Mempuisikan Puasa Kehidupan

Back Story:

 

Gagasan tema Mempuisikan Puisi Kehidupan digulirkan di pawon gugur gunung pada 20 April. Persiapan gelaran dicicil sejak 21 April. Tema ini sebagai bentuk kecintaan kami kepada Mbah Umbu, yang laku kehidupannya adalah “Puasa”, yang kami anak cucunya pada lingkaran simpul Majlis Gugur Gunung juga mengenalnya sebagai “Puisi”.

 

Masing masing penggiat menunjuk diri atas potensi perannya. Mukadimah, poster, dan persiapan teknis lain segera diolah. Sehingga sebelum hari H kelar dan siap disajikan.

 

Pun kegiatan berkebun, yang sejak pandemi menjadi satu kesatuan rangkaian kegiatan dengan rutinan sinau bareng, juga kelar dirapel. Sehingga hari H, diharapkan bisa focus pada persiapan acara. Oh iya, sebagai informasi, kebun kami sedang kita tanami Semangka dan Melon, sebagai kelanjutan dari sinau Lombok, Kangkung, Bayam, Tomat, Pare, Terong, dan Kacang Panjang. Demikian ilustrasi progress terkini kegiatannya :

 

 

Magical Moment

 

Kegembiraan menyertai kami pada saat waktu berbuka puasa. Lewat group kami saling berkabar tentang persiapan acara, juga kabar lainnya, diantaranya berupa kabar gembira atas termuatnya 2 tulisan keluwarga gugur gunung pada “Wisdom Of Maiyah”. Yang juga kami sepakati sebagai wadah interaksi kami dengan Mbah Nun. 2 tulisan dengan nomor 117 (Pray, Bless, and Sanctuary), dan nomor 118 (Buah Pencarian). Sungguh hadiah yang indah. Kahanan kian meruang puitik.

 

 

Kami datang di lokasi acara hampir bersamaan. Paras Rembulan yang hampir bulat, taburan bintang gemintang pada bentangan langit Ramadhan, suara suara binatang malam, serta kesiur angin dari puncak Gunung Munggut yang beraroma hutan khas musim kemarau, seolah mengkonfirmasi kehadiran. Kelasa digelar, jajanan ditata, kopi diseduh, alam alaman sebentar, lalu acara dimulai. Acara dibuka oleh mas Kasno, Tawasulan oleh Mas Agus, Wirid Munajat Sholawat oleh Pak Tri, dilantunkan bersama segenap yang hadir. Pak Tri mandeg tak berkata kata saat mahalul qiyam, memberi kode dengan gerakan tangan dan kerdipan mripat. Ya sudah langsung disawut oleh mas Kasno, terjadi salah nada di sana-sini. Gayeng dan mengharukan. Berlanjut khusuk, khidmat, dan hangat, hingga akhir.

 

Mukadimah dibacakan dan disimak bareng bareng. Lalu direspon oleh semua yang hadir. Diskusi khas gugur-gunungan, seluruh yang hadir dipersilahkan memberikan pandangan terhadap tema. Masing masing secara bergantian berkisah tentang perjalanan hidup. Mengalir, asik, dinamis, dan sangat menarik. Dari perjalanan hidup tersebut banyak ditemukan momentum puasa, baik pada polaritas susah-senang, baik buruk, suka duka, dan seterusnya. Masing masing menemukan keindahan kisah yang jangkep, yang kemudian kami sepakati sebagai Puisi.

 

Oh iya, rutinan kali ini juga dihadiri oleh seorang pemuda dari Jakarta. Mas Ezra namanya. Mahasiswa semester akhir yang sengaja ke Semarang untuk merampungkan skripsi. Salah satu tempat yang disinggahinya untuk beberapa waktu adalah rumah Mas Agus, Ungaran. Langsung gandrung sama suasana pegunungan dan perkebunan yang sedang digarap dulur dulur gugur gunung. Seperti menemukan angin yang mungkin tidak seperti ” angin di Jakarta”. Padanya, dalam sinau bareng tersebut, pemandu diskusi mencoba menanyakan tentang Puasa pada ajaran Nasrani, yaitu ajaran yang dianutnya. Dan responnya :  “Mana ada kehidupan yang tidak ada puasa di dalamnya”. Sungguh jawaban yang sangat santika, sangat universal, dan clear. (Semoga Mas Ezra adalah Nasrani yang Nasrullah, doaku).

 

Jadi ingat tulisan Mbah Nun, ” Bahkan Tuhan pun berpuasa”.

 

Jam 00:30. Batas yang juga harus kami pahami untuk memungkasi acara, meskipun gairah masih terus ingin. Dan kesemuanya pun sepakat. Acara dipungkasi dengan Doa, atau tepatnya dengan Puisi Mbah Umbu yang berjudul “Doa”, yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri, dengan teknik membuka rekaman Audio Puisi tersebut dengan disalurkan ke pengeras suara. Kami menyimak dengan hening, lalu mengamininya. Kemudian kami bersama sama berdo’a secara khusus untuk Mbah Umbu. Al Faatihah…

 

 

Reportase Lengkap

 

Pada Sabtu terakhir di bulan April tepatnya 25 April 2021. Merupakan Sinau Bareng yang dilakukan kedua kalinya di tahun 2021 ini oleh Majlis Gugurgunung. Walaupun isu pandemi semakin di naikkan lagi karena mendekati lebaran pada tahun ini, namun itu semua tidak mengurangi keteguhan kami untuk mengadakan acara pada malam hari itu yang bertepatan pada bulan puasa tahun ini yang sudah menginjak hampir setengah bulan pelaksanaan ibadah puasa. Tidak lupa kami selalu mengutamakan dan selalu mematuhi protokol kesehatan yang ada.

