Mantra Sesrawungan

Diperlukan Kehidupan atau Numpang Hidup

Kahanan kehidupan yang akan datang mempunyai berbagai probabilitas :

Bisa jadi tidak ada masalah, banyak masalah, atau kompleksitas masalah.

 

Konstantanya adalah :

“Kahanan yang akan datang, sangat dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sejak saat ini”. Perubahan dimulai dari masing masing diri secara bersama sama sejak saat ini. Representasi Sinau Bareng menuju Sinau Perubahan.

 

Benih/Niat/Nawaitu, yang kami rapalkan dalam bentuk MANTRA, demikian :

“Yen awitane nganggo jujur, bakal akeh wong kang dipimpin kejujuran, isin apus-apus, ewondene yen diawiti nganggo ngapusi, bakal akeh wong musuhi wong jujur.

 

Yen awitane jejeg lan bener, bakal akeh wong kang ora seneng maring kelicikan, ewondene yen diawiti nganggo kelicikan, bakal akeh wong musuhi wong jejeg.

 

Yen diawiti nganggo roso pengabdian, bakal akeh wong ngluru nikmate lan berkahe keadilan, ewondene yen diawiti nganggo roso kuwoso, bakal akeh wong2 sing podho ngendelke keluargane sing nduwe kuwoso lan kang bakal tegel mentolo tumrape kang datan nduwe kuwowo”.

 

Nah, mari kita tanya pada diri masing masing :

Sedang menyemai benih atau niat yang seperti apa, pada saat ini ?

 

Seandainya kahanan yang akan datang dimenangkan oleh yang bukan golongan kita, apakah kita tetap sanggup sembodo melaksanakan titah kehidupan dengan cara srawung yang Bener lan Pener ?

 

Apakah kita tetap sanggup untuk terus menanam atau justru malah turut serta ngrampet ?

Sanggup terus berbenah atau malah justru turut merusak ?

Sanggup untuk saling berbagai atau terus berebut ?

Biso Rumongso atau Rumongso Biso ?

 

Mari Melingkar, dan semoga tiap kehadiran terhitung sebagai Benih yang baik. Yang kemudian bisa tumbuh sebagaimana “Syajarotun Mubarokhatun”. Aamiin aamiin InsyaAllah aamiin.

Warisan Laku Aji

Semua orang bisa mendapat warisan, warisan harta ataupun warisan ilmu. Warisan ilmu bisa dikejar harta. Tapi warisan harta justru sering menjauh dari ilmu. Warisan yang berguna adalah warisan yang bisa mengiringi setiap langkah. Yang tetap berguna dalam keadaan mendaki dan menukik. Kaki yang kuat, tekad yang hebat, dan niat yang tak tersekat.

 

Mari Sinau Bareng, berbincang tentang warisan di Malam Minggu terakhir Oktober ini dalam tema “WARISAN LAKU AJI”, di Komplek Perumahan Griya Surya Pringsari, rumah No. 49 Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Semoga niat baik Anda untuk melangkah menyemarakkan majlis menjadi ejawantah pasinaon Laku Aji, sebelum kita sama-sama menghikmahinya saat berkumpul di lokasi.

 

MAJLIS GUGURGUNUNG

“WARISAN LAKU AJI” Sabtu, 28 Oktober 2023

Perumahan Griya Surya Pringsari No. 49

Kelurahan Pringsari, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang

Jawa Tengah

HEMBUSAN DOMESTIKASI

Andaikata ada seseorang menggambar seekor zebra tanpa corak belangnya, maka sebagian besar orang akan menganggap bahwa gambar tersebut adalah gambar seekor kuda putih. Lantaran secara fisik, antara zebra dan kuda memiliki kemiripan hingga hampir seratus persen. Perbedaan keduanya dalam kehidupan nyata ialah, kuda berhasil menjadi partner dalam menopang aktivitas manusia. Sedangkan zebra tetap bertahan sebagai binatang rimba. Lantas, apakah jinaknya kuda lantaran kepandaian manusia menjinakkannya? Ataukah sesungguhnya atas kehendak Gusti Allah yang memang menitahkan kuda untuk berkontribusi dalam kehidupan manusia, sehingga sesungguhnya Allah sendiri yang berkehendak untuk memrogram kuda untuk jinak.

Sehingga keberadaan zebra seolah menjadi alat pengingat kepada peradaban manusia bahwa jika Allah berkehendak sesungguhnya kuda pun bisa dibuat untuk terus liar, sebagaimana Allah melakukannya kepada zebra. Manusia merasa mampu menjinakkan sapi dan kerbau, namun nyatanya tak piawai menjinakkan banteng atau bison yang mungkin punya kekuatan lebih tinggi daripada sapi atau kerbau. Manusia bisa menjinakkan kambing, tapi nyatanya tak cukup mampu menjinakkan kijang atau menjangan yang konon dagingnya lebih enak daripada kambing. Manusia merasa mampu menjinakkan lebah namun ternyata tetap tak mampu membuat seluruh spesies lebah tunduk  dan kooperatif pada kepentingan manusia. Manusia menganggap berhasil menjinakkan kucing tapi tak umum menjinakkan singa, cheetah, atau macan, atau sekedar blacan/macan akar, atau lynx yang berukuran lebih kecil daripada macan. Pun ayam kampung yang sejinak itu berkeliaran di tengah pemukiman manusia, ada versi ‘alas’-nya: ayam alas (ayam hutan) yang tak bisa sejinak ayam piaraan.

Manusia bahkan yakin bahwa jinaknya anjing adalah kesuksesannya mendomestikasi hewan tersebut untuk terlibat dalam hajat kehidupan manusia, namun nyatanya tak lazim manusia memelihara serigala, atau rubah dalam kehidupan sehari-hari. Serigala dan Rubah menjalankan program sesuai default system yang tertanam padanya, yakni tetap menjadi makhluk yang liar. Satu dua kasus ada juga kasus bahwa binatang-binatang alas itu bisa dipiara dan tetap jinak. Namun tentu itu bukan domestikasi, melainkan kondisi khusus yang biasanya dilakukan oleh perseorangan. Peradaban janma alias manusia merasa mampu melakukan domestikasi pada binatang tertentu, tapi setelah ditelusur lebih dalam, ternyata tidak. Allah-lah yang memperlihatkan karunia-Nya kepada manusia agar hidup manusia menjadi lebih mudah. Dalam salah satu karunia itu ada pada binatang yang diperintah Allah untuk urun kemanfaatan kepada manusia berupa tenaga, kulit, tanduk, bulu, daging, susu, telor, dan lain sebagainya atau hasil produksi komunalnya sebagaimana komunal lebah yang menghasilkan madu. Ada yang dipetik manfaatnya oleh manusia dari sisi kelincahan, agresivitas, untuk tujuan menjaga teritori atau aset, contohnya anjing. Manusia memang diberi ruang perjuangan dan usaha untuk beradegan menaklukkan para binatang itu, semata sebagai bobot perjuangannya dalam rangka menemukan solusi untuk meringankan kesulitan dengan memanfaatkan kelebihan beberapa binatang. Usaha ini telah dianggap sebagai bentuk konkret upaya manusia, sedangkan untuk membuat binatang-binatang tersebut jinak, mutlak dalam otoritas Rahmat Allah.

