Dewan sesepuh ini bagai advisor, tetapi dalam tataran level yang lebih tinggi seperti filosofi pembangunan. Namun tentu ada skup dewan sepuh yang lebih sempit yang perlu kita curigai dan waskitakan bersama-sama.

Selain sebagai moderator, Mas Ali Fatkhan juga diminta urun rembug oleh Mas Ronny melalui SMS, untuk mewakili Gambang Syafaat. Pertanyaan pertama, mengapa harus dicari dewan sepuh itu? Apakah ada? Atau mungkin sudah ada, namun belum diketemukan?

Jika belum ada, maka seharusnya diadakan. Namun jika belum ketemu, mengapa bisa belum ketemu? Berarti kita harus menyadarinya dengan sebuah kecurigaan dan kewaskitaan tadi.

Mas Ali pribadi tertarik pada kata dewan, berarti banyak dan diartikannya parsial. Bebeda dengan orang sepuh. Jika orang sepuh maka dia ahli dalam suatu hal namun bukan dalam hal yang lain. Ada sebuah nilai yang dimiliki oleh orang sepuh, yakni ketakwaan.

Tahan menghadapi rasa sakit

Kemudian Pak Zain juga diminta untuk mengelaborasi tentang tema dewan sepuh ini. Pertama beliau bersyukur bisa dipertemukan dengan berbagai simpul Maiyah disini serta berterima kasih atas apresiasi yang telah diberikan. Dikatakan “bahwa perwakilan dari Zamatera malam ini bukan sekedar terapisnya, namun adalah trainer terapis nasional. Insya allah juga Zamatera ini akan diajarkan di seluruh pelosok Nusantara melalui Pagar Nusa”.

Menanggapi tentang Maiyah, dimana Pak Zain menganggap dirinya pemuda di Maiyah karena baru 5 kali ikut Maiyahan dan 2 kalinya berada di Gugurgunung, lalu di Simpanglima Semarang, Lapangan Pancasila Salatiga, dan yang ke limanya ialah pada tahun 1990 waktu itu di Masjid Agung Surakarta.

Pak Zain setuju dengan kewaskitaan tadi, sebab biasanya orang-orang sepuh itu menyembunyikan diri. Mengingatkannya pada kisah Mbah Samud, yang setiap hari dianggap sebagai orang gila yang setiap hari berada di Pasar Kendal. Kewaskitaan menurut Pak Zain berbeda dengan kecurigaan, karena justru lebih dekat dengan suudzon padahal kita harus khusnudzon.

Menanggapi sebuah ayat yang terdapat dalam mukadimmah, diman+a ini landasan dari Zamatera yakni tentang ketakwaan. Karena Pak Zain merasa dirinya bukan orang baik, maka ingin memberi kemanfaatan terhadap sesama, dan alhamdulillah Allah menitipkan ilmu Zamatera ini yang berawal dari penghayatan rasa sakit yang luar biasa yakni pada syaraf tulang belakang sekitar tahun 2005. Dalam penghayatan rasa sakit tersebut mengingatkan beliau semasa kecil sering tidur di mushola dan melakukan grebekan dan akhirnya dipraktekannya. Ketika sembuh, ilmu ini dipraktekkannya pada teman-temannya. Juga dipraktekkannya untuk anak-anak SMA yang sakit saat menstruasi. Dari 70 responden, ketika dipantau kembali usai diterapi 67 orang mengatakan tidak sakit lagi tiap bulan selama 6 bulan. Dulu teknik ini dikatakan mirip dengan Yumeiho dari Jepang.

