Reportase 2 : Keluarga Al Fatihah

Hari Raya Alhamdulillah

 

“Mana kala kita bisa menemukan (Arrahmaan Arrahiim) atau perwujudan kasih sayang pada setiap peristiwa, maka tidak ada hari yang bukan Hari Rayya Alhamdulillah. Setidaknya ini adalah salah satu kesimpulan pada Reportase 1 yang berjudul “Semesta Anggara Kasih”.

 

 

Keterlibatan seluruh unsur lengkap dengan fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing sudah absah disebut sebagai Kulawarga dengan modal Kasih Sayang. Langkah terdekat selanjutnya adalah perayaan rasa syukur. Kata Hari Rayya Alhamdulillah sengaja kami pilih untuk menggambarkan perayaan rasa syukur kami anak cucu Maiyah Ungaran yang sedang disambangi Mbah Nun.

Senja tiba sebagaimana biasanya. Kabut tipis terbawa semilir angin perlahan turun dari Gunung Munggut (Komplek Pesarean Mbah Benawa dan Syekh Basyaruddin), ke Pendopo Paseban Wijaya Kusuma, tempat akan digelarnya acara. Sejuk khas senja musim kemarau. Menyeka apa saja dan siapa saja. Persentuhan yang sedemikian menyegarkan segala Indera. Pendopo Paseban Wijaya Kusuma dengan segala perlengkapannya telah siap. Kelasa sudah digelar. Aneka kudapan dan minuman tertata di berbagai titik lokasi. Petugas siaga pada tugasnya masing-masing.

Selepas Maghrib Mbah Nun beserta rombongan tiba di Art Cafe, rumah Ibuknya Mas Agus Wibowo yang memang sudah dipersiapkan untuk transit. Kulawarga gugurgunung yang dibersamai oleh para Kyai dan Sesepuh desa yang memang sudah turut menunggu di tempat transit, turut menyambut kedatangan Beliau beserta rombongan. Haru nggak bisa dibendung. Tumpah, namun tetap kondusif. Tak ketinggalan pula anak anak kecil turut berbaur. Alamiah sekali sebagaimana anak-cucu yang sedang karawuhan Simbahnya. Duduk bersama, makan bersama, dilanjutkan ngopi dan ngudud bersama, dan tentunya alam alaman saling melepas kangen. Mengalir sangat langsam dan santai.

 

Jam 20:00, pengunjung mulai berduyun-duyun menuju lokasi acara. Kulawarga gugurgunung menyambut dan mempersilahkan hidangan lalu nyumanggakake untuk duduk di Pendopo. Acara pun dimulai, dibuka dengan menyapa hadirin yang sudah datang, kemudian bersama sama membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan pembacaan Gema Wahyu Ilahi, yang dilantunkan oleh Mas Agus Khamid. Mendayu, syahdu, dan suasana mendadak meruang hening.

 

Tak berjeda lama, Gus Arul beserta Tim Rebana MMA-nya melanjutkan mengambil alih acara. Gus Arul sendiri yang memimpin membacakan Tawashshulan, dan dilanjutkan dengan rangkaian Munajat dan Sholawat. Beberapa nomor Sholawat dilantunkan oleh 3 vokalis, yang lainnya makmum. Rebana genjring  dipilih sebagai instrumen pengiring. Tabuhan yang sederhana namun sedemikian ritmis dan sangat harmonis. Suasana mendadak meruang romantis.

 

Mas Wahid dan dulur-dulur Gambang Syafaat yang terlibat dalam tim penyambutan dan pengawalan Mbah Nun mengabarkan, bahwa rombongan telah budhal dari transit. Tampak iring-iringan mobil dan motor mengawal Mbah Nun. Belasan menit kemudian tiba di lokasi, tepat saat satu nomor Sholawat menjelang Mahalul Qiyam. Semua jama’ah berdiri. Gus Arul melanjutkan Mahalul Qiyam. Seperti sebelumnya Imam dan Makmum bersahutan berurutan. Dimulai dengan nada rendah namun mandhes. Sampai pada nada tinggi membuncah sampai beberapa pecah, ajur, ajer. Suasana mendadak meruang haru.

 

 

 

 

 

 

Sesi Diskusi/Sinau Bareng

 

Mas Agus Wibowo mengambil alih acara. Memoderasi diskusi atau Sinau Bareng. Menyampaikan beberapa pantikan terkait dengan tema. Demikian :

  • Kulawarga adalah “organisasi” yang paling langgeng dan tidak mungkin terkudeta. Tiap anggota keluarga mempunyai peran, fungsi, dan tanggung jawabnya masing masing. Anak nggak mungkin mengkudeta Bapak karena ingin menjadi kepala Kulawarga. Hahaha
  • Dalam Kulawarga terdapat beberapa sektor penting dan utama yaitu, Asah, Asih, Asuh.
  • Bermodal dengan dua potensi di atas tersebut, maka dirasa sangat penting adanya formulasi sinkronisasi antara Kulawarga dengan Alfatihah. Besar harapannya, bahwa sinkronisasi tersebut bisa menjadi sebuah rintisan awal peradaban yang keren.

Narasi yang singkat, namun cukup memantik pintu berpikir. Sembari memeram pantikan untuk beberapa saat, Moderator mempersilahkan Pak Kades untuk menyampaikan sesuatu.

 

Pak Zaenal, Kades Pringsari

  • Menyampaikan atur pambagyo kepada Mbah Nun dan seluruh Jamaah. Menyampaikan rasa nggregel dan haru yang luar biasa. Kedatangan Mbah Nun yang selama ini masih berupa angan belaka, kini merealita.
  • Juga me-remind persambungan awal dengan simpul gugurgunung lewat sebuah acara besar di Desa Pringsari, dalam rangka sedekah desa sekaligus peresmian Pendopo Paseban dengan dimeriahkan pagelaran Wayang oleh Ki Dalang Sigit yang ternyata juga bagian dari Kulawarga Maiyah. Mengangkat lakon “Semar Mbangun Khayangan”, yang di dalamnya memuat cerita penting tentang Kembang Wijaya Kusuma. Sehingga pendopo tersebut diberi nama Pendopo Paseban Wijaya Kusuma. Ketersambungan demi ketersambungan yang terus terjalin hingga Pendopo tersebut menjadi salah satu lokasi utama digelarnya acara rutinan Majlis Gugurgunung. Dan tidak menyangka kalau ketersambungan selanjutnya adalah karawuhan Mbah Nun di Pendopo Paseban tersebut, dalam rangka mengunjungi anak cucu Maiyah di Ungaran.
  • Mengapresiasi tema Kulawarga Al Fatihah, karena ternyata juga menjadi persambungan penting lainnya. Yaitu, Pak Kades adalah pengamal wirid Al Fatihah dan Al Ikhlas, yang diturun-temurunkan oleh para leluhurnya.
  • Juga menjadikan komplek Pendopo Paseban Wijaya Kusuma sebagai sentral kegiatan ekonomi kerakyatan berupa Pasar Pagi, yang kegiatan utamanya adalah memasarkan seluruh produk unggulan masyarakat Desa Pringsari sebagai rintisan kegiatan ekonomi. Serta mengembangkan kegiatan pariwisata dan spiritual berupa Ziarah pada komplek Makam Mbah Benowo dan Syaikh Basyarudin, yang terletak di Puncak Gunung Munggut, sebelah atas Pendopo.

Pada kesempatan berikutnya, moderator mempersilahkan Pak Kyai Qomasyi, seorang pemuka agama dan tokoh masyarakat di Balongsari yang menjadi pimpinan Tarikah Qodiriyyah di Masjid Al-hasan yang ikut mendampingi sinau bareng kali ini, juga ada sesepuh lainnya. Namun Beliau memilih untuk dilewati dan langsung ke pembicara lain, karena konon niat dari rumah hanya ingin menyimak ngaji Mbah Nun. Sebuah pilihan sikap yang menurutku, justru sedang menyampaikan kerendah-hatian dengan cara indah.

Kesempatan selanjutnya adalah Pak Kyai Arifin,

salah satu Kyai di Mbalongsari yang memang sudah sangat erat dengan Kulawarga gugurgunung. Bahkan sempat meminjamkan salah satu gedungnya untuk majlis gugurgunung menggelar acara rutinan bulanan selama beberapa tahun. Dengan demikian beliau Pak Kyai Arifin telah sekaligus menjadi bagian dari shohibul hajat sinau bareng malam tersebut. Beliau pun mengambil waktu untuk menyampaikan dan mengulas beberapa hal, demikian :

  • Bismillah, Bi Ismi Llah, yaitu bersama atau bertemu Allah. Jalannya adalah mengabdi, dalam kontek Kulawarga berarti meniatkan secara bersama sama untuk membangun kesadaran mengabdi. Lewat cara apapun. Berbuatlah untuk jangan takut salah, Allah Maha Rohman dan Rohiim. Lalu menyudahi pantikan, lagi-lagi dalam rangka untuk tidak menyita waktu dan memberikan kesempatan yang lebih lama untuk nyimak Mbah Nun.

 

Gus Arul, selaku pemimpin dan pengasuh Majlis Majazi Alhasan (MMA) juga langsung dipersilahkan menyambung diskusi. Mbah Nun mempersilahkan Gus Arul untuk duduk di sebelah Beliau. Lalu Gus Arul menyampaikan :

  • “Mbah Nun, saya di sini hanya Wawu Zaidah, wawu yang hanya sebagai pelengkap di belakang saja. Ning insyaAllah siyap didhawuhi apa saja”

 

Demikian singkat yang disampaikan Gus Arul, dan kemudian memilih untuk kembali duduk di belakang Mbah Nun. Lagi lagi berupa pertunjukan sikap kerendah-hatian yang luar biasa.

 

Gus Aniq, pengasuh Ponpes RKSS Semarang, pendamping tetap simpul Gambang Syafaat, dan seringkali membersamai majlis gugurgunung pada momentum momentum penting. Hadir bersama para santri dan teman teman Gambang Syafaat. Datang lebih awal, dan langsung kami sambat untuk turut menyambut Mbah Nun. Nampaknya ruang diskusi sedikit memaksa Beliau untuk menyampaikan lebih banyak. Karena kerendah-hatian dengan cara menyampaikan narasi yang relatif singkat sudah diambil perannya oleh pembicara sebelumnya. Beliau memilih rendah hati dengan cara lain. Maka Beliau menyampaikan demikian :

  • Apa yang akan saya sampaikan ini saya niatkan sebagai Sorogan. Mumpung ada Mbah Nun dan para Kyai serta Sesepuh yang turut hadir untuk menyimak dan mengoreksi terhadap yang saya sampaikan. Kalimat pembuka yang menarik. (Nampak sekali Beliau sedang dalam rangka ingin nyantri).
  • Tadabbur selanjutnya adalah melalui pendekatan Ma’am Khuruf. BA, mengandung makna asal-muasal, permulaan realitas. Allah yang ada di Bismillah berati Allah secara realitas, manifestasi, tajali, ejawantah. Arrahmaan adalah wujud potensial Allah. Sedang Arrahiim adalah Wujud realitas Allah.
  • Menyambungkan dengan fenomena Nabi Khidir, bahwa Alhamdulillahirobbil ‘Aalamaiin adalah sebagai Majmaal Bahrain, yaitu bertemunya Rohmaan Rohiim yang pertama (Khalik) dengan Rohmaan Rohiim yang ke dua (Makhluk).
  • Kulawarga, dari Warga atau bisa juga Marga. Marga atau Margi dalam Jawa adalah Jalan. Dalam Alfatiha, Jalan adalah Ihdinashshiratal Mustaqim. Jadi, sungguh sangat terkait antara Kulawarga dengan kesadaran Abdi dengan Jalan. Jalan dengan sistem kerahmatan dan kenikamatan.
  • Maka An ‘amta merupakan aktifasi Gusti Allah pada diri Makhluk.

Lalu Gus Aniq memungkasi dengan informasi tentang “Sapta Mandala”, atau 7 lapisan kesadaran diri, diantara adalah :

  1. Mandala Personal
  2. Mandala Marital
  3. Mandala Sosial
  4. Mandala Komunal
  5. Mandala Global
  6. Mandala Universal
  7. Mandala Celestial.

 

 

Narasi dari beberapa pembicara seperti membentuk gelombang. Secara alamiah saling berkait paut, saling melengkapi. Suasana kian hangat. Giliran Mas Helmi melanjutkan diskusi, menyampaikan beberapa hal penting dengan cara yang santai. Demikian :

  • Apresiatif terhadap gelaran acara tersebut, yang mengangkat tema Keluarga Alfatihah.
  • Merasa bahagia bisa hadir bersama Mas Ale nderekaken Mbah Nun untuk yang pertama kalinya mengunjungi Kulawarga gugurgunung. Benar-benar suasana yang sejuk, di tengah sawah, penuh dengan limpahan berkah dan rahmat. Semoga sebuah tengara bahwa ini adalah salah satu perwujudan liqo’ul adhim (perjumpaan yang Agung).
  • Agenda 2 tahun terakhir Mbah Nun untuk menyambangi anak cucunya di banyak simpul, sebagai wujud kasih sayang yang sungguh-sungguh kepada anak cucunya.
  • Mbah Nun dan Maiyah selama ini juga sungguh-sungguh menyemai nilai nilai kekeluargaan. Salah satu produk pokok dan pesan pentingnya kepada semua yang dijumpainya adalah, “kedepankan Rembug”.
  • Mengulik penyematan nama Mbah pada Mbah Nun, bahwa ‘Mbah’ adalah panggilan dalam Keluarga yang tidak ditemui di organisasi masa atau politik mana pun. Dan ternyata bila ditelusur lebih lanjut, Mbah pada struktur Kulawarga merupakan konsep dari Allah sendiri. Terbukti pada penyebutan, “Ya Bani Adam” (Wahai anak cucu Adam). Mas Agus menimpali, bahwa Nabi Adam, yaitu Mbah yang satu-satunya manusia yang pernah atau pertama kali berkeluarga di Surga.
  • Al Quran sebagai petunjuk kepada seluruh manusia (Hudan Linnas), dan yang selama ini dilakukan oleh Mbah Nun adalah merespons ayat-ayat Al-Quran tersebut. Salah satu produknya adalah tadabur Al Fatihah, serial tadabur harian yang berjudul Tadabbur Hari Ini. Dan sangat menyenangkan sekali kalau anak cucu Mbah Nun merespons atau mengapresiasi produk tersebut dengan mengangkatnya menjadi tema sinau bareng.

