LARAS

Gelaran rutinitas majlis gugurgunung pasca dorman. Pembaharuan niat, langkah menjadi bahasan yang perlu untuk menata segala sesuatunya agar menjadi lebih baik. Hampir serba baru, selain niat baru juga malam tahun baru, karena bertepatan dengan malam pergantian tahun hijriah, malam satu Muharram 1441 H, dan tanggal masehi pada 31 Agustus 2019. Lokasi yang dipilih pun baru, bukan karena baru digunakan gugurgunungan pertama kali, namun memang Musholla ini bangunan baru yang dibangun dari wakaf seorang mulia bernama Mbah Mus, salah seorang warga setempat. Kemudian musholla ini dinamakan: Darussalam, berada di Dusun Gembongan – Lemah abang, Ungaran Kab. Semarang.


Kegiatan dimulai kisaran pukul 21.00 WIB. Langsung saja malam ini memperbarui niat bertepatan pergantian tahun baru Hijriah, Mas Sokhib diminta untuk memimpin doa awal tahun dan akhir tahun ini. Turut didoakan putra Mas Mif yang kebetulan malam itu sedang sakit. Doa tawasul yang indah dan ayem oleh Mas Azam, Munajat Maiyah oleh Mas Tyo yang berpembawaan kalem sehingga suasana makin khidmat. Kemudian doa oleh Mas Ari, dimana satu bagian doa ini merupakan wasiat Mbah Nun yang selalu dibaca sebelum Majlisan. Rangkaian kloso penentraman hati sudah digelar masuklah sesi sinau bareng cangkruk budi doyo maiyah Ungaran ini. Tak perlu menunggu komando mas Kasno segera mengambil peran. Berpijak dari tajuk yang ditulis Mbah Nun, bersama Pak Toto Rahardjo menjadi bahan penulisan untuk mukadimmah yang ditulis oleh Mas Agus, “Selamat bangun kembali dari masa dorman” demikian ungkap Mas Kasno untuk mengawali cangkruk, diskusi sekaligus workshop pada malam hari ini.

Pada momentum Muharram/Haruma, seakan kita dibangunkan oleh Mbah Nun untuk ber-Tajdidun-n-niyaat. Mari bersama-sama mensyukuri momentum ini. Momentum yang satu tahun lalu tepatnya pada Paseban Muharram, telah disepakati, diantaranya adalah, bahwa tiap memasuki bulan Muharram Majlis gugurgunung hendaknya mempunyai tradisi untuk berkumpul atau melakukan Paseban. Menentukan apa-apa saja yang perlu atau tidak perlu untuk dilanjutkan. Atau apa-apa yang perlu atau tidak perlu untuk dilakukan.

“Tajdidu-n-niyaat”, merupakan dhawuh dari Mbah Nun yang merujuk pada Tulisan Pak Kyai Toto tentang “Perjuangan Menemukan Jati Diri”. Hal tersebut kemudian sejenak me-remind beberapa hal dalam tema yang pernah diangkat dalam rutinan Majlis gugurgunung. Diantaranya adalah tema “Tandur Kusuma Jati Wijaya”, momentum yang ditengarai dengan fenomena kegembiraan bersama keluarga gugurgunung nandur kembang Wijaya Kusuma yang dipelopori oleh Mas Yudi Rohmad. Yang kemudian juga mentadaburi istilah (Tandur, Tandzur = merawat, Memperhatikan). Juga istilah kata ( Niat, Nawaitu ), kata yang juga terbentuk dari huruf Alif-Lam-Nun-Wawu-Ya, yaitu huruf yang selalu ada dalam semua surat dalam Al Qur’an, yang apabila dirangkai akan membentuk kata Annawai yang artinya adalah benih.