Ketika diundang ke Jepang, Pak Zain dijadikan sebagai Presiden Yumeiho Asia Tenggara. Namun Pak Zain juga harus membayar semacam royalty kepada Yumeiho. Ketika pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Mbah Nun, direspon oleh Mbah Nun bahwa “Indobesia sudah dijajah Belanda 350 tahun, dijajah Jepang 3,5 tahun dengan begitu beratnya, mengapa saat ini masih harus melanjutkannya lagi?” Sambil ditunjuk-tunjuk di muka, sambil Mbah Nun meneruskan, bahwa “Disini lebih tua dari Jepang, bahkan tehnik yang Pak Zain temukan merupakan temuannya sendiri mengapa mau menjadi antek Jepang?” Akhirnya usai dipikir masak-masak, akhirnya Pak Zain memutuskan 100% mengundurkan diri dari Yumeiho, demi rasa Nasionalisme. Bahkan pernah ditawarkan kepada Pak Zain, untuk menjadi terapis di timnas Qatar dengan upah bersih 50 juta perbulan. Namun teringat pesan dari Gurunya “kowe golek duit opo golek berkah uripe?, harus salah satu, tidak bisa dua-duanya uang banyak yang berkah”.

Mengistirahatkan sejenak, sedikit hiburan yakni sebuah guyonan intelektual atau stand up comedy dari Mas Aan Kudus. Dimana berangkat dari tanpa materi, namun meminta waktu untuk menyerap apa-apa saja yang telah disampaikan untuk menjadi sebuah guyonan.

Kemudian ada Mas Galih dari Petani Muda Jogja, merupakan sebuah gerakan yang baru dirintis atas dasar keprihatinan terhadap anak muda sekarang yang kurang menarik karena tidak profitable, intelek dll. Meskipun bukan berasal dari basic petani tetapi dari musik dan entertaintmen, namun sempat berguru di Tangerang yakni tempat Pak Ibnu. Menanggapi soal tema malam ini, dimana dalam mengenal suatu objek atau keadaan harus mengetahui esensinya dimana sekarang jarang diperhatikan oleh sebagian orang. Seperti dalam bertani, jaman sekarang dan dahulu sudah berbeda karena jaman sekarang hanya berorientasi pada profit dan kurang mengenali tanaman. Padahal dengan mengenal, kita bisa memahami korelasi antara sebuah objek terhadap objek yang lain.

Hidup Berdaur agar senantiasa ingat asal-usul

Kemudian tiba Mas Agus untuk mengelaborasi tema malam hari ini. Terima kasih diucapkan atas kerawuhan Mas Zain beserta rekan-rekan therapis, juga pada Mas Mundari beserta keluarga atas tempat yang telah disediakan, juga kepada dulur-dulur Maiyah se-antero Nusantara sehingga dapat menegaskan kembali kasih-sayang dalam bebrayan antar diri kita. Dimana kasih sayang yang ingin kita bangun merupakan kasih sayang yang ingin Allah cipratkan kepada semesta kita dalam menapaki langkah kehidupan.

Kesempatan yang membahagiakan malam ini ialah, lebih membuat kita waskitha dalam mencurigai, mengenal apakah kita hanya sekedar pintasan, ataukah hanya buih kecil namun akan menjadi ombak ketika bersambung dengan buih-buih yang lain sehingga ombak itu memberikan gelombang yang menyapa dan menyambungkan tanah dan air.

Kita disini memiliki ranah potensi ketakwaannya masing-masing. Dimana kadar ketakwaan seseorang tidak dapat diukur. Seperti halnya menimbang kepedasan lombok atau manisnya gula.  Meskipun kita semua sepakat bahwa poin dari lombok adalah pedasnya dan gula adalah pada manisnya.