 

LIAR DAN JINAK

Semua yang berhasil bersanding dan berdamping di tengah kehidupan manusia dianggap telah menjadi binatang yang terdomestikasi sehingga disebut binatang domestik. Sedangkan yang tetap di belantara rimba adalah binatang liar. Keliaran binatang pun sesungguhnya sesuatu yang lazim, karena memang sudah sepatutnya jika binatang berkeliaran, baik yang terdomestikasi maupun yang belum.

Namun tampaknya manusia terganggu oleh berbagai model ke-liar-an, karena liar dianggap tidak bisa dikontrol, susah diajak berkompromi dan susah dibujuk-rayu. Keliaran dianggap noda dalam tata kepentingan manusia pada umumnya. Sedangkan _bisa jadi_ yang liar itu sesungguhnya justru pengemban amanah Tuhan untuk menjadi pengingat manusia. Ia tidak mudah terhasut trending dan tak mudah dipengaruhi kecenderungan umum. Dia otentik dan berdaulat namun dihiperinterpretasi oleh khalayak sebagai menjadi ganas, buas, dan mengancam. Jika suatu kali seekor macan masuk kampung, para warga akan geger dan kalang kabut. Masuknya seekor macan adalah ancaman dan bisa berpotensi melukai bahkan menerkam seseorang. Orang-orang akan lari tunggang-langgang dan ada pula yang berkoordinasi untuk keroyokan menangkap si macan dalam keadaan hidup maupun mati. Itulah tanda manusia sebagai masyarakat domestik merasa begitu nanar dengan karakter rimba.

Begitu pula ketika ada seseorang yang lantang, berani menyuarakan aspirasi fitrah, ia tetap mahir menggunakan ‘taring’ dan ‘cakar’nya, yang mana cakar dan taring itu sesungguhnya bukan untuk menerkam orang lain, ia akan dijauhi, diwaspadai, dipantau, dicurigai sepak-terjangnya. Sementara, jika ia memiliki ‘taring’ dan ‘cakar’ sesungguhnya tidak untuk melukai orang lain. Bahkan untuk menjalankan fungsi keseimbangan pada semesta yang dihamparkan Tuhan. Namun, jika macan itu datang bersama satu rombongan sirkus yang akan menampilkan atraksi macan dan singa, orang-orang tidak lari tunggang-langgang. Mereka justru berbondong-bondong membeli tiket untuk bisa melihat dari dekat macan-macan itu.

Manusia terancam dan resah oleh keliaran macan, namun saat berhasil menjinakkannya dengan berbagai trik licik, binatang garang itu diletakkan bersanding dengan para badut. Inilah tabiat culas dan picik kalangan manusia, saat hidupnya tenteram figur pahlawan adalah sosok yang mengganggu stabilitas, dia rendahkan sebagai obyek kelucuan dan pergunjingan. Sementara saat hidupnya tertindas, ia menjilat-jilat kaki pahlawan sebagai satu-satunya yang patut menolong nasibnya.

Manusia tidak akan bangga jika berhasil membelai kucing namun akan merasa begitu bangga jika bisa bukan hanya membelai singa tanpa perlawanan, namun bisa memerintah dan menunjukkan superioritasnya di hadapan khalayak betapa sang garang itu tunduk pada perintahnya. Inilah kenyataan yang menjangkit dan sering terjadi dalam hati manusia. Ia tak pernah merasa rela pada autentisitas suatu pihak, kecuali jika pihak tersebut mau diajak kompromi, lebih-lebih jika mau mbatur, mbabu pada kepentingannya. Padahal manusia tak sekalipun mampu membuat binatang jinak, mereka mau jinak karena perintah rahasia dari Allah yang dijalankan dengan teguh oleh para binatang tersebut. Adalah semata-mata demi mempermudah pengabdian manusia kepada Tuhan. Bukan untuk memupuk kesombongan, kepongahan, superioritas, atau peneguhan kekuasaan manusia. Manusia tak pernah kuasa dalam hal apapun, perbandingan telah diperlihatkan agar manusia mau berkaca diri.

 

Default dan Customize

Kini, apakah domestikasi itu kita jadikan bahan perenungan lebih jauh. Binatang yang mempertahankan naluri rimbanya sesungguhnya menjaga fitrah dan naluri alamiahnya sesuai program yang tertanam pada dirinya. Begitu pula binatang yang terdomestikasi, mereka juga bekerja atas nama menjalankan program yang ditanamkan Gusti Allah padanya.

Yang tetap merimba adalah bentuk default, mengingatkan kepada model orisinal yang sesungguhnya, agar manusia tetap mengenal asal-usul dan memetik pelajaran. Sedangkan yang terdomestikasi merupakan bentuk yang telah di custom oleh manusia sehingga fungsi-fungsi bawaannya bisa dipetik manfaatnya oleh manusia. Semua dalam rangka mengabdi kepada Tuhan.

Kini, diam-diam manusia tidak menyadari bahwa kian waktu bergulir, manusia yang sesungguhnya dulu juga akrab dengan kehidupan rimba, akrab dengan jiwa tanding, akrab dengan naluri survival, akrab dengan tantangan mengarungi kesulitan, kian hari kian merumah. Makin bermukim, kian mendomestik, kian kompromis terhadap kemudahan dan kenyamanan dan kian menjauh dengan perjuangan hidup.

Manusia juga terdomestikasi pada kepentingannya sendiri yang memberi kemungkinan dampak yang sama sebagaimana kucing yang terdomestikasi. Ketika seekor kucing buang feses, ia punya ritual untuk mengeruk-ngeruk tanah atau pasir, kemudian me-nguruk-nya kembali, kemudian mengendusnya untuk memastikan bau kotorannya tidak mengganggu lingkungan. Kini, kucing masih pandai dalam hal menjalankan ritual tersebut, ia hanya tak lagi punya analisis konteks, kadang kucing melakukan ritual itu pada aspal atau lantai keramik yang jelas-jelas tak bisa menutupi kotorannya. Namun ritual itu tetap dilakukan sebagai keabsahan dan kepatutan perilakunya sebagai seekor kucing. Padahal ia tak lagi paham makna perilakunya dan tak punya nuansa apapun kecuali hanya sekedar menjalankan tradisi keluarga yang sudah dilakukan nenek moyangnya sejak jaman baheula.

Apakah makna dari peristiwa ini, jika mau dijadikan ibroh sesungguhnya manusia kini telah makin bergeser dari yang semula kucing rimba yang kian hari kian manja dan gelendhotan dengan tanpa sadar meluruhkan jiwa rimbanya yang keren menjadi jiwa domestik yang tumpul. Bahkan semakin kucing menampilkan tradisi rimbanya yang buang feses di permukaan-permukaan keras itu, makin tampil kebodohannya. Kucing makin mahir mencuri daripada berburu, kucing makin takut mangsanya daripada menerkamnya, kucing makin menjelma menjadi makhluk lucu imut dan menggemaskan sebagaimana makhluk piaraan cantik laiknya kelinci, marmut atau hamster, atau bahkan mice. Kadar kedigdayaan kucing sebagai kucing turun level menjadi hanya sejajar bersama pihak yang dulu adalah mangsanya. Manusia zaman sekarang juga cenderung mengarah pada perilaku yang sama.