 

Bismillahirohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan suka cita dan mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan Sinau Bareng untuk kedua kalinya dan puji syukur bahwasannya kami masih diberi kesempatan untuk mengadakan perhelatan ini lagi di tempat yang sama seperti Sinau Bareng bulan lalu tepatnya bertempat di komplek makan Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari. Tema workshop malam hari ini adalah “Mempuisikan Puasa Kehidupan”. Alhamdullilah pada malam hari ini dihadiri oleh mas Padma yang sebelumnya tidak dapat hadir dan dihadiri pula oleh Mas Ezra yang datang jauh dari Jakarta. Kemudian acara dimulai dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

 

 

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 21.00 dengan bacaan Basmallah kemudian pembacaan Mukadimah tepat acara kami dibersamai oleh rintik hujan yang semakin menambah hawa kesejukan pada malam hari itu serta rahmat dan syukur. Sebelum memulai sesi tanggapan Mas Agus memberikan kesempatan pada sedulur untuk memberikan waktu pada tembakau untuk berkata-kata terlebih dahulu maka disulutlah api pada sebatang lintingan yang begitu semerbak nikmatnya sambil menunggu para sedulur untuk menggali soal tanggapan terhadap topik Sinau Bareng pada malam hari itu.

 

 

SESI 1-

Sebagai pemantik Mas Agus membuka diskusi itu dengan meng-kloso-ni bahwasanya kita itu menjajaki tahapan-tahapan bait, dimana bait itu utuhnya diawali dari sejak kita lahir hingga kita pulang di sisi-Nya itulah kumpulan bait dalam sebuah puisi. Jadi tidak berhenti hanya menjadi satu fase, tetapi semua kehidupan yang telah kita jalani dari sejak lahir hingga mati adalah satu bait puisi. Puisi itu tak harus panjang tetapi makna dari puisi tersebut dapat menjelma sebagai buku tebal apabila diurai secara meluas dan mendalam, sebagaimana hidup yang pendek. Tak harus panjang, namun apakah pada yang pendek itu puisi kita penuh arti atau hanya deretan bait kata tanpa makna. Hidup di dunia sebenarnya singkat tetapi semua terasa lama karena adanya ilusi waktu. Kita bebas torehkan pada yang singkat itu sebagai puisi, atau sebagai tulisan lain, karena kita adalah pena penulis kehidupan. Setiap pilihan masing masing orang berbeda mau menulis novel, prosa, puisi, cerpen atau bahkan hanya sekedar status medsos itu terserah pada pribadinya sendiri. Tetapi kita harus menyadari seberapa jangkauan kita, kalau kita mampu untuk berpuisi namun hanya gemar menulis celotehan konyol maka disitulah letak degradasi. Sebab kita hidup berkeluarga dengan syair, terkepung puisi dan sastra. Alam, tumbuhan, tanah dsb mereka juga berpuisi. Salah satu nilai plus pada suatu karya puisi itu, bilamana di dalamnya terdapat banyak lipatan-lipatan atau polemic. Sama halnya seperti pada Keris yang berkeluk, ada seninya. Halnya dengan hidup kita, bila hanya cuma lajur lurus saja maka hidup kita akan terasa membosankan atau datar. Hidup berada dalam satu garis, pada garis itu ada kala diatas kadang juga dibawah. Tetapi titik hubung dari awal dan titik akhir tak berubah koordinatnya. Tetap fokus sehingga gelombang naik turun itu keluk lekuk kehidupan yang nyeni. Hidup akan runyam jika titik akhir berubah-ubah. Bentuk garis hidup menjadi tidak jelas. Batal menjadi keris sebab malah melingkar-lingkar seperti per tapi bukan per. Maka kita harus memiliki tujuan fokus itu kepada siapakah kelas kita akan persembahkan puisi itu, hanyalah kepada-Nya.

 

 

Tak lama kemudian Mas Nardi merespon pantikan tersebut, dia mencoba untuk menerjemahkan judl tema Sinau Bareng edisi April 2021 ini. Ada tiga kata: “mempuisikan” ,”puisi, “kehidupan”, semua itu saling terikat dan menjadi satu makna, untuk “mempuisikan” sendiri adalah kata kerja, “puisi” tersebut adalah kata makna yang dirangkum menjadi indah, membuat makna lebih tajam, puasa sendiri itu sebenarnya kita bisa atau mampu untuk makan dan minum, tapi kita harus menundanya hingga batas waktu itu selesai atau menggantinya dengan hal yang telah ditetapkan, memperindah keindahan yang ada di kehidupan dunia, seperti contoh kita itu puasa saja sudah indah apalagi kita meluangkan waktu dengan sedikit kebaikan maka itu akan semakin memperindah puasa itu. Segala sesuatu yang bersifat duniawi kita pending dahulu lantas menggantinya dengan hal lain yang dapat semakin memperindah bersifat ukhrowi. Meskipun yang bersifat duniawi ataupun ukhrowi ini sama-sama dilakukan dengan perbuatan dunia, namun orientasi, tujuan, kegairahan, serta sikap bathin yang disiapkan sangat berbeda. Mas Kasno merespon pengamatan dan pendapat mas Nardi sebagai suguhan bait yang memperkaya makna Mempuisikan Puasa Kehidupan. Mas Kasno sangat mengapresiasi pandangan mas Nardi ini, salah satu yang digaris-bawahi adalah tentang kemampuan menunggu ‘buka’ pada saat yang tepat, meskipun kalau mau buru-buru makan juga bisa sejak pagi atau siang, hanya saja bobot kenikmatan duniawi tak bisa benar-benar menggapai kenikmatan ukhrowi. Sebab yang satu (duniawi) dengan menurutkan keinginan dengan mengabaikan kesabaran, rasa syukur, dan keteguhan hati, sedangkan yang satu (ukhrowi) dengan menguntai sabar, syukur, dan keteguhan.

 

 

Berlanjut kepada mas Fidhoh tentang respon pada topik malam hari ini, di dalam responnya  bahwasannya dahulu ketika masih kecil mendapatkan nasihat oleh mendiang ayahnya “ jangan pernah engkau torehkan tinta merah di lembaran kehidupanmu”, lalu timbulah pertanyaan lalu kalau toh kita sebagai pena penoreh tinta tersebut, apakah kita harus meniadakan keberadaan tinta merah tersebut, memilih untuk tidak menyentuhnya bahkan melupakannya, lantas dalam lukisan saja kita memerlukan warna tersebut, disini Fidhoh mengibaratkan bahwa tinta merah tersebut adalah sebuah keburukan.