Mas Kasno juga kemudian teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun, dan mengajak atau menawarkan pada dulur-dulur semua untuk masuk melalui kalimat yang disampaikan beliau tersebut terkait dengan niat. Kurang lebih demikian, “Setiap niat baik, Tuhan sendiri yang akan bertanggung jawab akan hasilnya” Maka pada malam ini, sebagai respon atas dhawuh tersebut, kita mengangkat Tema “LARAS”. Sebuah metode yang akan kita sinauni bareng, dengan membangun semangat Hafidz (Menjaga). Semoga niat yang kita teguhkan ini, senantiasa seLARAS dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Amin…

Mas Agus kemudian diminta untuk memberi preambule untuk memantik diskusi. Ini adalah gugurgunungan pertama usai dorman. Ada yang perlu diperbaharui seperti anjuran Mbah Nun untuk memperbarui niat. Bahwa apa yang menjadi hambatan kemarin, segala sesuatunya sudah selesai. Termasuk beberapa hutang dokumentasi serta reportase. Alhamdulillah Mas Aji yang jauh-jauh dari Prambanan malam ini turut hadir. Kemudian oleh mas Agus, mas Ajik dimintai “oleh-oleh” yang diperoleh ketika kemarin Mocopat Syafaat.

Mas Aji mengungkapkan bahwa di Mocopat Syafaat sama dengan simpul-simpul lain yang memberi respon tentang manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana. Yang perlu digaris-bawahi pembagian tersebut bukan pembagian secara hirarki tetapi lebih kepada sifat bahwa semua ada di dalam diri kita. Dalam pada itu sebenarnyalah manusia merupakan manusia nilai. Dimana pasar dan istana menjadi sub, semacam wahana “bermain”nya saja. Semua masih dalam rangkaian sebab akibat. Bukan hanya dengan menguras tenaga untuk mendapat rejeki, tetapi masih ada seribu jalan lainnya. Ketika di Mocopat Syafaat waktu itu diminta masing-masing 3 orang dari tiap jenis manusia untuk naik ke panggung.

Manusia pasar memang lebih pada urusan transaksi. Pedagang atau penjual, koperasi dll.
Manusia nilai waktu itu diwakili oleh seorang Guru dan Guru TPA, dan manusia istana ialah beberapa mahasiswa. Manusia istana dipilih berdasarkan pengaruhnya terhadap lingkup masyarakat yang lebih luas. Baik itu mahasiswa, kepala bagian, kepala asosiasi dll. Semua hal tersebut masih dalam bingkai kewaspadaan. Salah satu dari 4 tajuk bahwa Mbah Nun khawatir kalau ada tekanan hari-hari yang mana sampai merasa lelah, sakit, marah dll. Tajuk ini berangkat dari empati simbah terhadap jamaah maiyah di lingkungan luar yang serba materialisme, transaksi dll yg dialami tiap hari. Sehingga disana membutuhkan kewaspadaan dan membaca diri agar lebih waspada dalam bersikap. Alat tukar kita dengan Allah SWT adalah ketakwaan.

Menurut tadabbur Mas Aji yang jelas ada fase-fase dimana kita memilih dirimu atau selamat dengan nilai, milih berhala atau Allah, anakmu atau Allah lulus terus. Momentum-momentum tersebut jika dinilai dengan transaksi maka sangat kontekstual terhadap kehidupan. Apakah kita memilih nilai atau memilih di luar itu. Sekali lagi bahwa antara manusia nilai, pasar dan istana maka semua adalah manusia nilai. Sedangkan pasar dan istana hanyalah wahana bermain. Keputusan memilih tersebut ketika terpeleset maka justru menjadi goalnya dimana semestinya hanya sebagai sarana atau alat untuk menuju nilai yang lebih besar.

Mas Agus menambahkan bahwa untuk memegang nilai pasti akan berhadapan dengan arus. Apakah arus tersebut akan membuat kita kalah? Jika alat tukar dengan Allah  SWT adalah takwa. Dimana dalam Al Qur’an Nabi Ibrahim sudah distempel sebagai imamnya umat manusia. Pastilah itu bukan sekedar mitos, legenda, dongeng dll. Itu adalah kenyataan yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim. Tidak bisa kita hanya mengatakan “kan dia itu nabi..”. Kita harus bersyukur bahwa Nabi Ibrahim mencontohkan bahwa dirinya adalah seorang manusia pilih tanding. Yang memang dikabarkan dalam Al Qur’an bahwa ia adalah seorang pembawa berita (nubuah, nabi) dan kita memang tidak akan sanggup menjangkaunya. Dalam beberapa ungkapan Mas Aji di depan, diharap bisa menjadi bahan pertanyaan agar diskusi nanti bisa berkembang.