Apakah kita tidak prihatin, jika sesungguhnya apa yang terjadi pada kucing juga terjadi pada diri kita? Kita dikurung oleh kandang aktivitas kompromistis pada dinamika hidup. Bekerja, makan, tidur, buang hajat, bekerja, makan, tidur, buang hajat. Kita tetap bekerja sebagaimana kita sangka bagian dari menjalankan titah kemanusiaan dan pengabdian, kita menjalankan pula syariat ibadah untuk sekadar merasa telah melaksanakan kepatutan sebagaimana nenek moyang dulu melakukan.

 

KONTEKS IBADAH

Jika sebuah aktivitas ibadah telah diimplementasikan pada area domestik. Maka langkah antisipasi primer yang perlu dilakukan ialah memilih ‘majikan’ yang tepat. Dimana majikan itu tetap dalam suatu peran yang mengarahkan pengabdian kepada Tuhan. Sebab, peralihan dari tradisi rimba ke dalam habitat domestik sesungguhnya serta merta mengalihkan tradisi terkoneksi langsung kepada Tuhan tanpa perantara, mengabdi langsung dengan otentik sesuai Fadhilah yang dimiliki menjadi terhalang perantara.

Dalam habitat domestik ada unsur hajat bersama dimana setiap pihak perlu bersikap kooperatif menjunjung proyek kemaslahatan. Anjing menjaga rumah, kebun dan pekarangan, tak lagi repot berburu untuk mendapatkan makanan. Kucing menjaga isi rumah dari ancaman pengerat tikus dan bahkan gangguan lebih berbahaya seperti ular. Kuda kooperatif dengan tenaga yang ia punya, ia mengangkut barang dengan kuat dan akseleratif pada hampir segala medan. Sapi kooperatif dengan hampir keseluruhan hidupnya, tenaga, kulit, daging, susu, bahkan hingga urine dan kotorannya yang bisa digunakan sebagai pupuk. Semua dibebaskan dalam hal mencari makan dan tempat tinggal, sebab majikan mereka telah menyediakannya. Mereka tetap akan menjalani hidup tanpa merasa gelisah naluri kerimbaannya memudar. Sebab memudarnya naluri rimba ini bagian dari program pengabdiannya kepada Tuhan. Jika seekor binatang domestik beruntung mendapat majikan yang baik, maka ia tidak akan dieksploitasi, namun dirawat dengan perhatian yang baik. Majikan seperti ini akan menghormati jasa dan pengabdian pada binatang tersebut, akan memberinya hak yang benar, makanan, tempat tinggal, dan waktu istirahat. Binatang itu memiliki hak untuk hidup di alam rimba namun telah memilih menjadi jinak dan membantu urusan manusia, maka ia juga punya hak beristirahat pula setelah bekerja keras.

Sedangkan jika binatang ini mendapat majikan yang tak peduli pada pengabdian, maka para binatang ini akan dieksploitasi dan diperas segala hak pengabdiannya kepada Tuhan untuk mengabdi kepada kepentingannya. Ia rampas hak waktu, tenaga, dan pikiran para binatang untuk tercurah dalam tekanan yang meresahkan.

Majikan manusia tidak selalu berupa sosok manusia, namun suatu subyek yang engkau menghabiskan waktu dan segala potensimu untuk kooperatif dan kontributif pada misi subyek yang engkau ikuti. Engkau merubah alur pengabdianmu yang default menjadi alur pengabdian yang custom. Engkau mengubah ranah tradisi rimba-mu menjadi kultur domestik dengan takaran dan norma yang berbeda dari alam rimba, norma domestik terkadang jelimet dan penuh intrik. Dengan demikian kamu perlu memastikan dan menyeleksi apakah subyek tersebut makin berpotensi menjadi tuhan baru dalam hidupmu, ataukah subyek itu berpotensi makin menyempurnakan proses kedekatanmu terhadap Al Malik, Tuhan yang Maha Kuasa. Di satu sisi pengabdian dengan mode custom ini akan menjadi level pengabdian lebih menantang sebab kekayaan dinamika yang terjadi di dalamnya, namun di sisi lain juga akan menjadi ditraktor yang mengalihkan pengabdianmu kepada Yang Haq.

Manusia pun sesungguhnya memiliki ranah kerimbaan otentik, yang pada perkembangannya ada yang memilih terdomestikasi namun ada pula yang tetap mempertahankan tradisi rimbanya sebab tak ingin kehilangan koneksi langsung kepada Tuhan dan tak cukup percaya dengan orang-orang yang jika menjadi majikan, akan bisa membawanya lebih dekat kepada Tuhan. Ia tetap bisa berkompromi pada area rimba dan domestik, namun tak cukup minat untuk terdomestikasi pada alur dan arah hidup domestik yang belum tentu arahnya. Orang seperti ini akan dianggap menyimpang bahkan kontroversial yang bisa sewaktu-waktu menerkam. Orang hanya akan bergunjing dan membuat peta kekuatan untuk keroyokan menghadapi manusia yang tampak garang tersebut. Padahal ia bukan teroris namun hanya karena orang-orang merasa terteror lantas dilabeli sebagai teroris.

 

TERJAGA JIWA SURVIVAL

Kita kehilangan makna pada aktivitas yang kita lakukan, kita lebih pandai bermanja dan gelendhotan pada pihak yang kita sangka majikan. Padahal ketika kita makin tua dan tak lagi jadi kucing lucu, nasib kita terbuang, kita pulang kepada cara rimba untuk bertahan hidup, lepas dari domestikasi dan hidup menggelandang jadi kucing kuwuk. Beruntung apabila saat kita kembali, naluri survival rimba kita ikut kembali. Namun jika naluri rimba itu tak ikut serta tentu kita akan terdampar pada nasib yang nestapa.

Jiwa survival itu sesungguhnya diperoleh dari adanya karunia kesulitan yang Allah berikan, bahwa bersamaan dengan kesulitan dibersamakan dengan kemudahan, akal kita bekerja, pikiran bekerja, jiwa kita hidup, raga kita bergerak dalam aktivitas yang produktif. Maka muncullah kepandaian dalam menghadapi hidup, piawai mengantisipasi situasi, waspada dalam indikasi pembodohan dan pembudakan. Kemunculan potensi itu akan menjadi kemudahan dalam menjalani kehidupan. Jiwa hidup yang seperti itu mungkin tak dianggap asyik oleh banyak pihak, karena tampak susah diatur dan sulit diajak kompromi.