Sudah saatnya kita kembali pada sebuah konsep menjalankan kehidupan dengan menggunakan metode petunjuk langit melalui jalan yang sudah diresmikan oleh Allah baik itu Malaikat, Nabi, Rasul, Kitab suci dlsb. Dimana setiap manusia, dalam dadanya sudah ditanam Al Qur’an (Petunjuk) melalui malaikat Jibril (Al Baqarah : 97). Sesungguhnya inilah letak dimana kita dapat memberikan sambungan pada kita meskipun kita ini berbeda. Karena memang ketidaksamaan itu untuk menunjukkan keagungan Allah, bahwa dengan perbedaan namun kita percaya bahwa kita mampu menemukan titik temunya. Cita-cita yang sama yakni bersatu pada ranah yang intim. Inilah metode Allah untuk menyampaikan keindahan. Air dan minyak tidak bisa bersatu, namun kesadaran fungsi masing-masing yang dimilikinya terdapat fungsi yang sama yakni kemanfaatan terhadap kehidupan kita. Inilah cara Allah menunjukkan keagungannya bahwa masing-masing pihak memiliki kesepuhan, bobot serta level ketakwaannya sendiri-sendiri. Jika kita berhenti pada level ketakwaan yang kita bayangkan atau imajinasikan saja akan berbahaya sebab kita tidak mampu menggapai sesuatu yang lebih besar.

Kita disini sama-sama dalam rangka dipertemukan oleh Allah, jangan menyangka bahwa kita hanya bertemu dan ber-Maiyahan saja disini. Namun kita disini sama-sama mengakurasi nikmatnya persaudaraan tanpa ada perasaan saling mengintai satu dengan lainnya. Waskita dan curiga dianggap Mas Agus sama, hanya bahasa penyampaiannya yang berbeda. Seperti panggilan lur dan cuk. Kita berbeda namun tetap menjunjung tinggi ranah persaudaraan. Dimana ranah persaudaraan itu sekarang sedang menjadi telur di ujung tanduk. Telur di dalam Maiyah ini semoga telur yang siap menetas, bukan pecah. Mbah Nun sejak sekian kurun waktu lalu senantiasa mengisi tulisan dengan label daur, bahkan sudah dibukukan.

Kita dalam Maiyah, apa yang ingin kita persambungkan? Berulang kali dalam daur seolah ingin mengatakan bahwa hidup sekarang ini memerlukan belajar yang sungguh-sungguh, kalau ingin membuat paseduluran yang seperti sekarang ini membutuhkan biaya yang besar, dan waktu yang lama. Maka bagaimana hal ini tidak habis dan tenggelam hanya karena kita tidak memiliki figur secara jasadiah. Kita harus mampu menyerap nilai dan spirit dalam diri kita untuk menjadi resonansi Maiyah yang “Kawi” (kawitan, murni, awal, sepuh, tua). Mengapa? Sebab kita mencoba melengkapi sebuah fenomena pohon yang tidak akan terhormat dan bernilai hanya karena bisa berbunga dan berbuah. Tetapi pohon tersebut juga memiliki daun, tangkai, batang yang bernilai. Tetapi pokoknya adalah bagian akar. Dengan persaudaraan kita saat ini seakan sedang panen buah, bagaimanapun dalam simpul yang lain tidak dalam keadaan terancam dan bukan pula menjadi pihak yang harus berbasa basi. Jika ini adalah akibat, maka kita harus mencari penyebabnya. Agar terus menemukan akibat-akibat yang berikutnya. Baiknya kita meneruskan biji-biji tersebut agar semakin banyak bermunculan akibat-akibat tersebut.

Termasuk salah satu kegiatan petani muda Jogja merupakan salah satu bentuk bahwa telur itu memiliki kemungkinan untuk menetas. Pergerakan ini bersambung dengan kegiatan dari sedulur Jepara dengan program Kampus Sawahnya. Bersambung juga pergerakan tersebut di bidang teknologi dengan pergerakan Pak As’ad. Berlanjut juga dengan Pak Ibnu, dimana masih ada ketersambungan dengan Pak Zam. Maka dari itu nampak bahwa kita diberi ilusi perbedaan namun sesungguhnya kita hanya diberi kesempatan untuk menemukan persambungan serta persamaan. Baiknya kita bertukar kontak dan informasi, bukan untuk menemukan dewan sepuh itu namun untuk melanjutkan proses mencari dewan sepuh tersebut bersama-sama. Fungsi dewan sepuh salah satunya ialah ketika anak-anaknya gegeran, congkrah, dll dimana dewan sepuh dapat menempatkan posisi di tengah tanpa memiliki pretensi atau keinginan untuk memiliki salah satu dari apa yang diperebutkan tersebut. Ini yang tidak ada saat ini, dimana kerap kita sangka ada pihak yang menjadi penengah namun justru akan merebut sesuatu yang sedang diperebutkan.