 

 

Berlanjut pada tanggapan berikutnya Pak Tri, belia mencoba untuk menceritakan dan mengutarakan yang pernah beliau alami dalam kehidupan dahulu. Perjalanan hidup Pak Tri begitu puitis sekali. Sepanjang dari SD sampai SMA rapor tidak begitu dipedulikan oleh orang tua bila bahkan terdapat tinta merah. Juga ketika mendapat nilai agama yang jelek gara-gara tak mau mengarang kegiatan yang tidak ada di kampungnya. Seperti halnya kultum yang tidak selalu ada, teman-temannya kompak membuat karangan agar kolom tugas terisi. Awalnya dia melakukan hal yang sama, namun pada tahun berikutnya ia berpendapat bahwa kegiatan ramadhan itu seharusnya membuat manusia lebih jujur dan berani bertanggung-jawab. Sehingga ia tak lagi mau mengarang, meskipun dianggap pemalas dan mendapat nilai yang rendah. Lain halnya saya kuliah, pada suatu semester beliau mendapat IP 3.6 dan merasa sangat bangga. Ibunya yang sejak SD nggak pernah menanyakan nilai, kebetulan menanyakan nilai pada hari itu. Tentu saja dengan sumringah dan penuh kebanggaan, Pak Tri menjawab nilai 3.6. Yang terjadi sungguh tak seindah harapan, karena sang ibu merasa tanpak sedih, terpukul dan menangis. Bukan hanya itu, dalam beberapa hari Pak Tri didiamkan, tidak diajak bicara oleh ibunya. Untunglah ada Bapak yang bisa dituju unyuk menjelaskan kronologi kejadian dan sistem penilaian di kampus. Bapak beliau bisa mengerti dan memberi nasehat “bapak tidak bisa memberikan kamu apa-apa, yang bisa bapak upayakan adalah memberikan kamu kesempatan. Jadi selama masih ada kesempatan, gunakanlah sebaik mungkin agar kamu tidak menyesal”. Pak Tri merasa disitulah seninya kehidupan dimana setiap peristiwa mengandung syair-syair puitik. Begitupun saat beliau melaksanakan perhelatan pernikahan, beliau merasa tidak ambil pusing pada persiapan akad nikah itu, beliau pasrahkan segala sesuatunya pada kehendak Tuhan, pada akhirnya semua berlangsung begitu lancar dan indah bilamana kita selalu mempasrahkan semua pada kehendak-Nya, lebih baik kita coba untuk mengukir puisi kehidupan itu dan kita pasrahkan semua pada kehadhirat-Nya agar berkesesuaian dan menimbulkan keindahan, berkah itu juga berasal saat kita tidak mengetahui sesuatu, saat kita tahu banyak kadang disitulah muncul kekhawatiran. Mas Kasno menceritakan bahwasannya kita sering mendengar cerita berulang tentang pernikahan Pak Tri, namun kita tak pernah bosan dan merasa cerita itu amat menarik maka disitulah dapat diambil kesimpulan bahwasannnya puisi adalah kata-kata yang dapat mengalir.

 

 

Berlanjut berikutnya pada tanggapan Mas Ezra, bahwasannya memaknai “mempuisikan puisi kehidupan”, sebenarnya belum pernah mengetahui secara pasti apa makna puisi dalam ranah edukasi, namun di kepala ia berpendapat bahwa puisi ialah ekspresi jiwa yang kuat, ketika jiwa itu berekspresi maka akan mengalami kedinamisan sosial sebagai pengalaman pribadi terhadap obyek yang ada ataupun tidak. Pengalaman tersebut membentuk jiwanya, ketika jiwanya terbentuk dia semakin pandai membawakan diri secara ekspresif sehingga berbentuk puisi. Sebab ia begitu menjiwainya maka timbulah ekspresi yang tidak terbendung dan mengakui betapa indahnya puisi kehidupan ini. Kalau untuk puasa sebenarnya adalah penahanan terhadap segala sesuatu yang tidak pakem, seperti menahan untuk tidak berfikir negatif pada orang lain, menahan untuk melakukan hal yang dianggap menimbulkan kemudharotan dsb. Bagaimana hati itu menahan sementara waktu dan ajaibnya ketika puasa ternyata dalam pengalaman pribadi kita secara dinamis ternyata ada hal yang harus kita tahan serta itu saling bersangkut-paut, dalam pengalaman pribadi tidak ada yang tidak puasa. Mas Kasno langsung merespon tanggapan mas Ezra, bahwasannya mendapat satu list lagi tentang topik malam itu, bahwa puisi adalah ekspresi jiwa dari sebuah perjalanan kehidupan dan saat disampaikan dengan penuh penjiwaan otomatis menjadi bahasa universal, karena yang merespons adalah jiwa sehingga juga tersampaikan kepada jiwa. Selain itu hal menarik lagi adalah puasa dapat ditarik sebuah ke universalan yang menarik yaitu “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa”.

 

 

Berlanjut kepada Mas Koko, sebenarnya apa yang sudah disampaikan termasuk seperti yang ingin mas Koko sampaikan. Puisi kehidupan adalah lebih ke bahasa yang sering digunakan oleh banyak orang, baik untuk status medsos ataupun caption yaitu “Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan”, dan sepaham dengan tanggapan Mas Ezra “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa” kalau dilihat dari tema ramadhan ini, puasa pasti didefinisikan sebagai menahan lapar dan haus dan juga menahan emosi, tetapi dalam kehidupan itu puasa maknanya lebih luas lagi. Pada saat umur muda bahwa seringkali orang pandai merangkai kata entah merayu lawan jenis atau apalah itu tetapi ketika menginjak usia diatas 25an, lebih suka mengekspresikannya ke dalam sebuah bentuk menata diri pada bukan lagi hanya perkataan saja, melainkan perbuatan. Sehingga dorongannya adalah juga melakukan keindahan sebagaimana kata indah yang dulu gemar ia tulis. Melakukan dengan seindah dan sepuitis jangkauannya menoreh puisi. Mas Kasno merespon bahwasannya puisi itu dinamis seperti perjalanan hidup masing masing manusia yang pernah dialami, seindah apapun kata-kata yang dirangkai kalau kita belum melakukan yang kita sampaikan, mungkin yang menerima juga tidak merasa match atau klop atau cocok.