Membidik point dari Pak Totok tentang Al Qasas  bahwa kita harus menentukan peran kita di dunia. Kebetulan memang jauh sebelum ada tajuk tersebut sudah dibuat tema diskusi malam hari ini yakni Laras. Maka tema ini tetap dipertahankan. Kita ibarat gamelan yang memiliki tone nya sendiri-sendiri. Gamelan ini memiliki keunikan yang perlu distem supaya mapan suaranya. Gamelan memiliki dua ciri ketika bahannya bagus tidak pernah dilaras maka nada akan meninggi. Kalau bahan kurang bagus tidak pernah dilaras atau distem maka nada merendah. Ini perlambang yang sangat indah untuk melihat diri sendiri. Ketika kita manusia tidak bagus, lalu terhasut nilai dalam kehidupan maka merendah mudah patah dll. Kalau bahan kita bagus maka kita meninggi yakni sombong demikian efek jika tidak pernah dilaras. Berikutnya, bagaimana kita menyelaraskan kehidupan kita secara nilai terhadap Al Qur’an. Gamelan akan selesai menjadi tidak perlu dilaras ketika usianya 25 tahun. Sudah mapan, mateng dan tidak perlu dilaras lagi.

Ketika disambungkan dengan hafidz yakni merupakan fenomena memelihara. Laras sangat dekat dengan hafidz. Bahwasanya tidak perlu menyelarasakan dalam seluruh Al Qur’an. Minimal mampu menyelaraskan dengan ayat apa yang bisa kita ambil dan selaraskan untuk kehidupan kita masing-masing. Laras bukan sekedar diingat tetapi juga dilakukan terus menerus. Andaikan usia aqil baligh ialah 15 tahun. Jika dihitung 25 tahun setelahnya maka akan menjadi usia 40 tahun. Itulah usia dimana Rasulullah mendapat wahyu dan diangkat menjadi nabi. Mengapa aqil baligh diletakkan 15 tahun? Menurut Mas Agus bahwa kita diberi bonus hidup manusia sebanyak dua windu awal untuk tidak dihitung. Baik untuk recalling, reminding dan lain-lain yakni sampai pada usia 15 tahun.

Setelah melewati usia 2 windu akan menjadi dihitung, dan harus menjadi laras. Kita sudah memiliki tone tetapi belum final dan harus berproses melaras dengan Al Qur’an. Tidak harus dengan seperangkat gamelan atau 30 juz. Sebab 30 juz merupakan pengembangan dari induk alquran yakni Al Fatihah. Bahkan minimal selaras dengan Bismillah. Minimal pengucapan dalam setiap laku. Pertama hingga bertemu Ba, lalu nanti pada partikel yg lebih kecil bertemu titiknya. Seperti pada tahap belajar salam. Tidak perlu  mengucap salam kepada satu-satu. Asalkan kita tidak mengancam harta, darah, orang lain berarti kita sudah salam. Seperti halnya laras. Ini tadi pembahasan secara mayor. Berikutnya kita nanti akan pada tahap personal.

Jeda sejenak untuk menikmati untaian kata oleh keluarga gugurgunung berupa karya-karya puisi yang apik. Penampilan sebuah puisi oleh Mas Angling, sebuah puisi karyanya sendiri berjudul ‘Sambal’. Puisi sederhana dengan racikan kata nan istimewa. Senantiasa mendapat apresiasi, meskipun oleh Mas Agus sedikit memberi input tentang cara pembacaan. Puisi berikutnya dari Mas Fajar yang juga membawakan puisi karyanya sendiri berjudul “Temanku yang dewasa”. Mas Sokhib tidak ketinggalan untuk memberi suguhan puisi yang indah dan romantis gubahannya sendiri tentang seorang istri, puisi berjudul “Bidadari”. Tak seperti biasa, untaian kata yang terangkai dalam puisi-puisi ini seolah menggugah kegembiraan berkata-kata dengan laras dan bermakna. Bahkan Mbak Dewi yang sudah lama tidak tampil, malam itu membawakan juga sebuah puisi karya mas Angling yang bertema tentang ibu. Puisi demi puisi tersajikan dengan apik dan menambah syahdu suasana.