Kesulitan ini juga terjadi pada seseorang yang membawa kekurangan, misal ia kekurangan dalam hal melihat, ia dikurung dalam kesulitan mengenali visual namun seiring dengan itu, ia diberi karunia pendengaran dalam hidupnya, yang dengan pendengaran lebih tajam daripada rata-rata manusia. Ia tetap survive dengan kesulitan melihat namun tetap penuh gairah dalam melangkah karena dimudahkan adanya pendengaran yang bisa diandalkan.

Namun justru, dari yang seperti ini yang mampu mendobrak kejumudan, yang berani berseberangan apabila telah tampak adanya penyimpangan, berani berjuang tatkala tampak adanya penjajahan yang mengebiri fitrah kemanusiaan, inilah manusia yang tetap terjaga karena tak mudah hanyut pada buai kemudahan. Orang-orang cenderung menyenangi kucing-kucing jinak nan imut, dan begitu kisruh ketika berhadapan dengan macan tapi ketika semua kucing menjadi jinak tiba-tiba manusia gaduh penuh keluh-kesah saat mereka para kucing jinak itu gemar mencuri, tukang gelendhotan memohon bekas kasihan, berak sembarangan dan tak punya jiwa berburu sebagaimana mestinya. Marilah kita waspadai bersama-sama, hal ini sangat penting untuk membuat kita tetap terus terjaga.

 

Ungaran, Juli 2023

Reportase 2 : Keluarga Al Fatihah

Hari Raya Alhamdulillah

 

“Mana kala kita bisa menemukan (Arrahmaan Arrahiim) atau perwujudan kasih sayang pada setiap peristiwa, maka tidak ada hari yang bukan Hari Rayya Alhamdulillah. Setidaknya ini adalah salah satu kesimpulan pada Reportase 1 yang berjudul “Semesta Anggara Kasih”.

 

 

Keterlibatan seluruh unsur lengkap dengan fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing sudah absah disebut sebagai Kulawarga dengan modal Kasih Sayang. Langkah terdekat selanjutnya adalah perayaan rasa syukur. Kata Hari Rayya Alhamdulillah sengaja kami pilih untuk menggambarkan perayaan rasa syukur kami anak cucu Maiyah Ungaran yang sedang disambangi Mbah Nun.

Senja tiba sebagaimana biasanya. Kabut tipis terbawa semilir angin perlahan turun dari Gunung Munggut (Komplek Pesarean Mbah Benawa dan Syekh Basyaruddin), ke Pendopo Paseban Wijaya Kusuma, tempat akan digelarnya acara. Sejuk khas senja musim kemarau. Menyeka apa saja dan siapa saja. Persentuhan yang sedemikian menyegarkan segala Indera. Pendopo Paseban Wijaya Kusuma dengan segala perlengkapannya telah siap. Kelasa sudah digelar. Aneka kudapan dan minuman tertata di berbagai titik lokasi. Petugas siaga pada tugasnya masing-masing.

Selepas Maghrib Mbah Nun beserta rombongan tiba di Art Cafe, rumah Ibuknya Mas Agus Wibowo yang memang sudah dipersiapkan untuk transit. Kulawarga gugurgunung yang dibersamai oleh para Kyai dan Sesepuh desa yang memang sudah turut menunggu di tempat transit, turut menyambut kedatangan Beliau beserta rombongan. Haru nggak bisa dibendung. Tumpah, namun tetap kondusif. Tak ketinggalan pula anak anak kecil turut berbaur. Alamiah sekali sebagaimana anak-cucu yang sedang karawuhan Simbahnya. Duduk bersama, makan bersama, dilanjutkan ngopi dan ngudud bersama, dan tentunya alam alaman saling melepas kangen. Mengalir sangat langsam dan santai.

 

Jam 20:00, pengunjung mulai berduyun-duyun menuju lokasi acara. Kulawarga gugurgunung menyambut dan mempersilahkan hidangan lalu nyumanggakake untuk duduk di Pendopo. Acara pun dimulai, dibuka dengan menyapa hadirin yang sudah datang, kemudian bersama sama membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan pembacaan Gema Wahyu Ilahi, yang dilantunkan oleh Mas Agus Khamid. Mendayu, syahdu, dan suasana mendadak meruang hening.

 

Tak berjeda lama, Gus Arul beserta Tim Rebana MMA-nya melanjutkan mengambil alih acara. Gus Arul sendiri yang memimpin membacakan Tawashshulan, dan dilanjutkan dengan rangkaian Munajat dan Sholawat. Beberapa nomor Sholawat dilantunkan oleh 3 vokalis, yang lainnya makmum. Rebana genjring  dipilih sebagai instrumen pengiring. Tabuhan yang sederhana namun sedemikian ritmis dan sangat harmonis. Suasana mendadak meruang romantis.

 

Mas Wahid dan dulur-dulur Gambang Syafaat yang terlibat dalam tim penyambutan dan pengawalan Mbah Nun mengabarkan, bahwa rombongan telah budhal dari transit. Tampak iring-iringan mobil dan motor mengawal Mbah Nun. Belasan menit kemudian tiba di lokasi, tepat saat satu nomor Sholawat menjelang Mahalul Qiyam. Semua jama’ah berdiri. Gus Arul melanjutkan Mahalul Qiyam. Seperti sebelumnya Imam dan Makmum bersahutan berurutan. Dimulai dengan nada rendah namun mandhes. Sampai pada nada tinggi membuncah sampai beberapa pecah, ajur, ajer. Suasana mendadak meruang haru.

 

 

 

 

 

 

Sesi Diskusi/Sinau Bareng

 

Mas Agus Wibowo mengambil alih acara. Memoderasi diskusi atau Sinau Bareng. Menyampaikan beberapa pantikan terkait dengan tema. Demikian :

  • Kulawarga adalah “organisasi” yang paling langgeng dan tidak mungkin terkudeta. Tiap anggota keluarga mempunyai peran, fungsi, dan tanggung jawabnya masing masing. Anak nggak mungkin mengkudeta Bapak karena ingin menjadi kepala Kulawarga. Hahaha
  • Dalam Kulawarga terdapat beberapa sektor penting dan utama yaitu, Asah, Asih, Asuh.
  • Bermodal dengan dua potensi di atas tersebut, maka dirasa sangat penting adanya formulasi sinkronisasi antara Kulawarga dengan Alfatihah. Besar harapannya, bahwa sinkronisasi tersebut bisa menjadi sebuah rintisan awal peradaban yang keren.

Narasi yang singkat, namun cukup memantik pintu berpikir. Sembari memeram pantikan untuk beberapa saat, Moderator mempersilahkan Pak Kades untuk menyampaikan sesuatu.