 

 

Berikutnya tiba giliran mas Padma, untuk memaknai topik malam itu, beliau mencoba bercerita tentang segala sesuatu yang dirasa tidak dapat dilaksanakan selama ini, dengan adanya tema ini sampai tidak ada yang bisa diungkapkan lagi, bahwasannya begitu indahnya bisa membersamai lagi dalam ikatan lingkaran segitiga cinta keluarga Majlis Gugurgunung ini. Mas Kasno merespon apa yang disampaikan Mas Padma bahwasannya kita tidak pernah menolak kedatangan siapapun dan juga tidak pernah menahan kepergian sedulur yang sedang menjalankan titah kegiatanntya yang lain. Sebab otomatis wirid gugurgunung yang selalu dibacakan akan selalu menjadi do’a yang menyertai kepergian sedulur yang sedang dalam proses pengembaraan di tempat lain sehingga kembali kesini membawa oleh-oleh kebaikan dari pengembaraan tersebut.

 

 

SESI 2-

Mas Kas sebagai selaku moderator, memberikan mic kepada Mas Agus untuk menanggapi apa yang sudah disampaikan para sedulur sebelumnya. Bahwasannya apa yang disampaikan para sedulur sudah mencicil apa yang akan disampaikan Mas Agus  dan  ternyata ungkapan dari perespon terakhir adalah Gong dari renteng puisi-puisi indah yang telah disampaikan. Bahwasannya ada sebuah ketulusan dan estetika, pemilihan bahasa Jawa krama halus adalah indikatornya. Meskipun ada salah satu audience kurang mengerti itu, tetapi dia tetap menghadirkan bahasa tersebut dengan alasan keindahan yang mungkin hanya bisa terwakili melalui susunan krama inggil, itu adalah sebuah puisi paling indah, bahasa yang penuh kedinamikaan, penuh kesantunan, penuh dengan pungtuasi dlsb. Itu pula yang disampaikan alam sekitar, ia bersyair dengan bahas yang tak mampu langsung kita pahami. Kita perlu watah pujangga untuk memaknai segala jenis syair, sehingga kita menjadi pihak yang kian terdewasakan melalui perkataan kehidupan yang tulus dan estetis.

 

 

Misal tadi Mas Nardi memberikan sorotan terhadap topik malam hari ini kemudian diuraikan sedemikian rupa, jadi ada satu kesimpulan yang ditarik, yakni mengindahkan pengendalian hidup di dunia, ini adalah tarikan sederhana tetapi jitu sebab dunia itu pasti ada dua kubu, sehingga ada polaritas. Ada tinggi dan rendah, ada kanan dan kiri dlsb, kalau kita memaknai indah hanya pada satu sisi berarti dapat dikatakan belum mencapai keindahan, keindahannya baru separuh. Kita memaknai kenyang saja sebagai rahmat dan melupakan lapar sama saja keindahan masih separuh, yang padahal lapar juga Rahmat Tuhan. Tanpa rasa lapar maka kita tidak akan bisa menikmati makanan itu, sama halnya seperti proses, proses itu sudah merupakan kenikmatan luar biasa, hasil dari proses itu juga kenikmatan yang berlapis ganda. Kita sering mengasumsikan kesempitan adalah hal yang tidak mengenakkan dan keluasan itu adalah kelapangan. Tiap-tiap kita pasti pernah mengalami suasana sempit, sesak, namun kita didera kesempitan itu untuk untuk mendaya gunakan keluasan cinta yang intim dan mesra, jika tak bisa mendayagunakan cinta dalam kesempitan, akankah ada peluang lebih baik jika kita dihadapkan pada keluasan, luapan kegembiraan? malah kita akan cenderung lalai, abai, dan kehilangan kewaspadaan diri.

 

 

Kita itu diberi ungkapan-ungkapan yang memang disembunyikan, persis seperti puisi bahwasannya tidak harafiah, seperti separuh jiwa, separuh hatiku, padahal kalau digambarkan itu tidak akan kelihatan indah malah menjadi menakutkan, itu semua menjadi indah karena kita semua memilik kemampuan berpuisi punya watak pujangga, begitupun Allah melimpahkan bahasa-bahasa pada kita yang seolah mengandung cacat, kadang kurang kadang lebih. Dikurangkan dan dilebihkan pada titik tertentu agar kita bisa berimbang.

 

Tak jarang Tuhan memberi pancingan berupa ujian pada kita untuk memantau apakah serpihan  Asma dan Sifat-Nya masih terjaga pada fitrahnya. Masihkah titipan-Nya berfungsi pada diri seseorang. Diuji dengan kebencian apakah benih Rahman Rahim masih terkandung. Diuji dengan kemarahan apakah masih berfungsi benih Sabar yang dititipkan-Nya. Jika benih-benih masih berfungsi berarti akan ditumbuhkan lagi agar makin intens, agar kita semakin tetap berada dalam ketetapan-Nya. Kalau semua itu masih ada berarti kita masih terkoneksi dengan apa-apa yang berada di luar dari diri kita, semua yang berada di luar itu tetap, seperti tanah tidak akan berjoget seperti api, begitupun api tidak akan meliuk mengalir ke bawah seperti air, mereka berpuisi secara tetap. Karena kita makhluk dinamis, kita membuat ketetapan itu dengan cara dinamis bukan dengan cara statis, yakni tumbuh dan beraktifitas sesuai fitrahnya, sesuai benihnya. Kalau diberi benih lombok maka tumbuhlah lombok jangan tumbuh sebagai pare dlsb, itulah cara kita untuk mengkhidmadi kehidupan. Kalau dikasih benih tomat ya sudah cukup jadi tomat yang bener, nggak perlu tumbuh sebagai tongseng.