 

 

Sampailah pada puncak diskusi. Mbah Nun nglambari dengan bacaan “Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.” Artinya: “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha ayat 25-28). Dilanjutkan dengan menyapa dengan hangat seluruh yang hadir lalu melanjutkan dengan respon-respon ringan dan singkat dari beberapa pembicara sebelumnya. Demikian :

  • Mengapresiasi group rebana MMA. Nama singkatan yang menarik, sebab mengingatkan kepada Mixed Martial Art, sebuah program seni bertarung yang digemari Mbah Nun. Kefasihan dalam menarasikan MMA lengkap dengan sekian tokoh-tokohnya membuat jamaah tertawa gembira. (Sebuah intermezo yang menyegarkan ala Mbah Nun).

Kemudian masuk ke tema. Mencoba memulai bahasan tema dengan cara yang ringan pula. Demikian :

Semua yang disampaikan oleh para pembicara sebelumnya adalah komponen-komponen penting. Mari kita nggambar dengan cara menggabungkan komponen komponen tersebut. Mbah Nun kemudian mengajak “nggambar” Kulawarga terlebih dahulu.

  • Kulawarga adalah sekumpulan unsur yang mempunyai tugas, manfaat, dan tanggung jawabnya masing masing. Mempunyai struktur yang jelas, yaitu Bapak, Ibuk, anak, dan seterusnya.
  • Kulawarga seberapapun besarnya, yang perlu perhatian khusus adalah anggota Kulawarganya, bukan bangunan fisik rumahnya. Dalam skala lain yang perlu fokus Jamaahnya bukan bangunan Masjidnya bukan materialistiknya, dst, dst.
  • Ada dua unsur penting yang perlu diperhatikan dalam diri kita masing-masing untuk membangun Kulawarga, desa, peradaban, dst. Yaitu Malaikat dan Setan. Malaikat yang dimaksud di sini adalah berupa sebaran frekuensi energi yang baik yang keluar dari diri manusia. Output-nya adalah bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan setan adalah kebalikannya. Maka silakan terus belajar menemukan Malaikatnya sendiri-sendiri sesuai dengan kecenderungan potensi masing-masing.

Membangun Kulawarga, membangun desa, membangun peradaban, dst, sesuai dengan potensi, fungsi, dan tanggung jawabnya masing-masing. Jangan bermental pengemis, cegahlah diri untuk tidak menjadi pengemis, dan lanjutkan sebisa mungkin mencegah Kulawarga kita untuk tidak mengemis. Jangan mengemis dalam hal apa pun sampai pada wilayah yang lebih luas lagi. Lebih-lebih ngemis kekuasaan. Peradaban sekarang ini sedang tidak henti-hentinya secara masif memamerkan praktik mengemis kekuasaan. Padahal peringatannya sangat jelas sekali, kalau mengemis kekuasaan maka Allah tidak akan turut campur pada hidupmu.

 

Al Fatihah adalah Ummul/Ibu Quran

Lalu Mbah Nun mengajak menggambar lebih lanjut lagi. Kalau Al Fatihah adalah Ibu, lalu yang sebagai fungsi Bapak, Suami, Laki-laki, siapa? Kemudian Beliau mem-breakdown beberapa hal. Demikian :

  • Pemerintah itu fungsi Suami, pada Rakyat yang fungsinya Istri.
  • Manusia itu fungsinya suami, Alam sebagai istri.
  • Allah “suami”, manusia istri.
  • Nah, Maiyah itu sendiri adalah sebuah kesadaran Kulawarga yang “Al Ushro yang Akbar”. Kesadaran Kulawarga yang Allah ada di dalamnya atau bersamanya.

Keadaan menghangat dan hening. Lalu Mbah Nun mencoba intermeso sebentar, sembari merespon tentang Nabi Adam adalah mbah mbahnya mbah manusia yang awalnya berkeluarga di Surga. Turun ke dunia karena makan buah Khuldi, yaitu konon buah yang berasal dari Bumi dan disimpan di Museum Surga. Seluruh produk Surga tidak ada yang menghasilkan residu, semuanya akan terdaur ulang menjadi nutrisi secara terus menerus. Nah karena Nabi Adam makan buah yang berasal dari Bumi, maka dalam tubuh Nabi Adam ada residu, Beliau berasa ingin buang air besar. Dan karena di Surga tidak boleh buang air besar, maka Nabi Adam di perintahkan untuk buang air besar ke Bumi. Tentunya ini adalah sebuah guyonan segar ala Mbah Nun. Yang sontak disambut gelak tawa para jamaah. Namun bukan guyonan ala Mbah Nun kalau tidak diselipkan nilai-nilai penting yang bisa kita cermati. Salah satunya adalah tentang residu yang terdaur ulang menjadi nutrisi baru. Ini yang sesungguhnya selama kurang lebih 2 tahun belakangan menjadi konsentrasi kegiatan utama tim Tani Gugurgunung dalam rangka Revolusi Kultural, yaitu mengolah sampah organik menjadi pupuk untuk diolah dan kemudian diaplikasikan pada tanaman sebagai pengganti pupuk kimia.

Alhamdulillah, berasa tadarus atau sedang men-download salah satu informasi penting Surga untuk diaplikasikan di dunia. Hehehe.. Setelah intermeso kedua dianggap cukup, lalu Mbah Nun masuk ke Tema lagi. Dengan memaparkan Al Fatihah sebagai Format 313 (tiga ayat, 1 ayat, 3 ayat) Sebagai berikut :

  • Hidup itu rumusnya adalah Cinta. Rohman itu cinta meluas. Rohiim itu cinta mendalam.
  • Suami itu harus bersifat Al-Fatihah kepada istri.
  • Lalu apa yang pertama kali dilakukan suami kepada istri? pemerintah kepada rakyat? manusia kepada alam? Allah kepada manusia?: yang dilakukan pertama kali adalah “Bismillahirrohmaanirrohiim”
  • Bapaknya Al-Quran adalah Allah. Al-Quran bukan semata bahasa Arab, tetapi bahasa Allah menggunakan bahasa Arab.
  • Maalikiyyaumiddin adalah soko guru atau penyeimbang.
  • Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in merupakan “akad” kita pada Allah, untuk mendapatkan Ihdinas Sirotol Mustaqim.
  • Dalam khasanah Jawa Na’budu lebih kaya maknanya ketimbang bahasa Arab. Jawa mempunyai perbedaan makna antara Manembah dan Menyembah. Sedang bahasa Arab, Na’budu hanya berarti menyembah. Ini yang kemudian disalah pahami Iblis ketika turun perintah dari Allah untuk bersujud kepada Adam. Orang Jawa memahami konteks ini sebagai manembah, berbakti, dst. Tapi waktu itu Iblis hanya memahami sebagai konteks menyembah, maka menolaknya. Dalam hal ini Jawa lebih kaya pemaknaan. Jiwa manusia Jawa adalah jiwa Surga. (Demikian Mbah Nun selalu nggedhekke ati anak cucu).

Jadi ringkasnya, Keluarga Alfatihah adalah Kulawarga yang berkarakter atau berkurikulum Alfatihah. Sehingga keluarga yang dibangun bukan hanya dalam luasan kecil, namun berpeluang menjadi keluarga besar dengan segala Ciptaan Allah SWT dan berkeluarga dengan Allah sebagai Pemilik Segala hal yang ada di langit dan di bumi.

Mbah Nun menyudahi “menggambar”. Sudah kian nampak titik yang diperpanjang menjadi garis sampai terbentuk imajinasi gambar tentang Keluarga dan tentang Alfatihah. Dan sudah sedemikian tersambungkan sinkronisasi antara Keluarga dengan Alfatihah sehingga menjadi Keluarga Alfatihah. Jamaah menyimpannya ke dalam benak masing-masing, sebagai oleh-oleh yang sangat berharga dari Mbah yang menyambangi anak cucunya. Sebelum dipungkasi dengan do’a, moderator mempersilahkan kepada jamaah untuk mengajukan pertanyaan. Dipersilahkan untuk 2 penanya.

 

Mas Udin Demak.

Seorang Guru dari Demak. Menanyakan demikian :

  • Produk produk teknologi modern seperti AI, ChatGPT, dan sejenisnya dikhawatirkan akan menelan anak anak didik Gen Z. Lalu gimana cara menghadapinya.

Mbah Nun menjawab :

  • ChatGPT, AI, dst itu adalah kecerdasan buatan. Secanggih apapun buatan manusia pasti ada limitasinya, ada batasannya, ada kelemahannya. Salah satu kelemahannya adalah tidak akan bisa membikin Al Quran atau ayat-ayat Allah. Jadi untuk tidak bisa ditelan oleh hal seperti itu, maka jalannya atau jimatnya adalah Al Quran, Al Fatihah.

 

Mas Arif Ungaran.

  • Menanyakan, arti Bismillahirrahmanirrahim itu Dengan nama Allah atau atas nama Allah.

Mbah Nun menjawab  secara ringkas dengan kembali mengingatkan fungsi metode tadabbur:

  • Terserah merdeka saja mau memakai dengan nama Allah atau atas nama Allah, yang penting selalu ada Allah, selalu bersama Allah.

 

Waktu sudah lewat tengah malam. Sebagaimana yang telah disepakati bersama di awal, dan untuk menghormati berbagai keadaan, maka moderator menyudahi acara diskusi. Acara ditutup dengan do’a oleh Mbah Nun. Serangkaian kalimah do’a yang diamini oleh seluruh jamaah. Dipungkasi dengan “Innama Amruhu Idza Aroda Syaian Ayyakulalahu”, dan jamaah secara serempak menyahutnya dengan “Kun Fayakun” dan dilapis oleh mbah Nun dengan “Fa subḥaanallazii biyadihii malakụtu kulli syai`iw wa ilaihi turja’ụn”. Mbah Nun menutup dengan salam, kemudian beranjak dari tempat duduk untuk menuju mobil dan melanjutkan perjalanan pulang ke Yogyakarta. Jamaah menghantarkan dengan salam dan berdiri dari tempatnya masing-masing dengan mengarahkan pandang ke arah Mbah Nun. Tampak beberapa jamaah ikut mengiringi mobil Mbah Nun dengan iring-iringan sepeda motor di belakangnya. Seiring Mbah Nun telah kembali ke Yogyakarta, maka acara telah usai namun panitia masih mempersembahkan satu mata acara paling pungkasan yakni makan lesehan bersama atau kembulan yang telah mentradisi di majlis gugurgunung.

Semua hadirin dipersilahkan untuk merapatkan diri dan menikmati kembulan berbagai hidangan yang sudah disediakan panitia. Ada sebagian dari para hadirin memilih langsung pamitan karena telah cukup kenyang dengan kudapan sebelumnya dan ada pula yang harus segera pulang karena ada aktivitas esok hari. Sebagian lainnya masih ingin melepas rindu, menikmati hidangan yang telah disediakan, sungguh nikmat makan bersama dengan sedulur-sedulur, sebagai seolah sedang makan bareng di dapur sendiri bersama seluruh anggota keluarga yang lain. Seusai kembulan, Gus Aniq, dulur-dulur GS, dan jamaah lainnya, kembali membentuk lingkaran kecil untuk alam-alaman. Keluarga gugurgunung mulai beres-beres tempat agar ketika ditinggalkan, tempat dalam keadaan bersih. Setelah malam semakin larut saling berpamitan saat Tarhim mulai berkumandang.

 

 

Reportase oleh: Kasno MGG
Dokumentasi: Koko Nugroho

Reportase 1: Keluarga Al Fatihah

Semesta Anggara Kasih

Selasa Kliwon, 13 Juni 2023. Sederetan bilangan Hari, Pasaran, dan Tanggal, ini mungkin nampak biasa saja. Tapi tentu tidak bagi kami anak cucu Maiyah yang teruntai pada simpul Majlis Gugurgunung – yang bersentral kegiatan di tlatah Ungaran. Kombinasi tanggal tiga belas dan hari Selasa Kliwon kali ini dipenuhi perasaan penuh luapan kegembiraan dan kasih sayang.

Sejak pagi cuaca pun cerah, gunung-gunung di sekitaran Ungaran yang tampak begitu anggun dan tampil jernih tanpa ditabiri awan. Hari tersebut juga burung prenjak sudah nggancer di dahan-dahan pohon Kelengkeng. Bagi masyarakat Jawa kicau burung prenjak dianggap sebagai tanda bahwa ia ikut menantikan kehadiran seseorang yang akan hadir pada hari tersebut. Udara pun sejuk dengan langit yang biru terang dan tampil cerah setelah tadi malam menurunkan hujan cukup basah.

Selasa Kliwon adalah Hari Anggara Kasih. Banyak dipahami oleh masyarakat Jawa sebagai hari perwujudan Kasih Sayang dengan nilai kerto aji dino menjadi sebelas, penjumlahan nilai Selasa dengan nilai kerto aji: tiga dan Kliwon dengan nilai kerto aji: delapan, jadilah sebelas. Sebelas adalah tetenger, maesan, tanda letak koordinat kasih sayang Allah kepada hamba-Nya dan tanda letak pengabdian hamba kepada Tuhan-Nya. Posisi kasih Sayang ini diserap energinya secara baik di tiap hari Selasa Kliwon.