Tentang emergence yang kerap diungkapkan Mas Sabrang, juga dalam Al Qur’an dalam kisah An Naml, An Nahl agar kita dapat mempelajarinya. Tidak apa-apa kita kecil sebagai semut ataupun lebah. Asal kita tahu carfa berdaulat. Bukan sebuah tuntutan untuk kita agar menjadi besar, gagah dan bergading seperti gajah, daripada menjadi gajah menoreh kisah nestapa dalam surat Al Fiil.

Dalam An Nahl, meskipun berukuran sangat kecil namun dianjurkan untuk membuat rumah di gunung-gunung, pohon, dan bangunan yang dibangun manusia. Dianggap Mas Agus bahwa ini merupakan kesempatan kita untuk menjadi An Naml atau An Nahl. Lebah yang memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri. Makhluk yang berukuran kecil namun sesungguhnya kuat.

Dapat kita mulai dengan melakukan hal yang paling sederhana terlebih dahulu, seperti mengkonsumsi tanaman yang kita tanam sendiri. Meskipun salah satu simpul Maiyah yang menanam namun simpul Maiyah yang lain ikut mengkonsumsi masih bisa dihitung sebagai tanaman sendiri. Banyak hal yang hilang karena tidak terakomodir dan kalah oleh salah satu sistem besar. Seperti pembuat tikar pandan, dll.

Banyak bakal tanaman yang mati karena bijinya kita tindas atau injak-injak. Maka dianjurkan bagi kita untuk memiliki hati petani. Hati yang senang tandur, ngerumat, ngeramut hingga lahan yang tandus menjadi ijo royo-royo. Bisa pula diterjemahkan bukan dalam tanaman saja, tetapi kebaikan dalam bentuk apapun termasuk berhati petani seperti halnya Zamatera ini.

Kemudian Pak As’ad dari Suluk Surakartan, yang baru saja tiba sebab salah membaca lokasi yakni Bergas yang dibacanya menjadi Bergota yang berada di Semarang, sehingga harus memutar balik. Menanggapi soal tema, yang memiliki ketersambungan terhadap tema dari Suluk Surakartan kemarin yang diambil dari tulisan tetes dari Mbah Nun. Dari berbagai lapisan masyarakat yang kita kenal memang terjadi krisis paseduluran.

Mungkin akan lebih mudah dengan analogi tiang listrik pusat dengan tegangan tinggi tidak akan efektif dan efisien jika langsung disalurkan ke rumah-rumah. Seperti halnya tidak bisa begitu saja bagi kita untuk menyerap informasi langsung dari pusat. Masyarakat secara personal atau komunal digambarkan dalam sedulur papat limo pancer. Begitu pula di era kenabian kita kenal empat sahabat dengan pancernya ialah kanjeng nabi.

Dengan simbol piramida, dengan unsur Nur Muhammad. Dalam tetes Mbah Nun ditulis dalam “Berdiri di pojokan” seolah-olah menyingkir dari permasalahan yang ada untuk mengamati. Mungkin juga dapat berarti agar menjaga keempat unsur ini agar tidak ada yang dominan. Permasalahan dalam perkumpulan apapun karena keempat unsur ini yang tidak dominan. Belum ada kesadaran bahwa kita harus mengelola keempat unsur tidak lebih tinggi dari yang di tengah. Jika secara komunal, maka yang bisa disebut sebagai dewan sepuh dimana biasanya adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya yang tidak terikat sesuatu yang tidak penting.