 

 

Berlanjut pada pertanyaan Fidhoh soal nasehat mendiang ayahnya sewaktu kecil, soal jangan menorehkan tinta merah pada kehidupan, itu merupakan nasehat yang baik sekali,  soal tinta merah itu buruk atau tidak, di sekolah tinta merah itu melambangkan nilai yang dibawah standart, sehingga maksud nasihat ini agar engkau tidak jemblok di kehidupanmu. Tapi kita memiliki pemahaman yang berkembang untuk memahami makna warna merah, yaitu jalur merah atau Shirothut Talbis (jalur pengelabuan & muslihat) yang jangan kita tempuh. Tetapi jalur merah itu memang harus ada, karena itu unsur yang membantu proses pertumbuhan jiwa manusia menjadi yang lebih dewasa. Kita sendiri dianjurkan oleh para Nabi dan Rasul untuk meniti perjalanan pada jalur biru atau Shirothun Nubuwwah. Kepada jalur merah kita boleh mengenali dan memahami untuk menjadi alat kewaspadaan diri. Sedangkan kepada jalur biru harus dipahami dan ditempuh untuk menjadi jalan mustaqim.

 

 

Berlanjut kepada Pak Tri, dari semua pengalaman hidup dan kelucuan-kelucuan yang pernah dialami, itulah tanda bahwa adegan itu bisa akan terjadi dengan sempurna tanpa kita membikin skenarionya, kita tinggal melakukannya, sudah ada yang membuat skenarionya itu semua, dan kadang kita akan terperangah sendiri karena tak menyangka bahwa semua adegan berlangsung seindah itu. Yang dapat kita tarik, puisi itu akan menjadi indah ketika kita mau mengikuti alurnya Tuhan, kalau kita masih merasa pandai dan merada mampu memikirkan alur hanya sesuai pikiran kita sendiri, maka puisi itu akan menjadi kurang indah, karena ada unsur yang kita paksakan untuk ada, ada unsur yang kita hilangkan yang justru seharusnya ada. Puisi hidup kita berkata dengan masygul, menjadi kurang indah, karena kita masih belum ridho untuk pasrah sehingga merasa patur mengintervensi puisinya Allah atas hidup kita. Maka dari itu sebelum memaknai cara untuk memurnikan kembali rohani jiwa dlsb, memang diperlukan kemampuan memilih dan memilah, memang diperlukan kemampuan untuk mengenali porsi, memang kita harus mampu memahami pola-pola itu dari pengalaman-pengalaman kita alami sendiri.

 

 

Kemudian bersambung ke Mas Koko dimana rangkaian dari yang telah apa yang disampaikan itu adalah hadiah-hadiah, hidangan-hidangan, keindahan-keindahan, ada irama, tekanan, pekikan dslb, itu semua menjadi hadiah yang begitu indah, karena kedewasaanlah yang akan mengatakan bahwa semua itu adalah kenikmatan, kita tak serta merta memahami semua itu sebagai keindahan karena kita harus melalui tahap atau tingkatan-tingkatan dahulu, semua itu karena adanya ekspresi jiwa, ekspresinya jiwa itu tidak tunduk pada ekspresinya jasad, ekspresi jasad itu berupa panca indera, tetapi dengan adanya ekspresi jiwa maka akan menlengkapi panca indera itu untuk menjadi kembang-kembang yang lebih matang di dalam kehidupan, sehingga dari kembang berkembang menjadi buah, soalnya kalau hanya berhenti sampai kembang maka puncaknya hanya layu. Melalui buah-lah yang lebih memungkinkan terjadinya keberlangsungan kehidupan lagi melalui biji di dalam buah. Kenikmatan bertingkat dan berlapis seperti ini hanya akan  bisa kita kenali jika jiwa kita selalu membuka diri untuk senantiasa berekspresi, ini juga berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Ezra bahwa tidak ada satupun di kehidupan ini yang tidak berpuasa, semua berpuasa, karena kalau tanpa berpuasa, sesungguhnya manusialah yang tidak kebagian tempat. Manusia akan lantak dan rantas berhadapan dengan air, angin, tanah, dan api, yang mereka pernah menampilkan kedasyatannya untuk menggulung kepongahan manusia.

 

 

Berlanjut akhirnya pada Mas Kas sebagai moderator juga menanggapi topik malam hari ini, bahwa puasa itu pasangan nya adalah idul fitri yang berasal dari kata fitrah (fathoro), kalau kita sudah berhasil menjalani puasa satu bulan penuh maka kita kembali ke fitrah, wah hanya sebulan saja kita bisa kembali lagi, enak sekali. Tapi Wallahua’lam, sebab diamati ada hal yang menarik sebelum menuju ke perhelatan tema ini. Beberapa hari sebelumnya, mas Kasno mendapat mimpi dan diberi nasehat tentang makna berpuasa. Dimana dalam mimpinya dikatakan bahwa guna puasa itu untuk agar mempertajam kembali sensitivitas panca indera. Nyatanya memang demikia, yang kemarin es teh biasa saja kopi yg hanya begitu saja sekarang menjadi begitu enak, bahkan aromanya saja hadir lebih wangi dari biasanya bahwasannya ternyata puasa bisa mereset kita kembali ke keadaan semula, bukan hanya jasmani tetapi rohani juga.

 

 

Akhirnya tepat jam 00.03 batas yang juga kami pahami untuk memungkasi acara meskipun, gairah masih terus ingin berlanjut dan kesemuanya pun sepakat, acara dipungkasi dengan Doa , atau tepatnya dengan puisi Mbah Umbu yang berjudul Doa yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri dengan teknik membuka rekaman audio puisi tersebut disalurkan ke pengeras suara, kami menyimak dengan hening lalu mengamininya. Kemudian kami berdoa secara khusus untuk Mbah Umbu. Alfatihah….

 

 

 

Reported by Kasno, Fidhoh Akmal

 

Sambung Rohso – Salam salim sulam

Pertemuan rutin Majlis gugurgunung edisi April dihelat pada tanggal 28 April 2018. Bertemakan Sambung Rohso “salam salim sulam” dan alhamdulillah dirawuhi oleh Mbah Eko Tunas.

Kegiatan dimulai pada pukul 21.00 WIB, bertempat di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in, Bodean, Klepu, Pringapus Kabupaten Semarang. Sebuah tempat yang baru bagi Majlis Gugurgunung dikarenakan tempat yang biasanya sedang tidak dapat dipergunakan sebab bersamaan dengan kegiatan lain yang telah memesan tempat terlebih dahulu.