Berlanjut lagi ke diskusi. Mas Sokhib merespon tentang tema dengan sebuah pertanyaan, tentang manusia nilai bahwa kita sebenarnya adalah manusia nilai. Sejak dulu TK hingga bekerja selalu terdengar kata nilai. Apapun yg dilakukan selalu berfokus seputar nilai termasuk kegiatan bermasyarakat. Maksudnya nilai seperti apa? Mas Anjar tak ketinggalan untuk mengembangkan sayap diskusi dengan sebuah pertanyaan tentang pencarian jatidiri apakah terkait dengan janma? Bagaimana jika menjalani tidak sesuai titah apakah akan tidak sesuai pula dengan jatidiri.

Mas Agus, merespon tentang manusia nilai maka memerlukan beberapa piranti. Nilai adalah value atau bobot bukan sekedar angka. Dimana jika kita tarik lagi dalam etimologi bahwa bobot juga tersambung dengan bibit. Benih inti disebut culture. Nilai juga dikonfirmasi pada bobot bukan sekedar angka-angka. Apakah kemudian kita mampu meletakkannya pada letak abdi dan khalifah. Apakah kita membangun kesemestaan dalam kehidupan kita sendiri dalam bobot kehidupan. Apakah Allah SWT ridho atau tidak terletak di sana. Bahwa sekarang terjadi fenomena penilaian, di maiyah kerap didengar bahwa sesama murid tidak boleh mengisi rapor murid lainnya. Indikator-indikator pencapaian yang lebih pada bobot ialah sejauh mana kita bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana kita membangun proses dengan grafik yang menaik bukan malah menurun.

Letak value disini ialah kita menjalankan sebuah perilaku sesuai dengan kehendak Tuhan kepada kita bukan dari atasan, guru dll. Kita tetap bisa menjalankan kehendak guru atau atasan ketika tidak melenceng dari koridor yang diletakkan Tuhan. Sebab kita memiliki keterbatasan untuk menyerap informasi dari Tuhan secara langsung.

Mbah Nun ingin mempertahankan sebuah kesemestaan tanpa pretensi atau tanpa motif. Manusia pasar tidak selalu buruk sebab ada anjuran untuk berniaga. Maka tata aturan di islam sangat jelas. Seperti tentang aturan dilarang mengurangi timbangan. Bahkan masa muda rasul pun berniaga tetapi tetap dengan memegang teguh nilai. Baik pasar dan istana (pemimpin) hanyalah sebuah instrumen. Hewan-hewan pun ada yang menjadi pemimpin dengan persyaratan yang cukup banyak pula. Apakah kita sebagai manusia juga melakukan penyeleksian yang sama. Misal ada policy tertentu yang sebenarnya kita enggan. Banyak ketidaksepakatan tetapi kita tidak mempunyai kekuasaan untuk membantah. Sebab kita memilih manusia istana yang tidak sesuai.

Sebenarnya tidak masalah apakah menjadi manusia pasar dan istana. Asalkan masih menjadi manusia nilai. Nilai terbesar ialah kemanusiaan. Jika itu tergadaikan dengan angka maka kemanusiaan akan menjadi rendah. Bukan sekedar angka tetapi pengabdian pada Tuhan. Tidak masalah manusia nilai memasar dan mengistana. Oleh karenanya di Jawa tidak menggunakan kata “aku”, yang dipakai ialah “ingsun”. Ing sajroning pisungsunan dalam sebuah tatanan dimana dalam susunan, Allah menjadi ratunya. Manusia pemimpin pun teta tunduk kepada Allah sebagai Raja atau Ratu yang utama, Malikinnas.

Merespon pertanyaan Mas Anjar. Bahwasannya janma prajurit tidak harus menjadi tentara. Andaipun dia sebagai petani tetapi turut berperan mengamankan maka juga ia seorang janma prajurit. Hasta janma adalah profesi kita dihadapan Tuhan. Gajinya berupa efek sosial. Janma tani mendapat bayaran berupa masyarakat yang ayem tentrem, janma ujam dudukan bayarannya masyarakat yang sehat bagas waras, prajurit gajinya berupa masyarakat yang hidup dalam rasa aman dan seterusnya. Setiap pihak menjadi orkestra yang sudah terintegrasi. Kondisi saat ini petugas-petugas Allah sudah sangat sedikit. Sekarang masih hidup dalam kerukunan, kenyamanan tetapi merupakan sisa gaji dari leluhur. Jika kita tidak pula melakukan hal yang sama hingga menjadi ahli dalam bidangnya masing-masing maka tunggulah kehancurannya. Sebelum hancur maka kita harus segera menemukan peran kita untuk menjadi ahla dimana masing-masing memiliki keahlian untuk saling menopang satu sama lain.