Selain dari Selasa Kliwon sang Anggara kasih. Simbol kasih sayang ini masih diwakilkan lagi pada tanggal tersebut yakni tigabelas, dengan angka ‘satu’ dan ‘tiga’. Bila mengacu pada Al Fatihah (Induk/Ibu Al Qur’an) Ayat 1 adalah Bismillahirrohmaanirrohiim. Ayat 3 adalah Arrohmaanirrohiim. Ada Arrohmaan dan Arrohiim pada ayat 1 dan diulang di ayat 3. Oke, mari kita anyam persambungan tersebut. Dan kita runtut peristiwanya. Tentunya ini pola Tadabbur saya, dan tentunya lagi adalah Tadabbur kelas ndek ndekan, atau bisa juga ming nggathukke Otak dan Ati, atau Otak Ati Gathuk, dan sejenisnya, dst.

Hari itu adalah jadwal dimana Mbah Nun ngersakke menyambangi anak cucunya di Ungaran. Ini murni perwujudan kasih sayang Beliau kepada anak cucunya. Agenda yang memang lebih intens dilaksanakan selama kurun waktu 2 (dua) tahun belakangan ini, beliau menyambangi anak cucunya pada simpul-simpul Maiyah seluruh dunia. Perwujudan kasih sayang tersebut tentu kami sambut dengan sangat bahagia yang mengantarkan pada perayaan rasa syukur yang luar biasa. Perwujudan kasih sayang juga teranyam dengan sedekah Beliau berupa serial Tadabbur Harian Mbah Nun tentang Alfatihah.

Pagi merekah, merekah pula hati kami semua. Sejuk khas udara pagi pada musim kemarau. Keluarga gugurgunung saling berkabar tentang persiapan tugasnya masing-masing. Dari sektor Revolusi Kultural, Om Nardi selaku imam pertanian mengabarkan kalau melon sudah siap panen, bisa dipetik untuk suguhan Mbah Nun.

 

Pak Tri juga memanen Ikan Nilanya.

 

Mas Santoso dari sektor petani Palawija dan Ternak Unggas, menyedekahkan satu ekor Kalkun dan bernampan-nampan jajanan khas desa.

 

Mas Koko dan Pak Satriyo, sektor bidang usaha jajanan, menampilkan Lumpia dan Sosis.

 

Tak ketinggalan pula Ibuk-Ibuk yang dibantu Mbak-Mbak, menyajikan salah satu makanan khas Ungaran yaitu Gendar Pecel dan kudapan khas lainnya.

 

Semua kudapan terkoordinir di Art Cafe, sebuah Warung Makan kepunyaan Ibunda Mas Agus Wibowo. Yang memang dipersiapkan secara patut untuk menyambut kedatangan Mbah Nun, sekaligus sebagai tempat transit. Om Didit dan Mas Dhika siaga pada kesiapan armada. Mas Ganjar pada dokumentasi. Dan yang lain pada persiapan lokasi acara.

Dari sektor kesenian, Gus Arul turut ambil bagian dengan seperangkat sound system, lengkap dengan group rebananya yang tergabung dalam MMA (Majlis Majazi Al-Hasan).

Juga para perangkat keamanan mulai dari Linmas dan Babinkamtibmas turut sigap dan siaga menjaga acara dari pra sampai acara selesai. Para Ulama dan Umaro, serta para Sepuh, pinisepuh dari tingkat Desa sampai Kecamatan turut nyengkuyung, mangestoni, dan Tut wuri atas apa yang menjadi hajat Kulawarga gugurgunung tersebut. Ejawantah atau perwujudan kasih sayang yang mengantarkan pada raya syukur, kemudian beranak-pinak kasihsayang-kasihsayang lainnya atas seluruh kelengkapan unsur-unsur, begitu tampak manfaat dan tanggung jawab dari masing-masing unsur tersebut. (Ini yang belakangan kami pahami sebagai definisi Keluarga). Kulawarga kecil gugurgunung yang membangun bebrayan ageng (besar) kepada Kulawarga lainnya, secara alamiah membentuk Kulawarga besar, dan sepakat untuk terus berupaya menjadi Kulawarga Akbar.

Hiruk-pikuk kesibukan pagi itu dan pencurahan perhatian dari setiap person di dalam keluarga gugurgunung dan disengkuyung pula oleh pihak-pihak lain merupakan lembaran kegembiraan awal yang seolah menjadi kelasa atau tikar untuk mewadahi kebahagiaan-kebahagiaan berikutnya. Tentunya memang demikian yang diharapkan, bahwa semua anak-cucu Maiyah Ungaran sedang membuncah perasaan bungah karena hendak ditiliki oleh Mbah Nun, betapa tak terkira rasa bahagia kami. Majlis gugurgunung otomatis menjadi panitia dan shohibul hajah kegiatan ini. Pembagian tugas telah dilakukan dan semua yang dimandati telah memulai bukan hanya sejak pagi itu, namun ada yang telah memulai sejak seminggu sebelumnya. Namun pagi itu suasana tampil secara apik, rampak dan serempak bahu-membahu njunjung keceriaan bersama, kami benar-benar sedang “nduwe gawe”. Semakin siang semakin bertambah pihak yang hadir dan mendaulat diri untuk ikut bantu-bantu. Semakin sore semakin banyak lagi yang berduyun-duyun hadir, bukan hanya dari internal keluarga gugurgunung namun telah dihadiri pula oleh sanak-kadang Maiyah dari simpul lain. Ada yang hadir untuk membantu kesiapan di ruang transit, ada pula yang membantu ke lokasi acara untuk ikut terlibat membantu proses persiapan lokasi.

___Bersambung ke reportase 02

 

 

 

Reportase oleh: Kasno MGG
Dokumentasi: Koko Nugroho

Sinau Bareng Majlis Gugurgunung edisi Mei 2021

Pada Sabtu pekan terakhir di bulan Mei tepatnya 29 Mei 2021. Merupakan Sinau Bareng yang ketiga kalinya diadakan kembali pada malam hari di tahun 2021 oleh Majlis gugurgunung. Meskipun isu pandemi masih ada pasca lebaran 2021, namun proses adaptasi terhadap situasi saat ini telah jauh lebih kondusif. Apalagi memang euforia terhadap sinau bareng begitu membahagiakan karena bertepatan setelah diadakan panen hasil dari kebun Mbodro pakaryan yang berupa semangka dan melon, dan merupakan menu utama dalam suguhan malam itu.

 

 

Bismillahirrohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan sukacita dan memantapkan diri untuk bertempat di komplek makam Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari, Kab. Semarang untuk melaksanakan rutinan Sinau Bareng. Tema workshop malam ini merupakan sebuah topik yang muncul dikala euforia setelah dilaksakannya panen semangka dan melon yang diadakan beberapa hari yang lalu dan setelah mengombyongi berkunjung kerumah mas Sabrang yang berada di Timoho Jogja pada hari rabu kemarin. Saking banyaknya fenomena yang berlangsung selama bulan Mei ini, tak satupun yang tak penting. Maka justru bulan Mei ini tidak mengangkat tema spesifik, kami hanya berangkat dari puisi Mbah Nun yang berjudul “berdekatankah kita” yang diharapkan bisa bersambung kepada seluruh peristiwa tema yang ingin kita bahas.

 

Berdekatankah kita

Sedang rasa begini dekat

Tapi berdekatankah kita

Sedang rasa teramat jauh

Seperti langit dan warna biru

Seperti sepi menyeru

O, kekasih, kau kandung aku

Kukandung engkau

Seperti memendam mimpi

Terendam di kepala

Namun sayup tak terkira

Hanya sunyi mengajari kita

Untuk tak mendua

Alhamdulillah pada malam hari ini dihadiri juga oleh mas Imam sahili, begitu juga dihadiri Mas Ihda beserta Mas Rizal yang datang dari Semarang yang membuat suasana makin hangat dan meriah yang pada satu hari sebelumnya telah tiba dulu di Semarang. Kemudian dilanjutkan dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan oleh mas Agus.

 

Sebagai pantikan untuk mengawali sinau bareng pada malam itu, mas Kasno sebagai moderator membukanya dengan sebuah prakata, bahwa sesungguhnya moment ini adalah bebarengan dengan letupan-letupan kebahagian yang panjang, sesungguhnya sowan ke Jogja tempo hari bukan dalam rangka pamer tentang panen yang diperoleh namun sebagai ungkapan kebahagiaan telah melaksanakan PR yang telah diberikan oleh Mbah Nun. Pada awal pertama merintis pertanian, kalau dapat di dramatisir Mbodro pakaryan telah mengalami fase berdarah-darah, dan melalui mimpi ternyata digambarkan ada serombongan mobil dari Jogja dengan Plat kota nya yaitu AB, waktu itu beberapa penggiat mbodro pakaryan sedang beristirahat di gubug kecilnya, tanpa disadari ternyatata rombongan itu adalah rombongan dari Mbah Nun dan Mas Sabrang, kehadiran beliau disambut hangat oleh para penggiat, siang itu sebenarnya rombongan itu ingin mampir ke rumah mas Agus namun dalam mimpi itu mas Agus belum pulang dari kerja, akhirnya rombongan Mbah Nun beristirahat dahulu di gubug, sambil ngopi dan berbincang-bincang, dalam perbincangan tersebut Mbah Nun memberikan pesan untuk mencari seseorang yang bernama “Prayitno”, begitulah penggambaran mimpi tersebut. Sehingga memunculkan keingin tahuan dari kami untuk mencari tahu siapa sebenarnya “Prayitno” yang berada dalam mimpi, bahkan hingga bertanya pada warga sekitar namun ternyata semua nihil, dan akhirnya kita mencoba untuk mencari tahu perlambangan arti dari “Prayitno” dalam bahasa jawa, dan ternyata disebutkan bahwa makna kata “Prayitno” dalam bahasa Indonesia adalah “Kewaspadaan”, ternyata kita dituntut untuk mewaspadai segala sesuatu dalam segala situasi yang terjadi selama penggarapan lahan tersebut termasuk hama, cuaca kritikan dlsb. Dan tingkat kewaspadaan tertinggi adalah kewaspadaan terhadap diri sendiri, kelengahan, kegegabahan, kesombongan, terlalu terhanyut dalam kebahagiaan hanya karena bisa membuat sebuah bedengan dan jalan air semata. Dan dari rentetan peristiwa tersebut segala sesuatu kegagalan muncul karena kita terlalu menyepelekan, menganggap semua aman-aman saja, serta saat mengalami kegagalan tersebut kita juga dihantui juga rasa putus asa, Sehingga dapat di tarik garis besarnya kita harus mewaspadai kesombongan dan putus asa. Dan datang lagi informasi dari Mbah Nun, bahwasannya bertani dan sebagainya itu sebenarnya sebagai apa?, bahwa akar kata dari amal adalah kerja, di dalam bekerja itulah kita beramal juga, jadi kalau bertani itu merupakan bekerja dengan Allah , dari situlah semangat bertani kita tumbuh kembali dan alhamdullilah hingga mengantarkan kita pada panen. Setelah tepat malam dimana sebelum keberangkatan ke Jogja kita sempat mengobrol soal kyai Muzammil tentang panean yaitu merujuk pada kata panen, dan ternyata satu hari setelah pulang dari Jogja Kyai Muzammil dipanggil untuk menghadap kembali pada sisi-Nya, lagi-lagi kita harus berlatih kembali untuk gugur dari tema tancep kayon kemarin.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Agus, bahwa semua yang terjadi antara awal bulan Mei kita dihadapkan pada semua serangkaian peristiwa, panen bertepatan dengan, mulai dari bulan purnama, super moon, juga bertepatan dengan ulang tahun Mbah Nun, dan pula bertepatan dengan berpulangnya Kyai Muzammil, dan pula termasuk fenomena turunnya wahyu keprabon, dan pula turunnya wahyu keprabon bukanlah sesuatu lantas serta merta membahagiakan, bahwasannya disitulah dimulai untuk bagaimana untuk menyegerakan diri, akankah mengikuti Nabi Muhammad SAW. Ataukan menjadi seseorang yang ingkar, mau kufur atau sukur, mau tumbuh atau rubuh, nah disini kita mencoba untuk memahami bagaimana kita mencoba menumbuhkan dan bisa menjadi penyambung jiwa kita walaupun kita telah kembali, seperti menanam kita sudah dipanggil maka buah dari pohon itu masih bisa muncul menggantikan jiwa kita, daun-daun yang menuju langit dan buahnya itulah surga, surga dalam bahasa Arab bisa Furdaus, Jannah, tetapi kita menitik beratkan pada Jannah, kosakata yang tersemat bagi masyarakat Maiyah sebagai Jannatul Maiyah, kebun kebun Maiyah, itu semua karena kita hanya baru bisa melaksakan dari segi materialnya, yaitu bertani, berkebun, maka ketika sudah memulainya maka disitulah kita mengenal Jannah Dunia, Apa-apa yang kita temui di surga semua berkaitan dengan yang kita lakukan atau tanam di dunia ini. Bahwa semua yang kita tanam akan bekerja untuk kita, kelak itu akan mendapat imbalan, ketika amal dalam bentuk uang, itu menurut Mbah Nun merupakan cara transaksional, kita akan mengharap imbalan juga dalam bentuk material. Atas kepergian Kyai Muzammil maka kita maknailah itu perwujudan dari panen Maiyah, meskipun sebenarnya dalam konteks kemanusiaan kita tidak dalam seperti itu, namun ketika kita meyakini bahwa suatu kepergian itu adalah perwujudan kesempatan yang dikasih oleh Allah, maka kita benar kalau apa yang sudah di amalkan oleh Kyai muzammil itu di dunia sudah waktunya disitulah Maiyah memanennya, maka berbuahlah itu, masyarakat maiyah sedang mengalami panen yang besar karena sehubungan berpulangnya mulai dari bunda Chammana, Syech Kamba, Mbah Umbu dan disusul Kyai Muzammil.