Lantunan Munajat Maiyah yang dipimpin oleh Mas Jion

Diawali dengan Do’a Wasilah yang dipimpin oleh Mas Ari, dilanjutkan Munajat Maiyah oleh Mas Jion. Selaku moderator yakni Mas Dian memimpin jalannya diskusi. Perwakilan dari Tim Tema yakni Mas Kasno memaparkan awalnya muncul tema ini ialah berawal dari diskusi tentang nyadran, sebuah kegiatan yang banyak digelar di berbagai daerah namun banyak pula yang belum mengetahui maknanya. Nyadran ialah sebuah kegiatan yang sering diadakan pada bulan-bulan Rajab dan atau bulan Ruwah. Pembahasan berikutnya banyak terdapat dalam mukadimmah.

Perwakilan dari Tim Tema yakni Mas Kasno memaparkan tentang Tema Majlis Gugurgunung malam ini; Sambung Rohso

Kemudian Pak Zamroni yang akrab disapa Pak Zam, kali ini juga oleh Mas Dian diminta untuk membagi kisahnya tentang kehidupannya yang pernah menjadi pemimpin sebuah perusahaan yang cukup mapan dan akhirnya ditinggalkannya secara perlahan justru menekuni dalam bidang pertanian. Beliau terjun langsung dalam setiap proses bercocok tanam mulai dari langkah-langkah awal. Hal ini diawali Pak Zam karena ingin menyapa alam dengan mengakomodir bagian ke-aku-an beliau. Alam sekarang sudah diperkosa untuk dieksploitasi, sedangkan menurut Pak Zam jika ada manusia menyakiti alam sama halnya dengan menyakiti dirinya sendiri. Bukan hanya mempelajari alam namun juga belajar kepada alam. Seolah-olah banyak manusia yang tidak mengakomodir tumbuhan, hewan, tanah, batu, pasir dll juga bagian dari semesta yang harus dijaga. Maka jangan disalahkan apabila ketidakramahan manusia dibalas pula dengan ketidakramahan alam, dimana manusia tidak lagi menjalankan proses Rahmatan Lil Alamin. Dalam kegiatan bertani, Pak Zam tiap hari disempatkan untuk uluk salam terhadap apapun yang terjangkau di sekitarnya, dimana hal ini juga diperkenalkannya pada putra-putri beliau. Menanggapi tema tentang Nyadran, mungkin bisa menjadi salah satu cara untuk dekat dengan alam. Seperti halnya sekarang menekuni tani, bermaksud untuk mencukupi kebutuhan bukan sekedar ego diri sendiri. Asalkan ada sambung rasa di dalamnya maka dengan sendirinya muncul kenyamanan asalkan dalam setiap kegiatan senantiasa melibatkan Allah.

Beberapa yang hadir malam ini merupakan kehadiran pertama untuk melingkar di Majlis Gugurgunung bahkan satu dua baru mengenal Maiyah, diminta berkenalan juga menanggapi tentang tema. Seperti Mas Yoga seorang mahasiswa dari Undip yang menggemari teater serta kepo terhadap Maiyah karena baru mengenalinya, ada pula Mas Angling yang merupakan pemuda Karang Taruna setempat, juga Mas Bram seorang pejabat di Dinas Kebudayaan yang juga salah seorang kawan Mbah Eko Tunas, juga Mas Ihda yang dulu sempat tidak simpatik bahkan meng”haramkan”nya terhadap kegiatan seperti Nyadran namun, sekarang berkata sudah “tobat” bahkan ingin mempelajari kegiatan-kegiatan yang hampir ditinggalkan, bahkan memperkenalkannya pula pada anak beliau. Lanjut Mas Ihda, bahwa sekarang banyak pihak dari luar ingin melakukan pemisahan terhadap tradisi, namun hal tersebut tidak mudah karena rasa merupakan urusan dari dalam hati.

Kemudian, Mas Kasno sedikit menanggapi tentang rasa, bahwa rasa merupakan bentuk persentuhan dari indrawi berdasar pengalaman tentang kegeramannya menanam bunga sebagai kegiatan di rumah. Dimana menurut Mas Kasno hal ini cukup lucu pada awalnya yang notabene bertubuh gagah, besar, berambut gondrong namun menggemari bunga. Namun ada hal yang dipelajarinya yakni, biji atau benih terkadang bisa mengalami masa dormant atau tertidur dimana jika ingin ditanam maka harus seperti dikejutkan.

Dalam proses menanam, benih biasanya diletakkan di tempat dahulu di tempat yang gelap dimana berfungsi untuk menumbuhkan dan menguatkan akar serta di dalam prosesnya yang berkondisikan gelap maka ketika sudah tumbuh nanti akan terjadi kerinduan terhadap cahaya.

satu dua nomor oleh Mas Wakijo dengan membawakan Sholawat dan lagunya sendiri yang berjudul “Mencari Kehadiran”

Memasuki sesi kedua, satu dua nomor dahulu oleh Mas Wakijo dengan membawakan Sholawat dan lagunya sendiri yang berjudul “Mencari Kehadiran” yang bisa dilihat juga videonya pada akun youtube.nya. Lantunan suara yang enak tuk dinikmati, tembang sarat makna, juga petikan-petikan gitar nan elok mampu membawa sedulur-sedulur yang hadir dalam suasana hangat dibawah sinar rembulan yang cerah serta berhembuskan angin malam yang cukup dingin. Sebuah suasana yang pasti dirindukan juga ditambah kopi hitam dan wedang uwuh yang siap dinikmati.