 

Pak Zaenal, Kades Pringsari

  • Menyampaikan atur pambagyo kepada Mbah Nun dan seluruh Jamaah. Menyampaikan rasa nggregel dan haru yang luar biasa. Kedatangan Mbah Nun yang selama ini masih berupa angan belaka, kini merealita.
  • Juga me-remind persambungan awal dengan simpul gugurgunung lewat sebuah acara besar di Desa Pringsari, dalam rangka sedekah desa sekaligus peresmian Pendopo Paseban dengan dimeriahkan pagelaran Wayang oleh Ki Dalang Sigit yang ternyata juga bagian dari Kulawarga Maiyah. Mengangkat lakon “Semar Mbangun Khayangan”, yang di dalamnya memuat cerita penting tentang Kembang Wijaya Kusuma. Sehingga pendopo tersebut diberi nama Pendopo Paseban Wijaya Kusuma. Ketersambungan demi ketersambungan yang terus terjalin hingga Pendopo tersebut menjadi salah satu lokasi utama digelarnya acara rutinan Majlis Gugurgunung. Dan tidak menyangka kalau ketersambungan selanjutnya adalah karawuhan Mbah Nun di Pendopo Paseban tersebut, dalam rangka mengunjungi anak cucu Maiyah di Ungaran.
  • Mengapresiasi tema Kulawarga Al Fatihah, karena ternyata juga menjadi persambungan penting lainnya. Yaitu, Pak Kades adalah pengamal wirid Al Fatihah dan Al Ikhlas, yang diturun-temurunkan oleh para leluhurnya.
  • Juga menjadikan komplek Pendopo Paseban Wijaya Kusuma sebagai sentral kegiatan ekonomi kerakyatan berupa Pasar Pagi, yang kegiatan utamanya adalah memasarkan seluruh produk unggulan masyarakat Desa Pringsari sebagai rintisan kegiatan ekonomi. Serta mengembangkan kegiatan pariwisata dan spiritual berupa Ziarah pada komplek Makam Mbah Benowo dan Syaikh Basyarudin, yang terletak di Puncak Gunung Munggut, sebelah atas Pendopo.

Pada kesempatan berikutnya, moderator mempersilahkan Pak Kyai Qomasyi, seorang pemuka agama dan tokoh masyarakat di Balongsari yang menjadi pimpinan Tarikah Qodiriyyah di Masjid Al-hasan yang ikut mendampingi sinau bareng kali ini, juga ada sesepuh lainnya. Namun Beliau memilih untuk dilewati dan langsung ke pembicara lain, karena konon niat dari rumah hanya ingin menyimak ngaji Mbah Nun. Sebuah pilihan sikap yang menurutku, justru sedang menyampaikan kerendah-hatian dengan cara indah.

Kesempatan selanjutnya adalah Pak Kyai Arifin,

salah satu Kyai di Mbalongsari yang memang sudah sangat erat dengan Kulawarga gugurgunung. Bahkan sempat meminjamkan salah satu gedungnya untuk majlis gugurgunung menggelar acara rutinan bulanan selama beberapa tahun. Dengan demikian beliau Pak Kyai Arifin telah sekaligus menjadi bagian dari shohibul hajat sinau bareng malam tersebut. Beliau pun mengambil waktu untuk menyampaikan dan mengulas beberapa hal, demikian :

  • Bismillah, Bi Ismi Llah, yaitu bersama atau bertemu Allah. Jalannya adalah mengabdi, dalam kontek Kulawarga berarti meniatkan secara bersama sama untuk membangun kesadaran mengabdi. Lewat cara apapun. Berbuatlah untuk jangan takut salah, Allah Maha Rohman dan Rohiim. Lalu menyudahi pantikan, lagi-lagi dalam rangka untuk tidak menyita waktu dan memberikan kesempatan yang lebih lama untuk nyimak Mbah Nun.

 

Gus Arul, selaku pemimpin dan pengasuh Majlis Majazi Alhasan (MMA) juga langsung dipersilahkan menyambung diskusi. Mbah Nun mempersilahkan Gus Arul untuk duduk di sebelah Beliau. Lalu Gus Arul menyampaikan :

  • “Mbah Nun, saya di sini hanya Wawu Zaidah, wawu yang hanya sebagai pelengkap di belakang saja. Ning insyaAllah siyap didhawuhi apa saja”

 

Demikian singkat yang disampaikan Gus Arul, dan kemudian memilih untuk kembali duduk di belakang Mbah Nun. Lagi lagi berupa pertunjukan sikap kerendah-hatian yang luar biasa.

 

Gus Aniq, pengasuh Ponpes RKSS Semarang, pendamping tetap simpul Gambang Syafaat, dan seringkali membersamai majlis gugurgunung pada momentum momentum penting. Hadir bersama para santri dan teman teman Gambang Syafaat. Datang lebih awal, dan langsung kami sambat untuk turut menyambut Mbah Nun. Nampaknya ruang diskusi sedikit memaksa Beliau untuk menyampaikan lebih banyak. Karena kerendah-hatian dengan cara menyampaikan narasi yang relatif singkat sudah diambil perannya oleh pembicara sebelumnya. Beliau memilih rendah hati dengan cara lain. Maka Beliau menyampaikan demikian :

  • Apa yang akan saya sampaikan ini saya niatkan sebagai Sorogan. Mumpung ada Mbah Nun dan para Kyai serta Sesepuh yang turut hadir untuk menyimak dan mengoreksi terhadap yang saya sampaikan. Kalimat pembuka yang menarik. (Nampak sekali Beliau sedang dalam rangka ingin nyantri).
  • Tadabbur selanjutnya adalah melalui pendekatan Ma’am Khuruf. BA, mengandung makna asal-muasal, permulaan realitas. Allah yang ada di Bismillah berati Allah secara realitas, manifestasi, tajali, ejawantah. Arrahmaan adalah wujud potensial Allah. Sedang Arrahiim adalah Wujud realitas Allah.
  • Menyambungkan dengan fenomena Nabi Khidir, bahwa Alhamdulillahirobbil ‘Aalamaiin adalah sebagai Majmaal Bahrain, yaitu bertemunya Rohmaan Rohiim yang pertama (Khalik) dengan Rohmaan Rohiim yang ke dua (Makhluk).
  • Kulawarga, dari Warga atau bisa juga Marga. Marga atau Margi dalam Jawa adalah Jalan. Dalam Alfatiha, Jalan adalah Ihdinashshiratal Mustaqim. Jadi, sungguh sangat terkait antara Kulawarga dengan kesadaran Abdi dengan Jalan. Jalan dengan sistem kerahmatan dan kenikamatan.
  • Maka An ‘amta merupakan aktifasi Gusti Allah pada diri Makhluk.

Lalu Gus Aniq memungkasi dengan informasi tentang “Sapta Mandala”, atau 7 lapisan kesadaran diri, diantara adalah :

  1. Mandala Personal
  2. Mandala Marital
  3. Mandala Sosial
  4. Mandala Komunal
  5. Mandala Global
  6. Mandala Universal
  7. Mandala Celestial.

