TIRAKAT I : MENYANTAP CAHAYA

MENYANTAP CAHAYA - 22 Juni 2017TIRAKAT I : MENYANTAP CAHAYA

Bukan suatu hal asing, diketahui bahwa para leluhur kita memiliki kebudayaan yang agung.

Beberapa hal yang sangat sering kita dengar adalah ; prihatin, tirakat. Puasa adalah cara Islam yang sebaris konsep dengan metode tirakat yang kita uri-uri hingga sekarang. Apalagi telah disebutkan dalam Al-Qur’an pula bahwa “ ..sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Para leluhur kita telah memahami bahwa dalam menjalani kehidupan akan mengalami banyak penimbunan. Sedangkan ketika timbunan itu tidak dibersihkan secara rutin dan terus-menerus akan menyebabkan terjadinya tumpukan yang makin lama makin menggunung. Apakah yang paling rugi ketika timbunan ini terjadi? Yakni cahaya diri sendiri yang makin terpuruk ke dalam karena tak mendapat kesempatan tumbuh. Demikianlah, maka para leluhur memiliki konsep dasar yang menyeluruh bahwa mereka adalah kaum cahaya yang hidangan utamanya pun harus cahaya. Ini tercermin dari istilah yang digunakan untuk urusan konsumsi, Mangan, Madhang, Dhahar, Nedhi, Bukti.

Mangan, ini bahasa kasar dari kata dasar mengo atau terbuka atau menganga, siap untuk memasukkan dan dimasuki. Meskipun ini kasar namun makna utamanya adalah ia (yang sedang makan) tengah memasukkan sesuap demi sesuap hidangan cahaya dari Tuhan untuk melanjutkan aktifitasnya. Madhang dimaksudkan bahwa makan adalah jembatan untuk bisa memberi pepadhang, bukan puncak tujuan. Madhang adalah kata kerja yang artinya bukan ‘makan’ namun ‘memberi padhang/terang’. Dhah Har, (Nadhah kraharjan) dimaksudkan untuk menengadah menerima anugrah dari Tuhan, menengadah memohon tetesan rizky dan berkah. Nedhi, dari kata dasar Tedhi/tedho satu filum dengan tadhah, yang artinya wadah, menadahi, menerima. Bukti, ini juga diartikan ‘makan’ meskipun sudah hampir tidak lagi kita dengar ungkapan ini dalam pergaulan, sebab bukti (Bahasa Melayu) yang sering kita dengar bermakna  ; barang atau dokumen dasar nyata. Namun baik bahasa Melayu maupun bahasa Jawa dulunya berangkat dari induk Bahasa yang sama.

Bukti ; ‘Bhukti’ satu keluarga kata dengan ‘Bhoga’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘makan’, ‘kesenangan’, ‘pemuasan’, ditekankan kepada kelezatannya, yakni seseorang yang gandrung dan menjadikan makanan sebagai wisata dan kesenangan. Perilaku seperti ini meski lazim untuk jaman kita sekarang, adalah prilaku yang dianggap rendah martabatnya bagi para leluhur.

Agus Wibowo

Facebooktwittertumblr
Posted in Kembang Gunung.