Waktu terus bergulir, hingga menunjukkan pukul 22.40. Mas Agus mempersilahkan kepada Mbah Eko Tunas untuk menampilkan monolognya yang menceritakan kisah tentang seorang koruptor dan burung beonya yang terus mengatainya dengan sebutan “maling, begal, rampok”. Pengalaman Mbah Eko Tunas tercermin dalam penampilan monolognya. Dibawakan dengan sangat apik, dengan gaya khas beliau, bermakna dalam namun dikemas dalam sebuah panggung hiburan. Sorak-sorai tepuk tangan sedulur-sedulur yang hadir dirasa masih kurang dalam mengapresiasi budayawan yang juga sahabat dari Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib yang juga sempat memberikan sebuah pesan pribadi via WA kepada Mas Agus untuk disampaikan kepada Majlis Gugurgunung yakni; “Literasi akademis, kurikulum, ilmu opo wae sing diwakili kata, koma, dan titik — Ora iso nyonggah menungso lan kamanungsan. Mulo ilmu njaluk ewang kesenian, sastra, teater, lan sakpiturute. Mulo AlQur’an dibahasakan sangat sastrawi, kisah kisah sejarah dituturkan sangat teatrikal oleh Allah”. ( Literasi akademis, kurikulum, ilmu apa saja yang diwakili kata, koma, dan titik – Tak sanggup menggapai manusia serta kemanusiaan. Maka ilmu meminta dukungan kesenian, sastra, teater, dan lain-lainnya. Maka Al-Qur’an dibahasakan sangat sastrawi, kisah-kisah sejarah dituturkan sangat teatrikal oleh Allah).

Monolog oleh Mbah Eko Tunas yang menceritakan kisah tentang seorang koruptor dan burung beonya yang terus mengatainya dengan sebutan “maling, begal, rampok”

Kemudian tiba Mas Agus yang memberikan informasi tentang Nyadran yakni merupakan sebuah nilai yang berkualitas pohon kayu jati, maka yang akan memanen ialah anak turunnya. Maka tugas kita sebagai anak turun ialah meng”uri-uri”nya. Ketika kita mampu meluaskan waktu maka juga berarti tubuh kita menjadi lebih besar. Contohnya, ketika masih kanak-kanak maka setiap hal yang didapatkan pasti adalah yang terbaik dan nomor satu entah itu barang, perhatian maupun kesempatan karena sangkaan kita hal-hal baik tersebut adalah milik kita. Ketika waktu terus berjalan, tubuh semakin membesar maka akan mampu dipergunakan untuk menampung orang lain sehingga menyangka bahwa kebahagiaan itu bukan hanya untuk dirinya. Ketika seseorang mampu menggapai seluruh kejadian dalam tiap alam semesta ialah sebuah rangkaian yang ada pula dalam diri manusia, maka berarti memiliki keluasan dan kebijaksanaan yang baik. Di dalam bermaiyah diharapkan diri kita bukan berposisi menjadi anak-anak yang menyangka kebaikan itu hanya untuk diri kita dan yang buruk ialah hal di luar diri kita. Mungkin saja seseorang yang mengkonversi keburukan dalam dirinya menjadi sebuah kebaikan merupakan fenomena yang sangat luar biasa.

Mas Agus memberikan informasi tentang Nyadran yakni merupakan sebuah nilai yang berkualitas pohon kayu jati, maka yang akan memanen ialah anak turunnya.

Maka anjuran untuk berjamaah ialah untuk mampu mengenali tubuh yang lebih besar, sehingga apabila hati dan pikirannya belum kumpul menjadi satu maka belum bisa disebut sebagai satu tubuh. Di dalam Agama sendiri, berjamaah maka derajatnya dilipatkan menjadi berkali lipat. Disana bukan hanya jumlah yang digandengnya saja namun juga fenomena sambung rohso di dalamnya. Di Jawa ada istilah nepaake sarira, nepaake roso kemudian menjadi tepo sliro. Dengan mampu tepo sliro maka akan mampu merasakan fenomena-fenomena diluar diri kita seakan ada dalam diri.  Sholat yang sudah diperintahkan Allah membuat kita mampu bercermin terhadap api yang ada di dalam diri kita, dimana api dalam diri kita itu bersifat tegak. Api tersebut ingin menampakkan wajah sehingga mampu dilihat orang tentang keberadaannya, inni wajahtu… namun dilanjutkan lagi kalimat berikutnya wajhiya lilladzi fathorosamawati wal ardl, Sadar dengan wajahnya namun juga harus sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan wajah Allah yang menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada diantara keduanya.

Setelah seseorang bercermin terhadap wajahnya, lalu menghadap wajah Allah maka yang ada hanyalah kesaksian akan keagunganNya. Dengan demikian ia merundukkan kepalanya, menyesuaikan dengan hatinya serta kesadaran dan mulai bercermin kepada angin. Angin, terus bekerja, bergerak dan membantu kehidupan tanpa harus menampakkan dirinya. Inilah salah satu keagungan yang ditampakkan Allah pada sebuah ciptaannya yang disebut angin. Itulah rukuk yang menyatakan “Ya Allah maha agungnya engkau”. Keagungan itu harus dinaikkan lagi sebagai sebuah puji-pujian, agar tercermin keluar dari diri kita, I’tidal. Kemudian dari berdiri kemudian turun kebawah dengan bersujud. Hal itu adalah sebuah representasi dari air dengan kebeningannya, kejernihannya dan kesejukannya. Mampu untuk tinggi namun justru merendah, andhap asor. Dibawah, pada gerakan sujud kita dianjurkan untuk bercermin terhadap tanah yang rela untuk diabaikan tetapi selalu diperlukan. Tetapi tanah dengan istiqomahnya memberikan sesuatu tanpa ada yang dikurangi, seperti benih cabai yang ditanam maka akan tumbuh cabai pula lengkap dengan pedasnya.

Kita masing-masing memiliki ranah api, air, angin dan tanah. Namun ketika kita tidak menyadarinya maka seolah-olah itu tidak ada. Maka air diracuni, tanah diberi pupuk kimia, hutan dibakar banyak yang tidak mempermasalahkan karena itu bukan diri kita.

Sesungguhnya Allah memberi tawaran pilihan surga atau neraka, masalahnya kita mampu menemukan penjaga pintunya atau tidak, pemenuhan hasrat penguasaan itu lebih mendekat kepada Malaikat Malik. Berbanding terbalik dengan sikap lilo, rela, ridho, legowo maka akan lebih mendekat pada Malaikat Ridwan.