Lalu berlanjut lah duskusi, bahwasannya pada malam itu tidak ada tema, maka dibuka pada teman-teman untuk mengungkapkan impresinya pada malam itu, dan dimulai dari Mas Imam Sahili, beliau mengungkapkan suka duka dalam menanam dahulu ketika sudah mulai berbuah kecil dan membuat hati bahagia, ternyata selang beberapa hari sudah dipetik oleh putrinya dan begitupun saat

 

 

tetangga menanam sudah berbuah juga sudah dipetik lagi, dan itu cukup membuat gemes di dalam hati walaupun pada awal sudah berdecak suka atas berbuahnya pohon yang di tanam tersebut namun disitulah kewaspadaan terhadap kesabaran diri untuk di pahami, tetapi walaupun begitu buah yang lain tetap bisa matang sampai besar. Dan yang selanjutnya dalam keluarga beliau, ternyata dalam hal menanam sudah ada perhitungan yang matang kapan waktu menanam, seberapa lama perawatan itu dilakukan dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya dan semua sudah tepetakan melalui jenis- jenis pohon yang akan ditanam. Dari situ dapat diambil garis besar bahwasannya jika kita mewaspadai kesabaran maka akan berbuah juga, padahal sebenarnya dalam sebuah pola tanam bila salah satu dipetik buahnya otomatis suplai makanan pada buah yang belum terpetik akan juga mengalami peningkatan karena salah satu dari lainnya sudah dipetik dan akan mengalami pemusatan suplai makanan pada satu titik buah yang masih utuh.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Nardi selaku imam tandur di kebun Mbodro Pakaryan, dan ternyata pemilihan beliau sebagai imam tandur terkonfirmasi oleh statement mas Sabrang, bahwasannya jika kita berada di lingkaran kecil perkumpulan maka pilihlah seseorang yang bermanfaat untuk kebersamaan yang mampu mennggiring perkumpulan kecil itu pada kemajuan yang lebih baik, dan pula ternyata dedikasi Mas Nardi terhadap kebun Mbodro pakaryan amat tinggi karena beliau mau meluangkan bukan hanya waktu dan tenaganya namun semuanya dengan penuh di bidang sung dan sih demi kemajuan kebun mbodro pakaryan hingga menuju panen walau dengan rintangan yang bertubi-tubi. Dalam impresinya beliau mengungkapkan bahwasannya keberadaan beliau di sini belum pantas kalau di dapuk sebagai imam tandur, karena dari awal beliau bahagia  bisa hadir dan membersamai dan merasa terdorong untuk melaksanakan PR atas kebun maiyah dari situ maka membutuhkan referensi tanam dan itu bersumber dari medsos, sebenarnya semua metode dari medsos terkadang membuat bingung karena dari sumber satu dan lain terkadang terdapat perbedaaan, yang satu harus dari sisi yang lain dan harus miring dan yang lain bisa berbeda pula dalam praktik menyemprotnya tapi tujuannya sama, sehingga jika kita ingin menganut sebaiknya pilih salah satu saja karena tujuan dari arah penyemprotannya sama, tentukan pilihan satu saja namun harus tekunilah dan dipahami, dan sambil sedikit humor belia mengungkapkan jika diangkat sebagai imam tandur ya di syukur-in “syukurin” saja sambil tersenyum dan dari situ mengundang gelak tawa teman-teman  pada malam hari itu. Pesan mas Nardi, kita Semua initinya sama-sama belajar disini dan pula mendapatkan jawaban dari Mbah Nun bahwasannya kita semua kan seperti pohon, dalam pohon terdapat akar, batang, daun hingga buah, jika ingin menjadi tumbuhan yang berkualitas maka dimulailah dari akarnya dahulu mau merujuk kemanakah akar itu terhadap tanahnya, sehingga akar harus menuju pada tanah yang nutrisinya seimbang, kalau sudah menemukan nutrisi yang tepat barulah menuju ke daun, tempat dimana nutrisi diolah dan dihasilkannyalah buah yang berkualitas, sama hal nya juga kehidupan ini jika kita mengambil nilai kehidupan yang berkualitas maka dalam otak kita akan kita olah dan kita jalani maka hasilnya hasilnya akan berbuah kepada surga, meskipun kita belum tahu bagaimana surga itu seperti apa, tapi tetaplah kita meyakininya dan terus berpegang teguh terhadap keyakinan tersebut.

 

 

Lalu berlanjut pada Mas Ihda, beliau merespon terhadap pemilihan imam, dan baru mengetahui kalau imam yang baik itu mampu benar-benar  memberi contoh yang baik bukan hanya deri segi perkataan namun juga perbuatan yang benar-benar direalisasikan sehingga membuat makmumnya juga terdorong untuk melakukan hal tersebut, ya pemimpin yang sebenarnya mampu melayani makmumnya, konsep imam besar bukan hanya dari segi cowoknya yang banget namun juga benar-benar menjiwai dengan apa yang dilakukannya demi kemajuan pada kebaikan. Terus Mas Ihda juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pengalaman bertaninya sudah susah menanam namun tanpa sepengetahuannya ternyata buah yang diharapkan sudah kedahuluan oleh tetangga sambil tersenyum geli mengungkapkannya. Lalu Mas Ihda mengungkapkan dalam pengalaman berkebunnya, bahwa kata orang jaman dahulu kalau bisa menanam dari bibit hingga tumbuh besar maka dikatakan termasuk pemilik “tangan adem“ kalau istilah Jawanya. Sebuah tanda bahwa pekarangan diberkahi adalah yang tadinya gersang menjadi hijau subur, kemudian naik lagi ke peringkat selanjutnya dikatakan berhasil jika dihadiri kumpulan kupu-kupu yang beterbangan di lahan tersebut dan hingga level selanjutnya yaitu munculnya ekosistem capung, dan fenomena tersebut dialami Mas Ihda ketika mencoba menanami tumbuhan disekitar perumahan yang baru ditinggali dan perumahan tersebut amat panas dan jarang ditumbuhi pohon maka berinisiatiflah untuk menanam dan diketemukan dengan fenomena tersebut, dan melalui rujukan perumpamaan surga itu hijau, maka menamlah maka disitulah surgamu. Berlanjut dari situ mas Ihda baru-baru ini menemui konsep bersedekah oksigen, oksigen akan bertambah jika keberadaan tumbuhan banyak, maka mulailah menanam untuk memulai bersedekah oksigen pada sesama.

 

Jadi kita mencoba menghadirkan sebuah ekosistem yang sudah diberikan oleh Allah yang pernah hilang karena sikap yang tak beradab, terus memunculkan ekosistem itu lagi dengan cara menanam, walaupun dengan hanya ukuran polybag, terus apa jadinya kalau keberadaan ekosistem lebah hilang, maka bahaya sekali terhadap dunia ini, karena dengan hilangnya ekosistem lebah maka akan memperburuk keadaan tanam dan berefek pada kegagalan panen tentu saja akan timbul masalah pangan, karena menurut pengamatan lebah menjadi duta utama penyerbukan dari 70% tumbuhan pangan dan sandang. Hilangnya ekosistem lebah bisa terjadi salah satunya oleh penggunaan pestisida, organ sensor pada lebah akan terganggu oleh pestisida tersebut sehingga ia kehilangan arah untuk kembali ke sarangnya. Punahnya lebah akan berdampak sangat serius sebab niscaya timbulah wabah kelaparan, terjadinya peningkatan kriminalitas dari yang sekedar ngutil sampai peperangan antar negara. Saling membunuh karena kelaparan yang terjadi dan itu bisa menjadi triger terjadinya kehancuran total, maka selain menanam akan alangkah baiknya selalu belajar tentang keseimbangan ekosistem, salah satunya mengatur juga pemakaian dosis pestisida.

 

Lalu berlanjut pada mas Rizal, beliau mengungkapkan belum pernah melakukan apa yang berhubungan dengan menanam, namun dulu suatu ketika saat PKL di suatu desa tepatnya di desa Sukolilo menemui suatu kesan pada petani disana, pertama ladang petani habis dimakan oleh tikus, hampir semua ladang rusak karena serangan tikus, namun para petani masih bersyukur walaupun tinggal sedikit yang bisa dipanen, karena perumpamaan sudah lumrah kalau tikus memakan, toh juga tikus tidak bisa menanam dan masih menyisakan juga untuk kita nikmati panennya, kita sebagai manusia masih bisa diberi kesempatan lagi untuk menanam kembali, lalu yang kedua saat mengalami gagal panen karena banjir, ladang dan sawah dipenuhi air sehingga membuat kondisi gagal panen, namun banjir itu meluas hingga di jalan raya, dan mengakibatkan sopir truk berhenti di tengah jalan raya tersebut karena mesin dari truk dan mobil hingga terendam air, para petani walau mengalami gagal panen karena banjir, mereka malah berinisiatif memasak bersama dan membagikan nasi bungkus pada sopir truk yang terjebak banjir tersebut, para petani begitu masih bersyukur, masih bejo hanya ladang yang terendam banjir, masih kasihan para sopir truk itu sudah truknya mogok tidak bisa kemana-mana dan juga lapar. Maka dari situlah sebenarnya kegigihan seorang petani dapat kita petik dan pahami sebagai pembelajaran untuk selalu “Lilo” dan ikhlas. Dan yang ketiga, bahkan petani disana enggan menggunakan urea, karena itu dapat mengganggu keadaan tanah, ya walau pemakaian urea dapat mengantisipasi tumbuhnya rumput, tapi sebenarnya dapat mempengaruhi tanaman juga, dan bahkan para petani lebih memilih mencabuti rumput tersebut ketimbang penggunaan urea.

 

 

Lalu berlanjut pada Fidhoh, tentang tananam yang didominasi dan diperlambangkan warna hijau, sebenarnya di dalam dunia medis pemakaian warna tersebut selalu ditemui pada jas operasi yang dikenakan oleh tim medis kenapa tidak menggunakana warna yang lain padahal ada banyak warna lain yang lebih cerah, itu dikarenakan warna hijau dapat memberi ketenangan pada sang pasien, panjang gelombang dari warna hijau lah yang dapat menembusnya kedalam reseptor ketenangan yang berada di saraf. Maka apa jadinya bilamana di dunia ini jika budaya menanam semakin punah maka tumbuhan yang sebagai agen pemilik warna hijau akan punah dan berefek kemana-kemaa termasuk kesehatan mental setiap manusia, dan niscayalah terjadi perselisihan antara manusia. Ternyata hijau dan biru mampu menangkal zat-zat yang tidak baik bagi tubuh manusia.

 

 

Tak ketinggalan Mas Koko membeberkan pula pengalamannya, saat dulu sewaktu di jalan tol, bahwa rumput yang berada di tepi jalan tol harus memiliki tinggi kurang lebih 3 cm dan tidak boleh dimatikan dengan roundup, karena itu termasuk keindahan bagi pengguna jalan tol nya tersebut, dan juga melalui perawatan yang intensif secara teratur, dan memang kelihatan apik dipandang terutama pada tol Daerah Jawa Tengah, sangat menenangkan bila dipandang dan tidak membuat capek mata dengan adanya warna hijau. Dan bila untuk kedepannya lahan mbodro berencana untuk melakukan hal tersebut dengan cara mengagendakan pencabutan rumput tanpa menggunakan roundup sehingga disitulah kita akan menerima tiket ke kholifahan sebagai manusia, namun bila tidak memungkinkan maka kita akan mencoba menentukan aspek lainnya agar tetap berkesesuaian dengan aspek ke kholifahan tersebut.

 

 

Dan yang terakhir pada Pak Tri, sewaktu bertemu nya beliau dengan sanak saudara terjadi perbincangan mengenai perihal pekerjaan dan keputusan beliau untuk hengkang dari pekerjaannya yang dahulu, dan menekuni usaha dagang serta bertani ini, beliau mendapat pesan bila dalam bidang bertani harus secara penuh mengupayakan tawakal terhadap hal tersebut, serta beliau mengaku bahwa dilakukannya kegitan tandur ini secara bersama-sama, mendengar hal tersebut maka hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana harus memanjemen kebersamaan agar tidak terjadi kesimpang-siuran dikemudian hari yang dapat menimbulkan perpecahan dalam kebersamaan tersebut maka harus tawakal secara penuh. Karena pernah dicontohkan mencari orang untuk memanen dan paginya telah di habiskan oleh serangan hama, jadi dinamika yang kita alami selama di mbodro kadang naik turun ada suka duka nya, kadang saat kita meremehkan semangka ternyata malah berbuah banyak, jadi semua tidak pasti dengan kita rencanakan walaupun secara matang sekalipun, kita harus selalu mewaspadai terhadap segala sesuatunya agar meminimalisir kemungkinan terburuk, walaupun memang semua keputusan berada di tangan Allah.

 

 

Diskusi masih terus berlanjut hingga tengah malam, untaian pertanyaan tersimpan dan tersampaikan terus dirangkai terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yamg tentunya bermanfaat untuk sedulur yang hadir pada malam itu. Pada intinya kita untuk kedepannya dalam menyikapi dan direncanakan dalam penggarapan kebun mbodro harus lebih intens dan selalu menambah kewaspadaan terhadap segala sesuatu yang mungkin akan berbeda dengan apa yang diharapkan, serta menambah tawakal  dalam menjalaninya. Untuk pasca panen ini kita dituntut untuk puasa dahulu sesuai dengan himbauan Imam tandur kita Mas Nardi, serta itu disambut dengan hangat dan senyum kebahagiaan. Keluarga gugurgunung memungkasi acara dan dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum masing-masing pulang. Acara ditutup dengan Doa penutup yang dibantu memimpin Doa oleh penggiat makam Mbah Eyang Benowo, tak lupa sebelum pulang kita membersihkan dahulu tempat yang digunakan, dan akhirnya kita bersalaman untuk pulang ke rumah masing-masing. Alhamdulillah.

