PAWANG & DUKUN

PAWANG & DUKUN - 10 Juni 2017

PAWANG & DUKUN

Dengan sangat penuh rasa iba, hari ini tengah terjadi pengulangan besar-besaran penggerusan kualitas akhlak hingga manusia sangat menjadi-jadi. Bukan hanya mengulang peristiwa Nabi Nuh yang akan menuai banjir, namun peristiwa kesalahan umat manusia semua Nabi sekaligus diramut jadi satu dan dirayakan dengan sukacita. Bisa dihitung sendiri kira-kira apa azab apa yang akan diturunkan kepada manusia hari ini untuk menyeimbangkan kembali keadaan alam sesuai fitrah. Namun, Tuhanku memang Maha. Ia yang Maha Memiliki Kasih Sayang dan Maha Adil, jaman ini mendapat dispensasi besar karena memang manusianya memiliki kadar kepekatan hijab 7 lapis. Oleh karenanya sang Nabi, sang Rasul, sang Noto, sang Pawang pada zaman ini dimuliakan oleh Allah dengan julukan Habibullah, Kekasih Allah. Betapa terasa sangat pelan dan lambat untuk menyebarkan cahaya di sekitar benda-benda yang menyerap dan menelan cahaya bukan menerima dan memantulkannya kembali untuk berlanjut menerangi yang lain. Betapa harus dengan kasih sayang berlipat dan kesabaran berlapis-lapis untuk menunggu ruangan menjadi benderang. Zaman ini disebut sebagai zaman yang dihuni oleh manusia dengan hijab 7 lapis ialah ibarat hidup di dalam sebuah batu. Gelap gulita, peteng ndhedhet.

Hidup di zaman dengan hijab hanya satu lapis, ibarat hidup di sebuah taman, melihat luas, indah dan terang benderang. Jaman dengan hijab 2 lapis ibarat hidup dalam samudra, melihat lebih buram namun tetap mengenal keluasan dan kedalaman. Hijab 3 lapis ibarat hidup dalam aliran sungai, masih mampu melihat namun mulai banyak terhambat dan memiliki daya jangkau yang pendek. Hijab 4 lapis ibarat hidup di pertemuan aliran air kepada batu, hanya memandang sekilat, sangat singkat dan penuh benturan. Hijab 5 lapis ibarat hidup di atas batu, mampu melihat keluasan, gelap terang, namun tak kuasa beranjak. Hijab 6 lapis ibarat hidup membatu, pandangan lebih pendek dan makin tidak peduli sehingga pandangan-pandangan sekilat ditegaskan sebagai batu sesembahan kebenaran, perang kebenaran makin menjadi pilihan utama. Hijab 7 lapis ibarat hidup di dalam kegelapan sebuah batu, bukan hanya sangat pendek namun dinuansai kegelapan.
Namun, jaman manakah yang lebih baik? Sesungguhnya setiap jaman sama baiknya dan berpotensi sama buruknya. Jaman per jaman itu adalah ilusi saja, sedangkan hakikinya adalah proses setiap insan mengenali kegelapan dan menyadari pentingnya ia menemukan cahaya. Sesuluh kehidupan yang mampu membuatnya tidak terjebak ilusi kesempitan, kedangkalan, ataupun ilusi keluasan dan kedalaman. Tak terjebak ilusi kepicikan dan kerendahan, ataupun ilusi kepandaian dan ketinggian. Karena ilusi-itu itu hanya akan menjadi tak berguna dan tak tampak ada cahaya yang membuatnya tampak lebih jelas letak dan fungsinya. Semua level-level hijab itu semata adalah complong-complong permainan yang menginginkan konsentrasi keterlibatan akal dan hati agar tak terjebak ataupun tertipu dengan persepsi yang kita pasti-pastikan sendiri.

Suluh kecil hingga Suluh besar

Sesuluh sebagai sistem pranatan masyarakat yang dibangun leluhur kita benar-benar memprioritaskan konsentrasi akal dan hati tersebut. Sehingga sistem kita sangat ruhani dan tidak serampangan. Dahulu, setiap daerah terkecil selalu ada seorang Pawang yang dipilih sebagai pihak yang mampu mangku dan mengarahkan segenap perbedaan menjadi sebuah persepsi yang sama. Perbedaan ibarat kaki-kaki sedangkan tujuan adalah persepsi. Kaki-kaki ini akan digunakan untuk melangkah menuju tujuan dengan saling menjaga irama langkah dan harmoni.

Seorang Pawang kampung sering kali pula disebut sebagai ‘DHUKUN’ yakni bermakna ; _Ingkang Madhu lan Mirukun, Yang memadukan dan merukunkan. ‘DHUSUN’ yang bermakna ; Ingkang memadhu lan sinusun, Yang memadukan dan ter/menyusun. ‘DHUKUH’ yang bermakna ; Ingkang memadhu lan hangarengkuh, yang memadukan dan merengkuh. Semua istilah-istilah tersebut memuliakan kedudukan seorang berjiwa Pawang. Sebab ia bukan seseorang yang dipilih dengan lotre namun dengan dasar kebijakan dan kualitas sepuh yang dimilikinya. Sehingga perilakunya menundukkan hati banyak orang. Seorang Pawang terpilih sebagai akibat dari kebeningan hatinya yang seakan memiliki kelebihan dalam hal membaca dan menyampaikan. Lebih memiliki kemampuan bahasa sehingga lebih memiliki dasar pula untuk menyampaikan. Bahasa ini adalah bahasanya musim, bahasanya siang malam, bahasanya gejala alam dlsb. Seorang Pawang kampung atau Dukun sering tidak hanya mengurusi persoalan administratif tapi juga mengurusi kebijakan kapan masa tanam, benih apa yang ditebar, hingga mengobati orang sakit terutamanya sakit akibat dari gangguan tak kasat mata, seperti sawan, kesurupan, dlsb. Sedangkan untuk hal-hal kasat mata masyarakat telah mengenal dan menggunakan daun dan akar-akaran untuk pengobatan.

Kelak ‘dhukun’ diambil alih permaknaannya hanya sebagai manusia dengan kemampuan supra dan dekat dengan perklenikan. Orang makin tidak mengenal dan tidak mengkonfirmasi fungsi suluh dalam kehidupannya. Si dukun jaman sekarang pun tak lagi punya wilayah penataan, sangat berbeda dengan konsep awalnya. Konsep dukun yang memadukan dan merukunkan, bagaikan seekor Kunang-kunang yang mampu mengumpulkan dan diikuti bersama-sama Kunang yang lain untuk hidup benderang dan terbang menemukan keluarga Kunang-kunang berikutnya atau telah menjadi bagian dari keluarga Kunang yang lebih besar yang membawahi rombongan-rombongan Kunang. Itulah mengapa leluhur menggunakan sistem penataan model kerajaan atau keratuan, karena sistem ini sesungguhnya diintegrasikan dengan sistem langit agar tetap terjaga akhlak dan hidup tertuntun oleh pemangku kebijakan yang terpilih secara natural akibat dari kualitas ruhani seseorang tersebut. Dari Dukun hingga Ratu harus memiliki kemampuan Pawang, yang memadukan, merukunkan dan menundukkan hati banyak orang dengan pengasuhan dan kasih sayang.

Agus Wibowo

Facebooktwittertumblr
Posted in Kembang Gunung.