Kemudian ada Mas Santoso, seorang manusia pasar yang juga seorang manusia nilai. Ia adalah seorang peternak yang lama tak ikut merapat, dan rindu melingkar di majlisan kali ini. Berbagi kisah dan pengalamannya seputar beternak. Niat bekerja untuk menggugurkan kewajiban dalam berkeluarga. “Obaho sakmampumu, nyambut gawe sak isomu”, demikian sedikit yang menjadi ungkapannya. Ia memulai peternakan karena menurut Mas Santoso merasa hanya bisa melakukan hal itu.  Memulai dari telur ayam kampung lalu ditetaskannya sendiri namun tingkat resiko tidak berbanding lurus dengan keuntungan. Sekarang merambah menuju telur entog, daging entog hingga kalkun.

Waktu sudah lewat tengah malam, kisaran 00.15 WIB Mas Yoga menampilkan perform dua lagu. Sedikit membantu untuk mencairkan suasana dalam diskusi pembahasan yang cukup mendalam. Waktu menunjukkan pukul 00.40 WIB Mas Agus meminta kepada semua yang hadir untuk masuk ke ruangan dalam musholla agar gumpalan energi yang hadir pun menjadi lebih besar. Kemudian Mas Sokhib diminta untuk membaca surah At-Tin. Dan semua diminta untuk mengirim Al Fatihah untuk beberapa Nabi yang akan nanti dipelajari kisah-kisahnya dan korelasinya dengan diri kita semua dalam workshop yang diagramnya sudah diunggah di website dan akun sosmed gugurgunung. Workshop Laras ini merupakan tahap 1 (satu) yang akan diadakan hingga Oktober ke depan dengan waktu yang dibersamakan pada saat reguler Sinau bareng setiap malam Minggu terakhir.

Sekian reportase edisi Agustus 2019 dengan tema Laras. Semoga bermanfaat.

 

Andhika Hendryawan
Yoga
Angling tri
Cahya

Laras

LARAS
Tajdiidu-n-niyaat

Dorman

Bulan lalu, Juli 2019 Majlis Gugurgunung men-Dorman-kan diri. Momentum yang disepakati bersama sebagai intropeksi, evaluasi, perenungan, pembenahan, dan seterusnya dan seterusnya, terhadap beberapa hal yang terjadi secara personal maupun dalam lingkup keluarga gugurgunung.

Deskripisi umum  tentang Dorman bila dianalogikan terhadap tumbuhan demikian:  dor·man berkenaan dengan terhambatnya pertumbuhan (perkembangan) untuk sementara waktu meskipun keadaan lingkungannya sebenarnya bersifat menunjang (air dan cahaya cukup serta suhu naik)

 

Tajdiidunniyaat

(Pembaharuan Niat)

Merupakan dhawuh dari Mbah Nun ke pada seluruh simpul Maiyah, untuk mengangkat hal tersebut menjadi tema besar pada rutinan  tiap tiap simpul pada bulan Agustus 2019.

Pijakan tema besar tersebut salah satunya adalah Tajuk yang dirilis oleh Yai Toto Raharjo; Kembali ke Spirit. Mentadaburi Surat Al – Qoshos ayat 77; Walaa tansa nashiibaka mina-d- dunyaa, bahwa perjuangan manusia sesungguhnya adalah menemukan jati dirinya, siapa dirinya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Pijakan lain berupa panduan dari Mbah Nun mengenai “Jam’iyah Pengusaha Sorga”. Serta  4 Tajuk dari Mbah Nun, (1.Ihtimal; 2. Empat  Amniyat Bergembira dan Menikmati; 3. Air Kawah di Akhir Zaman; 4. Yang Percaya, Percayalah. Yang Ingkar, Ingkarlah). Yang garis besarnya adalah tentang “Manusia Nilai, Manusia Pasar, Manusia Istana/Kuasa”.