 

 

 

Juru Panyarik gugurgunung
Fidhoh Rahmat Akmal

 

 

Mempuisikan Puasa Kehidupan

Back Story:

 

Gagasan tema Mempuisikan Puisi Kehidupan digulirkan di pawon gugur gunung pada 20 April. Persiapan gelaran dicicil sejak 21 April. Tema ini sebagai bentuk kecintaan kami kepada Mbah Umbu, yang laku kehidupannya adalah “Puasa”, yang kami anak cucunya pada lingkaran simpul Majlis Gugur Gunung juga mengenalnya sebagai “Puisi”.

 

Masing masing penggiat menunjuk diri atas potensi perannya. Mukadimah, poster, dan persiapan teknis lain segera diolah. Sehingga sebelum hari H kelar dan siap disajikan.

 

Pun kegiatan berkebun, yang sejak pandemi menjadi satu kesatuan rangkaian kegiatan dengan rutinan sinau bareng, juga kelar dirapel. Sehingga hari H, diharapkan bisa focus pada persiapan acara. Oh iya, sebagai informasi, kebun kami sedang kita tanami Semangka dan Melon, sebagai kelanjutan dari sinau Lombok, Kangkung, Bayam, Tomat, Pare, Terong, dan Kacang Panjang. Demikian ilustrasi progress terkini kegiatannya :

 

 

Magical Moment

 

Kegembiraan menyertai kami pada saat waktu berbuka puasa. Lewat group kami saling berkabar tentang persiapan acara, juga kabar lainnya, diantaranya berupa kabar gembira atas termuatnya 2 tulisan keluwarga gugur gunung pada “Wisdom Of Maiyah”. Yang juga kami sepakati sebagai wadah interaksi kami dengan Mbah Nun. 2 tulisan dengan nomor 117 (Pray, Bless, and Sanctuary), dan nomor 118 (Buah Pencarian). Sungguh hadiah yang indah. Kahanan kian meruang puitik.

 

 

Kami datang di lokasi acara hampir bersamaan. Paras Rembulan yang hampir bulat, taburan bintang gemintang pada bentangan langit Ramadhan, suara suara binatang malam, serta kesiur angin dari puncak Gunung Munggut yang beraroma hutan khas musim kemarau, seolah mengkonfirmasi kehadiran. Kelasa digelar, jajanan ditata, kopi diseduh, alam alaman sebentar, lalu acara dimulai. Acara dibuka oleh mas Kasno, Tawasulan oleh Mas Agus, Wirid Munajat Sholawat oleh Pak Tri, dilantunkan bersama segenap yang hadir. Pak Tri mandeg tak berkata kata saat mahalul qiyam, memberi kode dengan gerakan tangan dan kerdipan mripat. Ya sudah langsung disawut oleh mas Kasno, terjadi salah nada di sana-sini. Gayeng dan mengharukan. Berlanjut khusuk, khidmat, dan hangat, hingga akhir.

 

Mukadimah dibacakan dan disimak bareng bareng. Lalu direspon oleh semua yang hadir. Diskusi khas gugur-gunungan, seluruh yang hadir dipersilahkan memberikan pandangan terhadap tema. Masing masing secara bergantian berkisah tentang perjalanan hidup. Mengalir, asik, dinamis, dan sangat menarik. Dari perjalanan hidup tersebut banyak ditemukan momentum puasa, baik pada polaritas susah-senang, baik buruk, suka duka, dan seterusnya. Masing masing menemukan keindahan kisah yang jangkep, yang kemudian kami sepakati sebagai Puisi.

 

Oh iya, rutinan kali ini juga dihadiri oleh seorang pemuda dari Jakarta. Mas Ezra namanya. Mahasiswa semester akhir yang sengaja ke Semarang untuk merampungkan skripsi. Salah satu tempat yang disinggahinya untuk beberapa waktu adalah rumah Mas Agus, Ungaran. Langsung gandrung sama suasana pegunungan dan perkebunan yang sedang digarap dulur dulur gugur gunung. Seperti menemukan angin yang mungkin tidak seperti ” angin di Jakarta”. Padanya, dalam sinau bareng tersebut, pemandu diskusi mencoba menanyakan tentang Puasa pada ajaran Nasrani, yaitu ajaran yang dianutnya. Dan responnya :  “Mana ada kehidupan yang tidak ada puasa di dalamnya”. Sungguh jawaban yang sangat santika, sangat universal, dan clear. (Semoga Mas Ezra adalah Nasrani yang Nasrullah, doaku).

 

Jadi ingat tulisan Mbah Nun, ” Bahkan Tuhan pun berpuasa”.

 

Jam 00:30. Batas yang juga harus kami pahami untuk memungkasi acara, meskipun gairah masih terus ingin. Dan kesemuanya pun sepakat. Acara dipungkasi dengan Doa, atau tepatnya dengan Puisi Mbah Umbu yang berjudul “Doa”, yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri, dengan teknik membuka rekaman Audio Puisi tersebut dengan disalurkan ke pengeras suara. Kami menyimak dengan hening, lalu mengamininya. Kemudian kami bersama sama berdo’a secara khusus untuk Mbah Umbu. Al Faatihah…

 

 

Reportase Lengkap

 

Pada Sabtu terakhir di bulan April tepatnya 25 April 2021. Merupakan Sinau Bareng yang dilakukan kedua kalinya di tahun 2021 ini oleh Majlis Gugurgunung. Walaupun isu pandemi semakin di naikkan lagi karena mendekati lebaran pada tahun ini, namun itu semua tidak mengurangi keteguhan kami untuk mengadakan acara pada malam hari itu yang bertepatan pada bulan puasa tahun ini yang sudah menginjak hampir setengah bulan pelaksanaan ibadah puasa. Tidak lupa kami selalu mengutamakan dan selalu mematuhi protokol kesehatan yang ada.

 

Bismillahirohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan suka cita dan mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan Sinau Bareng untuk kedua kalinya dan puji syukur bahwasannya kami masih diberi kesempatan untuk mengadakan perhelatan ini lagi di tempat yang sama seperti Sinau Bareng bulan lalu tepatnya bertempat di komplek makan Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari. Tema workshop malam hari ini adalah “Mempuisikan Puasa Kehidupan”. Alhamdullilah pada malam hari ini dihadiri oleh mas Padma yang sebelumnya tidak dapat hadir dan dihadiri pula oleh Mas Ezra yang datang jauh dari Jakarta. Kemudian acara dimulai dengan Tawasul oleh Pak Tri juga Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

 

 

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 21.00 dengan bacaan Basmallah kemudian pembacaan Mukadimah tepat acara kami dibersamai oleh rintik hujan yang semakin menambah hawa kesejukan pada malam hari itu serta rahmat dan syukur. Sebelum memulai sesi tanggapan Mas Agus memberikan kesempatan pada sedulur untuk memberikan waktu pada tembakau untuk berkata-kata terlebih dahulu maka disulutlah api pada sebatang lintingan yang begitu semerbak nikmatnya sambil menunggu para sedulur untuk menggali soal tanggapan terhadap topik Sinau Bareng pada malam hari itu.

 

 

SESI 1-

Sebagai pemantik Mas Agus membuka diskusi itu dengan meng-kloso-ni bahwasanya kita itu menjajaki tahapan-tahapan bait, dimana bait itu utuhnya diawali dari sejak kita lahir hingga kita pulang di sisi-Nya itulah kumpulan bait dalam sebuah puisi. Jadi tidak berhenti hanya menjadi satu fase, tetapi semua kehidupan yang telah kita jalani dari sejak lahir hingga mati adalah satu bait puisi. Puisi itu tak harus panjang tetapi makna dari puisi tersebut dapat menjelma sebagai buku tebal apabila diurai secara meluas dan mendalam, sebagaimana hidup yang pendek. Tak harus panjang, namun apakah pada yang pendek itu puisi kita penuh arti atau hanya deretan bait kata tanpa makna. Hidup di dunia sebenarnya singkat tetapi semua terasa lama karena adanya ilusi waktu. Kita bebas torehkan pada yang singkat itu sebagai puisi, atau sebagai tulisan lain, karena kita adalah pena penulis kehidupan. Setiap pilihan masing masing orang berbeda mau menulis novel, prosa, puisi, cerpen atau bahkan hanya sekedar status medsos itu terserah pada pribadinya sendiri. Tetapi kita harus menyadari seberapa jangkauan kita, kalau kita mampu untuk berpuisi namun hanya gemar menulis celotehan konyol maka disitulah letak degradasi. Sebab kita hidup berkeluarga dengan syair, terkepung puisi dan sastra. Alam, tumbuhan, tanah dsb mereka juga berpuisi. Salah satu nilai plus pada suatu karya puisi itu, bilamana di dalamnya terdapat banyak lipatan-lipatan atau polemic. Sama halnya seperti pada Keris yang berkeluk, ada seninya. Halnya dengan hidup kita, bila hanya cuma lajur lurus saja maka hidup kita akan terasa membosankan atau datar. Hidup berada dalam satu garis, pada garis itu ada kala diatas kadang juga dibawah. Tetapi titik hubung dari awal dan titik akhir tak berubah koordinatnya. Tetap fokus sehingga gelombang naik turun itu keluk lekuk kehidupan yang nyeni. Hidup akan runyam jika titik akhir berubah-ubah. Bentuk garis hidup menjadi tidak jelas. Batal menjadi keris sebab malah melingkar-lingkar seperti per tapi bukan per. Maka kita harus memiliki tujuan fokus itu kepada siapakah kelas kita akan persembahkan puisi itu, hanyalah kepada-Nya.

 

 

Tak lama kemudian Mas Nardi merespon pantikan tersebut, dia mencoba untuk menerjemahkan judl tema Sinau Bareng edisi April 2021 ini. Ada tiga kata: “mempuisikan” ,”puisi, “kehidupan”, semua itu saling terikat dan menjadi satu makna, untuk “mempuisikan” sendiri adalah kata kerja, “puisi” tersebut adalah kata makna yang dirangkum menjadi indah, membuat makna lebih tajam, puasa sendiri itu sebenarnya kita bisa atau mampu untuk makan dan minum, tapi kita harus menundanya hingga batas waktu itu selesai atau menggantinya dengan hal yang telah ditetapkan, memperindah keindahan yang ada di kehidupan dunia, seperti contoh kita itu puasa saja sudah indah apalagi kita meluangkan waktu dengan sedikit kebaikan maka itu akan semakin memperindah puasa itu. Segala sesuatu yang bersifat duniawi kita pending dahulu lantas menggantinya dengan hal lain yang dapat semakin memperindah bersifat ukhrowi. Meskipun yang bersifat duniawi ataupun ukhrowi ini sama-sama dilakukan dengan perbuatan dunia, namun orientasi, tujuan, kegairahan, serta sikap bathin yang disiapkan sangat berbeda. Mas Kasno merespon pengamatan dan pendapat mas Nardi sebagai suguhan bait yang memperkaya makna Mempuisikan Puasa Kehidupan. Mas Kasno sangat mengapresiasi pandangan mas Nardi ini, salah satu yang digaris-bawahi adalah tentang kemampuan menunggu ‘buka’ pada saat yang tepat, meskipun kalau mau buru-buru makan juga bisa sejak pagi atau siang, hanya saja bobot kenikmatan duniawi tak bisa benar-benar menggapai kenikmatan ukhrowi. Sebab yang satu (duniawi) dengan menurutkan keinginan dengan mengabaikan kesabaran, rasa syukur, dan keteguhan hati, sedangkan yang satu (ukhrowi) dengan menguntai sabar, syukur, dan keteguhan.

 

 

Berlanjut kepada mas Fidhoh tentang respon pada topik malam hari ini, di dalam responnya  bahwasannya dahulu ketika masih kecil mendapatkan nasihat oleh mendiang ayahnya “ jangan pernah engkau torehkan tinta merah di lembaran kehidupanmu”, lalu timbulah pertanyaan lalu kalau toh kita sebagai pena penoreh tinta tersebut, apakah kita harus meniadakan keberadaan tinta merah tersebut, memilih untuk tidak menyentuhnya bahkan melupakannya, lantas dalam lukisan saja kita memerlukan warna tersebut, disini Fidhoh mengibaratkan bahwa tinta merah tersebut adalah sebuah keburukan.

 

 

Berlanjut pada tanggapan berikutnya Pak Tri, belia mencoba untuk menceritakan dan mengutarakan yang pernah beliau alami dalam kehidupan dahulu. Perjalanan hidup Pak Tri begitu puitis sekali. Sepanjang dari SD sampai SMA rapor tidak begitu dipedulikan oleh orang tua bila bahkan terdapat tinta merah. Juga ketika mendapat nilai agama yang jelek gara-gara tak mau mengarang kegiatan yang tidak ada di kampungnya. Seperti halnya kultum yang tidak selalu ada, teman-temannya kompak membuat karangan agar kolom tugas terisi. Awalnya dia melakukan hal yang sama, namun pada tahun berikutnya ia berpendapat bahwa kegiatan ramadhan itu seharusnya membuat manusia lebih jujur dan berani bertanggung-jawab. Sehingga ia tak lagi mau mengarang, meskipun dianggap pemalas dan mendapat nilai yang rendah. Lain halnya saya kuliah, pada suatu semester beliau mendapat IP 3.6 dan merasa sangat bangga. Ibunya yang sejak SD nggak pernah menanyakan nilai, kebetulan menanyakan nilai pada hari itu. Tentu saja dengan sumringah dan penuh kebanggaan, Pak Tri menjawab nilai 3.6. Yang terjadi sungguh tak seindah harapan, karena sang ibu merasa tanpak sedih, terpukul dan menangis. Bukan hanya itu, dalam beberapa hari Pak Tri didiamkan, tidak diajak bicara oleh ibunya. Untunglah ada Bapak yang bisa dituju unyuk menjelaskan kronologi kejadian dan sistem penilaian di kampus. Bapak beliau bisa mengerti dan memberi nasehat “bapak tidak bisa memberikan kamu apa-apa, yang bisa bapak upayakan adalah memberikan kamu kesempatan. Jadi selama masih ada kesempatan, gunakanlah sebaik mungkin agar kamu tidak menyesal”. Pak Tri merasa disitulah seninya kehidupan dimana setiap peristiwa mengandung syair-syair puitik. Begitupun saat beliau melaksanakan perhelatan pernikahan, beliau merasa tidak ambil pusing pada persiapan akad nikah itu, beliau pasrahkan segala sesuatunya pada kehendak Tuhan, pada akhirnya semua berlangsung begitu lancar dan indah bilamana kita selalu mempasrahkan semua pada kehendak-Nya, lebih baik kita coba untuk mengukir puisi kehidupan itu dan kita pasrahkan semua pada kehadhirat-Nya agar berkesesuaian dan menimbulkan keindahan, berkah itu juga berasal saat kita tidak mengetahui sesuatu, saat kita tahu banyak kadang disitulah muncul kekhawatiran. Mas Kasno menceritakan bahwasannya kita sering mendengar cerita berulang tentang pernikahan Pak Tri, namun kita tak pernah bosan dan merasa cerita itu amat menarik maka disitulah dapat diambil kesimpulan bahwasannnya puisi adalah kata-kata yang dapat mengalir.