Tentang emergence digambarkan oleh Mas sabrang sebagai sebuah intelektualitas yang tidak menempel pada makhluk. Digambarkan dengan semut ataupun rayap yang sangat cerdas dalam mengelola organisasinya. Menggambarkan politik di Indonesia, jika dalam suasana menanam, kita akan mengalami musim yang anomali. Yang tidak mengenal kapan kemarau dan penhujannya. Maka diperlukan dewan sepuh sebagai penyeimbang, katalisator, juga penghubung. Banyak sekali di lingkungan Maiyah yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual namun selain itu juga memerlukan pancernya.

Diskusi terus berlanjut hingga waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB. Mas Jion diminta untuk menembangkan “Pangkur kerinduan”, dilanjutkan dengan “Dhuh Gusti” bersama-sama dengan sedulur-sedulur yang hadir. Dilanjutkan “Shohibu Baiti” bersama-sama yang dipimpin oleh Mas Tyo. Sebagai penutup, makanan khas Gunung yang selalu menjadi tradisi Gugurgunung ialah menu nasi jagung sambil mengobrol ringan dalam bentuk lingkaran-lingkaran yang lebih kecil.

Semoga diri kita dapat mengelaborasi masing-masing bahwa apa yang kita dapatkan disini akan kita bawa pulang dan kita jadikan alat penggembira di dalam memasuki ranah kehidupan berikutnya entah keluarga, lingkungan, masyarakat sekitar kita masing-masing.

Kita bangun secara sungguh-sungguh, kalau itu bisa tergapai insya Allah akan ada pilar-pilar yang tetap mempertahankan daur. Baik soal ketahanan pangan, pertahanan keamanan, sains dan teknologi, serta literasi. Pelan-pelan kita kerjakan untuk generasi anak cucu kita. Untuk diberikan pula pada anak turunnya lagi seperti halnya An Naml dan An Nahl.

Sekian reportase kali ini, semoga bermanfaat.

 

Andhika H

PERCAKAPAN JABANG BAYI KEPADA DIRI

Pemantik :

Naskah Teater Singkat / Monolog

PERCAKAPAN JABANG BAYI KEPADA DIRI

Ada sedikit cerita tentang percakapan antara manusia dari lahir hingga tua dengan Jabang bayinya. Ketika seorang manusia tersebut terlahirkan di dunia dan menjadi bayi maka dia berkata kepada Janinnya. Dialog Jabang Merah kepada Jabang Bayi.

 

Jabang Merah : “Bersyukurlah kita yang telah diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan, walaupun belum banyak yang bisa kita perbuat, kita sadar bahwa masih sulit untuk mengucap syahadat namun hati sungguh telah bersaksi”

Lalu seiring berjalannya waktu si bayi telah menjadi seorang anak. Dan si anak tadi berbicara dengan si Janin. Dialog Jabang Jingga kepada Jabang Bayi :

 

Jabang Jingga : “aku sudah diberi kenikmatan bahwa aku dapat berbicara, berjalan bukan hanya sekedar membuka dan memejamkan mata”

Jabang bayi : “ baguslah, tapi semoga tingkah laku dan ucapanmu tetap berkesesuaian dengan kesaksianmu”

Lalu ketika mulai beranjak remaja berkata lagi kepada si Janin, ia mulai bisa berpolah tingkah dengan pilihannya. Mulai bisa berfikir dan menganalisis persoalan, hingga mengenal cinta kepada lawan kelamin. Dialog Jabang Kuning kepada Jabang Bayi :

 

Jabang Kuning : “aku telah bisa merasakan yang namanya cinta, lengkap sudah hidupku”

Jabang Bayi : “Kita ini sudah diberi stempel untuk menjadi abdi Gusti Allah, semoga hatimu masih sejalan dengan itu”

Jabang Kuning : “Tenanglah, kita ini sedang hidup didunia, tak perlulah sebentar-sebentar berbicara demikian”

Jabang Bayi : “Tapi kita perlu sebentar-sebentar mengingat demikian”

Jabang Kuning : “Kenapa?”