Seperti menemukan momentum. Saatnya majlis gugurgunung bangun dari masa dorman. Kembali me-remind beberapa proses sinau bareng gugurgunungan yang secara alamiah selaras dengan beberapa dhawuh tersebut. Kemudian segera melanjutkan rakaat-rakaat selanjutnya.

Momentum unik lainnya adalah Muharram. Bulan dimana satu tahun lalu majlis gugurgunung mengangkat tema “Paseban Muharram”, yang kita niatkan sebagai upaya membangun pondasi peradaban. Yang bahasan utamanya antaralain:

  • Manusia sebagai Khalifah Fil Ardh dan Ahsani Takwim dengan dibekali aset utama yaitu rasa kamanungsan;
  • Kesabaran adalah salah satu teknologi mutakhir.

Yang kemudian point tersebut mencoba diaplikasikan dalam laku srawung, dan menjalankan rintisan bidang-bidang usaha, serta beberapa hal lain.

Paseban Muharram ini juga disepakati sebagai tradisi keluarga gugurgunung, dimana tiap memasuki bulan Muharram, sebaiknya memiliki paugeran tentang hal apakah yang perlu kita lanjutkan/tidak lanjutkan. Atau hal apakah yang perlu untuk mulai diberlakukan dan tidak diberlakukan.

 

LARAS

Sebuah metode yang mencoba diangkat sebagai bahan kajian sinau bareng yang kemudian bisa diaplikasikan secara bersama sama untuk mencapai keselarasan terhadap Firman, atau mencapai laku diri sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Kesadaran yang terus dibangun adalah, semua proses terbaik justru harus dirintis setahap demi setahap. Seperti yang digambarkan Allah SWT melalui tanaman, melalui perpindahan siang malam, melalui tetesan yang menggenang, melalui masaknya buah, dan banyak hal lagi dimana hasil dari kesabaran memberikan kenikmatan yang tak akan dicapai oleh hasil yang didapat dari keterburu-buruan. Bahkan apabila dipersambungkan dengan hadist “sampaikanlah meskipun satu ayat”, maka bisa jadi setiap orang berpotensi sebagai hafiz meskipun hanya memelihara satu ayat yang ia suarakan dalam kehidupannya. Bukan hanya disuarakan dengan suara namun juga disuarakan dengan terjaga dalam setiap perilakunya. Sehingga jika diibaratkan, keseluruhan ayat dalam Al Qur’an adalah seperangkat alat musik orkestra atau seperangkat gamelan. Dimana setiap bilah atau instrumen adalah ayat yang memiliki suaranya masing- masing. Apabila suara itu bersama dengan indah dan tertata maka akan tercipta harmoni yang indah baik di telinga maupun di hati. Selayaknya gamelan, setiap instrumen perlu dipelihara dengan tetap dimainkan. Cara memelihara gamelan agar tetap terjaga kondisinya, tetap baik, tidak fals, dan terawat adalah dengan metode bernama: “LARAS”. Laras adalah memainkan gamelan tersebut secara rutin meskipun sedang tidak di panggung. Tone tiap gamelan akan terpelihara dan bisa menyuarakan dengan nada yang ‘dihafal’nya.

 

Perjuangan Manusia Sesungguhnya adalah menemukan jati dirinya

Tadabburnya demikian: perjuangan manusia bisa kita pelajari lewat sejarah manusia. Manusia mempunyai dua potensi yaitu, Ahsani Taqwim dan Asfala Safilin. Atau dengan kata lain, manusia itu dibedakan menjadi dua, bukan laki-laki atau perempuan, melainkan adalah manusia yang tunduk pada perintah Allah (Ahsani Taqwim) dan manusia yang tunduk pada perintah iblis (Asfala Safilin).

Setelah di bumi, versi ahsani taqwim kemudian bekerja dengan membangun strategi dan pertahanan. Namun demikian pula yang menganut versi asfala safilin. Sama-sama turun ke bumi dan juga membuat strategi untuk menggempur perjuangan manusia yang mengabdi.