 

 

Berlanjut berikutnya pada tanggapan Mas Ezra, bahwasannya memaknai “mempuisikan puisi kehidupan”, sebenarnya belum pernah mengetahui secara pasti apa makna puisi dalam ranah edukasi, namun di kepala ia berpendapat bahwa puisi ialah ekspresi jiwa yang kuat, ketika jiwa itu berekspresi maka akan mengalami kedinamisan sosial sebagai pengalaman pribadi terhadap obyek yang ada ataupun tidak. Pengalaman tersebut membentuk jiwanya, ketika jiwanya terbentuk dia semakin pandai membawakan diri secara ekspresif sehingga berbentuk puisi. Sebab ia begitu menjiwainya maka timbulah ekspresi yang tidak terbendung dan mengakui betapa indahnya puisi kehidupan ini. Kalau untuk puasa sebenarnya adalah penahanan terhadap segala sesuatu yang tidak pakem, seperti menahan untuk tidak berfikir negatif pada orang lain, menahan untuk melakukan hal yang dianggap menimbulkan kemudharotan dsb. Bagaimana hati itu menahan sementara waktu dan ajaibnya ketika puasa ternyata dalam pengalaman pribadi kita secara dinamis ternyata ada hal yang harus kita tahan serta itu saling bersangkut-paut, dalam pengalaman pribadi tidak ada yang tidak puasa. Mas Kasno langsung merespon tanggapan mas Ezra, bahwasannya mendapat satu list lagi tentang topik malam itu, bahwa puisi adalah ekspresi jiwa dari sebuah perjalanan kehidupan dan saat disampaikan dengan penuh penjiwaan otomatis menjadi bahasa universal, karena yang merespons adalah jiwa sehingga juga tersampaikan kepada jiwa. Selain itu hal menarik lagi adalah puasa dapat ditarik sebuah ke universalan yang menarik yaitu “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa”.

 

 

Berlanjut kepada Mas Koko, sebenarnya apa yang sudah disampaikan termasuk seperti yang ingin mas Koko sampaikan. Puisi kehidupan adalah lebih ke bahasa yang sering digunakan oleh banyak orang, baik untuk status medsos ataupun caption yaitu “Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan”, dan sepaham dengan tanggapan Mas Ezra “tidak ada kehidupan yang tidak berpuasa” kalau dilihat dari tema ramadhan ini, puasa pasti didefinisikan sebagai menahan lapar dan haus dan juga menahan emosi, tetapi dalam kehidupan itu puasa maknanya lebih luas lagi. Pada saat umur muda bahwa seringkali orang pandai merangkai kata entah merayu lawan jenis atau apalah itu tetapi ketika menginjak usia diatas 25an, lebih suka mengekspresikannya ke dalam sebuah bentuk menata diri pada bukan lagi hanya perkataan saja, melainkan perbuatan. Sehingga dorongannya adalah juga melakukan keindahan sebagaimana kata indah yang dulu gemar ia tulis. Melakukan dengan seindah dan sepuitis jangkauannya menoreh puisi. Mas Kasno merespon bahwasannya puisi itu dinamis seperti perjalanan hidup masing masing manusia yang pernah dialami, seindah apapun kata-kata yang dirangkai kalau kita belum melakukan yang kita sampaikan, mungkin yang menerima juga tidak merasa match atau klop atau cocok.

 

 

Berikutnya tiba giliran mas Padma, untuk memaknai topik malam itu, beliau mencoba bercerita tentang segala sesuatu yang dirasa tidak dapat dilaksanakan selama ini, dengan adanya tema ini sampai tidak ada yang bisa diungkapkan lagi, bahwasannya begitu indahnya bisa membersamai lagi dalam ikatan lingkaran segitiga cinta keluarga Majlis Gugurgunung ini. Mas Kasno merespon apa yang disampaikan Mas Padma bahwasannya kita tidak pernah menolak kedatangan siapapun dan juga tidak pernah menahan kepergian sedulur yang sedang menjalankan titah kegiatanntya yang lain. Sebab otomatis wirid gugurgunung yang selalu dibacakan akan selalu menjadi do’a yang menyertai kepergian sedulur yang sedang dalam proses pengembaraan di tempat lain sehingga kembali kesini membawa oleh-oleh kebaikan dari pengembaraan tersebut.

 

 

SESI 2-

Mas Kas sebagai selaku moderator, memberikan mic kepada Mas Agus untuk menanggapi apa yang sudah disampaikan para sedulur sebelumnya. Bahwasannya apa yang disampaikan para sedulur sudah mencicil apa yang akan disampaikan Mas Agus  dan  ternyata ungkapan dari perespon terakhir adalah Gong dari renteng puisi-puisi indah yang telah disampaikan. Bahwasannya ada sebuah ketulusan dan estetika, pemilihan bahasa Jawa krama halus adalah indikatornya. Meskipun ada salah satu audience kurang mengerti itu, tetapi dia tetap menghadirkan bahasa tersebut dengan alasan keindahan yang mungkin hanya bisa terwakili melalui susunan krama inggil, itu adalah sebuah puisi paling indah, bahasa yang penuh kedinamikaan, penuh kesantunan, penuh dengan pungtuasi dlsb. Itu pula yang disampaikan alam sekitar, ia bersyair dengan bahas yang tak mampu langsung kita pahami. Kita perlu watah pujangga untuk memaknai segala jenis syair, sehingga kita menjadi pihak yang kian terdewasakan melalui perkataan kehidupan yang tulus dan estetis.

 

 

Misal tadi Mas Nardi memberikan sorotan terhadap topik malam hari ini kemudian diuraikan sedemikian rupa, jadi ada satu kesimpulan yang ditarik, yakni mengindahkan pengendalian hidup di dunia, ini adalah tarikan sederhana tetapi jitu sebab dunia itu pasti ada dua kubu, sehingga ada polaritas. Ada tinggi dan rendah, ada kanan dan kiri dlsb, kalau kita memaknai indah hanya pada satu sisi berarti dapat dikatakan belum mencapai keindahan, keindahannya baru separuh. Kita memaknai kenyang saja sebagai rahmat dan melupakan lapar sama saja keindahan masih separuh, yang padahal lapar juga Rahmat Tuhan. Tanpa rasa lapar maka kita tidak akan bisa menikmati makanan itu, sama halnya seperti proses, proses itu sudah merupakan kenikmatan luar biasa, hasil dari proses itu juga kenikmatan yang berlapis ganda. Kita sering mengasumsikan kesempitan adalah hal yang tidak mengenakkan dan keluasan itu adalah kelapangan. Tiap-tiap kita pasti pernah mengalami suasana sempit, sesak, namun kita didera kesempitan itu untuk untuk mendaya gunakan keluasan cinta yang intim dan mesra, jika tak bisa mendayagunakan cinta dalam kesempitan, akankah ada peluang lebih baik jika kita dihadapkan pada keluasan, luapan kegembiraan? malah kita akan cenderung lalai, abai, dan kehilangan kewaspadaan diri.

 

 

Kita itu diberi ungkapan-ungkapan yang memang disembunyikan, persis seperti puisi bahwasannya tidak harafiah, seperti separuh jiwa, separuh hatiku, padahal kalau digambarkan itu tidak akan kelihatan indah malah menjadi menakutkan, itu semua menjadi indah karena kita semua memilik kemampuan berpuisi punya watak pujangga, begitupun Allah melimpahkan bahasa-bahasa pada kita yang seolah mengandung cacat, kadang kurang kadang lebih. Dikurangkan dan dilebihkan pada titik tertentu agar kita bisa berimbang.

 

Tak jarang Tuhan memberi pancingan berupa ujian pada kita untuk memantau apakah serpihan  Asma dan Sifat-Nya masih terjaga pada fitrahnya. Masihkah titipan-Nya berfungsi pada diri seseorang. Diuji dengan kebencian apakah benih Rahman Rahim masih terkandung. Diuji dengan kemarahan apakah masih berfungsi benih Sabar yang dititipkan-Nya. Jika benih-benih masih berfungsi berarti akan ditumbuhkan lagi agar makin intens, agar kita semakin tetap berada dalam ketetapan-Nya. Kalau semua itu masih ada berarti kita masih terkoneksi dengan apa-apa yang berada di luar dari diri kita, semua yang berada di luar itu tetap, seperti tanah tidak akan berjoget seperti api, begitupun api tidak akan meliuk mengalir ke bawah seperti air, mereka berpuisi secara tetap. Karena kita makhluk dinamis, kita membuat ketetapan itu dengan cara dinamis bukan dengan cara statis, yakni tumbuh dan beraktifitas sesuai fitrahnya, sesuai benihnya. Kalau diberi benih lombok maka tumbuhlah lombok jangan tumbuh sebagai pare dlsb, itulah cara kita untuk mengkhidmadi kehidupan. Kalau dikasih benih tomat ya sudah cukup jadi tomat yang bener, nggak perlu tumbuh sebagai tongseng.

 

 

Berlanjut pada pertanyaan Fidhoh soal nasehat mendiang ayahnya sewaktu kecil, soal jangan menorehkan tinta merah pada kehidupan, itu merupakan nasehat yang baik sekali,  soal tinta merah itu buruk atau tidak, di sekolah tinta merah itu melambangkan nilai yang dibawah standart, sehingga maksud nasihat ini agar engkau tidak jemblok di kehidupanmu. Tapi kita memiliki pemahaman yang berkembang untuk memahami makna warna merah, yaitu jalur merah atau Shirothut Talbis (jalur pengelabuan & muslihat) yang jangan kita tempuh. Tetapi jalur merah itu memang harus ada, karena itu unsur yang membantu proses pertumbuhan jiwa manusia menjadi yang lebih dewasa. Kita sendiri dianjurkan oleh para Nabi dan Rasul untuk meniti perjalanan pada jalur biru atau Shirothun Nubuwwah. Kepada jalur merah kita boleh mengenali dan memahami untuk menjadi alat kewaspadaan diri. Sedangkan kepada jalur biru harus dipahami dan ditempuh untuk menjadi jalan mustaqim.

 

 

Berlanjut kepada Pak Tri, dari semua pengalaman hidup dan kelucuan-kelucuan yang pernah dialami, itulah tanda bahwa adegan itu bisa akan terjadi dengan sempurna tanpa kita membikin skenarionya, kita tinggal melakukannya, sudah ada yang membuat skenarionya itu semua, dan kadang kita akan terperangah sendiri karena tak menyangka bahwa semua adegan berlangsung seindah itu. Yang dapat kita tarik, puisi itu akan menjadi indah ketika kita mau mengikuti alurnya Tuhan, kalau kita masih merasa pandai dan merada mampu memikirkan alur hanya sesuai pikiran kita sendiri, maka puisi itu akan menjadi kurang indah, karena ada unsur yang kita paksakan untuk ada, ada unsur yang kita hilangkan yang justru seharusnya ada. Puisi hidup kita berkata dengan masygul, menjadi kurang indah, karena kita masih belum ridho untuk pasrah sehingga merasa patur mengintervensi puisinya Allah atas hidup kita. Maka dari itu sebelum memaknai cara untuk memurnikan kembali rohani jiwa dlsb, memang diperlukan kemampuan memilih dan memilah, memang diperlukan kemampuan untuk mengenali porsi, memang kita harus mampu memahami pola-pola itu dari pengalaman-pengalaman kita alami sendiri.

 

 

Kemudian bersambung ke Mas Koko dimana rangkaian dari yang telah apa yang disampaikan itu adalah hadiah-hadiah, hidangan-hidangan, keindahan-keindahan, ada irama, tekanan, pekikan dslb, itu semua menjadi hadiah yang begitu indah, karena kedewasaanlah yang akan mengatakan bahwa semua itu adalah kenikmatan, kita tak serta merta memahami semua itu sebagai keindahan karena kita harus melalui tahap atau tingkatan-tingkatan dahulu, semua itu karena adanya ekspresi jiwa, ekspresinya jiwa itu tidak tunduk pada ekspresinya jasad, ekspresi jasad itu berupa panca indera, tetapi dengan adanya ekspresi jiwa maka akan menlengkapi panca indera itu untuk menjadi kembang-kembang yang lebih matang di dalam kehidupan, sehingga dari kembang berkembang menjadi buah, soalnya kalau hanya berhenti sampai kembang maka puncaknya hanya layu. Melalui buah-lah yang lebih memungkinkan terjadinya keberlangsungan kehidupan lagi melalui biji di dalam buah. Kenikmatan bertingkat dan berlapis seperti ini hanya akan  bisa kita kenali jika jiwa kita selalu membuka diri untuk senantiasa berekspresi, ini juga berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Ezra bahwa tidak ada satupun di kehidupan ini yang tidak berpuasa, semua berpuasa, karena kalau tanpa berpuasa, sesungguhnya manusialah yang tidak kebagian tempat. Manusia akan lantak dan rantas berhadapan dengan air, angin, tanah, dan api, yang mereka pernah menampilkan kedasyatannya untuk menggulung kepongahan manusia.