Jabang Bayi : “Karena sesuatu yang kemudian menjadi lama hanya dimulai dengan awal yang sebentar. Kita lupa secara berangsur-angsur dan lama karena pernah ada satu hal singkat yang kita biarkan tumbuh dan melenakan. Bisa tentang kepandaian, bisa tentang ketenaran, bisa tentang cinta kepada fatamorgana dunia”

Jabang Kuning : “Tidak ada yang salah dengan dunia, kita semua belajar darinya karena kita masih menjadi penghuni dunia, itulah laku”

Jabang Bayi : “Namun, tetaplah Laku dalam kebeningan. Laku Wening. Kuning”

Lalu ketika si remaja merasakan kekecewaan cinta di dunia si Janin lalu berkata kepada dirinya sendiri. Dialog Jabang Ijem kepada Jabang Bayi :

 

Jabang Ijem : “Apa yang kurang dari diriku? Kasing sayang, perhatian, cinta, fisik yang sempurna, kepandaian, harta kekayaan, ketenaran? Semua sudah ada pada diriku, apa yang ia cari sehingga bisa dengan sangat bodoh dan keji mencampakkan aku?”

Jabang Bayi : “Itulah sedikit cara untuk mengingat kembali, bahwa setiap persoalan itu tidak akan selalu sesuai dengan apa yang diharapkan”

Jabang Ijem : “Aku tidak berharap banyak, aku hanya ingin bersamanya”

Jabang Bayi : “Tapi dia tidak ingin bersamamu”

Jabang Ijem : “Kenapa?”

Jabang Bayi : “Karena, kamu masih menyangka bahwa keinginan dan imajinasi keindahanmu adalah terbaik dan diam-diam menuntut kepada orang lain untuk melayanimu, sedangkan kamu terus dilayani, kamu tak mengenal kekecewaan dan pengorbanan”

Jabang Ijem : “Tidak! aku tidak pernah menuntut apapun, aku akan memberi apapun untuknya”

Jabang Bayi : “Apakah kau sanggup memberinya kebebasan memilih yang ia cintai meski ia bukan dirimu?”

Jabang Ijem : “Tidak, itu yang aku tidak sanggup”

Jabang Bayi : “Sesungguhnya banyak yang kamu tidak akan sanggup kepada hal-hal yang membuatmu rugi atau kecewa karena sesungguhnya kamu masih remaja yang hanya sanggup berbuat sesuatu ketika berimbas pada keuntunganmu. Entah menjadi makin kelihatan baik hati atau makin kelihatan sempurna. Kamu perlu belajar menenangkan diri. Idi ing Jenjem : Bersungguh-sungguh dan tenang”

Jabang Ijem : “hmmh”

Ketika si remaja beranjak dewasa lalu memiliki sebuah keberhasilan karir, lalu sombong kepada si Janin yang terlalu banyak menasehatinya. Dialog Jabang Milangit kepada Jabang Bayi :

 

Jabang Milangit : “Wahai.. kini lihatlah aku. Sebagai orang yang sukses merintis dan meniti karier. Aku punya kekayaan, punya pengagum, punya anak dan istri yang mengagumiku pula, punya yayasan untuk para terlantar. Itu karena aku adalah teladan kehidupan, bisa bangkit dari keterpurukan, dan tidak cengeng sedikit-sedikit sambat sama Tuhan”

Jabang Bayi : “Dirimu kurang adanya, karena kurangnya kehadiran Gusti Allah dalam setiap pilihan hidup dan langkah kebijakanmu, yang ada hanya dirimu memuliakan dirimu sendiri”

Jabang Milangit : “Kamu pendengki”

Jabang Bayi : “Hanya pendengki yang memahami petuah sebagai kedengkian”

Jabang Milangit : “Kamu iri dan berusaha tetap menang”

Jabang Bayi : “Hanya yang takut kehilangan baju yang menuduh orang telanjang sebagai calon maling. Pada yang butuh pengagum sebanyak-banyaknya yang pintar menuduh ‘iri’ kepada yang tidak ikut mengagumi, padahal kau sendiri yang iri”

Jabang Milangit : “haaahhh…!!!!”