Nabi Adam AS turun dan mulai membangun peradaban di Bumi. Proses ini diawali dengan perasaan perih dan merasa nestapa. Tapi Nabi Adam berbaik-sangka kepada Allah SWT senantiasa. Sehingga tak lelah memohon ampunan dan selalu membangun perbaikan di wilayah garapannya (bumi). Dibangunlah bumi dengan merujuk-pada tempat sebelumnya beliau tinggal, yakni taman eden atau firdaus, atau paradesa. Peradaban ini juga bisa disebut peradaban Timur karena dimulai dari timur, atau bisa juga digolongkan pada fase peradaban buah Tin (Lo) buah yang keluar langsung dari pohonnya.

Peradaban Nabi Adam juga adalah peradaban perintis, maka rintisan untuk membuka peradaban adalah fitratullah dan khalifatullah. Bahwa nabi Adam meletakkan dasar peradaban dengan konsep pengabdian (ngabekti, ngawulo) dan menjadi pengatur sesuai kehendak-Nya(memayu hayuning  bawana.

Berikutnya adalah peradaban ke dua, yakni peradaban Nabi Nuh AS, pada fase ini kemajuan teknologi di segala bidang sudah banyak dicapai. Era ini sangat maju dan canggih. Sehingga masyarakat ketika itu banyak yang menyangka mereka telah berada pada puncak peradaban sempurna, penuh keberkahan dan kebahagiaan. Layak ketika datang utusan kepada mereka, dianggaplah utusan ini sebagai pihak yang membawa kekisruhan dan dilabeli tidak tahu adat. Namun demikian pekerjaan dan membangun strategi penggembosandari pihak penganut Asfala safilin tidak tinggal diam dengan perjuangan para utusan Allah ini. Pihak yang berada pada jalur merah ini menciptkaanu upaya yang dibangun dengan cara yang lembut dan menjebak. Bagaimana strategi yang dibuat? Mudah-mudahan bisa kita jadikan bahan pasinaon bareng pada malam minggu terakhir ini.

31 Agustus 2019, Mari bersama sama memasuki ruang “Muharram, Harruma”, melingkar dan bertemu untuk saling menemukan. Bersama sama kembali memperbaharui “Niat”. Membangun semangat perjuangan untuk senantiasa “Merawat dan Menjaga”. Semoga senantiasa se-Laras dengan kehendak Allah SWT.

 

…… Aamiin.

MAIYAH MENCAHAYA menjadi NUUR bukan NAAR

Majlisgugurgunung:: Sebab setiap-tiap kita ini memanggul senjata api yang merasuk dalam diri sebagai nafas. Dan setiap hembusan nafas-nafas itu menegaskan hidup. Dan merasa hidup itu menegaskan identitas keberadaan diri. Maka ‘diri’ bisa menyemangati hidupnya dengan nafas yang menggelora dan memburu.
Setiap kali tanpa sadar aku dan kamu dengan MEMBARA mengumandangkan pekik-pekik yang MENGANDUNG API untuk MEMBAKAR semangat, seperti :KOBARKAN!!! Gelora, BUMBUNGKAN!!! cita-cita Api semacam inspirasi bawah sadar yang paling ideal untuk menggambarkan kebangkitan. Airku dan airmu MENDIDIH, Tanahku dan tanahmu TERBAKAR, Anginku dan anginmu MEMBURU.

Continue reading

ANGKATAN BERSENJATA

Majlisgugurgunung:: Tak sadarkah engkau bahwa sesungguhnya kamu adalah prajurit, kamu tanpa sadar menjadi bagian dari anggota pasukan Angkatan Bersenjata. Entah bagian dari Angkatan Laut, Angkatan Darat, Atau Angkatan Udara. Nah ada lagi satu Angkatan yang rahasia. Tapi hari ini bersamaan dengan tulisan ini, Angkatan rahasia itu tidak lagi menjadi rahasia. Angkatan itu adalah Angkatan Api. Semua angkatan bersenjata itu pasti punya senjata dari Laut hingga udara punya senjata Api.
Laut itu Air, itu darahmu.
Darat itu Tanah, itu daging tulangmu.
Udara itu ya Udara atau Angin. Ia Nyawamu.
Dan api adalah Nafasmu. Nafsu. Diri.

Continue reading