 

 

Berlanjut akhirnya pada Mas Kas sebagai moderator juga menanggapi topik malam hari ini, bahwa puasa itu pasangan nya adalah idul fitri yang berasal dari kata fitrah (fathoro), kalau kita sudah berhasil menjalani puasa satu bulan penuh maka kita kembali ke fitrah, wah hanya sebulan saja kita bisa kembali lagi, enak sekali. Tapi Wallahua’lam, sebab diamati ada hal yang menarik sebelum menuju ke perhelatan tema ini. Beberapa hari sebelumnya, mas Kasno mendapat mimpi dan diberi nasehat tentang makna berpuasa. Dimana dalam mimpinya dikatakan bahwa guna puasa itu untuk agar mempertajam kembali sensitivitas panca indera. Nyatanya memang demikia, yang kemarin es teh biasa saja kopi yg hanya begitu saja sekarang menjadi begitu enak, bahkan aromanya saja hadir lebih wangi dari biasanya bahwasannya ternyata puasa bisa mereset kita kembali ke keadaan semula, bukan hanya jasmani tetapi rohani juga.

 

 

Akhirnya tepat jam 00.03 batas yang juga kami pahami untuk memungkasi acara meskipun, gairah masih terus ingin berlanjut dan kesemuanya pun sepakat, acara dipungkasi dengan Doa , atau tepatnya dengan puisi Mbah Umbu yang berjudul Doa yang dibacakan oleh Mbah Umbu sendiri dengan teknik membuka rekaman audio puisi tersebut disalurkan ke pengeras suara, kami menyimak dengan hening lalu mengamininya. Kemudian kami berdoa secara khusus untuk Mbah Umbu. Alfatihah….

 

 

 

Reported by Kasno, Fidhoh Akmal

 

Nisfu Sya’ban dan Jimat Tolak Balak

Pada Sabtu pekan terakhir di bulan Maret tepatnya 27 Maret 2021. Merupakan Sinau Bareng yang  pertama kali diadakan kembali pada malam hari di Tahun 2021 oleh Majlis gugurgunung. Persoalan pandemi yang belum kunjung usai membuat kegiatan Sinau Bareng sebelumnya diadakan pada pagi hingga siang hari, lantas dilanjutkan dengan menggarap lahan. Meskipun isu pandemi masih ada, namun proses adaptasi terhadap situasi saat ini telah jauh lebih kondusif dan tidak segenting pada awal-awal berita ini mencuat. Apalagi memang sudah terlalu lama kerinduan pada helatan Sinau Bareng malam hari sudah sangat tinggi. Hal baik lainnya adalah untuk kawasan regional Kabupaten, pada bulan Maret sudah diperbolehkan mengadakan acara dan terpenting selalu mematuhi protokol kesehatan.

Bismillahirrohmanirrohim…

Keluarga gugurgunung menyambut dengan sukacita dan memantapkan diri untuk bertempat di komplek makam Syech Basyaruddin – Eyang Benowo Gunung Munggut Pringsari, Kab. Semarang untuk melaksanakan rutinan Sinau Bareng. Tema workshop malam ini adalah “Nisfu Syaban dan Jimat Tolak Balak”. Alhamdulillah  pada malam hari ini dihadiri juga oleh  Pak  Zam beserta putrinya Dek May, begitu juga dihadiri Mas Dany yang pada satu hari sebelumnya telah tiba dulu di Semarang dan satu lagi Mbak Kety teman dari Mbak Cahya yang pada malam itu mendapat kesempatan melingkar, maka diperkenankan untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan Tawasul oleh Pak Tri juga  Dzikir, Munajat, Sholawat serta Pangkur Kerinduan dari Mas Agus.

Mas Kasno sebagai moderator memulai acara pada pukul 20.30 dengan bacaan basmallah, kemudian mukadimah dibacakan. Tak lama kemudian turunlah hujan yang semakin deras yang menambah rahmat dan syukur di malam itu. Mas Agus membuka sesi tanggapan oleh setiap jamaah tentang persepsi kesombongan menurut pribadi sendiri-sendiri walaupun keadaan pada malam itu dipenuhi oleh gemercik hujan yang deras maka bersamailah itu dengan rasa penuh bahagia dan syukur dalam ikatan penuh kehangatan dimalam itu.

 

SESI I –
Ngudhari kesombongan diri

 

Maka diawali mas Koko, mempersepsikan bahwasannya kesombongan itu adalah “rumongso biso” padahal seharusnya “biso rumongso”. Berlanjut pada mbak Cahya, mempersepsikan bahwasannya “kesombongan itu ketika kita melihat yang lain lebih rendah daripada diri kita dan kita menyadari itu dan menghentikan kebaikan”. Disusul mas Fidhoh yang mempersepsikan bahwa “kesombongan itu tidak berarti pada orang-orang yang berpakaian bagus karena pada dasarnya itu adalah upaya untuk mengindahkan, tetapi kesombongan itu terletak pada ke-Akuan, tidak mau menerima pandangan orang lain merasa dirinya paling benar sendiri.” Berlanjut pada dek May, mempersepsikan kesombongan adalah “apapun yang dia lakukan atau bersikap merasa benar, dan lebih baik, entah dihadapan sesama manusia ataupun bahkan dihadapan Tuhan.”

Berlanjut lagi pada mas Dhani, mempersepsikan kesombongan adalah “segala yang manusia perbuat tak dia sadari bahwa itu semua berasal dari Tuhan”. Berlanjut mas Dhidit mengajukan sudut pandang bahwa kesombongan itu adalah “merasa lebih tinggi dari siapapun dan singkatnya tidak memanusiakan manusia” mas Dhidit memberikan contoh tentang seseorang yang mendaki gunung dia menganggap dirinya sendiri hebat karena sudah menakklukkan gunung yang tinggi padahal yang dia takklukan seharusnya adalah dirinya sendiri. Disusul oleh Mas Tri, yang mengajukan pula pandangan dan persepsinya bahwasannya kesombongan itu dirasakan dari rasa dan visual, seseorang yang berpenampilan biasa saja namun cara berbicaranya sedikit meninggi dan dalam hal berperilaku tulus atau tidak bisa dinilai itulah letak kesombongan, namun beliau mengungkapkan lagi bahwa kesombongan bisa dilihat juga walaupun belum bertemu bagaimana orang itu sebenarnya meremehkan atau tidak entah disengaja atau tidak mendatangkan kemudlaratan.

 

Mas Nardi menambahkan pula persepsinya bahwasannya kesombongan itu adalah “disaat kebanyakan orang tidak menyadari dan hanya tergantung oleh yang menilai, dari sifat sombong itu sendiri entah itu dari sifat pembawaan atau pun diluar sifat itu”. Berlanjut lagi pada mas Kasno, mempersepsikan kesombongan itu sering muncul dan berdampingan dengan perilaku baik, indah, luhur, keunggulan dlsb. Dan kebalikannya atau lawan dari itu adalah putus-asa karena sering berdampingan dengan perbuatan buruk atau keadaan dimana manusia merasa hidupnya tidak berjalan dengan indah. Setelah mas Kasno, pak Zam menyampaikan pula pandangannya bahwa kesombongan adalah “sesuatu yang hanya menyertakan salah satu sisi saja, entah itu, teknologi, budaya ekonomi dll, dan dapat dianalogikan seperti menomor satukan tangan kanan saja dan tidak menyadari keberadaan tangan kiri, dan kesombongan itu dekat sekali dengan kebodohan dan mengingkari peradaban”. Terakhir pada mbak Kety, peserta baru yang hadir bersama mbak Cahya, tak cuma mau diam, dia juga menyumbangkan pandangannya tentang kesombongan. Persepsinya: “kesombongan itu adalah disaat manusia merasa selalu benar dan tidak mau menerima nasihat dari yang lainnya”.

Mas Agus merasa sangat senang atas pendapat-pendapat yang disampaikan. Diibaratkan sebagai mutiara-mutiara yang satu dengan yang lainnya akan bisa saling belajar dan melengkapi pandangannya tentang kesombongan. Apa yang dipersepsikan tentang kesombongan dari keluarga gugurgunung yang sangat menarik dan otentik. Ini membuktikan bahwa point-point tentang kesombongan telah dipahami dalam diri setiap orang. Semua orang telah memahami sebagai pandangan Ilmu bawah sadar untuk menganalisis kesombongan. Di dalam al-Quran, Allah berfirman untuk tidak memusuhi malaikat Jibril, sebab malaikat Jibril sudah diutus Allah untuk menanamkan Al-kitab dalam dada setiap manusia. Demikian maka pemahaman tentang kesombongan pun sudah diperoleh oleh setiap manusia. Dengan bekal ilmu itu kita memerlukan media yang dinamakan dunia untuk menguraikan ayat demi ayat dari al-Quran yang berada di dalam dada kita tersebut.

 

Kesombongan itu sudah ada sejak Zaman Nabi Adam kalau memang Allah tidak menyukai kesombongan, maka tidak akan pernah menciptakan kesombongan itu, dan jika kesombongan bisa dihentikan oleh Nabi-nabi dan Rasul maka tidak ada lagi orang yang sombong, tapi nyatanya masih saja ada orang yang bersikap sombong. Jadi kesombongan tidak bisa dihentikan sekalipun oleh Malaikat, melainkan oleh dirinya sendiri. Argumen apapun akan tetap bisa dibantah dan dilemahkan apabila manusia selalu eman-eman, nguri-nguri, nglelithing sifat sombong, dan maka timbullah sikap melebih-lebihkan, kalau orang jawa memberi ungkapan “kumo”, kumo ayu jadi “kumayu”, kumo pinter jadi “keminter”, kumo laki jadi “Kumaki”, dlsb.

 

Sebagai contoh, bahwa pandangan yang sudah benar dan baik akan mengalami proses reduksi dengan bantahan yang melemahkan pandangan tentang kesombongan. Mengeruhkan pandangan yang jernih. Orang dibuat lemah dan rendah hati bahkan putus asa jika merasa salah pandangannya. Atau justru orang menjadi semakin bersikeras dan keras hati dengan pandangannya sehingga tak ingin mempedulikan pandangan oranglain. Kedua efek ini sama-sama merugikan. Misal merespon perspektif dari Mas Koko, bahwa kesombongan itu “merasa bisa” padahal seharusnya “bisa merasa”, lantas dibantah kalau “memang bisa” mengapa mengatakan “tidak bisa”? bukankah “merasa bisa” ini juga baik jika yang bersangkutan memang benar-benar bisa? Justru akan lebih buruk jika mengatakan “masih belum bisa” dengan alasan mengakui bahwa kemampuannya masih rendah sementara dan banyak yang jauh lebih baik di dunia ini. Pengakuan yang “masih belum bisa” ini bisa menjadi lebih sombong karena mengabaikan kemampuannya sendiri yang tengah dibutuhkan oranglain.

 

Maka disitulah dikatakan kesombongan itu amatlah lembut hingga kita tidak bisa memahami apa itu kesombongan secara detail. Kemudian sebagai contoh lain respon terhadap perspektif Pak Zam sudah sangat baik dalam pandangannya tentang kesombongan. Tiba-tiba pandangan ini ditentang oleh sebuah pendapat tentang contoh penggunaan tangan kanan tadi dibenturkan dengan adab makan. Seolah ada dialektika baru yang memposisikan seolah pendapat awal tadi memerlukan koreksi. Kita masih banyak punya counter jawaban sehingga kesombongan itu tidak akan pernah hilang.

 

Mekanika pandangan tentang kesombongan itu tidak akan selesai kita akan terus bergulir di posisi salah atau benar. Tidak ada orang lain yang bisa menyadarkan diri kita karena kita selalu punya cara untuk membantahnya. Hanya ada dua pihak yang bisa menyadarkan yang pertama adalah diri sendiri yang mau dan yang kedua anjuran dari yang kita anut. Setiap orang punya anutan, ada yang menjadi panutan. Ciri-cirinya adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan berusaha selaras mungkin terhadap apa yang dianutnya.

bahwasannya mereka yang kita anut hanyalah seberkas percikan keindahan yang berasal dari Tuhan, maka hanya pada Tuhan lah sebaiknya meminta petunjuk itu. Membaik sangkai perilakunya maka akan paham tujuannya. kita memiliki kesempatan untuk menggunakan fasilitas yang Allah berikan dan fasilitas itu bisa bermanfaat untuk orang banyak. Cara bersyukur bisa dengan mengaplikasikan apa yang kita bisa untuk memberi manfaat pada orang banyak.

 

Cinta tidak membuktikan pengorbanan, tapi cinta itu membuktikan cinta dengan rela berkorban. Disetiap pribadi, sombong itu pasti ada dan tergantung bagaimana mengontrol dan menyadarinya. Jika tidak menyadari atau mengingat maka ‘biji sawi’ kesombongan itu akan tumbuh secara cepat dan masif. Perbanyaklah perbuatan mulia dan tepat ukuran sebagai perimbangan ‘biji sawi’ yang baik sebagaimana yang tertulis dalam Al Qur’an  Surat Al Anbiyaa ayat 7 dan Surat Luqman ayat 16

 

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا ۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ ﴿الأنبياء : ۴۷

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan. (QS. Al-Anbiya’: 47)

يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ ﴿لقمان : ۱۶

(Lukman berkata), ”Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti. (QS. Luqman: 16)

SESI II –
Tanya-jawab

 

Setelah dibahas tentang kesombongan, kini tiba waktunya untuk mengutarakan unek-unek dan hal apapun saja yang bisa digelar bareng sebagai bahan pasinaon. Malam Nisfu Sya’ban ini bagi keluarga gugunung dianggap sebagai malam yang sakral dan istimewa karena dipercaya sebagai karunia tertaburnya cahaya langit yang menerpa bagi siapapun yang masih terjaga.