 

 

Narasi dari beberapa pembicara seperti membentuk gelombang. Secara alamiah saling berkait paut, saling melengkapi. Suasana kian hangat. Giliran Mas Helmi melanjutkan diskusi, menyampaikan beberapa hal penting dengan cara yang santai. Demikian :

  • Apresiatif terhadap gelaran acara tersebut, yang mengangkat tema Keluarga Alfatihah.
  • Merasa bahagia bisa hadir bersama Mas Ale nderekaken Mbah Nun untuk yang pertama kalinya mengunjungi Kulawarga gugurgunung. Benar-benar suasana yang sejuk, di tengah sawah, penuh dengan limpahan berkah dan rahmat. Semoga sebuah tengara bahwa ini adalah salah satu perwujudan liqo’ul adhim (perjumpaan yang Agung).
  • Agenda 2 tahun terakhir Mbah Nun untuk menyambangi anak cucunya di banyak simpul, sebagai wujud kasih sayang yang sungguh-sungguh kepada anak cucunya.
  • Mbah Nun dan Maiyah selama ini juga sungguh-sungguh menyemai nilai nilai kekeluargaan. Salah satu produk pokok dan pesan pentingnya kepada semua yang dijumpainya adalah, “kedepankan Rembug”.
  • Mengulik penyematan nama Mbah pada Mbah Nun, bahwa ‘Mbah’ adalah panggilan dalam Keluarga yang tidak ditemui di organisasi masa atau politik mana pun. Dan ternyata bila ditelusur lebih lanjut, Mbah pada struktur Kulawarga merupakan konsep dari Allah sendiri. Terbukti pada penyebutan, “Ya Bani Adam” (Wahai anak cucu Adam). Mas Agus menimpali, bahwa Nabi Adam, yaitu Mbah yang satu-satunya manusia yang pernah atau pertama kali berkeluarga di Surga.
  • Al Quran sebagai petunjuk kepada seluruh manusia (Hudan Linnas), dan yang selama ini dilakukan oleh Mbah Nun adalah merespons ayat-ayat Al-Quran tersebut. Salah satu produknya adalah tadabur Al Fatihah, serial tadabur harian yang berjudul Tadabbur Hari Ini. Dan sangat menyenangkan sekali kalau anak cucu Mbah Nun merespons atau mengapresiasi produk tersebut dengan mengangkatnya menjadi tema sinau bareng.

 

 

Sampailah pada puncak diskusi. Mbah Nun nglambari dengan bacaan “Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.” Artinya: “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha ayat 25-28). Dilanjutkan dengan menyapa dengan hangat seluruh yang hadir lalu melanjutkan dengan respon-respon ringan dan singkat dari beberapa pembicara sebelumnya. Demikian :

  • Mengapresiasi group rebana MMA. Nama singkatan yang menarik, sebab mengingatkan kepada Mixed Martial Art, sebuah program seni bertarung yang digemari Mbah Nun. Kefasihan dalam menarasikan MMA lengkap dengan sekian tokoh-tokohnya membuat jamaah tertawa gembira. (Sebuah intermezo yang menyegarkan ala Mbah Nun).

Kemudian masuk ke tema. Mencoba memulai bahasan tema dengan cara yang ringan pula. Demikian :

Semua yang disampaikan oleh para pembicara sebelumnya adalah komponen-komponen penting. Mari kita nggambar dengan cara menggabungkan komponen komponen tersebut. Mbah Nun kemudian mengajak “nggambar” Kulawarga terlebih dahulu.

  • Kulawarga adalah sekumpulan unsur yang mempunyai tugas, manfaat, dan tanggung jawabnya masing masing. Mempunyai struktur yang jelas, yaitu Bapak, Ibuk, anak, dan seterusnya.
  • Kulawarga seberapapun besarnya, yang perlu perhatian khusus adalah anggota Kulawarganya, bukan bangunan fisik rumahnya. Dalam skala lain yang perlu fokus Jamaahnya bukan bangunan Masjidnya bukan materialistiknya, dst, dst.
  • Ada dua unsur penting yang perlu diperhatikan dalam diri kita masing-masing untuk membangun Kulawarga, desa, peradaban, dst. Yaitu Malaikat dan Setan. Malaikat yang dimaksud di sini adalah berupa sebaran frekuensi energi yang baik yang keluar dari diri manusia. Output-nya adalah bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan setan adalah kebalikannya. Maka silakan terus belajar menemukan Malaikatnya sendiri-sendiri sesuai dengan kecenderungan potensi masing-masing.

Membangun Kulawarga, membangun desa, membangun peradaban, dst, sesuai dengan potensi, fungsi, dan tanggung jawabnya masing-masing. Jangan bermental pengemis, cegahlah diri untuk tidak menjadi pengemis, dan lanjutkan sebisa mungkin mencegah Kulawarga kita untuk tidak mengemis. Jangan mengemis dalam hal apa pun sampai pada wilayah yang lebih luas lagi. Lebih-lebih ngemis kekuasaan. Peradaban sekarang ini sedang tidak henti-hentinya secara masif memamerkan praktik mengemis kekuasaan. Padahal peringatannya sangat jelas sekali, kalau mengemis kekuasaan maka Allah tidak akan turut campur pada hidupmu.

 

Al Fatihah adalah Ummul/Ibu Quran

Lalu Mbah Nun mengajak menggambar lebih lanjut lagi. Kalau Al Fatihah adalah Ibu, lalu yang sebagai fungsi Bapak, Suami, Laki-laki, siapa? Kemudian Beliau mem-breakdown beberapa hal. Demikian :

  • Pemerintah itu fungsi Suami, pada Rakyat yang fungsinya Istri.
  • Manusia itu fungsinya suami, Alam sebagai istri.
  • Allah “suami”, manusia istri.
  • Nah, Maiyah itu sendiri adalah sebuah kesadaran Kulawarga yang “Al Ushro yang Akbar”. Kesadaran Kulawarga yang Allah ada di dalamnya atau bersamanya.

Keadaan menghangat dan hening. Lalu Mbah Nun mencoba intermeso sebentar, sembari merespon tentang Nabi Adam adalah mbah mbahnya mbah manusia yang awalnya berkeluarga di Surga. Turun ke dunia karena makan buah Khuldi, yaitu konon buah yang berasal dari Bumi dan disimpan di Museum Surga. Seluruh produk Surga tidak ada yang menghasilkan residu, semuanya akan terdaur ulang menjadi nutrisi secara terus menerus. Nah karena Nabi Adam makan buah yang berasal dari Bumi, maka dalam tubuh Nabi Adam ada residu, Beliau berasa ingin buang air besar. Dan karena di Surga tidak boleh buang air besar, maka Nabi Adam di perintahkan untuk buang air besar ke Bumi. Tentunya ini adalah sebuah guyonan segar ala Mbah Nun. Yang sontak disambut gelak tawa para jamaah. Namun bukan guyonan ala Mbah Nun kalau tidak diselipkan nilai-nilai penting yang bisa kita cermati. Salah satunya adalah tentang residu yang terdaur ulang menjadi nutrisi baru. Ini yang sesungguhnya selama kurang lebih 2 tahun belakangan menjadi konsentrasi kegiatan utama tim Tani Gugurgunung dalam rangka Revolusi Kultural, yaitu mengolah sampah organik menjadi pupuk untuk diolah dan kemudian diaplikasikan pada tanaman sebagai pengganti pupuk kimia.