Lima orang yang melakukan demikian (ridho) seakan menjadi 25 orang, sebab masing-masing orang memiliki 4 pembantu. Misalkan ada orang bertugas menjaga air, yang lain mencangkul tanah, dlsb. Mereka tidak terletak dalam sebuah kotak atau sebuah departemen sehingga ketika ingin meminta bantuan orang yang mengurus air maka tidak harus mengeluarkan uang, karena disana dia tidak membuat kerajaan namun lebih didasarkan pada sebuah nilai kerelaan. Jadi kekuatannya sangat berlipat ganda jika menjadika ridho sebagai landasan pergaulan, namun dalam pada itu juga harus ada bayaran atau biayanya. Kita tidak bisa memenuhi hasrat kekuasaan kita karena landasan utamanya adalah memimpin diri sendiri. Tidak untuk mengalahkan orang lain tetapi untuk mengalahkan diri sendiri, sebab untuk mengalahkan orang lain itu sangat mudah entah cara halus ataupun kasar. Contohlah membohongi orang lain sangat mudah namun sulit untuk membohongi diri sendiri. Sebuah jalan bisa ditempuh secara keras, dan tegas. Perbedaanya ketika tegas maka kita sedang menempuh nilai kemanusiaan.

Empat berhala, kisah yang sering diceritakan di Majlis gugurgunung yang paling sulit dihilangkan ialah berhala kelingking. Berhala pertama ialah merasa dirinya pemimpin maka disimbolkan dengan jari telunjuk. Berhala kedua ialah merasa dirinya paling unggul atau paling tinggi disimbolkan dengan jari tengah. Berhala ketiga ialah merasa dirinya yang paling manis, cemerlang, tampan, cantik dst disimbolkan jari manis. Berhala keempat disimbolkan kelingking sebab dia tidak merasa besar, tinggi namun dia menyembah ibadahnya sendiri, merasa paling dekat dengan Tuhan yang tidak memiliki kesalahan padahal sesungguhnya itu menjadi borgolnya sendiri. Seperti sebuah kisah yang sempat dibagikan oleh Mbah Eko Tunas saat di ruang transit, ketika seseorang memiliki handphone, dan dikatakan oleh Mbah Eko, itu adalah borgol karena setiap saat harus laporan. Ini adalah salah satu contoh, dimana sesuatu yang sering kita sangka sebagai fasilitas yang memudahkan namun sesungguhnya ialah sesuatu yang mengekang. Oleh karena itu kita diberikan fasilitas oleh Allah berupa akal dan pikiran juga karunia-karunia lain yang secara langsung dapat kita tangkap melalui panca indera agar kita mampu untuk bersyukur. Salah satunya bersyukur diberi rizki yang bukan hanya sekedar uang.

Namun sekarang rezeki hanya diartikan sama dengan uang. Ini adalah kemampuan mentajalikan yang salah karena sesuatu menjadi lebih rendah dari aslinya.

Pernah muncul sebuah pertanyaan, mengapa uang yang bedanya hanya sekian mili, dengan proses cetak yang sama namun seakan memiliki nilai yang jauh lebih besar. Berarti ini bukan tentang nilai namun lebih kepada kesepakatan sosial. Maka Rasulullah menganjurkan untuk menggunakan sesuatu yang tidak mempengaruhi nilainya seperti emas, perak atau perunggu.

Jam menunjukkan pukul 00.00, Mas Jion diminta untuk menembangkan “Lingsir Wengi” sebagai pertanda memasuki pergantian hari. Dirasakan sebelumnya oleh mas Agus bahwa angin lebih menderu dan seperti akan turun hujan. Langit memang tampak suram, tak seperti sebelumnya yang terasa sangat cemerlang.

Kemudian tibalah Mas Agus untuk mempersilahkan kepada Mbah Eko Tunas, untuk berkenan menceritakan kisah-kisahnya. Beliau sekarang tinggal di daerah Banyumanik Semarang dan berasal dari Tegal. Bersama Mbahnya dan dibelakang rumahnya adalah makam. Sejak kecil beliau sudah bermain di makam. Juga mengamati tujuan orang datang ke makam. Kemudian dalam dunia kesenian, baru-baru ini kehilangan tokoh sastra yang hebat yakni Pak Danarto yang meninggal karena tertabrak sepeda motor. Begitu ditangani polisi, tidak ditemukan identitas dan disebut gelandangan. Tidak mengetahui bahwa beliau adalah tokoh sastra. Namun diketemukan sebuah handphone jadul yang dipasangi karet. Padahal beliau memiliki sebuah karya yakni kumpulan cerpen yang hingga saat ini banyak mengilhami para sastrawan. Namun ketika meninggal, sampai ada yang mengatakan ini adalah orang bodoh, padahal beliau adalah sastrawan besar yang karyanya sampai ke manca negara.

Kerinduan sedulur yang hadir dengan Mbah Eko Tunas baru terobati barang sejenak, namun kerinduan ini masih harus berjalan lagi, seperti tema pada malam hari ini yakni Sambung rohso. Dikarenakan sebuah tempat yang baru pertama kali digunakan kali ini berada dalam sebuah lingkup yang tidak memperkenankan kami untuk terus menyambung kerinduan lebih lama. Makan bersama dengan hidangan menu nasi jagung menjadi penutup pada malam hari ini.

Makan bersama dengan hidangan menu nasi jagung

Kekecewaan sudah pasti dirasa, marah hampir saja tidak kuasa kami tahan, namun Insya Allah ketulusan maaf menutupi kesemua itu baik kepada Mbah Eko, juga kepada semua sedulur yang hadir. Rembulan kembali bulat, bersinar dengan terang dengan kalangan warna pelangi yang mengitarinya. Do’a penutup dari Mas Ari mengkhidmatkan suasana. Beberapa sedulur masih beristirahat barang sejenak di teras rumah Mas Agus yang tidak begitu jauh dari lokasi. Hingga hari hampir pagi dan semua berpamitan menuju ke rumah masing-masing. Sekian reportase kali ini, semoga tema Sambung Rohso ini dapat terus bersambung seperti halnya rasa kerinduan kami yang masih terus bersambung terutama kepada beliau Mbah Eko Tunas.

Andhika Hendryawan