Pak Zam kemudian mengajukan pertanyaan, beliau merasa sedikit gelisah atas permintaan putrinya. “Bagaimana saya bersikap saat saya merasa takut pada anak saya yang ingin masuk pondok, padahal disana anak saya pasti mengalami tekanan-tekanan oleh kebijakan pondok, bagaimana saya bisa menghilangkan kebimbangan dan noktah-noktah itu?”. Mas Agus merespon pertanyaan Pak Zam, untuk meminta kemantaban pada Allah, dengan sholat Istikharah. Jika memang mantab maka bersamailah dengan doa dan pasrah. Bahwasannya sebagai orang tua pasti tidak bisa selalu 24 jam hadir untuk menjamin atas apapun yang hendak menimpa anak. Sedangkan Allah akan memiliki penjagaan yang tak sedikitpun lepas. Apalagi mungkin, si anak justru ingin menguji mental dan kehandalannya dengan jauh dari orangtua meskipun akan merasakan penderitaan dan tekanan. Dia tidak akan bersikap lembut kepada yang hatinya lembut dan akan bersikap keras kepada yang perangainya keras. Proses ini menjadi mental yang juga akan meruntuhkan kesombongan orang lain. Sehingga kita sebagai orangtua yang mungkin merasa cemas dan khawatir benar-benar perlu berkeyakinan atas peran Al Hafidz, Allah Yang Maha Menjaga. Posisi cemas, khawatir dikonversi menjadi ketulusan doa maka semakin hal-hal yang mencemaskan dan mengkhawatirkan itu hadir semakin pula pengharapan dan penyerahan diri kepada Allah ini tersampaikan secara sungguh-sungguh dan tulus.

 

Lalu mas Kasno sebagai moderator menyampaikan pada topik selanjutnya, bagaimanakah upaya pada diri untuk menemukan jimat tolak balak terhadap kesombongan itu sendiri. Dimulai dari Mas Tri, mengutarakan bahwa belum ada upaya dan memilih diam jika ada sesuatu yang mengganggu dan bahkan memilih lari dari masalah atau memilih untuk mencoba tidak untuk bersinggungan, agar tidak terjadi perdebatan yang akan berlarut larut.

Berlanjut pada mas Nardi mengutarakan bahwa upayanya adalah pasrah pada Allah karena semua kesombongan terkadang tidak dapat disadari dan tidak ada petunjuk. Mas Agus sepakat dengan pasrah kepada Allah. Sebab itu tindakan paling dianjurkan sebagai seorang muslim. Sedangkan tentang petunjuk, mas Agus merespon bahwa tak jarang ketidak-hadiran petunjuk itu karena semua ukuran datangnya petunjuk tersebut telah dibuat sendiri patokannya. Misalnya kita minta petunjuk melalui shalat istikharah, justru petunjuk itu hadir dalam bentuk antitesis nya. Sebagai contoh seorang pemuda meminta petunjuk pada Tuhan dengan istikharah untuk mendapat kemantapan hati apakah benar si gadis yang ditaksirnya adalah jodohnya sementara gadis tersebut sudah bertunangan. Si pemuda ini kemudian bermimpi bahwa dalam mimpi di berjodoh dengan wanita itu, saat itu pasti senang dengan mimpi itu dan amat yakin kalau wanita itu jodohnya, namun apakah kesenangan itu lantas membuat hatinya mantab? Ternyata tidak, sebab ia berfikir apakah pantas demi kebahagiaan sendiri harus menyakiti hati orang lain. Ia mungkin mendapat jawaban yang gamblang tapi yang memantapkan hatinya justru menjauh dari gadis tersebut. Maka disitulah kemantaban jawabannya, sesungguhnya saat-saat Tuhan memberi petunjuk, bersama itu juga diberi rangsangan nurani pada hati dan akal.

 

Mas Dhidit mengaku bahwa belum ada upaya dalam hal tolak balak ini, sementara yang bisa dilakukan hanya mencoba untuk terus memanusiakan manusia dan tidak untuk merendahkan untuk memgoptimalkannya, sebenarnya manusia lebih mudah daripada hewan. Mas Agus menyepakati upaya yang tampaknya sederhana ini. Padahal itu adalah sikap yang tidak mudah. Sebab dalam kenyataannya manusia yang kita jumpai tak selalu bersikap sama. Oleh sebab demikian, perlu kiranya untuk memiliki ukuran dan kategori tentang manusia, jangan hanya sekadar yang berwujud manusia namun yang masih memiliki sikap dan perilaku yang mengindikasikan adanya rasa kemanusiaan pada dirinya. Jaman sekarang telah melahirkan kembali raksasa, buta, denawa, yang sekarang dalam rupa manusia. Bentuknya, bahasanya, sama persis hanya keserakahan, kekejian, ketidak-pedulian, grusah-grusuh, kesewenang-wenangannya, masih bertahan dan ingin diluap-luapkan pada dirinya. Muliakan yang layak dimuliakan, dan jangan muliakan orang yang hanya paham kehinaan, sebab jika engkau memaksakan diri untuk memuliakan pada pihak yang tak mampu menghargainya maka upayamu hanya akan dihinakan dan menjadi percuma. Dan jangan pula menjadi grusa-grusu mengambil sikap sebelum mendapat kesimpulan yang valid secara nurani.

 

Fidhoh mengutarakan bahwa upayanya adalah mencoba jangan terlena untuk terus membangun benteng untuk orang lain yang berusaha untuk mengajaknya berdebat. Mas Agus merespon, upaya itu perlu dimutakhirkan sebab jenis perdebatan itu tak selalu hadir secara konfrontatif dari luar namun bisa juga hadir secara konfrontatif dari dalam diri sendiri. Dihimbau agar selalu mencoba memahami debat, supaya bisa mengetahui baik itu secara implisit atau eksplisit, baik secara eksternal maupun internal. Hal utama pada fenomena perdebatan adalah bukan menang dan kalah namun tentang tesis dan antitesis untuk menemukan sintesa. Jika perdebatan hanya untuk mencari menang kalah maka benar buatlah benteng yang tinggi. Namun apabila perdebatan itu terjadi di dalam dirimu sendiri, kamu tak bisa menang separo dan mengalahkan separo dirimu yang lain. Dengan demikian sintesanya adalah membuat keduanya sepakat pada ukuran kemenangan yang dijunjung bersama. Apapun yang dilakukan mengandung resiko tapi jangan mengambil resiko yang merendahkan yang lainnya. Ada perdebatan yang tampak, ada pula pedebatan yang tak tampak. Perdebatan yang tidak tampak ini hadir melalui kondisi yang sama sekali tidak berupa perdebatan namun kondisi tersebut menjadikan polemik dan perdebatan dalam dirimu sendiri. Maka benteng diri untuk mengatasi perdebatan itu adalah sikap tenang dan nalar yang berpegang teguh pada al-biiru (kebaikan).

 

Dek May mengemukakan pendapat bahwa upayanya adalah mencoba sadar jika itu kesombongan dan mencoba untuk tidak mengulanginya lagi. Mas Agus menaruh apresiasi untuk dek May untuk seusia itu sudah mampu mengemukakan pandangannya secara berwawasan, dan berpesan agar tetap terikat cinta pada Nabi dan Allah.

 

Mas Koko mengutarakan upayanya dalam hal tolak balak kesombongan ini adalah mencoba untuk terus bersyukur tidak membandingkan dengan yang lain, dan selalu menyikapi sombong di era milenial. Mas Agus membenarkan pendapat ini dan memberikan sedikit tanggapan bahwa terkadang kita tidak memiliki kecakapan untuk memindai kesombongan di era milenial ini. Motivasinya akan terbaca ketika ada pola berulang yang tampak, apakah pamer? mencoba menginspirasi? atau lalai? atau memang niat untuk memperlihatkan citra kebaikan. Sombong sudah ada sejak Zaman Nabi Adam hingga Rasulullah Muhammad SAW. Semua Nabi akan berhadapan dengan orang-orang yang sombong. Lantas apakah setelah wafatnya Rasullah maka kita tak lagi menemui orang sombong? Ternyata masih. Dengan demikian apakah berarti nabi dan rasul tidak berhasil menjalankan tugasnya? Sama sekali tidak demikian.

 

Para Nabi dan Rasul telah berhasil dengan gemilang mencontohkan hidupnya yang penuh perjuangan tanpa terpengaruh kesombongan, karena memang tugasnya para nabi dan rasul bukanlah menghapus kesombongan oranglain, melainkan menyempurnakan akhlak dengan contoh perilaku yang tidak mengakomodir kesombongan dalam hidupnya. Sedangkan apakah nubawwah atau risalah ini diterima atau ditentang adalah pilihan masing-masing pihak yang menelaahnya. Oleh sebab itulah maka perlu disadari bahwa tiap-tiap kita ini memilki tugas untuk memperbaiki akhlak kita masing-masing dengan berbagai fasilitas yang Allah telah berikan. Inilah upaya syukur demi terhindar dari sikap kufur. Katakanlah bahwa salah satu fasilitasnya adalah benih kesombongan, akan kita bisa gunakan sebagai apa benih kesombingan itu? Apakah bisa sebagai sikap pengabdian yang menghindarkan kekufuran?  Apabila memang benih itu tak dapat kita hapus maka baik-sangkailah bahwa adanya benih itu bukan untuk digunakan sebagai alat menyombongkan diri melainkan sebagai alat untuk mampu mengindentifikasi secara akurat getaran-getaran kesombongan. Syukur merupakan sikap memimpin diri yang bisa mengeliminasi potensi kekufuran. Pengaturan porsi dan kewaspadaan diri sangat diperlukan. Kufur bisa terjadi lantaran merasa kuasa, dan juga bisa terjadi lantaran merasa tak berarti.

 

Gambaran kesombongan yang disampaikan Pak Zam di awal tadi mengandung maksud yang telah benar, bahwa jika sebuah tindakan atau perbuatan hanya menggunakan satu sisi saja. Menyertakan satu tangan bukan berarti sombong, tapi selalu menggunakan tangan kanan saja tanpa peduli pada fungsi tangan kiri adalah kesombongan. Dalam hidup ada akhlak dan adab. Ada yang memang dianjurkan menggunakan tangan kanan pada satu pekerjaan khusus ada pula yang dianjurkan melakukan dengan tangan kiri pada suatu pekerjaan tertentu, keduanya punya fungsi yang ditata secara apik pada letak yang baik, tak ubahnya manner dalam penggunaan sendok dan garpu.

 

Dalam kehidupan, tema benar dan salah akan terus berputar. Hari ini benar tapi besok salah, dan lusa ternyata benar lagi. Kebenaran absolut sebagai makhluk adalah mengedepankan akhlak. Sebab pada akhlak itu ada niat, tanggung-jawab, kesadaran tindakan, perhitungan dampak, dan keberserahan diri pada Sang Khalik yang Maha Benar. Karena mengawal diri berjalan pada kebenaran adalah tindakan utama pempimpin, pemimpin yang baik bukan hanya mengajak pada jalan yang indah, halus, dan menyenangkan, namun juga perjalanan yang mendaki dan terjal. Sebab perjalanan yang lurus bukan pada bentuk jalannya, namun pada kondisi hati dan mental para pejalan yang tetap teguh tidak mau berbelok dari kebenaran Allah SWT untuk kehidupannya.

 

Tidak boleh melebihi porsinya sebagai pemimpin, mantra pemimpin adalah syahadat. Gamelan menemukan tone-nya secara stabil setelah usianya duapuluhlima tahun dan selama itu pun terus di-laras atau dimainkan, jika gamelan itu berasal dari bahan yang kurang bagus dan tak pernah di-laras (dimainkan) maka notasinya akan lebih rendah dari yang seharusnya. Pada diri manusia bisa jadi terekspresikan sebagai sikap inferior, rendah diri hingga putus asa. Sedangkan apabila gamelan terbuat dari bahan yang bagus yang tak di-laras maka notasi akan terlalu tinggi dari yang seharusnya. Pada diri manusia terekspresikan sebagai sikap superior yang menghantarkan kesombongan. Sedangkan laras pada diri manusia adalah ketukan demi ketukan terus-menerus dalam hidupnya baik berupa kesulitan, sedikit rasa sakit, sedikit kekurangan makanan, dan lain sebagainya demi menemukan kestabilan tone kepribadian dan mentalnya.

Diskusi masih terus berlanjut hingga tengah malam, untaian pertanyaan tersimpan dan tersampaikan terus dirangkai terus dirangkai untuk menemukan sebuah jawaban yamg tentunya bermanfaat untuk sedulur yang hadir pada malam itu. Pada intinya kita dituntut untuk selalu jujur pada diri kita sendiri, waspada pada perbaikan ataupun ketimpangan akhkak. Disitulah kita akan bisa memindai setiap perilaku kita dalam keseharian yang dapat digunakan dalam rangka mengupayakan jimat tolak balak yang bermanfaat untuk orang banyak. Keluarga gugurgunung memungkasi acara dan dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum masing-masing pulang, kami masih sempatkan untuk berkunjung ke Makam Eyang Benowo sambil bermaksud melihat bulan. Namun kabut masih cukup tebal sehingga bulan Nisfu yang kami nantikan tidak terlihat. Dalam perjalanan pulang, kami sempatkan singgah lagi sebentar untuk menikmati sebatang rokok dan kemudian saling bersalaman untuk pamit ke rumah masing-masing. Alhamdulillah, saat menghampiri motor, langit di atas sangat cerah dan bulan menampakkan bulat purnamanya dengan jernih dan terang. Alhamdulillah.

 

Fidhoh Akmal & Cahya
Juru Panyarik Majlis gugurgunung
.