Alhamdulillah, berasa tadarus atau sedang men-download salah satu informasi penting Surga untuk diaplikasikan di dunia. Hehehe.. Setelah intermeso kedua dianggap cukup, lalu Mbah Nun masuk ke Tema lagi. Dengan memaparkan Al Fatihah sebagai Format 313 (tiga ayat, 1 ayat, 3 ayat) Sebagai berikut :

  • Hidup itu rumusnya adalah Cinta. Rohman itu cinta meluas. Rohiim itu cinta mendalam.
  • Suami itu harus bersifat Al-Fatihah kepada istri.
  • Lalu apa yang pertama kali dilakukan suami kepada istri? pemerintah kepada rakyat? manusia kepada alam? Allah kepada manusia?: yang dilakukan pertama kali adalah “Bismillahirrohmaanirrohiim”
  • Bapaknya Al-Quran adalah Allah. Al-Quran bukan semata bahasa Arab, tetapi bahasa Allah menggunakan bahasa Arab.
  • Maalikiyyaumiddin adalah soko guru atau penyeimbang.
  • Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in merupakan “akad” kita pada Allah, untuk mendapatkan Ihdinas Sirotol Mustaqim.
  • Dalam khasanah Jawa Na’budu lebih kaya maknanya ketimbang bahasa Arab. Jawa mempunyai perbedaan makna antara Manembah dan Menyembah. Sedang bahasa Arab, Na’budu hanya berarti menyembah. Ini yang kemudian disalah pahami Iblis ketika turun perintah dari Allah untuk bersujud kepada Adam. Orang Jawa memahami konteks ini sebagai manembah, berbakti, dst. Tapi waktu itu Iblis hanya memahami sebagai konteks menyembah, maka menolaknya. Dalam hal ini Jawa lebih kaya pemaknaan. Jiwa manusia Jawa adalah jiwa Surga. (Demikian Mbah Nun selalu nggedhekke ati anak cucu).

Jadi ringkasnya, Keluarga Alfatihah adalah Kulawarga yang berkarakter atau berkurikulum Alfatihah. Sehingga keluarga yang dibangun bukan hanya dalam luasan kecil, namun berpeluang menjadi keluarga besar dengan segala Ciptaan Allah SWT dan berkeluarga dengan Allah sebagai Pemilik Segala hal yang ada di langit dan di bumi.

Mbah Nun menyudahi “menggambar”. Sudah kian nampak titik yang diperpanjang menjadi garis sampai terbentuk imajinasi gambar tentang Keluarga dan tentang Alfatihah. Dan sudah sedemikian tersambungkan sinkronisasi antara Keluarga dengan Alfatihah sehingga menjadi Keluarga Alfatihah. Jamaah menyimpannya ke dalam benak masing-masing, sebagai oleh-oleh yang sangat berharga dari Mbah yang menyambangi anak cucunya. Sebelum dipungkasi dengan do’a, moderator mempersilahkan kepada jamaah untuk mengajukan pertanyaan. Dipersilahkan untuk 2 penanya.

 

Mas Udin Demak.

Seorang Guru dari Demak. Menanyakan demikian :

  • Produk produk teknologi modern seperti AI, ChatGPT, dan sejenisnya dikhawatirkan akan menelan anak anak didik Gen Z. Lalu gimana cara menghadapinya.

Mbah Nun menjawab :

  • ChatGPT, AI, dst itu adalah kecerdasan buatan. Secanggih apapun buatan manusia pasti ada limitasinya, ada batasannya, ada kelemahannya. Salah satu kelemahannya adalah tidak akan bisa membikin Al Quran atau ayat-ayat Allah. Jadi untuk tidak bisa ditelan oleh hal seperti itu, maka jalannya atau jimatnya adalah Al Quran, Al Fatihah.

 

Mas Arif Ungaran.

  • Menanyakan, arti Bismillahirrahmanirrahim itu Dengan nama Allah atau atas nama Allah.

Mbah Nun menjawab  secara ringkas dengan kembali mengingatkan fungsi metode tadabbur:

  • Terserah merdeka saja mau memakai dengan nama Allah atau atas nama Allah, yang penting selalu ada Allah, selalu bersama Allah.

 

Waktu sudah lewat tengah malam. Sebagaimana yang telah disepakati bersama di awal, dan untuk menghormati berbagai keadaan, maka moderator menyudahi acara diskusi. Acara ditutup dengan do’a oleh Mbah Nun. Serangkaian kalimah do’a yang diamini oleh seluruh jamaah. Dipungkasi dengan “Innama Amruhu Idza Aroda Syaian Ayyakulalahu”, dan jamaah secara serempak menyahutnya dengan “Kun Fayakun” dan dilapis oleh mbah Nun dengan “Fa subḥaanallazii biyadihii malakụtu kulli syai`iw wa ilaihi turja’ụn”. Mbah Nun menutup dengan salam, kemudian beranjak dari tempat duduk untuk menuju mobil dan melanjutkan perjalanan pulang ke Yogyakarta. Jamaah menghantarkan dengan salam dan berdiri dari tempatnya masing-masing dengan mengarahkan pandang ke arah Mbah Nun. Tampak beberapa jamaah ikut mengiringi mobil Mbah Nun dengan iring-iringan sepeda motor di belakangnya. Seiring Mbah Nun telah kembali ke Yogyakarta, maka acara telah usai namun panitia masih mempersembahkan satu mata acara paling pungkasan yakni makan lesehan bersama atau kembulan yang telah mentradisi di majlis gugurgunung.

Semua hadirin dipersilahkan untuk merapatkan diri dan menikmati kembulan berbagai hidangan yang sudah disediakan panitia. Ada sebagian dari para hadirin memilih langsung pamitan karena telah cukup kenyang dengan kudapan sebelumnya dan ada pula yang harus segera pulang karena ada aktivitas esok hari. Sebagian lainnya masih ingin melepas rindu, menikmati hidangan yang telah disediakan, sungguh nikmat makan bersama dengan sedulur-sedulur, sebagai seolah sedang makan bareng di dapur sendiri bersama seluruh anggota keluarga yang lain. Seusai kembulan, Gus Aniq, dulur-dulur GS, dan jamaah lainnya, kembali membentuk lingkaran kecil untuk alam-alaman. Keluarga gugurgunung mulai beres-beres tempat agar ketika ditinggalkan, tempat dalam keadaan bersih. Setelah malam semakin larut saling berpamitan saat Tarhim mulai berkumandang.

 

 

Reportase oleh: Kasno MGG
Dokumentasi: Koko Nugroho

Reportase 1: Keluarga Al Fatihah

Semesta Anggara Kasih

Selasa Kliwon, 13 Juni 2023. Sederetan bilangan Hari, Pasaran, dan Tanggal, ini mungkin nampak biasa saja. Tapi tentu tidak bagi kami anak cucu Maiyah yang teruntai pada simpul Majlis Gugurgunung – yang bersentral kegiatan di tlatah Ungaran. Kombinasi tanggal tiga belas dan hari Selasa Kliwon kali ini dipenuhi perasaan penuh luapan kegembiraan dan kasih sayang.