Kemudian Manusia beranjak lagi ke tahap berikutnya. Menjadi Tua dan menemui banyak peristiwa yang menyadarkannya bahwa keagungan dan keluhuran tidak terletak semata pada keagungan dan keluhuran dirinya di mata orang. Namun bagaimana oranglain merasa damai dan tenang dengan kehadirannya. Si Manusia mulai melihat segala hal dengan kacamata ketuhanan. Kemudian ia berkata kepada si Janin. Dialog Jabang Wulung kepada Jabang Bayi :

 

Jabang Wulung : “Kehidupan memberikan pelajaran dan pengajaran, ternyata intinya kita mesti menebarkan Salam seluas-luasnya”

Jabang Bayi : “Kehidupan akan menjadi makin indah dan luas dengan makin banyaknya pemikiran dan perilaku seperti itu”

Jabang Wulung : “Kenapa tidak banyak yang mau melakukannya?”

Jabang Bayi : “Karena perlu proses panjang untuk mencerna hikmah, dan setiap orang punya kemampuan yang berbeda-beda dalam mencernanya. Ada yang cepat ada yang lambat pula”

Jabang Wulung : “Apa yang menyebabkan? Kenapa ada yang cepat ada pula yang lambat ?”

Jabang Bayi : “Karena setiap orang berbeda dalam melihat waktu. Ada yang melihat waktu sebagai sangat singkat sehingga hanya akan memilih hal-hal yang baik dan bermanfaat. Ada pula yang melihat waktu sebagai sangat lama maka ia akan merasa memiliki waktu untuk mengumpulkan, menimbun, hal-hal yang sia-sia”

Jabang Wulung : “Contohnya?”

Jabang Bayi : “Ia tidak menikmatinya di kemudian hari bahkan bisa menyesalinya, jika demikian itulah sia-sia”

Jabang Wulung : “hmmh” berkernyit

Kemudian senja kala tiba dan si manusia ini ketika sudah beranjak tua yang fisiknya sudah tidak sekuat dulu berkata kepada si Janin. Dialog Jabang Wungu kepada Jabang Bayi :

 

Jabang Wungu : “aku sudah lemah, tidak berdaya, dan ternyata benarlah ucapanmu selama ini”

Jabang Bayi : “Ucapanku adalah ucapanmu yang perlu kau temukan kebenarannya selama ini”

-o0o-

Sebagai Naskah persembahan yang disiapkan untuk Pakde Fuad di acara Fuadussab’ah 8 JULI 2017. Keluarga gugurgunung mengucapkan sugeng ambal warso yang ke – 70, terimakasih kami ucapkan kepada panjenengan yang telah menjadi guru yang menemani dan mengajarkan kepada kami hikmah Kitab, juga suri tauladan perilaku utama penjenengan. Semoga diperkenankan oleh Allah SWT kepada Panjenengan umur yang panjang dan maslahat untuk menjadi berkah ilmu bagi kami semua.

Tinggi rendah

Majlisgugurgunung:: Bisakah kau menjunjung kerendahan dengan merendahkannya?

Bisa. Cara ini digunakan oleh Iblis. Dia akan merendahkan dirimu maka dia akan dianggap rendah namun juga banyak yang menganggapnya kesatria.

Bisakah kau menjunjung kerendahan dengan meninggikannya?

Bisa. Cara ini digunakan oleh para Nabi dan Rasul. Dia tahu bahwa peradaban yang ia berada di dalamnya sesungguhnya rendah, namun ia tetap menata dan menemani dan meninggikan agar peradaban itu sedikit melek. Dia akan dianggap mulia namun juga banyak yang menganggapnya gila.

Bisakah kau menjunjung dirimu sendiri dengan ketinggian?

Tidak. Karena kau dan segala ilusi ketinggianmu tetaplah rendah.Continue reading