Sejak pagi cuaca pun cerah, gunung-gunung di sekitaran Ungaran yang tampak begitu anggun dan tampil jernih tanpa ditabiri awan. Hari tersebut juga burung prenjak sudah nggancer di dahan-dahan pohon Kelengkeng. Bagi masyarakat Jawa kicau burung prenjak dianggap sebagai tanda bahwa ia ikut menantikan kehadiran seseorang yang akan hadir pada hari tersebut. Udara pun sejuk dengan langit yang biru terang dan tampil cerah setelah tadi malam menurunkan hujan cukup basah.

Selasa Kliwon adalah Hari Anggara Kasih. Banyak dipahami oleh masyarakat Jawa sebagai hari perwujudan Kasih Sayang dengan nilai kerto aji dino menjadi sebelas, penjumlahan nilai Selasa dengan nilai kerto aji: tiga dan Kliwon dengan nilai kerto aji: delapan, jadilah sebelas. Sebelas adalah tetenger, maesan, tanda letak koordinat kasih sayang Allah kepada hamba-Nya dan tanda letak pengabdian hamba kepada Tuhan-Nya. Posisi kasih Sayang ini diserap energinya secara baik di tiap hari Selasa Kliwon.

Selain dari Selasa Kliwon sang Anggara kasih. Simbol kasih sayang ini masih diwakilkan lagi pada tanggal tersebut yakni tigabelas, dengan angka ‘satu’ dan ‘tiga’. Bila mengacu pada Al Fatihah (Induk/Ibu Al Qur’an) Ayat 1 adalah Bismillahirrohmaanirrohiim. Ayat 3 adalah Arrohmaanirrohiim. Ada Arrohmaan dan Arrohiim pada ayat 1 dan diulang di ayat 3. Oke, mari kita anyam persambungan tersebut. Dan kita runtut peristiwanya. Tentunya ini pola Tadabbur saya, dan tentunya lagi adalah Tadabbur kelas ndek ndekan, atau bisa juga ming nggathukke Otak dan Ati, atau Otak Ati Gathuk, dan sejenisnya, dst.

Hari itu adalah jadwal dimana Mbah Nun ngersakke menyambangi anak cucunya di Ungaran. Ini murni perwujudan kasih sayang Beliau kepada anak cucunya. Agenda yang memang lebih intens dilaksanakan selama kurun waktu 2 (dua) tahun belakangan ini, beliau menyambangi anak cucunya pada simpul-simpul Maiyah seluruh dunia. Perwujudan kasih sayang tersebut tentu kami sambut dengan sangat bahagia yang mengantarkan pada perayaan rasa syukur yang luar biasa. Perwujudan kasih sayang juga teranyam dengan sedekah Beliau berupa serial Tadabbur Harian Mbah Nun tentang Alfatihah.

Pagi merekah, merekah pula hati kami semua. Sejuk khas udara pagi pada musim kemarau. Keluarga gugurgunung saling berkabar tentang persiapan tugasnya masing-masing. Dari sektor Revolusi Kultural, Om Nardi selaku imam pertanian mengabarkan kalau melon sudah siap panen, bisa dipetik untuk suguhan Mbah Nun.

 

Pak Tri juga memanen Ikan Nilanya.

 

Mas Santoso dari sektor petani Palawija dan Ternak Unggas, menyedekahkan satu ekor Kalkun dan bernampan-nampan jajanan khas desa.

 

Mas Koko dan Pak Satriyo, sektor bidang usaha jajanan, menampilkan Lumpia dan Sosis.

 

Tak ketinggalan pula Ibuk-Ibuk yang dibantu Mbak-Mbak, menyajikan salah satu makanan khas Ungaran yaitu Gendar Pecel dan kudapan khas lainnya.

 

Semua kudapan terkoordinir di Art Cafe, sebuah Warung Makan kepunyaan Ibunda Mas Agus Wibowo. Yang memang dipersiapkan secara patut untuk menyambut kedatangan Mbah Nun, sekaligus sebagai tempat transit. Om Didit dan Mas Dhika siaga pada kesiapan armada. Mas Ganjar pada dokumentasi. Dan yang lain pada persiapan lokasi acara.

Dari sektor kesenian, Gus Arul turut ambil bagian dengan seperangkat sound system, lengkap dengan group rebananya yang tergabung dalam MMA (Majlis Majazi Al-Hasan).

Juga para perangkat keamanan mulai dari Linmas dan Babinkamtibmas turut sigap dan siaga menjaga acara dari pra sampai acara selesai. Para Ulama dan Umaro, serta para Sepuh, pinisepuh dari tingkat Desa sampai Kecamatan turut nyengkuyung, mangestoni, dan Tut wuri atas apa yang menjadi hajat Kulawarga gugurgunung tersebut. Ejawantah atau perwujudan kasih sayang yang mengantarkan pada raya syukur, kemudian beranak-pinak kasihsayang-kasihsayang lainnya atas seluruh kelengkapan unsur-unsur, begitu tampak manfaat dan tanggung jawab dari masing-masing unsur tersebut. (Ini yang belakangan kami pahami sebagai definisi Keluarga). Kulawarga kecil gugurgunung yang membangun bebrayan ageng (besar) kepada Kulawarga lainnya, secara alamiah membentuk Kulawarga besar, dan sepakat untuk terus berupaya menjadi Kulawarga Akbar.

Hiruk-pikuk kesibukan pagi itu dan pencurahan perhatian dari setiap person di dalam keluarga gugurgunung dan disengkuyung pula oleh pihak-pihak lain merupakan lembaran kegembiraan awal yang seolah menjadi kelasa atau tikar untuk mewadahi kebahagiaan-kebahagiaan berikutnya. Tentunya memang demikian yang diharapkan, bahwa semua anak-cucu Maiyah Ungaran sedang membuncah perasaan bungah karena hendak ditiliki oleh Mbah Nun, betapa tak terkira rasa bahagia kami. Majlis gugurgunung otomatis menjadi panitia dan shohibul hajah kegiatan ini. Pembagian tugas telah dilakukan dan semua yang dimandati telah memulai bukan hanya sejak pagi itu, namun ada yang telah memulai sejak seminggu sebelumnya. Namun pagi itu suasana tampil secara apik, rampak dan serempak bahu-membahu njunjung keceriaan bersama, kami benar-benar sedang “nduwe gawe”. Semakin siang semakin bertambah pihak yang hadir dan mendaulat diri untuk ikut bantu-bantu. Semakin sore semakin banyak lagi yang berduyun-duyun hadir, bukan hanya dari internal keluarga gugurgunung namun telah dihadiri pula oleh sanak-kadang Maiyah dari simpul lain. Ada yang hadir untuk membantu kesiapan di ruang transit, ada pula yang membantu ke lokasi acara untuk ikut terlibat membantu proses persiapan lokasi.

___Bersambung ke reportase 02

 

 

 

Reportase oleh: Kasno MGG
Dokumentasi: Koko Nugroho